DI BAWAH REMBULAN YANG HANYUT

Karya: Yuanda Envita (Peserta Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)

 

Masa remaja merupakan masa dimana pencarian jati diri dimulai. Seorang anak yang mulai beralih menjadi dewasa akan mempertanyakan segala sesuatu tentang dirinya. Bagaimana dirinya? Apa perannya bagi orang lain? Seperti apa ia di masa depan?

Banyak sekali kasus terjadi dimana para remaja kehilangan kebahagiaannya sebagai seorang remaja. Mereka kehilangan kepercayaan diri. Kehilangan sesuatu yang amat berarti bagi diri mereka. Bahkan tak sempat memikirkan bagaimana nasib mereka di masa yang akan datang. Banyak sekali remaja melalui masa yang begitu sulit. Bahkan, terkadang untuk melampiaskan rasa sakit akibat kesulitan itu, remaja bisa berbuat hal-hal di luar dugaan. Kekerasan, seks bebas, alkohol, narkoba, hingga bunuh diri. Isu ini terus berlanjut di kalangan para remaja yang kehilangan jati dirinya atau bahkan telah kehilangan jati diri mereka sebelum mereka menemukannya. 

Pencarian jati diri dimulai ketika seorang remaja laki-laki telah kehilangan kepercayaannya terhadap dunia. Ia bahkan tak dapat mengerti apa yang dimaksud dengan “percaya”. Ia tak mengerti dengan arti kehidupan yang dijalaninya. Apa tujuannya hidup? Apa tujuannya memiliki sebuah nama? Apa yang membuat orang lain dapat menghargai dirinya? Ia tak pernah menemukan jawabannya.

Ketika itu, ia hanya berjalan dengan langkah kecil di pinggir jalan sebuah kota. Malam hari merupakan waktu dimana para “iblis” beraktivitas. Malam itu, saat remaja laki-laki itu berjalan tanpa arah yang jelas, datang seorang laki-laki dengan rambut panjang dan penampilan serba hitam.

“Hei, kenapa seorang anak muda berjalan-jalan tengah malam begini? Kabur dari rumah? Bertengkar dengan orang tuamu?” tanya laki-laki serba hitam itu.

Remaja laki-laki itu terdiam. Tatapannya terlihat kosong. Wajahnya sendiri terlihat sendu dengan mata yang sayu. 

“Siapa namamu?” tanya laki-laki serba hitam itu.

“Gibran,” jawab remaja laki-laki itu.

Remaja laki-laki itu bernama Gibran. Dilihat dari wajahnya, kemungkinan ia berusia 15 atau 16 tahun. Dengan kata lain, ia adalah seorang siswa Sekolah Menengah Atas. Besok merupakan hari Senin. Tentu saja saat menjelang hari Senin, para murid menyiapkan seragam sekolahnya dan berbagai atribut untuk upacara. Selain itu, biasanya mereka akan mengerjakan tugas di rumah. Lalu, apa yang dilakukan Gibran pada tengah malam meskipun besok adalah hari Senin?

“Hei, kalau kamu tidak memiliki tujuan, bagaimana jika ikut denganku?” ajak laki-laki serba hitam itu.

Gibran hanya terdiam. Kini, ia menatap kendaraan yang berlalu-lalang. Malam semakin larut, tapi jalan masih ramai dengan kendaraan. Suaranya bising, membuat Gibran merasa terganggu. Ia tak memiliki tujuan. Ke mana ia setelah ini? Bagaimana ia istirahat nanti? Bagaimana keadaan selanjutnya? Rasanya ia tak memiliki apa pun. Tujuan hidup? Ya, rasanya ia pun tak pernah memiliki jawaban atas pertanyaan itu.

Berpikir tentang siapa dirinya dan apa perannya dalam kehidupannya sendiri membuat Gibran semakin kebingungan. Usianya masih muda, tapi rasa lelahnya mungkin melebihi seorang manusia yang berusia lebih dari 100 tahun. Rasanya ia ingin mengakhiri rasa lelah itu. Namun, untuk mengakhiri rasa lelah itu, apakah ia harus mengakhiri hidupnya terlebih dahulu?

Wajah Gibran terlihat pucat. Tampaknya ia ingin menolak ajakan laki-laki serba hitam itu. Namun, malam semakin larut dan udara semakin dingin. Setiap embusan angin membuat tubuhnya menggigil dan semakin lama tubuhnya semakin lemas. Oleh karena itu, ia pun mengangguk. Dengan penuh rasa terpaksa, ia menerima tawaran laki-laki serba hitam itu.

“Naiklah!”

Laki-laki serba hitam itu meminta Gibran menaiki motornya. Gibran mengikuti perintah itu dan mereka segera meluncur ke sebuah tempat yang mungkin akan jauh dari bayangan Gibran. Sekitar 15 menit kemudian, mereka akhirnya sampai. Tempat itu adalah sebuah rumah yang bentuknya lebih mirip dengan gudang. Oleh karena itu, mari kita panggil tempat itu sebagai gudang. Gudang itu berada di ujung gang yang gelap dan terisolasi dari pemukiman penduduk. Gibran melihat sekitar. Udara semakin dingin.

“Masuklah!” pinta laki-laki serba hitam itu.

Laki-laki serba hitam itu memasuki gudang itu. Gibran mengikutinya dari belakang. Di dalam gudang itu, terlihat banyak sekali orang berkumpul. Laki-laki, perempuan, mereka semua remaja. Di bawah sinar rembulan yang pucat, ditutupi oleh atap yang hampir ambruk, di sebuah gudang, orang-orang dengan tubuh lunglai itu mulai berhalusinasi. Terlihat dengan jelas wajah penuh keceriaan dari orang-orang tersebut. Beberapa dari mereka bahkan begitu bersemangat sampai melompat-lompat.

Gibran sangat terkejut dengan pemandangan mengerikan yang membuat tubuhnya menggigil. Wajahnya semakin pucat. 

“Mereka ….”

Ucapannya terputus. Laki-laki serba hitam itu pun tersenyum kecil dan menepuk pundak Gibran. “Mereka para pemakai. Lihatlah wajah bahagia mereka!”

Orang-orang di hadapan Gibran merupakan para “pemakai” dan “pecandu” obat-obat terlarang, yaitu narkoba. Gibran melangkah mundur. Ia tak bisa lebih dekat dengan orang-orang itu. Namun, langkah Gibran dicegah oleh laki-laki serba hitam itu.

“Jangan pergi! Mereka bukan orang jahat. Mereka hanya orang-orang putus asa yang kehilangan jalan hidupnya. Mereka hanya melarikan diri. Tenang saja, mereka tidak akan menyakiti orang lain.”

Gibran menggeleng. Wajahnya ketakutan. “Melarikan diri bukan berarti mereka harus memakai barang haram itu, bukan?”

Salah seorang gadis yang termasuk “pemakai” itu menghampiri Gibran. Wajahnya dipenuhi dengan senyum yang merekah. Gadis itu pun menawarkan barang haram itu pada Gibran.

“Bagaimana jika kamu mencobanya? Ini memiliki efek yang cukup kuat. Kamu akan selalu bahagia dan lupa dengan masalahmu jika mencoba ini. Ayolah! Coba sekali saja.”

Gibran memandang barang haram itu.

Beberapa hari telah berlalu, menyisakan rasa manis bagi beberapa orang dan pahit bagi yang lainnya. Di sebuah sekolah, pada pagi hari yang sejuk dan sunyi, seorang gadis hanya berdiri menatap sebuah bangku yang kosong. Hari masih cukup gelap, tapi gadis itu telah berada di sebuah kelas yang masih kosong.

“Gibran, di mana kamu?”

Wajah gadis itu tampak sedih. Tidak, ekspresinya tidak hanya menyiratkan sebuah kesedihan. Sedih, takut, gusar, khawatir, semuanya terlihat jelas. Pandangannya begitu dalam saat melihat bangku kosong itu. Hatinya gelisah selama beberapa hari ini.

Tanpa ia sadari, seseorang telah memasuki kelas itu. Kini, kelas yang sunyi itu telah ditempati oleh dua orang. 

“Rania, kamu masih memikirkan Gibran?”

Gadis berwajah sedih itu bernama Rania. Ia adalah sahabat Gibran. Mereka telah bersahabat dari saat masih Sekolah Dasar. Ia sangat dekat dengan Gibran. Mereka selalu bersama. Tak pernah terpikir dalam benak Rania bahwa Gibran akan menghilang begitu saja.

“Tak ada kabar darinya. Ponselnya tak bisa dihubungi. Orang tuanya pun tak tahu keberadaannya. Gibran tak pernah seperti ini sebelumnya,” ucap Rania pada gadis yang berdiri di sampingnya.

Gadis yang berdiri di samping Rania itu pun ikut memandang bangku kosong tempat duduk Gibran. “Gibran pasti akan kembali,” ucapnya.

Di sisi lain, Gibran diajak laki-laki serba hitam itu ke sebuah tempat untuk membeli minuman. Gibran mengikutinya karena ketidaktahuannya tentang minuman yang dimaksud oleh laki-laki serba hitam itu.

Setelah sampai di tempat itu, Gibran dikejutkan dengan pemandangan berbagai macam botol berisi minuman keras itu. “Jangan bilang kita akan membeli minuman-minuman itu!”

Laki-laki serba hitam itu tak mendengarkan ucapan Gibran. Ia menghampiri laki-laki lain yang duduk di atas sebuah kotak dan memberinya uang. Laki-laki yang duduk di atas kotak itu langsung menyambar uang itu dan menghitungnya.

“Seperti biasa. Aku dan kawan-kawanku akan berpesta malam ini,” ucap laki-laki serba hitam itu.

Setelah selesai menghitung, laki-laki yang duduk di atas kotak itu memasukkan uangnya ke dalam saku bajunya. “Ambil minumannya dan pergilah!” ucapnya.

Laki-laki serba hitam itu pun langsung mengambil sekotak besar yang berisi banyak sekali botol-botol minuman keras. Setelah itu, ia mengajak Gibran pulang dan meminta Gibran untuk membawa kotak berisi minuman keras itu. Namun, Gibran menolaknya.

“Kalau begitu, pulanglah dengan berjalan kaki,” ucap laki-laki serba hitam itu dan ia pun mengendarainya motornya meninggalkan Gibran. 

Gibran pun berjalan kaki. Di hari yang cukup terik, Gibran melihat para siswa dan siswi yang baru pulang sekolah dengan tatapan yang tak dapat didefinisikan. Ia pun menunduk. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Di satu sisi, ia ingin melanjutkan sekolahnya. Di sini lain, ia tahu bahwa itu semua tak ada gunanya.

Ketika ia terus melangkah pulang, tiba-tiba seorang gadis menatapnya dengan mata berbinar. Terlihat berbinar dan membuatnya langsung berlari menghadiri Gibran yang berjalan sambil tertunduk itu. Gadis itu adalah Rania.

Dengan cepat, Rania langsung memeluk Gibran dari belakang dan membuat Gibran terkejut. “Siapa itu?”

Rania hanya diam. Ia hanya terus memeluk Gibran dengan pelukan yang amat erat. Tanpa ia sadari, air matanya mengalir. Gibran dapat merasakan detak jantung Rania yang begitu kencang dan cepat. Kemudian, ia menyentuh tangan Rania dan melepaskan pelukan itu. Gibran menoleh.

“Rania ….”

Wajah Gibran berubah. Seolah melihat air di padang pasir, itulah ekspresi yang dapat didefinisikan dari wajah Gibran saat ini. Wajahnya terlihat senang, lega, dan ada sedikit rasa kerinduan yang dalam.

“Gibran, di mana kamu selama ini? Kenapa tidak masuk sekolah?” tanya Rania.

Gibran, merupakan seorang laki-laki yang selama ini selalu dekat dengan Rania. Mereka berdua selalu jujur satu sama lain. Tak pernah sekali pun Gibran berbohong pada Rania atau sebaliknya. Namun, kali ini, Gibran mungkin akan membohongi Rania untuk yang pertama kalinya.

“Aku …. Aku pindah sekolah,” ucapnya sambil melihat ke arah lain.

Rania tahu bahwa Gibran berbohong. Belum pernah sekali pun Gibran memandang ke arah lain saat berbicara dengannya. Belum pernah sekali pun Gibran terlihat segugup itu.

“Kamu membohongiku, bukan?”

Gibran terdiam dan menunduk. Sudah pasti Rania dapat mengalahkannya. Gibran sangat tidak mahir dalam berbohong. Saat ini, hatinya dipenuhi dengan rasa bersalah.

“Kamu tinggal di mana?” tanya Rania lagi.

Gibran menelan ludahnya. “Di sebuah gudang bersama teman-teman baruku,” ucapnya.

Rania tersenyum. Ia pun meminta Gibran untuk mengajaknya ke sana. Namun, Gibran tidak mengizinkannya. Dengan segala kekuatan yang dimilikinya, Rania terus memaksan Gibran. Pada akhirnya, Gibran mengalah.

Mereka akhirnya berjalan kaki menuju gudang itu. Gibran merasa tidak enak hati mengajak Rania ke tempat yang sangat berbahaya seperti gudang itu. Namun, wajah Rania sendiri terlihat tidak peduli dengan apa pun yang akan terjadi dengannya.

“Kupikir kamu telah menghilang dari dunia ini,” ucap Rania. 

“Apa kamu khawatir jika aku menghilang?” tanya Gibran.

Rania mengangguk. “Tentu saja.”

Mereka akhirnya sampai. Di sana, Rania tidak terlihat terkejut dengan keadaan yang ada. Gibran sendiri telah terkejut melihat keadaan yang kacau di gudang itu. Di sana, beberapa orang terlihat sudah mabuk berat. Beberapa lagi telah memuntahkan isi perutnya, kemungkinan karena terlalu banyak minum. Gibran tak kuat melihat keadaan itu dan memilih keluar. Rania mengikutinya.

Gibran kembali berjalan ke sebuah taman yang tak jauh dari gudang itu dan Rania hanya membuntutinya. Rania sedari kecil memang terlihat seperti bayangan Gibran. Ke mana pun Gibran pergi, Rania akan membuntutinya. Meski begitu, Gibran selalu menerima kehadiran Rania dan Rania pun tak pernah malu jika diejek karena terus membuntuti Gibran.

Mereka akhirnya berhenti di sebuah taman kecil. Di sana, Gibran menaiki ayunan anak-anak yang sudah reot. Rania duduk di ayunan yang ada di samping Gibran. Mereka bermain ayunan. Tanpa disadari, langit telah kehilangan warna birunya. Tanpa disadari, matahari telah bersembunyi lagi. Mereka bermain dalam diam.

Setelah lama hening, Rania memulai pembicaraan.

“Bisa kamu jelaskan padaku, Gibran?” tanya Rania.

Gibran melihat bulan yang telah datang. Bulan itu terlihat pucat, menggantung di langit gelap, dan keadannya mengenaskan. Bulan itu sendirian. Tak ada satu pun bintang yang terlihat menemaninya.

“Jelaskan tentang apa?”

Rania menarik napas kuat-kuat dan mengembuskannya perlahan-lahan. “Alasanmu kabur dari rumah. Bisa kamu jelaskan padaku kenapa kamu kabur dari rumah?”

Gibran terdiam cukup lama setelah mendengar pertanyaan itu. Dalam kebisuan yang cukup lama itu, ia terus menghela napas. 

“Menurutmu kenapa aku kabur dari rumah?” tanya Gibran dengan memberi teka-teki pada Rania.

Rania menghela napas. “Gibran, kumohon jawab pertanyaanku dengan sungguh-sungguh,” pinta Rania dengan wajah lelah.

Gibran tersenyum kecil. “Apa kamu mulai tidak sabar menghadapiku?”

Rania menggeleng. “Aku hanya ingin kamu pulang dan kembali kepada orang tuamu. Aku yakin mereka sangat khawatir.”

Ucapan Rania membuat Gibran menghentikan senyumnya.

“Mereka merampas kameraku. Itu adalah satu-satunya barang berharga yang kumiliki dan kudapatkan dari jerih payahku sendiri. Dengan keegoisan mereka sebagai orang dewasa, mereka merampas impianku dan membuangnya jauh-jauh sampai aku tak bisa menemukannya lagi. Memaksaku menekuni buku-buku ekonomi yang tak sedikit pun kupahami. Memintaku untuk menjadi penerus mereka dan mengurus perusahaan. Aku sama sekali tidak merasakan kehidupan yang mereka berikan padaku. Apa yang terjadi dengan hidupku? Aku hanya ingin bebas. Aku hanya ingin melihat dunia dari sudut pandangku, tapi mereka membuatku buta. Bahkan mereka melumpuhkan kakiku agar bisa terus mengendalikanku. Jadi, untuk apa aku kembali ke neraka tak berujung itu?”

Rania mengerti. Gibran selalu mengikuti apa yang selalu diminta orang tuanya. Tak pernah sekali pun Gibran marah atau menentangnya. Baru kali ini saja Rania melihat Gibran terlihat sangat putus asa.

“Aku tahu. Tindakan mereka benar-benar tidak pantas. Meski begitu, niat mereka baik. mereka hanya ingin kamu menjadi orang yang berhasil di masa depan. Itu cita-cita setiap orang tua pada anaknya. Kita sebagai anak mungkin belum dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang tua, tapi orang tua pernah merasakan apa yang kita rasakan saat ini.”

Gibran tertawa pahit. “Berhasil di masa depan? Itu ucapan yang sungguh egois, Rania. Apa mereka tidak percaya dengan kemampuanku sendiri? Aku ingin berhasil dengan caraku sendiri. Aku tidak ingin menjadi budak yang selalu dipenjara. Keinginanku saat ini hanyalah ingin hidup bebas dari neraka itu. Maka dari itu, jangan paksa aku untuk kembali ke sana.”

Rania berhenti bermain ayunan itu dan kemudian berdiri di hadapan Gibran. Wajahnya tampak sedih. 

“Kalau begitu, jangan menyerah! Kamu laki-laki, bukan? Kamu seharusnya percaya pada dirimu sendiri. Sungguh, aku tidak mengenalmu saat ini. Gibran, sahabat masa kecilku, bukanlah orang yang muram sepertimu. Aku di sini, di hadapanmu, Gibran. Kamu bisa mengandalkanku. Bagaimana pun juga, aku ingin membantumu sebagai seorang sahabat.”

“Meskipun aku dalam masalah besar?”

Rania mengangguk.

“Apa yang akan kamu lakukan untukku?”

Rania mencubit pipi Gibran. “Aku akan menjagamu. Aku benci seorang Gibran yang muram dan bergaul dengan orang-orang yang tidak baik itu. Maka dari itu, aku akan selalu menemanimu dan selalu berada di sisimu. Aku akan duduk mendengar setiap kisah yang kamu ucapkan. Aku akan mengajarkan sesuatu yang tidak kamu mengerti.”

Gibran hanya menatap wajah Rania yang terlihat begitu serius. Ia kemudian menunduk. Lalu, bagaimana jika semua yang dilakukan Rania untuknya hanya sia-sia belaka? Untuk mewujudkan semua itu, apa ia harus kembali ke rumahnya? Apa ia harus kembali bertemu dengan orang tuanya dan mengakui kesalahannya karena kabur dari rumah?

Gibran menepis tangan Rania. “Tidak bisa. Aku tidak akan pulang ke rumah itu. Aku memiliki teman-teman baru yang sama-sama bermasalah sepertiku.”

“Kamu benar-benar tidak ingin pulang dan lebih memilih orang-orang itu?” tanya Rania.

Gibran mengangguk. “Ya. Kamu tidak akan pernah bisa mengerti, Rania.”

Mata Rania berkaca-kaca. Di bawah sinar rembulan itu, wajahnya terlihat seperti seseorang yang telah kehilangan sesuatu yang berharga dari dirinya.

“Apa yang tidak kumengerti? Jika kamu tidak mengatakannya, apa aku bisa mengerti?”

Gibran menunduk. “Rania, kamu mungkin berpikir bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak baik. Kenyataannya, mereka hanya kehilangan masa depan mereka. Kurasa aku mungkin lebih nyaman berada di dekat mereka daripada harus menjadi budak di rumahku sendiri.”

Rania menampar Gibran. Angin di sekitar mereka menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Gibran terlihat terkejut. Pipinya merah karena tamparan itu.

“Kupikir kamu bisa berpikir dewasa, tapi pemikiranmu seperti anak-anak. Saat ini, kamu mungkin menganggap mereka sebagai orang yang tidak beruntung. Kemudian, kamu akan memahami pemikiran mereka dan merasa menjadi satu dengan mereka. Setelah itu, kamu akan mulai mencoba hidup seperti mereka dengan mencoba-coba barang-barang yang dapat merusak masa depan itu. Jika kamu tidak menganggapku sebagai sahabat lagi, silakan kembali ke tempat itu dan lupakan saja diriku.”

Rania pergi. Ia tak kuasa menahan tangisnya. Ia pergi bukan karena marah pada Gibran, tapi karena malu harus menangis di hadapan Gibran. Mereka sama-sama lemah. Mereka hanya remaja yang masih terombang-ambing. Jika Rania benar-benar meninggalkan Gibran saat ini, maka Gibran akan semakin kacau. Gibran mungkin akan menjadi seorang pecandu alkohol dan narkoba. Gibran akan melakukan apa pun demi mendapatkan barang itu, bahkan dengan mencuri dan merampok. Jika semua kesenangan yang ia dapatkan dari barang haram itu telah hilang sepenuhnya dari diri Gibran, mungkin Gibran akan mengakhiri hidupnya. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Rania.

“Lalu, aku harus apa sekarang?” tanya Gibran.

Rania yang baru berjalan beberapa langkah terhenti dengan pertanyaan Gibran. Gibran menghampirinya dan berdiri di samping Rania. 

“Aku harus apa?” tanya Gibran sambil menatap Rania.

Rania menoleh, menatap Gibran dengan tatapan yang begitu dalam. Mereka saling bertatapan. Di tengah air matanya yang mengalir, sebuah senyum merekah dari wajah Rania. “Bagaimana jika kamu pulang ke rumahmu terlebih dahulu?” 

Gibran menggeleng. “Aku sudah mengatakan jika aku tidak ingin kembali ke sana.”

“Aku tahu, tapi bagaimana pun juga kamu harus kembali ke sana. Kamu hanya punya dua pilihan, Gibran. Rumah orang tuamu atau gudang itu. Kupikir pilihan yang paling tepat di sini adalah kembali ke rumahmu. Jika kamu bertahan di gudang itu dengan berpikir bahwa kamu tidak akan terpengaruh oleh perilaku buruk mereka, maka kamu salah. Bagaimana pun juga, sekuat apa pun pendirianmu, kamu masih akan terpengaruh oleh lingkungan tempatmu tinggal. Kamu akan mencoba barang-barang itu. Kamu akan merusak dirimu sendiri. Pada akhirnya, kamu akan benar-benar kehilangan hidup yang begitu berharga.”

Gibran masih menatap Rania. “Lalu, bagaimana jika aku kembali ke rumah?”

Rania menghapus air matanya. “Kamu mungkin akan dipaksa mempelajari buku-buku ekonomi yang tidak kamu mengerti. Namun, kamu tenang saja. Kamu hanya perlu mempelajarinya dan menguasainya dengan baik. Aku berjanji akan membantumu. Setelah kamu melakukannya dengan baik, kamu bisa meminta imbalan pada orang tuamu, yaitu mengembalikan kameramu dan kamu bisa bebas melakukan apa pun dalam hidupmu. Tidak salah jika kamu ingin melakukan apa yang kamu inginkan. Tidak salah juga jika kamu melakukan apa yang orang tuamu inginkan. Semua tergantung pada dirimu. Yang pasti, jangan hanya berdiam diri dan lakukanlah sesuatu yang baik.”

Gibran menyentuh tangan Rania. “Apa kamu bisa mengantarku pulang?”

Rania tersenyum dan mengangguk. Mereka akhirnya kembali ke rumah Gibran. Rasanya, Gibran kembali mendapatkan kepercayaannya terhadap dunia. Ia tak lagi merasa sendiri. Tanpa ia sadari, ada orang yang benar-benar memikirkannya. Maka dari itu, ia pun mencoba melakukan apa yang diminta oleh orang yang sangat peduli padanya itu.

Setelah sampai di depan rumah, Gibran kehilangan keberaniannya. Rania dapat membaca itu dengan jelas dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Gibran pun memberanikan diri dan memasuki rumahnya.

Saat orang tua Gibran melihat Gibran kembali bersama Rania, mereka dengan cepat memeluk Gibran dan bersyukur melihat Gibran baik-baik saja.

“Ke mana saja kamu? Ibu sangat khawatir,” ucap ibu Gibran.

Gibran hanya diam dalam pelukan orang tuanya. Rasanya itu merupakan pelukan hangat yang lama sekali tak ia dapatkan. Pada akhirnya, seorang anak akan kembali pada orang tuanya. Pada akhirnya, sekeras-kerasnya orang tua pada anak, itu adalah suatu upaya mereka dalam mencintai anaknya.

“Ayah, Ibu, aku minta maaf. Aku ingin jujur pada kalian,” ucap Gibran.

“Apa yang ingin kamu katakan pada kami, Nak?” tanya ayah Gibran.

  Gibran melihat Rania. Rania pun memandang Gibran sambil menganggukkan kepalanya. 

“Aku kabur karena kalian mengambil kameraku. Aku membenci hal itu dan menjadi marah. Kemudian, selama kabur ini, aku tinggal di sebuah gudang yang dipenuhi dengan orang-orang seusiaku yang telah pupus harapannya akan masa depan. Aku melihat mereka minum alkohol dan memakai narkoba. Beberapa dari mereka yang sudah tidak sanggup membeli narkoba dan alkohol pun menyerah dan membunuh dirinya sendiri. Aku bersumpah bahwa aku tidak memakai sedikit pun barang itu. Aku minta maaf sudah merepotkan kalian.”

Orang tua Gibran saling bertatapan dan akhirnya tersenyum. Ibu Gibran mengelus kepala Gibran dengan sangat lembut. “Itu salah kami, Gibran. Kami tahu bahwa kamu memberontak seperti ini karena paksaan kami dan juga karena kami merebut barang berhargamu. Ibu minta maaf. Mulai saat ini, kami tidak akan memaksamu lagi. Kamu bebas melakukan apa saja. Kamu bebas memilih pekerjaan apa pun di masa depan. Asalkan tindakan dan pekerjaanmu baik, kami akan mendukungmu.”

Wajah Gibran terlihat cerah. “Benarkah?”

Ayah dan ibunya mengangguk. Gibran memeluk mereka berdua. Rasanya hangat. Rasanya, tak ada lagi yang perlu ia takutkan. Gibran juga sangat berterima kasih pada Rania yang telah membantunya melalui masa sulitnya.

“Apa aku boleh minta tolong pada kalian?” tanya Rania, memecah kehangatan pelukan keluarga itu.

“Minta tolong apa?” tanya Gibran.

“Aku melihat sendiri bagaimana putus asanya mereka. Mereka memiliki ketergantungan yang begitu parah pada barang-barang haram itu. Aku ingin membantu mereka kembali ke jalan yang cerah seperti Gibran, tapi aku tidak memiliki kekuatan yang cukup. Jadi, bisakah aku meminta bantuan pada Paman dan Bibi terkait masalah ini?”

Beberapa hari kemudian, gudang tempat tinggal sementara Gibran saat masa pelariannya itu didatangi oleh orang-orang berseragam. Orang-orang berseragam itu menangkap para remaja itu. Para remaja yang telah kehilangan arah itu pun dibawa dan direhabilitasi karena kecanduan mereka tehadap narkoba.

“Rania, apa ini membuatmu senang?” tanya Gibran.

Rania mengangguk. “Ya, tentu saja. Aku bersyukur masih memiliki orang tua dan teman yang peduli padaku. Aku masih bisa bersekolah. Aku punya rumah yang layak. Aku masih bisa merasakan hangat matahari. Aku bahagia dan bersyukur dengan kehidupanku saat ini dan aku tak ingin bahagia sendirian. Aku ingin mereka berhenti menggunakan barang-barang haram itu dan mulai melangkah menuju cahaya.”

Remaja, merupakan masa-masa yang begitu sulit. Sedikit saja salah bimbingan, remaja bisa kehilangan arah dan tujuannya menjalani hidup. Kenakalan remaja menjadi hal yang umum di berbagai negara. Remaja hanya membutuhkan perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Orang tua harus percaya pada anak mereka sendiri. Percaya bahwa sang anak mampu melakukan hal yang terbaik bagi dirinya sendiri. 

Kenakalan remaja, mungkin ini isu yang begitu panas di berbagai belahan dunia. Sebagai remaja, hal pertama yang dapat kita lakukan untuk menghindari kenakalan-kenakalan yang berkembang di kalangan para remaja adalah dengan mendekatkan diri dengan Tuhan dan juga orang tua. Kita juga harus cerdas mencari teman dan lingkungan pergaulan. 

“Apa yang akan kamu lakukan mulai saat ini, Gibran?” tanya Rania.

“Tentu saja aku akan belajar sungguh-sungguh. Setelah kupikirkan lagi, mungkin aku akan menerima permintaan orang tuaku dan meneruskan cita-cita mereka sebagai seorang pengusaha. Aku akan menjadi pengusaha sukses dan membangun perusahaan di negara-negara lain. Kemudian, aku akan berkeliling dunia dan mengabadikan kisahku dengan kameraku.”

Rania tertawa kecil. “Itu ide yang hebat.”

Gibran menggenggam tangan Rania. “Kamu ikut denganku, bukan?”

Rania tersenyum malu-malu. “Boleh saja.”

Loading

SEMBRONO

Karya: Yuditeha (Peserta Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)

 

 

Setidaknya ada tiga orang mati selama dua hari ini. Sangat mungkin jumlah itu masih bertambah karena bisa saja ada peristiwa kematian lain yang tidak saya ketahui. Ketiga orang yang mati itu karena terjangkiti wabah yang hampir setahun ini melanda bumi dan belum ditemukan penangkalnya.

Ketiga orang yang mati itu antara lain, pertama seorang dokter yang bekerja di rumah sakit khusus menangani orang-orang yang tertular wabah tersebut. Dia dikenal sebagai dokter yang baik, dedikasinya perihal kesehatan masyarakat sudah tak perlu diragukan lagi. Dia memang pantas mendapat julukan dokter teladan. Dokter itu sangat tertib dan profesional. Dia patuh terhadap semua protokol kesehatan. Kesadaran itu selalu dijaga terlebih karena dia menyadari wilayah tugasnya di area yang rentan tertular wabah. 

Namun laku kehidupan ini rupanya memang bukan kuasa manusia, karena kelalaian bisa saja terjadi pada siapa pun, termasuk  dokter itu. Dia tertular wabah justru tidak sedang bertugas di rumah sakit, dan tidak juga sedang menangani pasien. Dokter itu tertular wabah dari salah satu tetangganya yang pada suatu hari berkunjung ke rumahnya. Tanpa menaruh curiga dia menyambut antusias ketika tetangganya itu mengajaknya berjabat tangan.

Kedua, pimpinan sebuah organisasi sosial yang rajin melakukan kegiatan amal. Giat menggalang dana yang hasilnya disalurkan kepada siapa pun yang membutuhkan, terkhusus yang ada hubungannya dengan bencana. Terlebih akhir-akhir ini, perhatian dan kepedulian organisasinya terhadap bencana wabah cukup besar dan patut diberi apresiasi. Bahkan organisasi itu berhasil menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. 

Lagi-lagi misteri hidup tidak bisa diterka manusia. Pimpinan organisasi itu tertular wabah bukan pada saat dirinya sedang melakukan pengabdian. Dia terjangkiti wabah pada suatu hari, usai makan siang dia pergi keluar untuk membeli rokok di toko yang kebetulan tidak pernah dia kunjungi sebelumnya. Pada saat dia dan si penjual sedang serah terima uang dan rokok itulah awalnya.

Ketiga, seorang pejabat kota yang tugas kesehariannya cukup berat. Pejabat itu termasuk lelaki yang humanis dan dicintai rakyatnya. Menurutnya, menjadi pejabat bukan untuk gagah-gagahan. Baginya menjadi pejabat adalah menjadi abdi masyarakat, melayani dengan sebaik-baiknya apa yang dibutuhkan warganya. Untuk mendukung pendapatnya itu, tidak tanggung-tanggung, dia mengutip semboyan yang dulu dicetuskan Ki Hajar Dewantara, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Bahkan yang paling ganas dia pernah berkata, jika ada pejabat yang tidak bisa berlaku seperti itu bukan saja harus dipecat tetapi layak dibuang ke kotak sampah. 

Sehebat-hebatnya manusia adakalanya tak bisa menghalau kesialan, termasuk pejabat itu. Dia tertular wabah justru dari anak buahnya yang sedang dipanggil untuk diberi pengarahan sekaligus surat peringatan (dirumahkan sementara) karena dianggap tidak mempunyai human interest yang memadai. Pada saat mereka sedang membubuhkan tanda tangan di dokumen kesepakatan itu dengan menggunakan bolpoin yang sama.

Meski nasib ketiga lelaki itu malang tetapi aku setuju jika mereka disebut sebagai lelananging jagad, yang kira-kira artinya lelaki yang bukan sekadar bagus fisik dan rupawan, tetapi lebih merujuk kepada mempunyai jiwa satria dan sifat kemuliaan. 

Sebenarnya saya jarang keluar rumah, lebih tepatnya malas keluar, terlebih sekadar bertemu dengan orang-orang untuk omong kosong belaka. Bisa saja saya bertemu dan berbincang dengan seseorang jika pertemuan itu saya anggap penting, setidaknya ada sesuatu hal yang perlu dibicarakan. Alasan lain mengapa saya jarang keluar rumah tentu saja karena saya seorang pengarang yang kesehariannya bergelut dengan teks, baik pada saat menulis maupun membaca. Menurut saya, dua kegiatan itu sama-sama memerlukan waktu yang tidak sebentar dan butuh situasi yang hening. Karenanya saya suka ketenangan, dan ketenangan itu bisa dicapai salah satunya tidak berhubungan dengan orang banyak. Pertanyaannya, mengapa saya yang jarang keluar rumah ini bisa tahu perihal diri orang-orang itu dengan detail, termasuk tentang sakit dan kematiannya? Kini saya akan ceritakan, bagaimana saya bisa mengetahui itu semua.

Belum lama ini saya mendapat pesan dari seorang perempuan yang dulu pernah intim dengan saya, katakanlah dia mantan pacar saya. Sebenarnya saya masih mencintainya tapi saya tidak tahu mengapa saya masih mencintainya. Tapi jika saya harus memberi alasan, saya hanya bisa mengatakan, dengan dialah pertama kali saya melakukan dosa terkait perempuan. Dulu saya sering melumat bibirnya yang dalam penglihatan saya bisa selalu berwarna merah stroberi, meski tidak sedang memakai gincu. Sudah tak terhitung berapa kali saya telah merabai payudaranya yang dalam bayangan saya selalu bisa tegak lurus, tidak lembek seperti jengger jago. Dan karena dialah saya berani menyatakan diri telah menjadi lelananging jagad. Perlu saya katakan, sebutan lelananging jagad untuk saya ini berbeda dengan arti yang sebenarnya. Bolehlah saya mengartikannya sendiri. Ketika keperjakaan saya telah menjebol keperawanan perempuan, saat itulah seorang lelaki bisa disebut lelananging jagad.

Sayangnya, nasib hubungan saya dengan perempuan itu tidak berlanjut. Dia lebih memilih bersama lelaki lain dengan alasan klise, harta. Dia benar, senyatanya saya melarat. Memang saya penulis, tapi sepertinya penulis yang terus berjuang. Untuk menghidupi diri sendiri saja sudah kepayahan. 

Dalam pesannya, perempuan itu ingin bertemu saya. Usai membaca pesan itu langsung saya terbayang buah stroberi, kelapa gading, dan taman juwita miliknya. Karena itu gegas saya menuju ke tempat yang dia tentukan. Ketika bertemu dengannya entah mengapa justru kemuliaan saya mengemuka oleh keluh yang dia katakan. Pikir saya, tidak ada jalan lain harus mengeluarkan kepandaian saya tentang pemahaman-pemahaman yang biasa saya pikirkan ketika menulis. Setelah itu kesedihannya sembuh. Dia mengecup pipi saya dan mengucap terima kasih, sebelum akhirnya berlalu dari hadapan saya. Saya pulang dengan perasaan ringan. Saat itu saya merasa lelaku saya telah mendekati arti lelananging jagad yang seharusnya.

Apa yang saya lakukan dan apa yang terjadi usai pertemuan dengan perempuan itu tidak jelas saya ingat. Saya baru memahami semuanya ketika saya bertemu dengan dokter yang baik, pejabat yang gigih, dan pimpinan organisasi yang pemurah itu di sini. Di tempat ini pula mereka menceritakan perihal diri mereka kepada saya, termasuk tentang bagaimana mereka terjangkiti wabah dan akhirnya sekarang mati.***

Loading

JAGALAH DIRI, JANGAN KAU SAKITI

Katya: Yuli Rulina (Peserta Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)

 

Sengatan terik matahari menyelinap masuk dari celah jendela, memaksa Dina untuk lekas beranjak meninggalkan tilam kecintaannya. Pagi hari sudah bersambut dengan perpisahan yang amat berat baginya. Setelah semalaman ia merelakan waktu istirahat malam untuk merampungkan tugas-tugas mata kuliah. Sudah sering sebenarnya ia seperti itu. Terhitung hanya dua jam tubuhnya merasakan empuk buntalan kapuk yang ada di pojok kamarnya. Sungguh melelahkan. Dua tahun sudah ia ‘menjabat’ sebagai mahasiswi namun tak tampak seperti kenyataannya. Kuliah dalam jaringan, ya, bukan di dalam kelas. Sebuah transisi proses pembelajaran baru semenjak Covid-19 mendunia. Virus yang merebak dengan kecepatan cahaya, tampak tak kasat mata, menyebarkan kepanikan merajalela. Beruntungnya, karantina telah menjadi finalis yang terpilih diantara solusi terbaik lainnya. Mencegah memang lebih baik daripada mengobati.

Perubahan tiba-tiba yang mengubah drastis rutinitas keseharian Dina. Pagi, siang, dan malam terasa tidak ada bedanya lagi. Dina merasa kelimpungan dalam mengatur waktu. Selama berkegiatan penuh di rumah seperti ini, Dina mencoba menyelaraskan antara membagi tugas pribadi dengan tugas pendidikannya. Seringnya juga Dina terjebak pada situasi dimana jadwal makan tidak teratur, jadwal tidur berantakan, sampai jadwal belajar pun tumpang tindih dengan kegiatan lainnya. Semua orang pasti merasakan hal yang sama juga, tidak hanya Dina. Mengerjakan segala aktivitas hanya di rumah, apapun itu, entah itu bekerja, belajar, berbelanja, hingga ujian praktek berenang saja, semua dikerjakan di rumah berbekal jaringan internet dan perangkat telekomunikasi. Lambat laun kebiasaan itu juga yang mulai menggerogoti kesehatan jasmaninya.

Kelas pagi siap menyambut awal hari Dina. Sedikit malas ia menyiapkan sebuah benda elektronik berlayar dengan bentuk persegi panjang dan memiliki dua sisi. Ia menekan tombol power, lalu seketika menyala layar di hadapannya. Sembari menunggu proses loading ia mengecek informasi mata perkuliahan pada grup WhatsApp di ponselnya. Rutinitasnya di setiap pagi, selalu seperti ini. Melihat ribuan pesan berisikan deadline tugas-tugas yang mau tak mau harus ia kerjakan, memicu denyutan dari dalam kepalanya. Tak amat peduli dengan rasa tersebut, ia memilih untuk beranjak sebentar untuk membuat segelas kopi. Kopi hangat di pagi hari mungkin akan dapat menenangkan dirinya saat ini, pikirnya. Merasa puas setelah ia sudah menenggak habis kopinya, seolah-olah kesulitan dalam hidupnya ikut mengalir bersama air kopi yang masuk ke dalam perutnya.

Kini ia harus menyelesaikan tugas-tugas yang telah diberikan. Ia mulai mengetik jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tersusun rapi pada soal yang terpampang di layar. Berjam-jam Dina hanya duduk dan terus menatap layar membuat badannya seakan-akan telanjur kaku, matanya pun mulai memerah dan berair mengisyaratkan keringnya. Sebetulnya, ia juga merasakan punggungnya terasa panas dan pegal. Denyutan kepala yang sempat menghilang mulai menyerangnya lagi. Demi mengejar tenggat waktu pengumpulan tugas, melalaikan Dina dari keadaan tubuh yang teramat butuh akan istirahat. Jangan lupakan bahwa Dina melewatkan sarapan pagi tadi. Hanya berbekal segelas kopi ia memaksa seluruh organ tubuhnya untuk terus bekerja secara optimal. Serupa dengan kerja rodi, bukan. Kalau saja organ-organ itu bisa bicara, mungkin akan terjadi persatuan antar organ-organ untuk memperjuangkan hak kemerdekaannya.

Dina berhenti sejenak dari kegiatan ketik-mengetiknya. Niatnya ia ingin mengambil segelas air untuk meredakan dahaganya. Ketika ia hendak berdiri, ia merasa pusing sampai pandangannya sedikit menggelap dan kabur. Ditambah perutnya juga terasa kembung dan mual. Dirasa tubuhnya akan ambruk, segera ia berpegangan pada ujung meja. Ia masih berusaha untuk tetap kuat. Ia kembali terduduk, mencoba menetralkan rasa pusingnya. Setelah mereda, ia kembali berdiri dan berjalan pelan untuk mengambil segelas air. Berhasil ia mendapatkan segelas air dan meminumnya. Beberapa menit ia diam dan merenung. Segera ia mengambil ponsel, kemudian ia membuka aplikasi konsultasi kesehatan yang dari sebulan lalu ia pasang dalam rangka berjaga-jaga bila ia membutuhkannya suatu saat nanti. Sebab melihat kondisi sekarang yang tidak memungkinkannya untuk datang secara langsung di tempat layanan kesehatan.  Terjadi percakapan antara dirinya dengan seorang dokter di aplikasi tersebut. Ia menanyakan perihal kejadian yang baru saja terjadi. Selang beberapa menit berlalu, dokter menjelaskan penyebab perkara yang dialami Dina. 

Ya, Dina tengah mengalami kondisi yang bernama hipotensi ortostatik (HO). Kondisi yang terjadi, tekanan darah Dina terlalu rendah saat ia akan berdiri. Darah yang mengumpul di area perut dan kaki menyebabkan kadar darah untuk kembali ke jantung tidak tercukupi sehingga terjadi tekanan darah menurun. Bagaimana tidak, berjam-jam menghadap layar dengan posisi yang tidak berubah sama sekali, hanya jari yang berpindah-pindah dari satu tombol ke tombol yang lain. Dehidrasi juga menjadi pemicu terjadinya hal tersebut. Saat Dina merasa kehausan, sebenarnya itu sinyal dari tubuh yang tidak ia sadari. Di sisi lain, Dina sudah mengetahui penyebab dari rasa kembung dan mual yang dirasanya. Ia memang memiliki riwayat sakit maag genetik. Teringat ketika pagi tadi ia meminum segelas kopi. Minuman yang mengandung kafein termasuk dalam kategori yang memicu terjadinya cairan asam lambung naik ke atas kerongkongan (esofagus). Dina menyesal telah melupakan suatu hal penting pada dirinya sendiri.

Dina mulai menyadari kecerobohannya. Di saat bersamaan dengan kesadarannya itu, dering ponsel Dina nyaring terdengar. Melihat nama kontak yang tertera di layar ponselnya mampu menghangatkan hatinya. Adiknya Laras, menghubunginya. Diangkatnya telepon dari Laras. Terdengar nada khawatir dari ujung sambungan teleponnya. Laras mengaku merasakan kekhawatiran akan keadaaan Dina sekarang, entah mengapa muncul begitu saja. Dina yang mendengar pengakuan si adik merasa ingin menangis seketika. Ikatan batin persaudaraan tidak dapat disepelekan. Laras yang hanya terpaut umur satu tahun di bawah Dina juga tengah mengemban kewajiban sebagai mahasiswi. Laras memilih untuk berkuliah di luar kota dan mengekos di sana. Dina menetap di rumah yang ditinggalkan kedua orang tuanya setelah keduanya meninggal dunia. Dina merespon telepon Laras, ia mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Dina tidak ingin adiknya bertambah khawatir jika mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian, Laras menutup telepon setelah sebelumnya memberikan pesan dan doa terbaik untuk Dina.

Sekarang Dina memulai perbaikan pada pola kesehariannya. Mulai memperbaiki pola makan dan jam istirahatnya. Sarapan sudah rutin ia usahakan setiap akan mengawali pagi. Sesekali ia luangkan waktu untuk berolahraga, bukan olahraga berat memang, hanya pemanasan sebentar di pagi hari. Kegiatan itu cukup mengurangi datangnya rasa pusing ketika ia menghadap layar saat mengerjakan tugas kuliah. Ia memutuskan untuk tidak terlalu menempa diri sendiri terlalu keras untuk memenuhi kewajiban pendidikannya. Ia hanya takut akan tertinggal jika tidak menyelesaikannya dengan cepat. Dina sadar akan tanggung jawabnya sebagai kakak kepada Laras. Ia ingat pernah mendengar,”mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan”, sebuah hadis riwayat Imam Muslim. Orang yang kuat akan mampu berbuat lebih baik bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Dina harus kuat sebagai kakak agar bisa menjaga Laras. Hal terpenting yang sebenarnya adalah dirinya sendiri. Perhatikan dirimu sendiri lebih baik, baru akan bisa memperhatikan yang lain dengan baik pula.

Loading

CINTA DI BUMI PESANTREN

Karya: Zubaidah (Peserta Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)

 

Bismillahirrahmanirrahim… iżā waqa’atil-wāqi’ah laisa liwaq’atihā kāżibah 

 

Surat Al waqiah menghiasi pagi di pondok pesantren nurud-dhalam rutinitas santri sebelum berangkat ke madrasah seluruh santri sholat dzuha berjamaah, mengingat pahala dan keutamaannya yang besar tak henti-hentinya kiai menganjurkan agar dilaksanakan secara Istiqomah. 

Cahaya mentari semakin bersinar terang para santri berlalu-lalang membawa kitab dan buku dalam genggamannya menuju kelasnya masing-masing sedangkan Aisyah masih mencari-cari bukunya di dalam kamar 

“ya Allah… Kemana lagi aku harus mencarinya?” Raut wajahnya gelisah melihat teman-temannya yang sudah berangkat semua kecuali Linda dan Zulfa 

“ai masih belum ketemu Tah, tinggal 5 menit lagi kita masuk” ujar Zulfa, dan aisyah deru nafasnya semakin memburu 

“kalian duluan ya nanti aku nyusul” namun kedua temennya masih setia menunggu Aisyah menyuruh mereka untuk berangkat saja akhirnya keduanyapun manut saja.. setelah buku mapelnya ditemukan 

“Alhamdulillah” Aisyah segera bangkit dan melangkah cepat 

“Aisyah mau kemana?” spontan langkahnya terhenti saat Aisyah mendengar nyiai memanggilnya 

“ke madrasah nyiai” ujar Aisyah  tubuhnya membungkuk sebagai rasa hormat santri kepada nyiai 

“oh iya sepulang sekolah kamu ke dhalem ya” 

engghi nyiai”.

waktu berputar hingga menjelang siang Aisyah ke dhalem memenuhi panggilan nyiai beliau sedang duduk di ruang tamu “nak cucian punya Gus Husain nanti diambil ya di kamarnya, dia baru datang dari pondoknya” 

‘Deg… Jantung.. oh jantung… Apa yang membuatmu berdetak 2 kali lipat hanya mendengar namanya saja’ bisiknya dalam hati “engghi nyiai saya pamit ke pondok dulu” Aisyah mundur sebelum balik badan nyiai tak boleh melihat raut wajahnya yang seketika berubah mendengar nama putranya 

“tunggu… Buatkan kopi dulu ya nak di depan dhalem ada temen-temennya Husain, nanti biar aku saja yang ngasih” 

“baik nyiai”

Aisyah menuangkan air hangat ke dalam mug dan mengaduknya pelan, aromanya tercium saat dituangkan kedalam cangkir.

“Husain, kamu bilang 2 tahun lagi kamu akan boyong dari pesantren Lirboyo, dan melanjutkan studimu di Mesir, bolehkah aku menanyakan sesuatu?” tanpa sengaja ia mendengar nama Husain disebut, Sejenak ia terhenti dan mendengarkan secara seksama perbincangan mereka

 

“Tanyakan saja” Aisyah tersenyum mendengar suara Gus Husain membuat hatinya berdebar ada sesuatu yang tidak biasa terjadi dalam lubuk hatinya ia ingin mendengar suaranya sepanjang waktu  

“aku penasaran aja istri idamanmu seperti apa sih? siapa tau kita bisa jadi saudara ipar wkwk” 

“Maksudmu kamu menjodoh-jodohkan aku dengan adikmu yang masih MTS itu” 

“ya elah Husain, nggak harus memandang usia kan? Hahaha” 

“ada-ada saja kau mam, persoalan itu belum aku pikirkan sama sekali” 

“Ayolah jawab kita-kita ini sudah bertunangan aku, faisal, roni, masak kamu betah amat jadi jomblo” 

“Tentunya……” Husain menggantungkan ucapannya “seperti Sitti Aisyah” Aisyah tertawa kecil seolah-olah dirinyalah yang dimaksud Gus Husain “Sitti Aisyah istri Rosulullah” lanjut Gus Husain membuat Aisyah sadar sepenuhnya ia mengkhayal terlampau jauh  hingga lupa ia terlalu berharap sesuatu yang amat muhal baginya 

‘ya Allah hanya sesaat aku mengharapkan hambamu… Secepat itu pula runtuh seketika dan merawat harapan selain dari pada-Mu sakitnya benar-benar nyata’ ia bergumam dalam hati hanya ia dan tuhanlah yang tau, Aisyah menganggap dirinya tidak ada apa-apanya karakter Sitti Aisyah istri Rosulullah tidak sedikitpun ada pada dirinya, Aisyah membalikkan badannya nampan sedari tadi ditangannya hampir terjatuh akibat terkejut dengan keberadaan nyiai yang secara tiba-tiba berada di depannya

“biar saya yang ngasih kopinya ya” 

“iya nyiai” Aisyah menyerahkan kopinya yang mulai dingin sedingin hatinya yang mulai membeku. 

“Husain Husain sini nak, Aisyah kamu jangan kemana-mana dulu” Aisyah mengangguk “iya mi, bentar ya temen-temen” Gus Husain kini berada didepan umminya “Ada apa mi?” 

“Nak ambilkan semua bajumu yang kotor ummi pusing yang mau ke kamarmu berantakan sekali nak” 

“ummi malu ah ada santriwati di sini… Biasa mi Kan baru Datang masih belum diberesin” 

“cepetan gih kasian Aisyah biar ummi yang ngasih kopinya ke temen-temen kamu”.

 

Aisyah berusaha menetralkan detak jantungnya yang naik turun ia mengikuti Gus Husain dari belakang dan menunggu diluar kamarnya Gus Husain menarik koper besar lalu pergi tanpa sepatah kata 

‘sadar Syah, kamu itu santri … tugasmu belajar, jatuh hati urusan nanti’ ia menghela nafas lalu pergi ke pondoknya.

 

Beberapa baju sudah dimasukkan ke dalam bak untuk segera dicuci barang-barang berharga dikantong baju dan celananya disimpan ke dalam lemari untuk diserahkan ke nyiai setelah bajunya kering nanti. Aisyah juga menemukan note berukuran kecil berisikan kata-kata “Man shabara zhafira.” (Siapa yang bersabar akan beruntung). “Man jadda wajada!” (Siapa bersungguh-sungguh akan berhasil). “Man Saara Ala Darbi Washala” adalah Barang siapa berjalan pada jalannya, maka dia akan sampai (pada tujuannya). Ada stimulus yang Aisyah rasakan setelah membaca selembar tulisan itu meski tak disampaikan langsung oleh Gus Husain ia mengambil hikmah dan dicerna oleh pikiran dan perasaanya bahwa kunci perjuangan berpegang teguh pada 3 mantra itu dengan begitu Aisyah berharap ia mendapatkan barokah ilmu selama ia mondok meskipun sibuk di dhalem dan kesempatan belajar tidak sama dengan Santri lainnya Akan ia perjuangkan untuk terus menimba ilmu.

“Ketahuilah mempelajari ilmu itu wajib hukumnya, apa dalilnya utlubul Ilmi minal Mahdi ilallahdi ingat !.Hingga akhir hayat bukan berhenti ketika sudah berkeluarga atau masa tua” itu lah yang disampaikan oleh ustadzah di sekolah.

Masa aliyah tinggal menghitung Minggu, putih abu-abu serasa baru kemaren Aisyah mengenakannya ia merenung dan bertanya-tanya, apa yang bisa ia lakukan sekarang selain memikirkan masa depan langkah apa yang harus ia ambil setelah lulus nanti mengabdi di pondok atau kuliah sedangkan kuliah biayanya tidak sedikit, finansial sangat tidak mendukung jika memilih kuliah, maka dengan keikhlasan hati ia putuskan untuk mengabdi di pondok hingga menunggu waktu hingga tiba pulang ke kampung halamannya.

 

“Aisyah….” 

“Engghi nyiai…”

“Panggilkan Husain ya nak… Dia belum sarapan”

“Engghi nyiai” Aisyah langsung bergegas memenuhi perintahnya 

“Gus dipanggil nyiai..” beliau sedang mengobrol bersama Ridlo teman kelas Aisyah saat SD   dia seorang tahfidul Qur’an suatu kebanggaan dan teramat bahagiannya orang tuanya kelak mendapatkan mahkota di surga-Nya yang membuat Aisyah heran bagaimana  mereka bisa kenal bahkan seakrab itu 

“tenang lur aku tidak akan memanggil dia selagi masih ditempat ini…” Ridlo tertawa dan melihat Aisyah yang masih setia berdiri di depan pintu  

“Saya nyusul Syah… Sampaikan ke ummi”

“Baik Gus” hanya itu yang bisa Aisyah katakan.

Aisyah kembali ke dapur dan menyiapkan makanan ke atas meja

“Setelah sarapan kita ngaji” 

“iya bi”

“kamu kapan balik pondok nak?”

“setelah pernikahan Ridlo bi” nyaris Aisyah terkejut

‘Ridlo mau menikah dengan siapa, beruntung sekali perempuan tersebut dipinang oleh takhfidul qur’an?’ Aisyah bertanya-tanya dalam hati siapakah calon istrinya.

Aisyah duduk di dalam menunggu mereka hingga selesai sarapan 

“Ridlo siapa nak?, abi kok nggak kenal yang tadi di kamarmu ya?”

“dia sudah pulang bi kami teman pondok bi, tapi tidak sekamar”

Sesaat semuanya terdiam 

“abi….”

“iya nak….”

“bi sekalipun aku putra abi dan ummi, aku…. Aku Sama seperti lainnya, merasakan yang Namanya sakit hati, cinta, rindu dan bahagia terhadap sosok lain yang tak terikat hubungan mahram dengan kita, apakah abi dan ummi melarang? Aku tidak macam-macam kok bi hanya ingin mencurahkan apa yang terpendam”

“kenapa kamu bilang seperti itu nak?”

“aku… hanya….”

“kamu nggak segan cerita hal itu ke abi?”

“segan bi, sangat segan maaf bi”

“tidak apa-apa nak kamu sudah dewasa kamu yang lebih tau dan lebih mengerti diri kamu sendiri”

“tapi bi…. Ada yang mendahuluiku dan akupun baru tau bi”

“serahkan semuanya kepada pemilik semesta nak… segalanya diatur oleh Allah”

Aisyah termangu mendengar pernyataan dari gus Husain mungkin dia tidak sadar bahwa masih ada santri yang mendengar curahan hatinya. Aisyah turut kasihan kepada gus Husain tanpa tau siapa perempuan yang dia maksud.

 

Sore itu “Aisyah saatnya kamu pulang”

“kenapa pak? Kalau memang ada perlu ya sudah aku pamit dulu ke nyiai tapi keperluan apa?”

“kamu pamit bareng bapak nak, karna kamu tidak akan balik lagi ke pondok”

“kenapa begitu pak aku betah sekali di pesantren ini kenapa harus berhenti”

Tanpa sepatah kata untuk mewakili jawaban dari pertanyaan Aisyah, bapaknya menyerahkan surat undangan pernikahan, kedua nama mempelai membuat Aisyah tak mampu berkata-kata jantungnya berdetak hebat ia tak mampu bernafas dengan teratur setelah membaca undangan yang tertera nama dirinya Sitti Aisyah & Fathur Ridho Al-farizy yang duduk Bersama gus Husain kemaren.

“kenapa bapak tidak minta persetujuan dariku pak” air matanya tumpah membanjiri kedua pipinya

“dia laki-laki yang baik, kamu masih meragukan pria yang sholeh seperti dia? Maaf nak keputusan bapak dan ibumu itu yang terbaik untuk mu ke depan” Aisyah pun tak kuasa ia hanya bisa pasrah mungkin awal yang ia rasakan saat ini teramat pahit baginya ia hanya bisa berharap esok suasana akan berdamai dengan hatinya sekalipun rasa masih tertuju pada dia gus Husain.

Pelukan berhamburan dari berbagai arah baju-baju di lemari bantu dikemas oleh teman-teman pondoknya ucapan selamat membuat Aisyah masih tidak percaya dengan apa yang dialami saat ini Aisyah dan bapaknya pamit saat sekeluarga berkumpul, nyiai turut merasa kehilangan 

“siapa lagi yang ummi suruh untuk cuci bajumu nak kalau Aisyah sudah boyong” nyiai menatap putranya 

“ummi kayak punya santri satu saja” gus Husain tersenyum tanpa sengaja pandangan mereka bertemu 

‘Ya Allah tidak ada kekuatan dan daya upaya selain dari-Mu aku ikhlas dan pasrah jika Aisyah cinta pertamaku bertemu dengan jodohnya yang telah engkau pilih semoga mereka bahagia dunia akhirat’ harapan dan do’a dari gus Husain penuh dengan keiklasan ia mampu menyembunyikan rasa cintanya dari keluarganya bahkan yang dicintainya kecuali kepada tuhannya

 

Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan 

Dalam hidup dan yang paling pahit 

Adalah berharap pada manusia 

~Ali bin Abi Tholib~

 

Loading

DUNIA CERITA

Karya: Ahmad Agil Tsabata (CSSMoRA UIN Walisongo 2021)

 

Haruskah aku kembali,

memasuki dunia yang awalnya hanya milikku?

Aku dilahirkan oleh seorang pengarang yang masa keemasannya sudah berlalu, tertinggal dalam masa dan tempat yang ia sendiri tidak tahu. Seperti roda yang berjalan terus dan bekasnya suatu saat bisa terhapus oleh hujan dan angin, begitu jugalah nama ayah akhirnya hilang dari dunia kepengarangan, terhapus oleh perjalanan waktu. Masa lalu mengisahkan bagaimana ia menjadi guru bagi pengarang yang lahir sesudahnya. Gaungnya terdengar ke segalapenjuru, membuat bibir pendengarnya berdecak dan mengeluarkan puji sanjungan. Dialah ayahku, lebih tepatnya ayah penaku, yang melahirkan aku.

Kisahku dahulu kala  dimulai ketika ayah pindah ke tempat tinggal yang baru. Kesulitan-kesulitan datang terus menerus seperti hujan mengguyur tanah gersang, menjadikannya lumpur yang tidak semua orang bisa menginjaknya. Harta kekayaan yang dimiliki sudah habis untuk mengobati puteri satu-satunya, Ara, yang terkena penyakit lupus. Ara yang dulunya sehat mulai kurus kering, rambut yang menjadi mahkotanya satupersatu runtuh bagai daun kering jatuh dari tangkainya.Kegiatan mengarang yang tekun dilakoni ayah perlahan-lahan berkurang karena lebih sering menemani Ara di rumah sakit. Uang yang diperoleh dari hasil mengarang juga mulai habis. Vonis dokter tentang usia Ara membuat ayah tidak berfikir lain kecuali tentang kesembuhan. Buat apa jadi pengarang besar kalau tidak ada anak yang ikut merasakan? Dengan mengharap kesembuhan, ayah mengubah benda-benda dalam rumahnya menjadi uang. Kursi, lemari, meja, hingga pisau dapurpun ayah jual. Rumah tempat menyimpan banyak kenangan, yang dibangun oleh jerih payah pikiran dan ribuan goresan pena, akhirnya dijual juga.

Biaya yang mahal untuk membayar kematian Ara, puteri yang dicintainya.

Ayah meninggalkan rumah tepat dua jam setelah pemakaman Ara.Dia tidak ingin terlalu lama mengenang masa-masa ketika Aramasih hidup. Ayah meninggalkan kota yang telah membesarkan namanya sekaligus menghancurkan hidupnya. Bersama dengan istrinya, ayah sekarang tinggal di pinggiran kota P. Ada tempat sewa kost yang tidak terlalu menguras biaya. Ayah menyewa tempat ini dengan sisa uang penjualan rumah. Dan disinilah aku dilahirkan, dalam kamar kost berukuran tiga kali empat meter, lewat buah pikiran yang menetes berjalan ke ujung pena dan tergores di atas kertas, dalam buku bersampul merah.

___________ *** ___________

Dimanapun seorang pengarang tinggal, kehidupannya tidak akan jauh dari kertas dan pena, dari cerita dan legenda. Begitu pula dengan ayah. Kematian Ara tidak membuat ayah berhenti mengarang dan menggantung pena. Siang hari ayah kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan istrinya, malam hari ayah menulis cerita. Mengarang, bagi ayah, adalah anggur yang sekali diminum akan membuat peminumnya ingin minum lagi. Mengarang memberikan ketenangan tersendiri yang hanya ayah dapat merasakannya tanpa orang lain dapat mengerti. Membuat ayah lebih hidup, membuat lupa akan sekelilingnya seperdelapan detik setelah mulai menggoreskan pena.

Aku, oleh ayah, digambarkan sebagai pemuda yang permukaannya terlihat teguh namun lemah dan keropos didalam. Dalam buku kecil ini aku hanya hidup seorang diri tanpa ada satupun orang dapat aku ajak bicara, bahkan untuk sekedar melihat aku, tak adaseorangpun. Aku dilahirkan bukan untuk menikmati hidup, melainkan untuk dinikmati oleh sekian banyak mata pembaca. Rumah yang aku tempati dalam dunia ini cukup luas, dengan hamparan rumput hijau sebagai halamannya. Pohon karet berjejer disebelah kanan rumah seperti deretan anak sekolah dasar saat mengikuti upacara bendera. Tidak ada burung yang berkicau saat aku bangun dari ranjang tempat tidur, juga tidak ada satupun serangga mengganggu, karena memang akulah satu-satunya hewan bergerak yang hidup di dunia ini, dunia cerita.

Ayahku, si pengarang itu, hendak menggambarkan keadaan hidupnya melalui aku. Kehidupan ayah yang hancur dikisahkan dalam cerita ini dengan aku sebagai tokoh utamanya. Sebuah kehidupan sunyi yang harus aku jalani tanpa sedikitpun aku bisa mengelak. Bahkan untuk diratapi, kehidupan ini sungguh sangat tidak layak. Apa yang dapat dilakukan oleh aku yang seperti ini, aku hanya sebuah goresan pena yang tindak-tanduknya diatur oleh si pengarang, oleh ayahku.

Sebulan lebih telah berlalu. Ayah yang kian hari kian bosan dengan hidupnya sendiri mulai menyudahi ceritaku. Di akhir cerita yang ditulis ayah, tetap aku hidup sendiri. Disodorkannya cerita ini pada ibu -istri ayah- yang kebetulan malam itu sedang duduk di tepi ranjang. Butuh dua hari bagi ibu untuk menuntaskan ceritaku. Cerita yang cukup panjang dan sangat tidak menyenangkan.

“Ceritamu ini, mas, apa tidak terlalu sunyi?” Samar-samar aku dengar perkataan ibu. Ayah mengatakan bahwa ceritaku adalah gambaran dari hidup yang dia rasakan. Kebahagiaannya terkikis sejak ditinggalkan Ara.

“Biarlah pemuda dalam cerita itu yang mewakili. Dengan melihat dia orang akan tahu bagaimana keadaanku.” Lanjut ayah. Aku sepenuhnya mengerti mengapa ayah perbuat ini. Ayah sudah tidak bisa kembali pada kehidupannya yang lalu, saat kebahagiaan mengalir deras menerpa dirinya.

Ayah kemudian menyerahkan duniaku pada ibu untuk dijaga dan dirawat. Bagai mendapat oasis ditengah gurun pasir, aku dirawat dengan penuh cinta kasih seperti merawat anak yang lahir dari rahim sendiri. Ruang dalam hati ibu yang sebelumnya ditempati Ara, kini aku tempati. Dari tangan ibulah aku mulai merasakan kebahagiaan. Tangan ibu dengan lincah memberikan warna dalam duniaku, dan terasa lebih berwarna dengan hadirnya seorang perempuan yang lahir dari buah pikiran ibu.

Pertemuanku dengan perempuan ini bermula ketika pada suatu siang dia datang berkunjung kerumah. Parasnya yang cantik mampu menahan arah pandangan mata, seolah aku tidak lagi dapat memfungsikannya dengan baik.Gaun coklat yang dia kenakan terlihat  cocok dengan warna kulitnya. Ah, sepertinya dia cocok dengan warna apa saja.Sempurna, kesan pertama yang terbersit dalam hati saat aku melihatnya. Matanya sebening embun, dan kebeningannya dijaga oleh bulu mata yang lentik dan tebal, melindunginya dari debu dan angin. Bukan berlebihan ungkapanku tentang dia, memang begitulah perawakannya. Permunculannya menampakkan bahwa dia adalah perempuan yang teguh dan kokoh, tapi sinar matanya berisyarat lain. Dari matanya aku pahami bahwa dia sedang mencari sesuatu yang aku tak mengerti. Matanya lebih banyak berkata daripada bibirnya. Dan tentang bentuk fisiknya yang lain tak perlu aku ceritakan panjang lebar disini. Agak sulit untuk mengatakannya. Kosa kata yang aku ketahui tidak cukup mewakili.Disinilah kemudian dia tinggal, di rumahku, dalam duniaku. Hanya berdua, seperti Adam dan Hawa pada awal permunculannya.

Belum ada akhir untuk hidup yang aku jalani karena ibu tidak sempat menuliskannya. Ibu lebih dulu meninggalkan aku dan ayah, kembali pada pencipta yang sebenarnya.

Dalam duniaku masih ada beberapa lembar kosong yang belum sempat diisi ibu, sementara ayah tidak juga menuliskan akhir untuk ceritaku karena hidupnya sudah sama sekali kosong. Kini ayah hanya tinggal sendiri. Anak dan istrinya sudah lebih dulu pergi menjalani kehidupan baru, sembari menanti untuk berkumpil kembali. Penantian yang akan terasa sangat lama mengingat usia kehidupan yang masih muda.

Ayah memilih untuk tidak menerbitkan ceritaku dan menyerahkan aku pada kenalannya sesama pengarang sambil menitip pesan, “Bacalah cerita ini, dan tuliskan untukku akhir cerita pada halaman-halaman kosong dibelakang. Jika kau tidak mau menuliskannya, berikan saja pada pengarang lain yang kau kenal dan sampaikan juga pesanku ini padanya.”

Begitulah aku berpindah dari satu tangan pengarang ke tangan pengarang yang lain. Entah sudah berapa tangan memegang duniaku, dan berapa pasang mata telah mengetahui kisahku. Dari tangan-tangan mereka aku peroleh sedikit demi sedikit kebahagiaan lain yang aku rasakan berbeda dari kebahagiaan yang didapat dari tangan ibu. Sekalipun berbeda, tetap itu aku rasakan sebagai karunia yang patut aku syukuri.

Tetap aku hanya tinggal berdua dengan si mata bening sekalipin beberapa tangan telah menambahkan warnabaru untukku. Hingga pada suatu ruang dan waktu yang tidak ku ketahui, aku berada di tangan pengarang yang sentuhan jarinya teramat kasar. Dia menambahkan satu tokoh dalam duniaku. Seorang pemuda yang perawakannya lebih tegap tiba-tiba hadir ditengah-tengah kami. Dari pengarang itu kemudian aku mengenal warna baru, hitam pekat. Warna itu lebih mendominasi duniaku. Warna yang sedikit demi sedikit mengikis kebahagiaan yang aku rasakan. Banyak halaman kosong dihabiskan oleh si pengarang untuk menceritakan orang baru ini. Orang yang tak pernah sekalipun aku undang dan datangnya tidak pernah aku harapkan.

Sebelum ceritaku benar benar berakhir dan sebelum halaman terakhir diisi dengan cerita yang mungkin tidak aku senangi, melalui sebuah celah kecil aku keluar dari dunia yang awalnya hanya aku seorang didalamnya. Dengan bekal seadanya dan dengan hati yang sudah tanpa isi, aku keluar menuju dunia yang benar-benar nyata, meninggalkan si mata bening dan orang baru itu. Dunia baru ini berbeda dengan dunia yang aku tempati sebelumnya. Banyak benda dan makhluk baru yang tidak pernah aku kenal. Pernah suatu ketika aku tidur di pinggir jalan dan tiba-tiba seonggok makhluk kecil bersayap mengganggu tidurku. Tanpa sedikitpun belas kasih, dengan perasaan terhina karena disakiti, makhluk kecil itupun aku lenyapkan. Belakangan aku ketahui kalau makhluk kecil itu disebut nyamuk dan memang biasa mengganggu orang tidur. Ah, dunia ini memang aneh. Tapi itu bukan masalah untukku, karena tujuanku disini hanya satu: melenyapkan ayah orang baru yang menyusup ke duniaku sebelum dia sempat menulis cerita di lembar terakhir.

Setelah beberapa hari mencari, dia -ayah orang baru itu- aku dapati sedang duduk di pinggiran taman kota. Pandangannya tertuju pada pohon palm yang berderet didepannya. Nampaknya dia tidak menyadari sedang aku amati. Dengan langkah pelan aku mendekatinya dari belakang. Dia tetap pada duduknya. Berbekal belati yang aku bawa dari duniaku sebelumnya, aku tusuk punggungnya dari belakang. Dada dan leher juga aku tusuk. Tiga tusukan yang membuat dia merengang nyawa seketika. Aku mendengar suara mengorok saat lehernya aku tusuk, darah muncrat dari tenggorokan dan membasahi tanganku. Baju yang aku pakai juga tak luput dari percikan darahnya. Tangan yang telah melahirkan orang baru itu kemudian aku potong dan aku lemparkan ke tengah jalan, tergilas oleh benda beroda delapan -aku tidak tahu namanya- yang kebetulan lewat. Hancur. Remuk.

Sekarang buku bersampul merah, yang sebelumnya adalah dunia tempat aku tinggal, telah berada ditanganku. Aku buka halaman terakhir, sudah terisi setengah. Aku tidak membaca tulisan diatasnya karena memang aku tidak suka. Ku lihat percikan darah juga mengenai halaman terakhir. Sekarang, apa yang harus aku tulis?

Loading

MANTINI

Karya: Eko Setyawan (Juara 3 Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)

 

Jika saja takdir dapat diubah, maka tentu saja kau berharap untuk tak terlahir cantik, Mantini. Kecantikan bagimu hanya akan mendatangkan bencana. Dari wajah yang segar itu, terpancar cahaya kematian. Kematian entah untuk apa dan tentu hal itu tak pernah kau inginkan. Kematian yang begitu menyeramkan dan seluruhnya bermuara padamu. Muara dari segala sungai yang mengalir.

Sungai itu tak henti-hentinya mengalirkan air matamu, Mantini. Sungai yang jernih dengan riak kecil disertai suara air yang lembut. Bukan hanya air mata semata, sungai itu juga dialiri darah yang didaras dari kecantikanmu. Keduanya berbaur dan bercampur. Air mata dan darah begitu amis kau hidu. Suaramu terdengar sendu dan menyayat. Kidung Aja Geger kau tembangkan dengan harapan tiada lagi darah yang mengucur.

Kidung itu mengalun menyelimuti Alas Bangsri yang penuh dengan rimbun pohon. Kedamaian hidup terhampar. Namun di sana pula aroma kebencian dan kematian terus saja menguar. Kebencian itu begitu nyata, Mantini. Bersumber padamu. Semula seluruhnya biasa saja. Saban pagi, burung-burung masih meninggalkan sarangnya yang hangat. Kicauan yang saling bersahutan itu menandakan bahwa hutan itu masih asri. Matahari yang baru saja menampakkan dirinya juga mengiringi suara-suara itu.

Bunga-bunga berlomba untuk mekar. Embun membasahi seluruh lapisan daun, bunga, maupun rerumputan. Pagi yang begitu menyenangkan. Sebuah pagi dibalut dengan hawa dingin menyelimuti tubuhmu. Seolah memelukmu erat dan sesekali membuatmu bergidik. Udara dingin dan alam yang menyambut kebangkitanmu dari tapa atau barangkali tidurmu yang panjang. Kau terlahir dari rahim entah siapa, tapi orang-orang mengatakan bahwa kau adalah jelmaan Uma. Kau telah lahir, Mantini.

Tapi tak lama kemudian kau menyadari bahwa tak jauh dari tempatmu, amis darah tak henti-hentinya menusuk hidung. Darah dari dua jejaka yang mati karena saling mengalahkan. Dua jejaka yang saling beradu kuat untuk mendapatkanmu. Dan tentu kau tahu, mereka hanya berakhir dengan mengenaskan. Mereka mati tanpa memperoleh apa-apa.

Peristiwa yang selalu berulang di setiap paginya itu membuatmu tak nyaman. Dua orang mati dan nyawa mereka melayang sia-sia. Selalu saja ada mayat-mayat baru karenamu. Berduel demi menyuntingmu. Kau menyadari bahwa kecantikanmulah kematian-kematian itu berasal. Kau menyadari sepenuhnya karena warga berkasak-kusuk akan hal itu. Tapi siapa berani menganggu jelmaan Uma?

Warga menyematkan julukan itu padamu, Mantini. Dan sialnya, mereka semua mempercayai sepenuhnya. Seorang bayi mungil yang ditemukan di tepi Kali Bacin oleh Nyai Sumi tak lain adalah titisan Uma. Kepercayaan mereka atas apa yang dilakukan bermula ketika kali yang semua beraroma busuk karena saban hari digunakan untuk mandi para kerbau itu tiba-tiba menguarkan aroma wangi. Sihir mana yang bisa melakukan hal itu dalam sekejap jika bukan berasal dari jelmaan Uma, sang permaisuri Siwa?

Wajahmu saat itu memancarkan aura kebahagiaan. Kau juga sumber kebahagian Nyai Sumi. Ia janda yang hidup seorang diri dan tak punya anak seperti tertimpa rezeki dari langit. Bermula dari menemukanmu, sejak saat itulah simpul senyum di bibirnya tak pernah berubah. Saban hari, kebahagiaan selalu menyelimutinya. Kau hidup di tengah kebahagiaan dan kebahagiaan itu bersumber padamu.

Kau dibesarkan dengan cinta yang menyelimutimu. Cinta yang besar dari seorang perempuan yang berhati besar. Hari berganti hari dengan kebahagian yang terus menyusul. Tak ada yang dapat memadamkan cinta Nyai Sumi padamu. Kau dibesarkan dengan senyuman.

“Ini Mantini, anakku,” kata Nyai Sumi pada warga ketika warga berebut untuk menggendongmu. “Dewi Uma yang mengantarkannya untukku. Untuk menemani kesepianku,” lanjutnya dengan senyum bahagia.

Kerumunan warga mengangguk menyetujuinya. Di gendongan Nyai Sumi, wajahmu memancarkan cahaya. Warga pun turut bahagia memandangmu. Wajah yang kelak akan menyihir siapa pun yang melihatnya. Warga juga silih berganti berebut untuk dapat mengendongmu. Bukankah saat itu kau bisa merasakan detak jantung mereka, Mantini? Detak jantung yang begitu cepat dan berakhir dengan kebahagiaan. Bahagia karena dapat memelukmu dengan selembut-lembutnya.

Kecantikanmu tumbuh seiring kau beranjak dewasa. Kau sekarang jadi perawan seperti bunga yang mekar. Mekar begitu sempurna. Sebenarnya bersumber dari manakah kecantikanmu, Mantini?

“Kau begitu cantik, Nduk.” Nyai Sumi tak henti-hentinya memujimu. Pujian itu terlontar ketika saban sore ia menyisir rambutmu. Menyisir dengan hati-hati agar tak satu pun rambut lepas. Setelah itu ia mengelus rambutmu dengan begitu lembut.

Tapi siapa menyangka bahwa kecantikanmu adalah sumber utama dari kematian para jejaka yang saling beradu untuk memperebutkanmu. Di suatu pagi, ditemukan dua jejaka mati bersimbah darah. Mereka terkapar di jalan yang membelah Alas Bangsri di mana jalan itu adalah jalan menuju rumah Nyai Sumi. Diketahui bahwa mereka bertaruh dan bertarung agar dapat menyuntingmu. Meskipun belum tentu diterima, paling tidak mereka menyingkirkan saingannya terlebih dulu. Begitu pikir mereka sebelumnya. Itulah yang disampaikan orang tua mereka di hadapan Nyai Sumi. Sementara kau memilih untuk mendengarkannya dari balik pintu kamar.kau mendengar dengan jelas percakapan antara Nyai Sumi dengan mereka yang datang.

“Anakku berangkat untuk menyunting Mantini, Nyai,” kata salah satu orang tua jejaka yang mati.

“Anakku juga berkata begitu padaku, Nyai,” kata orang tua jejaka lain yang juga sama-sama mati.

 “Maafkan aku,” Nyai Sumi menghantarkan permintaan maaf. Raut wajahnya yang sebelumnya tenang begitu tampak cemas dan pasrah.

Suara pun berdengung. Warga tidak berani menyalahkan Nyai Sumi maupun Mantini. Siapa yang berani menyalahkan jelmaan Uma. Salah-salah malah mereka yang kena laknat. Orang tua kedua pemuda itu juga menyadari bahwa kematian itu memang kecerobohan anak-anak mereka. Tapi di sisi lain Nyai Sumi juga menyesali peristiwa yang telah terjadi. Ia meminta maaf dengan tulus.

Di pagi-pagi berikutnya, nyawa demi nyawa terus melayang. Di jalan yang membelah Alas Bangsri menuju rumah Nyai Sumi selalu saja terkapar dua pemuda. Ada yang mati ada yang sekarat dan berujung juga pada mati. Dua jejaka yang saling adu kuat dengan tujuan mengalahkan pesaing mereka untuk menyuntingmu, Mantini. Mereka memperebutkanmu.

Memang begitulah cara jejaka berpikir. Mereka tidak bisa berpikir panjang jika memperebutkan wanita cantik. Mereka akan berbuat semaunya meski harus menanggung risiko. Mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang memperebutkan jelmaan Uma. Mereka tidak berpikir atas hal itu. Tentu saja warga menyalahkan jejaka-jejaka itu. Betapa bodohnya mereka.

Nahasnya, di hari ketujuh di mana kematian demi kematian itu terus terjadi, Nyai Sumi juga turut meyusul empat belas jejaka yang telah mati. Kau menemukan Nyai Sumi tak lagi bernapas. Ia seperti menanggung beban atas kematiaan para jejaka yang memperebutkan dirimu, Mantini. Kau sangat terpukul, bukan?

Begitulah kebahagian dan kematian bekerja. Mereka saling bersisian dan bekerja bergantian. Tidak saling mendahului tapi memang benar-benar beriringan. Hanya saja mereka bekerja menunggu giliran mereka. Hanya saja kita semua tidak tahu kapan hal itu terjadi. Bukan juga kita yang menentukan.

Tumpahkah seluruh air matamu, Mantini. Seluruhnya bermuara padamu. Kebahagiaan yang berasal darimu juga akan diakhiri dengan kematian yang juga sama-sama berasal dari dirimu. Kecantikan itu begitu mengerikan. Jika saja kau lahir kembali, tentu kau ingin lahir demikian. Kau tak ingin menanggung beban seperti sekarang. Mengapa kau tak berkata apa-apa selain menembangkan Kidung Aja Geger, Mantini?

Loading

MENGIDAM

Karya: Cinta Maulida Azbi (Juara 2 Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)

 

Ibu hamil kalau mengidam, sukanya makan mangga muda, rujak, keripik ubi, rambutan, kadang-kadang bakso Pak Kumis. Namun, istriku lain cerita. Bila mencuci baju, dia mengidam makan deterjen. Bila nampak asbak rokok, dia mengidam makan abu rokok. Bila berkebun, dia mengidam makan tanah. Kata orang, istriku sudah kena kutuk. Itu karena dia memilih putus cinta dengan Imam, mantan pacarnya dan memutuskan kawin denganku gara-gara aku yang melamar lebih dulu ke orangtuanya. Namun, ada pula yang menduga, istriku sudah kena guna-guna yang dikirim si Imam karena masih patah hati dan tak terima pernikahan kami bahagia. 

Aku stres ampun-ampunan. Memikirkan cemana istriku bisa sembuh lagi. Penyakitnya apa aku tak tahu. Entah mau berobat kemana. Kalau berobat ke dukun, kata alim ulama nanti syirik, dosa besar, tak diampuni Tuhan, masuk neraka. Berobat ke Pak Mantri, beliau pun hanya geleng-geleng kepala, tak tahu jenis penyakit apa yang diderita istriku ini. Kalau kata orang-orang alim, baiknya istriku dirukiah saja, tetapi istriku tak siap menjalaninya.

Walaupun aku tak suka percaya pada hal-hal mistis, seperti guna-guna. Namun, karena cinta dan sayang pada istriku yang cantik, aku memilih jalan terakhir dengan percaya bahwa itu guna-guna dari Imam, mantan pacarnya. Aku berniat untuk meminta ampun pada Imam agar dia mencabut guna-guna itu. Namun, begitu datang ke rumahnya, rupanya rumah itu kosong. Kata tetangga-tetangganya, Imam sudah lama pindah.

Berminggu-minggu aku mencari tahu ke mana si Imam itu pindah. Bertanya dari mulut ke mulut. Hingga dapatlah informasi alamat barunya dari mamak si Imam. Untung saja, mamaknya mau berbaik hati mau memberikan alamat itu, karena kubilang aku sahabat lamanya. Setelah itu, langsung aku bongkar celengan, mengambil duit untuk memesan tiket kereta api ke Binjai, tempat si Imam bertapak sekarang.

Sempat salah alamat, tanya sana-sini, setelah lima jam baru aku dapat rumah si Imam. Saat mau masuk ke rumahnya, aku disambut oleh seorang wanita berbadan gemuk memakai jilbab biru, kupikir salah alamat lagi, tetapi saat kubilang, “Mau ketemu sama Pak Imam.” Dia mempersilakanku masuk dan menyuruhku menunggu karena katanya Imam masih bekerja, sebentar lagi mau pulang.

Begitu kulihat Imam pulang dan masuk ke rumahnya, barulah aku bersujud meminta ampun di depannya. Memohon-mohon meminta belas kasihan. Imam pun terheran-heran karena ada pria rambut kusut, bau keringat, penampilan acak-acakan macam gembel tiba-tiba datang entah dari mana memohon-mohon minta ampun hingga terucap kalimat dari bibirnya, “Kau ini kenapa?”

Akhirnya aku menjelaskan semuanya, kronologi-kronologi hingga istriku bisa mengidam yang aneh-aneh. Di akhir kalimat kuucapkan, “Tolonglah kau cabut guna-guna itu.”

  Imam tertawa terbahak-bahak mendengarnya sampai air ludahnya muncrat-muncrat ke wajahku. Kemudian di sela tawanya dia berkata, “Kau ini lucu. Lucu kau ni.”

Kini aku pula yang terheran-heran, orang kena musibah, istri kena penyakit aneh kenapa pula ditertawakan. Kupikir dia ini macam orang-orang jahat di film-film kartun yang suka ditonton kemanakan-kemanakanku. Tertawa jahat karena tahu korbannya memang benar-benar menderita.

“Begini, biar kujelaskan dulu. Kau salah paham. Aku tidak diputuskan oleh istrimu, tetapi aku yang memutuskannya. Jadi, untuk apa aku patah hati dan memasang guna-guna untuknya. Aku pun tak pernah memasangkan guna-guna ke orang. Haram. Dosa besar,” kata Imam sambil menyeruput kopi hangat yang baru saja diantarkan oleh wanita jilbab biru berbadan gemuk tadi.

-***-

Di tempat lain, malam dengan angin yang terasa sejuk. Tanah masih lembab dan setengahnya terkena genangan air. Daun-daun dari pohon mangga menampung butiran-butiran air. Kodok-kodok Bangkong bersuara kung kong kung kong masih tak puas dengan hujan yang turun sore tadi, berdoa hujan hendaknya datang lagi.

Seorang wanita memakai gaun pendek sambil mengatup jaketnya dengan erat pada tubuh yang perutnya mulai membuncit berdiri tak jauh dari pohon mangga. Tempat itu sepi dan cahaya hanya remang-remang yang didapat dari satu lampu jalan yang masih menyala. Tak lama kemudian, seorang pria datang dari kejauhan. Berlari untuk sampai ke tempat wanita itu berdiri.

“Maaf aku baru bisa datang sekarang. Kudengar kamu kurang sehat, ya?” ucap si pria tersebut kemudian si wanita membalasnya dengan anggukan lalu menyampaikan semua keluh kesahnya.

“Orang-orang bilang aku aneh, penyakitan, dan kena kutuk, karena suka ngidam yang aneh-aneh.”

“Tenang sayang, kamu jangan terlalu stres ya, orang-orang itu salah. Kamu gak kena kutuk atau semacamnya, kamu cuma kena gangguan pica*. Kamu ikut anjuranku ya, sayang.”

Wanita itu hanya mengangguk kemudian sang pria memeluk tubuh wanita tersbut.

“Sabar ya, Sayang. Setelah sumpah dokter, aku bakal menikahi kamu dan membawamu pergi dari suamimu itu.”

Gak apa-apa, Sayang. Aku akan menunggu.”  

-***-

*Gangguan Pica : Jenis gangguan kesehatan makanan berupa keinginan dan nafsu makan terhadap bukan makanan atau makanan yang tidak bergizi. Dapat terjadi pada anak-anak dan ibu hamil.

 

Tanjungbalai, 29 April 2021

Loading

HIDANGAN TERBAIK UNTUK PRESIDEN

Karya: Iqbal Hasyim (Juara 1 Lomba Cerpen dalam rang Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)

 

Gelombang suara yang dilahirkan pintu menjalar memenuhi ruangan. Cicak dan lalat juga dimasuki, dirasuki. Suara tak kenal bentuk, tak kenal siapa yang akan dihadapi. Bahkan Tuhan di arasy pun ia rasuki. Termasuk dan terutama nenek paruh baya yang satu giginya, terlipat-lipat kulitnya, sedang rambutnya yang mungkin rambut tersebut selamanya akan bermusim salju, dan sedang duduk di kursi yang sedang bergoyang, juga mendengarnya.

“Masuk,” lirih namun bahagia nenek itu berkata.

Ternyata di balik pintu itu tertera anak sang nenek yang membawa kedua anaknya: Satu bocah laki-laki dan dua anak perempuan yang nampak lebih muda dari si lelaki. Mereka berempat tampak bahagia.

“Terima kasih sekali bu, sudah mau bermain dengan anakku setiap bulan. Kami juga minta maaf bu tidak bisa menemani.”

Nenek itu memotong, “ndak kok nak, ini kemauanku sendiri. Mereka senang setiap bulan berlibur ke rumah ibu. Begitu pun ibu, nak, kesepian di sini. Apalagi mereka itu penerus bangsa, harus sering-sering bermain dengan orang luhur seperti ibumu ini. Apalagi ibumu sudah hampir mati”

“Wusss, jangan bilang begitu bu!”

Nenek itu tertawa lemah, namun berenergi.

Tak lama kemudian, setelah lama bercakap-cakap. Si ibu dari ketiga anak itu, melepaskan dengan lembut tangan ibunya yang sudah lunglai. Setelah salam dikatakan dan anak-anaknya dilepaskan, pecah canda-tawa nenek dan anak-anaknya dalam ruangan yang begitu sederhana itu. 

Anak tertua yang sedang tumbuh rasa ingin tahunya mendekati sang nenek. Kedua adik perempuannya menjauh, mencari beberapa mainan untuk dipreteli, mereka begitu bahagia. Kebebasan dan kesenangan dua anak berumur lima tahun sedang bersemi. 

“Kedua mata nenek kemana?” tanya si anak laki-laki yang sudah berada di bawah kaki sang nenek dengan lugunya.

Sang nenek lagi-lagi tersenyum tentram, “kamu sekarang umur berapa?”

Sambil menghitung jari di kedua tangan mungilnya, “… enam, tujuh. Tujuh tahun nek”

“Sudah waktunya, sini mendekat”

Anak itu naik ke haribaan sang nenek.

“Waktu aku sepantaranmu, mungkin empat tahun lebih atas…” Cicak dan lalat-lalat ikut terdiam, seakan tertarik mendengarkan.

***

“AKU TAK SEDANG BERDUSTA,” sejurus teriakannya itu, orang-orang yang lewat di warung besar itu tertarik melihat ke dalam. Warung itu semakin ramai. Biasanya penuh kesunyian, kini riuh karena kisah pria berkumis tebal yang berkoar-koar. Orang yang masuk mendengarkan kisahnya di warung itu tak enak sendiri jika tak memesan atau membeli sesuatu. Jadilah kerupuk, air panas untuk kopi, dan minyak untuk menggoreng gorengan, tandas dirangkul orang-orang yang kian lama-kian membanyak.

Aku hanya mendengarkan dengan getir perkataan pria berkumis tebal itu dalam diam di samping ayahku. Sepertinya, aku seakan tak ada di mata mereka.

“Waktu itu aku sedang di WC umum dekat bengkel pak Romlah. Beberapa menit berlalu, tepat setelah aku menyiram berakku dan membuka pintu. Aku berteriak histeris, sehisteris mungkin. Temanku sudah kehilangan kedua matanya. Apakah kau percaya? Kedua matanya?” pria itu serius menekan suara ketika mengucapkan kata mata, “Aku lihat dari kejauhan, seorang berambut panjang, bertopi fedora, terlihat jelas menggenggam kedua mata temanku. Berjalan santai. Aku tak kuasa mengejar. Tubuhku mantap gemetar”

“Bagaimana ekspresi temanmu itu?”

“Dia baik saja. Ditanya, tidak apa”

“Sekarang dia di mana?”

“Kembali ke Sumatera”

Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya dijawab dengan cepat. Memang tak tampak sisi dusta dari orang itu. Ditambah wajah takutnya di WC umum kala itu seakan masih lekat di wajahnya.

“SUDAH JELAS PAKAI HIPNOTIS,” kumis pria itu ikut bergetar.

Beberapa hari kemudian cerita itu makin kuat. Setelah di koran digital, koran lembaran, hingga koran berbicara di kotak besar yang disebut TV, mengabarkan tentang berita yang serupa, namun hanya korban-korbannya yang berbeda.

Kami makin takut. Anak-anak yang biasa di luar rumah, dikunci di dalam rumah. Yang di dalam rumah, makin tak berkutik di bawah kasurnya. Tapi tak semua. Aku salah satunya. Malah diajak keluar rumah oleh ayahku. Ke Surabaya, hanya untuk melihat sebuah penampilan teater Eska.

Aku adalah anak “rumah”, karena kekhawatiran ibuku yang begitu tebal. Ayahku malah sebaliknya, memberi kebebasan. Semenjak ibu wafat, tepatnya sehari yang lalu. Aku mungkin akan sering keluar rumah, bahkan mungkin sering ke luar kota. Seperti yang aku rasakan sekarang. Di balik isu si bajak mata, ayahku malah nekat mengajakku bermain ke luar kota. Andaikan ibuku masih duduk menjahit di rumah, habis kami berdua kena marah.   

Sekarang di ambang pintu bus aku menarik napas. Terkagum-kagum melihat bentuk mesin yang teramat besar sedang berada beberapa senti di depan bola mataku. Ayahku sudah naik ke bus beberapa belas detik yang lalu. Dan pada sekian belas detik kemudian, ayahku berteriak, mencariku. Dia kira aku sudah duduk manis di sampingnya. Aku tertegun dan cepat beranjak masuk. Kami berdua tertawa di dalam bus. Ayahku berkata bahwa masih banyak mesin-mesin besar lainnya selain mesin jahit yang ibu gunakan dan mesin yang aku naiki sekarang.

Perjalanan yang panjang. Aku tertidur tidak pulas sama sekali. Di tengah sadar dan tidak, aku melihat seorang berambut panjang kusut sampai ke belakang lutut, memakai jaket levis usang. Tak salah lagi, sayang aku tak sepenuhnya sadar. Bertopi fedora.

“… Mata… tidak akan sakit, cobalah sendiri,” hanya itu yang ku dengar dari deklamasi panjang yang aku lewatkan. Bus berhenti. Semua orang mencongkel matanya, tak mengaduh, tanpa ragu, tak ada desah sakit. Termasuk ayahku. Aku mencoba menghentikannya. Namun dia hanya berkata, “tak apa, ini demi negara nak”

Keempat jari ayah dimasukkan ke dalam kelopak matanya. Bulat hitamnya mendelik ke atas, sangat tinggi. Lalu setelah jari-jarinya menyelam, dia menariknya –dengan lembut. Tak ada suara aduh sedikit pun. Si pria fedora itu menghampiri orang di bus itu satu-persatu. Memasukkan semua bola berlendir itu ke dalam karung. Begitu dia hampir mendekati ayah, aku berlari keluar. Beruntung aku di dekat pintu.

Bulan mengiringi langkahku berlari. Di tengah hutan. Sepertinya pria fendora itu memang sengaja memberhentikan bus di dalam kesunyian, agar tak ada seorang pun yang tahu.

Bulan mulai bosan. Dia pergi ke balik awan. Kegelapan hutan mulai terasa. Aku tak bisa melihat apapun. Pria itu  terasa masih mengejarku. Suara sepatu tebalnya terus beradu angkuh dengan tanah. Senternya menembus kegelapan.

Tak lama kemudian, nasib malang t’lah tiba. Aku tersandung batu yang lumayan besar. Kedua mataku tertusuk ranting-ranting kayu yang berserakan menghadap ke langit. Berdarah-darah. Aku menjerit.

Pria itu datang. Berkilah panjang, “…bola mata itu tak sakit dicongkel nak. Yang sakit ketika kamu menusuk, mencolek tepat ke bola matamu. Jika hanya diambil tanpa harus mencolek, tak akan sakit”

“Kenapa kamu suka mengambil mata?” mataku mulai buram, darah terus bercucuran.

“Oh…ini akan aku hidangkan ke presiden. Dia mungkin akan suka makan mata rakyatnya. Andai rakyatnya tak punya mata, tak mungkinlah perselisihan terjadi. Rakyat Indonesia suka menilai sesuatu hanya dengan menggunakan mata. Aduh, tak perlulah aku banyak omong, lagi pula matamu sudah rusak. Presiden tak minat makan mata cacat seperti punyamu itu. Sepasang mata lagi, maka siap satu ruangan penuh mata untuk presiden. Hidangan terbaik untuk presiden”

“Tunggu!” dia tak menghiraukanku, lanjut meninggalkanku. “KAU APAKAN ORANG-ORANG ITU? APAKAH KAU MENGHIPNOTIS MEREKA?”

Dia berhenti, dan berpaling lagi menghadap wajahku, “Tidak nak. Aku hanya mendoktrin mereka dengan kenyataan yang ada. Empat menit cukup. Taukah kamu nak, aku hanyalah anak SD yang suka membaca hingga detik ini. Membaca buku, membaca keadaan” 

Akhirnya mataku tiba-tiba menggelap, tak ada setitik cahaya pun yang kuasa bertengger di mataku. 

“Bukankah dengan mengambil mata rakyat, mereka tidak bisa lagi membaca?”

Dia terkekeh lalu mengalihkan pembicaraan, “Jangan bilang siapa pun sampai kau punya cucu berumur tujuh tahun, tentang pertemuan ini, ya,” setelah perkataannya itu, aku tak tahu dia masih ada di sana atau tidak. Namun yang pasti, dia tak lagi menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Aku menjerit, tak ada seorang pun yang menjawab. Kecuali hanya lagu yang burung hantu bawakan, angin yang bertengkar dengan dedaunan.

Kala ulang tahun presiden tiba. Ketika seorang wakil rakyat itu siap memasuki tempat pesta ulang tahunnya. Lima meter di depan ruang pesta itu, bau amis tercium jelas. Di muka pintu tertempel sebuah surat. Dibacanya surat itu. Matanya terbelalak. Membuka pintu. Ribuan mata jebol keluar dari ruangan di balik pintu itu. Sehari kemudian dia ceritakan. Seluruh media meliput. Seluruh pelosok desa, kota, pedalaman berubah. Rakyat tanpa mata bahagia, seakan terbayar sudah mata yang presiden makan. Indonesia, operasi.

***

“Benar nek, tidak sakit. Ini, kedua bola mataku nek, untuk presiden”

Nenek paruh baya itu hanya tertawa lembut. Begitu lembut dan tentram.

Loading

SEBELUM HUJAN REDA

Karya: Matahari (Juara Favorit Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)

 

“Kapan terakhir kali kamu berdoa?”

Lelaki di hadapanku tertawa ringan mendengar pertanyaan kelewat absurd itu. Dia bilang, doa terakhirnya barangkali adalah sesaat sebelum ia mengendarai motor untuk menjemputku tadi. Aku menuduhnya berdusta. Kalau dia benar-benar berdoa, seharusnya kami tidak terkurung hujan deras di sebuah emperan pertokoan yang tutup.

“Jangan-jangan kamu yang tadi tidak berdoa!” balasnya menuduhku. Kami berdua tertawa atas lelucon itu.

Sesaat kemudian, saat hening menjadi teman, aku menghela nafas panjang. Benar. Aku tidak berdoa sebelum pergi hari ini. Aku tidak berdoa saat bangun. Aku tidak berdoa sebelum tidur semalam. Aku bahkan tidak berdoa berhari-hari.

Aku jadi bertanya-tanya, kapan seseorang mulai berdoa dan kapan seseorang berhenti berdoa? Apakah karena dulu setiap malam ibu menyuruh anaknya berdoa sebelum tidur, maka ia berdoa? Apakah karena dulu setiap hari guru menyuruh muridnya berdoa sebelum belajar, maka ia berdoa?

Aku tak punya ibu yang menyuruhku berdoa setiap malam. Saat punya guru, ia pikir aku sudah hafal doa harian sehingga ia tak mengajariku. Aku berdoa setiap hari sampai kemudian entah di hari ke berapa aku merasa hambar. Bahkan kini, saat hujan yang katanya waktu doa dijawab Sang Pencipta, aku tak tergoda mengangkat tangan.

Hujan pun kian kuat. Atap seng berbunyi nyaring layaknya arena perjudian saat taruhan unggulam mereka hampir kalah. Udara dingin kian menusuk. Aku menghapus jarak antara aku dan lelaki yang telah kukenal kurang lebih enam bulan. Ia, lelaki dengan senyuman matahari itu, mengaminkan. Tangannya terbentang meraih bahuku.

“Wah, enak ya pacaran pas muda,” seorang perempuan dewasa akhir yang ikut berteduh berkomentar. Di sebelahnya, lelaki yang sama sepuh, barangkali suami, terlihat berpangku tangan dalam upaya menghangatkan dirinya sendiri.

“Duh, Buk! Jangan ngurusin orang,” suaminya menanggapi.

“Lihat, Pak! Anak muda jaman sekarang pacarannya blas bles blos saja. Kayak dunia milik berdua.”

Mereka berdebat. Si suami terlihat sungkan dengan perkataan istrinya. Akan tetapi, semua orang yang berteduh di emperan pertokoan itu terlihat setuju. Tatapan mata mereka menghakimi kami.

“Kamu mau pakai jaketku saja?” tawarnya berbisik. Tangannya rampak ragu memberikan kehangatan. Pelukannya tak seerat tadi.

“Iya,” jawabku risih dengan tatapan orang-orang.

Kami berdiri dengan jarak yang kecanggungan. Jarak kami tidak lebih dekat dari seorang anak yang memeluk kaki ibunya di depan toko  benang. Jarak kami tidak lebih mesra dari suami istri yang masih berdebat itu. Jarak kami, untungnya, tidak sesepi seorang laki-laki buta berpeci di toko paling ujung.

Aku maju satu langkah. Mengintip, karena rasa penasaran tak terbendung, pada lelaki buta berpeci haji di ujung lorong pertokoan. Usianya tak lagi muda. Tangannya yang telah keriput memegang tongkat dengan genggaman yang tremor. Bibirnya komat kamit layaknya orang suci tengah berzikir. Seolah bibir itu memang telah terlatih untuk selalu basah mengenang asma Allah.

“Kenapa?” lelaki matahari di sebelah ku bertanya.

“Aku baru saja berdoa.”

“Oh ya? Kau berdoa agar hujan reda?”

“Tidak juga.” Kerutan terbentuk di dahinya. Barangkali mencari berbagai macam opsi doa lain yang bisa kupanjatkan di situasi macam ini.

Hujan kian menggila. Angin kencang menerbangkan beberapa sampah. Semua orang merapat pada perlindungan terdekat yang bisa mereka gapai. Anak berlindung pada ibunya, perempuan berlindung pada lelakinya, anak muda berlindung pada kekuatan fisiknya. Aku tak bisa berhenti khawatir pada pria tua buta di ujung pertokoan yang tak punya sesuatu, bahkan dirinya sendiri, untuk melindungi.

“Yang, aku ke sana ya.”

Langkah lebih cepat ketimbang ucapanku. Langkahku besar dan cepat menuju lelaki tua itu. Jantungku berdetak cepat. Terlebih saat melihat sebuah terpal dengan pancang paku yang tajam terbang mengarah ke lelaki itu. Kilat petir melatari suara teriakan dan dentuman.

“Ustaz!” suaraku hilang ditelan situasi.

Alam bawah sadarku memaksaku bertindak. Meski pura-pura tak peduli, meski pura-pura tak kenal, tubuhku bergerak dengan sendirinya hendak meraih sosok itu. Aku tak bisa mengerdilkan perasaan kagum dan hormatku pada sosok buta yang memiliki mata air kasih sayang dan berkah ilmu dalam dirinya itu. Aku pun, seorang yang pernah  menyesap mata air itu. Di diriku mengalir percikan dirinya. Barangkali itu yang membuatku kalang kabut mengejar lelaki itu ini.

Terpal biru yang diterbangkan angin menyelimuti tubuh lelaki tua buta tanpa celah. Aku dan seorang tukang ojek mendekatinya. Tukang ojek itu dengan tergesa-gesa menarik terpal itu. Aku melihatnya terduduk dengan tongkat yang sudah tak lagi dalam genggaman. 

“Bapak tidak apa, Pak?” tanya tukang ojek itu sembari membantunya berdiri.

Tidak ada luka, tidak ada lebam. Syukurlah.

“Alina!” lelaki matahariku memanggil. Aku tak kuasa menahan rasa takutku. Bagaimana jika lelaki tua di hadapanku ini mengingat nama itu? Meski kemungkinannya sangat kecil, meski aku yakin beliau telah memiliki banyak murid-murid lain bernama Alina, jantungku tak bisa diajak kompromi.

“Kamu Alina? Alina Aisyah?” lelaki buta itu bertanya dengan suara yang sangat familiar.

Aku mengangguk meski aku tahu lelaki di depanku tak akan bisa tahu. “Bukan Pak, saya Alina Niswati.” Aku berbohong.

“Bapak ingat sekitar tiga tahun lalu Bapak punya santri namanya Alina Aisyah. Dia pintar, rajin ibadah, selalu taat dengan peraturan pesantren. Dia suka bantu-bantu di rumah Bapak. Setelah tamat dia belum ada lagi berkunjung ke pesantren. Tadi Bapak dengar ada yang panggil ustaz, suaranya mirip Alina. Rupanya salah orang.”

Aku tak lagi mengucapkan apa pun. Aku takut suara cempreng ini akan makin mengingatkan lelaki tua berpeci itu akan seorang santri polos yang kini hanya tinggal cerita. Aku menarik tangan pacarku sembari berlari kecil menuju motor yang terparkir.

Hujan sebentar lagi berhenti. Waktu istijabah doa sebentar lagi usai. Aku berdoa lagi, meski tidak mengangkat tangan. Aku berdoa lama dan khusuk sekali. Tak peduli bahwa aku tak lagi berkerudung. Tak peduli bahwa kini di tanganku ada tangan lelaki bukan muhrim yang diibaratkan bara api.

“Boleh aku tebak doamu, Alina Aisyah?” tanya lelaki matahari itu dengan nada mencemooh. Aku menggeleng. Aku ingin cepat menyudahi basa-basi ini dan kembali bersembunyi.

Di ujung jalan, sebuah mobil dengan lambang instansi pendidikan Islam terlihat mengarah pada lelaki tua yang tak lain dan tak bukan adalah pengasuh di pesantren itu. Si pengemudi turun dan membantu ustaz menaiki mobil. Motor kami telah lebih dulu membelah jalanan.

Doaku terkabul. Lelaki buta itu tak mengenaliku. Aku ingin berdoa lagi agar si pengendara mobil yang sekelas denganku enam tahun tak mengenaliku. Sayangnya hujan telah sempurna berhenti.

Sayangnya aku tak punya keberanian lagi untuk berdoa.

Loading

Purnama Terakhir

Oleh: Umi Latifah

Air yang turun dari talang adalah hal yang paling menyenangkan kala ku kecil. Bermain hujan-hujanan, menengadah di bawahnya seolah berada di air terjun yang mengalir deras, semakin deras. Berlari kesana kemari menembus ribuan tetes hujan yang menghujam Bumi. Hujan dalah shower raksasa bagi anak seusia itu.

Hujan malam ini turun terlalu deras. Tampiasnya membasahi beranda yang menjadi tempatku memandang Bulan purnama. Menghitungnya sebagai tanda keberhasilanku. Membawanya selalu ada di sisiku, dalam jangkauan radarku.

Tampias itu seolah tahu bahwa waktuku telah usai, sengaja ikut lari bersama angin membasahi segalanya, sampai aku tak lagi bisa duduk termenung, lantas tersenyum. Dia tahu bahwa semua akan berakhir, hitungan purnamaku selesai di angka 36. Itu terlalu banyak. Rasa menyiksanya terlalu dalam.

Purnama yang ku lihat terakhir kali terlalu terang, aku tak sanggup melupakan keindahnya. Sekarang aku tak punya lagi. Keindahan yang terlalu indah untuk ku biarkan pergi. Ku tahu air mata tak akan menahannya pergi. Ku putuskan untuk tak membuangnya sia-sia. Cukup hariku ke depan yang menjadi korban, jangan air mataku yang ku rasa mahal.

Hembusan nafasmu terdengar berat. Kau sadar telah menyakiti manusia yang sekarang hanya bisa mematung memandang jendela kaca yang terhantam air hujan. Membiarkan pikiranku berlari kesana-kemari dengan kenangan. Sesekali terhenyak karena kilat, ku tahan agar tak berhambur mencari perlindungan padamu dengan meremas jari sekencang-kencangnya. Kau membiarkan itu, kau tahu apa yang sedang ku hadapi dengan para kilat dan petir itu.

Suara ponsel berdering berkali-kali, jam dinding berdentang sejam sekali. Kita tetap setia dengan kebisuan.

Menantang rasa sakit dengan kalimat, “semua tak nyata,” itu adalah kalimat pertamaku sejak pengakuanmu.

Kau menghela nafas lagi, mungkin kau sebal mengulang kalimatmu untuk yang kesekian kalinya, aku terlalu bebal untuk mau mengakui yang ku dengar  sendiri. Atau kau mungkin juga kesal atas kebisuanku, dan kau merasa tak berharga karena setetespun air mata tak melewati hulunya.

Tiga puluh enam purnama bukan waktu yang singkat untuk bisa diakhiri dengan alasan konyol yang datang dari mulut bijakmu yang bertahun ku damba. Ditambah baru saja saat purnama ke 35 yang lalu kau mengajakku untuk menikmati purnama bersama. Dari saat itu aku pikir aku tak perlu lagi menghitung purnama, semua purnama adalah milikku, milik kita.

Gaun putih sudah setengah jadi, kau tega membakar harapannya di depanku malam ini. bahkan udara dalam ruangan ini mengakui ada banyak penyesalan dalam setiap tarikan nafasmu, bahkan tergurat jelas dari sorotan matamu yang sayu. Kau tak perlu menyangkal itu. Jika kau menarik kalimatmu tadi, mungkin aku akan mempertimbangkan itu. Tetapi mengapa kau tak kunjung mengungkapkannya?

Sekali lagi kutatap lekat wajahmu yang dihiasi kumis tipis yang menjadi kesukaanku. Bahu tegap yang menjadi sandaran ternyamanku. Ah, setiap inci darimu yang terbalut kulit cerah itu favoritku. Termasuk jarimu yang terampil memtik senar gitar sembari menyenandungkan lagu indah.

Aku yakin air mataku tak akan tumpah jika kau tak mengatakan kalimat sederhana dari dua kata itu, “maafkan aku,” sedetik kemudian aku tergugu. Tak mampu lagi menahan sesak yang menusuk jantung. Itu artinya kau sangat berharga untukku, bahkan sebelum hitungan purnamaku dimulai. Kalimat itu sudah jelas mengakhiri semuanya secara mutlak. Aku kalah.

Ratusan purnama telah berlalu dengan rasa terpendamku padamu. Lalu kau hadir mengakhiri hitungan purnama kesendirianku. Membuatku menghitung purnama untuk alasan yang lain. Akhirnya kau menyadari keberadaanku. Harapanku  membumbung terlalu tinggi untukmu.

“Kenapa? Kenapa nggak cinta? Sejak kapan?” kalimat bodoh lagi yang bisa menyusup keluar. Hatiku meronta, meminta alasan selain itu. Mungkin sebuah penjelasan yang lebih rasional dari sekedar ingin membuat sebuah komitmen dengan orang yang sangat mencintaimu. Kau pernah berpikir jika itu akan berhasil jika kau menerima cinta daripada meminta cinta.

Jika sudut pandangnya ku balik, aku adalah sang peminta cinta, jiwaku mengelak, aku tak serendah itu. Aku selama ini menantimu dalam diam, mengagumimu dengan hormat, tanpa ada rayuan cinta bak pelacur. Tangisku pecah. Kau menggores egoku terlalu lebar. Pembuluh darah seakan terpotong-potong mengeluarkan semua cairannya, deras.

Manusia yang sangat kukagumi menjatuhkanku dalam jurang yang sangat dalam, rasa cinta yang awalnya madu berubah menjadi racun yang menghitamkan seluruh darahku. Tak bisakah dulu kau tak menjadikanku bahan percobaan tentang komitmen dan istilah-istilah lain dalam hubungan untuk memperindah sebuah kalimat memaksakan untuk cinta?

Kau bangkit dari kursi. Meninggalkanku mengulang jawaban yang sudah terungkap sejak di menit pertama yang sengaja ku lupakan.

“sejak awal,” otakku menjawab otomatis saat pintu rumah tertutup meninggalkan jejakmu.

Loading