Purnama Terakhir

Purnama Terakhir

Oleh: Umi Latifah

Air yang turun dari talang adalah hal yang paling menyenangkan kala ku kecil. Bermain hujan-hujanan, menengadah di bawahnya seolah berada di air terjun yang mengalir deras, semakin deras. Berlari kesana kemari menembus ribuan tetes hujan yang menghujam Bumi. Hujan dalah shower raksasa bagi anak seusia itu.

Hujan malam ini turun terlalu deras. Tampiasnya membasahi beranda yang menjadi tempatku memandang Bulan purnama. Menghitungnya sebagai tanda keberhasilanku. Membawanya selalu ada di sisiku, dalam jangkauan radarku.

Tampias itu seolah tahu bahwa waktuku telah usai, sengaja ikut lari bersama angin membasahi segalanya, sampai aku tak lagi bisa duduk termenung, lantas tersenyum. Dia tahu bahwa semua akan berakhir, hitungan purnamaku selesai di angka 36. Itu terlalu banyak. Rasa menyiksanya terlalu dalam.

Purnama yang ku lihat terakhir kali terlalu terang, aku tak sanggup melupakan keindahnya. Sekarang aku tak punya lagi. Keindahan yang terlalu indah untuk ku biarkan pergi. Ku tahu air mata tak akan menahannya pergi. Ku putuskan untuk tak membuangnya sia-sia. Cukup hariku ke depan yang menjadi korban, jangan air mataku yang ku rasa mahal.

Hembusan nafasmu terdengar berat. Kau sadar telah menyakiti manusia yang sekarang hanya bisa mematung memandang jendela kaca yang terhantam air hujan. Membiarkan pikiranku berlari kesana-kemari dengan kenangan. Sesekali terhenyak karena kilat, ku tahan agar tak berhambur mencari perlindungan padamu dengan meremas jari sekencang-kencangnya. Kau membiarkan itu, kau tahu apa yang sedang ku hadapi dengan para kilat dan petir itu.

Suara ponsel berdering berkali-kali, jam dinding berdentang sejam sekali. Kita tetap setia dengan kebisuan.

Menantang rasa sakit dengan kalimat, “semua tak nyata,” itu adalah kalimat pertamaku sejak pengakuanmu.

Kau menghela nafas lagi, mungkin kau sebal mengulang kalimatmu untuk yang kesekian kalinya, aku terlalu bebal untuk mau mengakui yang ku dengar  sendiri. Atau kau mungkin juga kesal atas kebisuanku, dan kau merasa tak berharga karena setetespun air mata tak melewati hulunya.

Tiga puluh enam purnama bukan waktu yang singkat untuk bisa diakhiri dengan alasan konyol yang datang dari mulut bijakmu yang bertahun ku damba. Ditambah baru saja saat purnama ke 35 yang lalu kau mengajakku untuk menikmati purnama bersama. Dari saat itu aku pikir aku tak perlu lagi menghitung purnama, semua purnama adalah milikku, milik kita.

Gaun putih sudah setengah jadi, kau tega membakar harapannya di depanku malam ini. bahkan udara dalam ruangan ini mengakui ada banyak penyesalan dalam setiap tarikan nafasmu, bahkan tergurat jelas dari sorotan matamu yang sayu. Kau tak perlu menyangkal itu. Jika kau menarik kalimatmu tadi, mungkin aku akan mempertimbangkan itu. Tetapi mengapa kau tak kunjung mengungkapkannya?

Sekali lagi kutatap lekat wajahmu yang dihiasi kumis tipis yang menjadi kesukaanku. Bahu tegap yang menjadi sandaran ternyamanku. Ah, setiap inci darimu yang terbalut kulit cerah itu favoritku. Termasuk jarimu yang terampil memtik senar gitar sembari menyenandungkan lagu indah.

Aku yakin air mataku tak akan tumpah jika kau tak mengatakan kalimat sederhana dari dua kata itu, “maafkan aku,” sedetik kemudian aku tergugu. Tak mampu lagi menahan sesak yang menusuk jantung. Itu artinya kau sangat berharga untukku, bahkan sebelum hitungan purnamaku dimulai. Kalimat itu sudah jelas mengakhiri semuanya secara mutlak. Aku kalah.

Ratusan purnama telah berlalu dengan rasa terpendamku padamu. Lalu kau hadir mengakhiri hitungan purnama kesendirianku. Membuatku menghitung purnama untuk alasan yang lain. Akhirnya kau menyadari keberadaanku. Harapanku  membumbung terlalu tinggi untukmu.

“Kenapa? Kenapa nggak cinta? Sejak kapan?” kalimat bodoh lagi yang bisa menyusup keluar. Hatiku meronta, meminta alasan selain itu. Mungkin sebuah penjelasan yang lebih rasional dari sekedar ingin membuat sebuah komitmen dengan orang yang sangat mencintaimu. Kau pernah berpikir jika itu akan berhasil jika kau menerima cinta daripada meminta cinta.

Jika sudut pandangnya ku balik, aku adalah sang peminta cinta, jiwaku mengelak, aku tak serendah itu. Aku selama ini menantimu dalam diam, mengagumimu dengan hormat, tanpa ada rayuan cinta bak pelacur. Tangisku pecah. Kau menggores egoku terlalu lebar. Pembuluh darah seakan terpotong-potong mengeluarkan semua cairannya, deras.

Manusia yang sangat kukagumi menjatuhkanku dalam jurang yang sangat dalam, rasa cinta yang awalnya madu berubah menjadi racun yang menghitamkan seluruh darahku. Tak bisakah dulu kau tak menjadikanku bahan percobaan tentang komitmen dan istilah-istilah lain dalam hubungan untuk memperindah sebuah kalimat memaksakan untuk cinta?

Kau bangkit dari kursi. Meninggalkanku mengulang jawaban yang sudah terungkap sejak di menit pertama yang sengaja ku lupakan.

“sejak awal,” otakku menjawab otomatis saat pintu rumah tertutup meninggalkan jejakmu.

Share this post

Tinggalkan Balasan