Karya: Yuditeha (Peserta Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Setidaknya ada tiga orang mati selama dua hari ini. Sangat mungkin jumlah itu masih bertambah karena bisa saja ada peristiwa kematian lain yang tidak saya ketahui. Ketiga orang yang mati itu karena terjangkiti wabah yang hampir setahun ini melanda bumi dan belum ditemukan penangkalnya.
Ketiga orang yang mati itu antara lain, pertama seorang dokter yang bekerja di rumah sakit khusus menangani orang-orang yang tertular wabah tersebut. Dia dikenal sebagai dokter yang baik, dedikasinya perihal kesehatan masyarakat sudah tak perlu diragukan lagi. Dia memang pantas mendapat julukan dokter teladan. Dokter itu sangat tertib dan profesional. Dia patuh terhadap semua protokol kesehatan. Kesadaran itu selalu dijaga terlebih karena dia menyadari wilayah tugasnya di area yang rentan tertular wabah.
Namun laku kehidupan ini rupanya memang bukan kuasa manusia, karena kelalaian bisa saja terjadi pada siapa pun, termasuk dokter itu. Dia tertular wabah justru tidak sedang bertugas di rumah sakit, dan tidak juga sedang menangani pasien. Dokter itu tertular wabah dari salah satu tetangganya yang pada suatu hari berkunjung ke rumahnya. Tanpa menaruh curiga dia menyambut antusias ketika tetangganya itu mengajaknya berjabat tangan.
Kedua, pimpinan sebuah organisasi sosial yang rajin melakukan kegiatan amal. Giat menggalang dana yang hasilnya disalurkan kepada siapa pun yang membutuhkan, terkhusus yang ada hubungannya dengan bencana. Terlebih akhir-akhir ini, perhatian dan kepedulian organisasinya terhadap bencana wabah cukup besar dan patut diberi apresiasi. Bahkan organisasi itu berhasil menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang.
Lagi-lagi misteri hidup tidak bisa diterka manusia. Pimpinan organisasi itu tertular wabah bukan pada saat dirinya sedang melakukan pengabdian. Dia terjangkiti wabah pada suatu hari, usai makan siang dia pergi keluar untuk membeli rokok di toko yang kebetulan tidak pernah dia kunjungi sebelumnya. Pada saat dia dan si penjual sedang serah terima uang dan rokok itulah awalnya.
Ketiga, seorang pejabat kota yang tugas kesehariannya cukup berat. Pejabat itu termasuk lelaki yang humanis dan dicintai rakyatnya. Menurutnya, menjadi pejabat bukan untuk gagah-gagahan. Baginya menjadi pejabat adalah menjadi abdi masyarakat, melayani dengan sebaik-baiknya apa yang dibutuhkan warganya. Untuk mendukung pendapatnya itu, tidak tanggung-tanggung, dia mengutip semboyan yang dulu dicetuskan Ki Hajar Dewantara, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Bahkan yang paling ganas dia pernah berkata, jika ada pejabat yang tidak bisa berlaku seperti itu bukan saja harus dipecat tetapi layak dibuang ke kotak sampah.
Sehebat-hebatnya manusia adakalanya tak bisa menghalau kesialan, termasuk pejabat itu. Dia tertular wabah justru dari anak buahnya yang sedang dipanggil untuk diberi pengarahan sekaligus surat peringatan (dirumahkan sementara) karena dianggap tidak mempunyai human interest yang memadai. Pada saat mereka sedang membubuhkan tanda tangan di dokumen kesepakatan itu dengan menggunakan bolpoin yang sama.
Meski nasib ketiga lelaki itu malang tetapi aku setuju jika mereka disebut sebagai lelananging jagad, yang kira-kira artinya lelaki yang bukan sekadar bagus fisik dan rupawan, tetapi lebih merujuk kepada mempunyai jiwa satria dan sifat kemuliaan.
Sebenarnya saya jarang keluar rumah, lebih tepatnya malas keluar, terlebih sekadar bertemu dengan orang-orang untuk omong kosong belaka. Bisa saja saya bertemu dan berbincang dengan seseorang jika pertemuan itu saya anggap penting, setidaknya ada sesuatu hal yang perlu dibicarakan. Alasan lain mengapa saya jarang keluar rumah tentu saja karena saya seorang pengarang yang kesehariannya bergelut dengan teks, baik pada saat menulis maupun membaca. Menurut saya, dua kegiatan itu sama-sama memerlukan waktu yang tidak sebentar dan butuh situasi yang hening. Karenanya saya suka ketenangan, dan ketenangan itu bisa dicapai salah satunya tidak berhubungan dengan orang banyak. Pertanyaannya, mengapa saya yang jarang keluar rumah ini bisa tahu perihal diri orang-orang itu dengan detail, termasuk tentang sakit dan kematiannya? Kini saya akan ceritakan, bagaimana saya bisa mengetahui itu semua.
Belum lama ini saya mendapat pesan dari seorang perempuan yang dulu pernah intim dengan saya, katakanlah dia mantan pacar saya. Sebenarnya saya masih mencintainya tapi saya tidak tahu mengapa saya masih mencintainya. Tapi jika saya harus memberi alasan, saya hanya bisa mengatakan, dengan dialah pertama kali saya melakukan dosa terkait perempuan. Dulu saya sering melumat bibirnya yang dalam penglihatan saya bisa selalu berwarna merah stroberi, meski tidak sedang memakai gincu. Sudah tak terhitung berapa kali saya telah merabai payudaranya yang dalam bayangan saya selalu bisa tegak lurus, tidak lembek seperti jengger jago. Dan karena dialah saya berani menyatakan diri telah menjadi lelananging jagad. Perlu saya katakan, sebutan lelananging jagad untuk saya ini berbeda dengan arti yang sebenarnya. Bolehlah saya mengartikannya sendiri. Ketika keperjakaan saya telah menjebol keperawanan perempuan, saat itulah seorang lelaki bisa disebut lelananging jagad.
Sayangnya, nasib hubungan saya dengan perempuan itu tidak berlanjut. Dia lebih memilih bersama lelaki lain dengan alasan klise, harta. Dia benar, senyatanya saya melarat. Memang saya penulis, tapi sepertinya penulis yang terus berjuang. Untuk menghidupi diri sendiri saja sudah kepayahan.
Dalam pesannya, perempuan itu ingin bertemu saya. Usai membaca pesan itu langsung saya terbayang buah stroberi, kelapa gading, dan taman juwita miliknya. Karena itu gegas saya menuju ke tempat yang dia tentukan. Ketika bertemu dengannya entah mengapa justru kemuliaan saya mengemuka oleh keluh yang dia katakan. Pikir saya, tidak ada jalan lain harus mengeluarkan kepandaian saya tentang pemahaman-pemahaman yang biasa saya pikirkan ketika menulis. Setelah itu kesedihannya sembuh. Dia mengecup pipi saya dan mengucap terima kasih, sebelum akhirnya berlalu dari hadapan saya. Saya pulang dengan perasaan ringan. Saat itu saya merasa lelaku saya telah mendekati arti lelananging jagad yang seharusnya.
Apa yang saya lakukan dan apa yang terjadi usai pertemuan dengan perempuan itu tidak jelas saya ingat. Saya baru memahami semuanya ketika saya bertemu dengan dokter yang baik, pejabat yang gigih, dan pimpinan organisasi yang pemurah itu di sini. Di tempat ini pula mereka menceritakan perihal diri mereka kepada saya, termasuk tentang bagaimana mereka terjangkiti wabah dan akhirnya sekarang mati.***
Komentar