Karya: Eko Setyawan (Juara 3 Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Jika saja takdir dapat diubah, maka tentu saja kau berharap untuk tak terlahir cantik, Mantini. Kecantikan bagimu hanya akan mendatangkan bencana. Dari wajah yang segar itu, terpancar cahaya kematian. Kematian entah untuk apa dan tentu hal itu tak pernah kau inginkan. Kematian yang begitu menyeramkan dan seluruhnya bermuara padamu. Muara dari segala sungai yang mengalir.
Sungai itu tak henti-hentinya mengalirkan air matamu, Mantini. Sungai yang jernih dengan riak kecil disertai suara air yang lembut. Bukan hanya air mata semata, sungai itu juga dialiri darah yang didaras dari kecantikanmu. Keduanya berbaur dan bercampur. Air mata dan darah begitu amis kau hidu. Suaramu terdengar sendu dan menyayat. Kidung Aja Geger kau tembangkan dengan harapan tiada lagi darah yang mengucur.
Kidung itu mengalun menyelimuti Alas Bangsri yang penuh dengan rimbun pohon. Kedamaian hidup terhampar. Namun di sana pula aroma kebencian dan kematian terus saja menguar. Kebencian itu begitu nyata, Mantini. Bersumber padamu. Semula seluruhnya biasa saja. Saban pagi, burung-burung masih meninggalkan sarangnya yang hangat. Kicauan yang saling bersahutan itu menandakan bahwa hutan itu masih asri. Matahari yang baru saja menampakkan dirinya juga mengiringi suara-suara itu.
Bunga-bunga berlomba untuk mekar. Embun membasahi seluruh lapisan daun, bunga, maupun rerumputan. Pagi yang begitu menyenangkan. Sebuah pagi dibalut dengan hawa dingin menyelimuti tubuhmu. Seolah memelukmu erat dan sesekali membuatmu bergidik. Udara dingin dan alam yang menyambut kebangkitanmu dari tapa atau barangkali tidurmu yang panjang. Kau terlahir dari rahim entah siapa, tapi orang-orang mengatakan bahwa kau adalah jelmaan Uma. Kau telah lahir, Mantini.
Tapi tak lama kemudian kau menyadari bahwa tak jauh dari tempatmu, amis darah tak henti-hentinya menusuk hidung. Darah dari dua jejaka yang mati karena saling mengalahkan. Dua jejaka yang saling beradu kuat untuk mendapatkanmu. Dan tentu kau tahu, mereka hanya berakhir dengan mengenaskan. Mereka mati tanpa memperoleh apa-apa.
Peristiwa yang selalu berulang di setiap paginya itu membuatmu tak nyaman. Dua orang mati dan nyawa mereka melayang sia-sia. Selalu saja ada mayat-mayat baru karenamu. Berduel demi menyuntingmu. Kau menyadari bahwa kecantikanmulah kematian-kematian itu berasal. Kau menyadari sepenuhnya karena warga berkasak-kusuk akan hal itu. Tapi siapa berani menganggu jelmaan Uma?
Warga menyematkan julukan itu padamu, Mantini. Dan sialnya, mereka semua mempercayai sepenuhnya. Seorang bayi mungil yang ditemukan di tepi Kali Bacin oleh Nyai Sumi tak lain adalah titisan Uma. Kepercayaan mereka atas apa yang dilakukan bermula ketika kali yang semua beraroma busuk karena saban hari digunakan untuk mandi para kerbau itu tiba-tiba menguarkan aroma wangi. Sihir mana yang bisa melakukan hal itu dalam sekejap jika bukan berasal dari jelmaan Uma, sang permaisuri Siwa?
Wajahmu saat itu memancarkan aura kebahagiaan. Kau juga sumber kebahagian Nyai Sumi. Ia janda yang hidup seorang diri dan tak punya anak seperti tertimpa rezeki dari langit. Bermula dari menemukanmu, sejak saat itulah simpul senyum di bibirnya tak pernah berubah. Saban hari, kebahagiaan selalu menyelimutinya. Kau hidup di tengah kebahagiaan dan kebahagiaan itu bersumber padamu.
Kau dibesarkan dengan cinta yang menyelimutimu. Cinta yang besar dari seorang perempuan yang berhati besar. Hari berganti hari dengan kebahagian yang terus menyusul. Tak ada yang dapat memadamkan cinta Nyai Sumi padamu. Kau dibesarkan dengan senyuman.
“Ini Mantini, anakku,” kata Nyai Sumi pada warga ketika warga berebut untuk menggendongmu. “Dewi Uma yang mengantarkannya untukku. Untuk menemani kesepianku,” lanjutnya dengan senyum bahagia.
Kerumunan warga mengangguk menyetujuinya. Di gendongan Nyai Sumi, wajahmu memancarkan cahaya. Warga pun turut bahagia memandangmu. Wajah yang kelak akan menyihir siapa pun yang melihatnya. Warga juga silih berganti berebut untuk dapat mengendongmu. Bukankah saat itu kau bisa merasakan detak jantung mereka, Mantini? Detak jantung yang begitu cepat dan berakhir dengan kebahagiaan. Bahagia karena dapat memelukmu dengan selembut-lembutnya.
Kecantikanmu tumbuh seiring kau beranjak dewasa. Kau sekarang jadi perawan seperti bunga yang mekar. Mekar begitu sempurna. Sebenarnya bersumber dari manakah kecantikanmu, Mantini?
“Kau begitu cantik, Nduk.” Nyai Sumi tak henti-hentinya memujimu. Pujian itu terlontar ketika saban sore ia menyisir rambutmu. Menyisir dengan hati-hati agar tak satu pun rambut lepas. Setelah itu ia mengelus rambutmu dengan begitu lembut.
Tapi siapa menyangka bahwa kecantikanmu adalah sumber utama dari kematian para jejaka yang saling beradu untuk memperebutkanmu. Di suatu pagi, ditemukan dua jejaka mati bersimbah darah. Mereka terkapar di jalan yang membelah Alas Bangsri di mana jalan itu adalah jalan menuju rumah Nyai Sumi. Diketahui bahwa mereka bertaruh dan bertarung agar dapat menyuntingmu. Meskipun belum tentu diterima, paling tidak mereka menyingkirkan saingannya terlebih dulu. Begitu pikir mereka sebelumnya. Itulah yang disampaikan orang tua mereka di hadapan Nyai Sumi. Sementara kau memilih untuk mendengarkannya dari balik pintu kamar.kau mendengar dengan jelas percakapan antara Nyai Sumi dengan mereka yang datang.
“Anakku berangkat untuk menyunting Mantini, Nyai,” kata salah satu orang tua jejaka yang mati.
“Anakku juga berkata begitu padaku, Nyai,” kata orang tua jejaka lain yang juga sama-sama mati.
“Maafkan aku,” Nyai Sumi menghantarkan permintaan maaf. Raut wajahnya yang sebelumnya tenang begitu tampak cemas dan pasrah.
Suara pun berdengung. Warga tidak berani menyalahkan Nyai Sumi maupun Mantini. Siapa yang berani menyalahkan jelmaan Uma. Salah-salah malah mereka yang kena laknat. Orang tua kedua pemuda itu juga menyadari bahwa kematian itu memang kecerobohan anak-anak mereka. Tapi di sisi lain Nyai Sumi juga menyesali peristiwa yang telah terjadi. Ia meminta maaf dengan tulus.
Di pagi-pagi berikutnya, nyawa demi nyawa terus melayang. Di jalan yang membelah Alas Bangsri menuju rumah Nyai Sumi selalu saja terkapar dua pemuda. Ada yang mati ada yang sekarat dan berujung juga pada mati. Dua jejaka yang saling adu kuat dengan tujuan mengalahkan pesaing mereka untuk menyuntingmu, Mantini. Mereka memperebutkanmu.
Memang begitulah cara jejaka berpikir. Mereka tidak bisa berpikir panjang jika memperebutkan wanita cantik. Mereka akan berbuat semaunya meski harus menanggung risiko. Mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang memperebutkan jelmaan Uma. Mereka tidak berpikir atas hal itu. Tentu saja warga menyalahkan jejaka-jejaka itu. Betapa bodohnya mereka.
Nahasnya, di hari ketujuh di mana kematian demi kematian itu terus terjadi, Nyai Sumi juga turut meyusul empat belas jejaka yang telah mati. Kau menemukan Nyai Sumi tak lagi bernapas. Ia seperti menanggung beban atas kematiaan para jejaka yang memperebutkan dirimu, Mantini. Kau sangat terpukul, bukan?
Begitulah kebahagian dan kematian bekerja. Mereka saling bersisian dan bekerja bergantian. Tidak saling mendahului tapi memang benar-benar beriringan. Hanya saja mereka bekerja menunggu giliran mereka. Hanya saja kita semua tidak tahu kapan hal itu terjadi. Bukan juga kita yang menentukan.
Tumpahkah seluruh air matamu, Mantini. Seluruhnya bermuara padamu. Kebahagiaan yang berasal darimu juga akan diakhiri dengan kematian yang juga sama-sama berasal dari dirimu. Kecantikan itu begitu mengerikan. Jika saja kau lahir kembali, tentu kau ingin lahir demikian. Kau tak ingin menanggung beban seperti sekarang. Mengapa kau tak berkata apa-apa selain menembangkan Kidung Aja Geger, Mantini?
Share this post