Karya: Iqbal Hasyim (Juara 1 Lomba Cerpen dalam rang Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)

 

Gelombang suara yang dilahirkan pintu menjalar memenuhi ruangan. Cicak dan lalat juga dimasuki, dirasuki. Suara tak kenal bentuk, tak kenal siapa yang akan dihadapi. Bahkan Tuhan di arasy pun ia rasuki. Termasuk dan terutama nenek paruh baya yang satu giginya, terlipat-lipat kulitnya, sedang rambutnya yang mungkin rambut tersebut selamanya akan bermusim salju, dan sedang duduk di kursi yang sedang bergoyang, juga mendengarnya.

“Masuk,” lirih namun bahagia nenek itu berkata.

Ternyata di balik pintu itu tertera anak sang nenek yang membawa kedua anaknya: Satu bocah laki-laki dan dua anak perempuan yang nampak lebih muda dari si lelaki. Mereka berempat tampak bahagia.

“Terima kasih sekali bu, sudah mau bermain dengan anakku setiap bulan. Kami juga minta maaf bu tidak bisa menemani.”

Nenek itu memotong, “ndak kok nak, ini kemauanku sendiri. Mereka senang setiap bulan berlibur ke rumah ibu. Begitu pun ibu, nak, kesepian di sini. Apalagi mereka itu penerus bangsa, harus sering-sering bermain dengan orang luhur seperti ibumu ini. Apalagi ibumu sudah hampir mati”

“Wusss, jangan bilang begitu bu!”

Nenek itu tertawa lemah, namun berenergi.

Tak lama kemudian, setelah lama bercakap-cakap. Si ibu dari ketiga anak itu, melepaskan dengan lembut tangan ibunya yang sudah lunglai. Setelah salam dikatakan dan anak-anaknya dilepaskan, pecah canda-tawa nenek dan anak-anaknya dalam ruangan yang begitu sederhana itu. 

Anak tertua yang sedang tumbuh rasa ingin tahunya mendekati sang nenek. Kedua adik perempuannya menjauh, mencari beberapa mainan untuk dipreteli, mereka begitu bahagia. Kebebasan dan kesenangan dua anak berumur lima tahun sedang bersemi. 

“Kedua mata nenek kemana?” tanya si anak laki-laki yang sudah berada di bawah kaki sang nenek dengan lugunya.

Sang nenek lagi-lagi tersenyum tentram, “kamu sekarang umur berapa?”

Sambil menghitung jari di kedua tangan mungilnya, “… enam, tujuh. Tujuh tahun nek”

“Sudah waktunya, sini mendekat”

Anak itu naik ke haribaan sang nenek.

“Waktu aku sepantaranmu, mungkin empat tahun lebih atas…” Cicak dan lalat-lalat ikut terdiam, seakan tertarik mendengarkan.

***

“AKU TAK SEDANG BERDUSTA,” sejurus teriakannya itu, orang-orang yang lewat di warung besar itu tertarik melihat ke dalam. Warung itu semakin ramai. Biasanya penuh kesunyian, kini riuh karena kisah pria berkumis tebal yang berkoar-koar. Orang yang masuk mendengarkan kisahnya di warung itu tak enak sendiri jika tak memesan atau membeli sesuatu. Jadilah kerupuk, air panas untuk kopi, dan minyak untuk menggoreng gorengan, tandas dirangkul orang-orang yang kian lama-kian membanyak.

Aku hanya mendengarkan dengan getir perkataan pria berkumis tebal itu dalam diam di samping ayahku. Sepertinya, aku seakan tak ada di mata mereka.

“Waktu itu aku sedang di WC umum dekat bengkel pak Romlah. Beberapa menit berlalu, tepat setelah aku menyiram berakku dan membuka pintu. Aku berteriak histeris, sehisteris mungkin. Temanku sudah kehilangan kedua matanya. Apakah kau percaya? Kedua matanya?” pria itu serius menekan suara ketika mengucapkan kata mata, “Aku lihat dari kejauhan, seorang berambut panjang, bertopi fedora, terlihat jelas menggenggam kedua mata temanku. Berjalan santai. Aku tak kuasa mengejar. Tubuhku mantap gemetar”

“Bagaimana ekspresi temanmu itu?”

“Dia baik saja. Ditanya, tidak apa”

“Sekarang dia di mana?”

“Kembali ke Sumatera”

Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya dijawab dengan cepat. Memang tak tampak sisi dusta dari orang itu. Ditambah wajah takutnya di WC umum kala itu seakan masih lekat di wajahnya.

“SUDAH JELAS PAKAI HIPNOTIS,” kumis pria itu ikut bergetar.

Beberapa hari kemudian cerita itu makin kuat. Setelah di koran digital, koran lembaran, hingga koran berbicara di kotak besar yang disebut TV, mengabarkan tentang berita yang serupa, namun hanya korban-korbannya yang berbeda.

Kami makin takut. Anak-anak yang biasa di luar rumah, dikunci di dalam rumah. Yang di dalam rumah, makin tak berkutik di bawah kasurnya. Tapi tak semua. Aku salah satunya. Malah diajak keluar rumah oleh ayahku. Ke Surabaya, hanya untuk melihat sebuah penampilan teater Eska.

Aku adalah anak “rumah”, karena kekhawatiran ibuku yang begitu tebal. Ayahku malah sebaliknya, memberi kebebasan. Semenjak ibu wafat, tepatnya sehari yang lalu. Aku mungkin akan sering keluar rumah, bahkan mungkin sering ke luar kota. Seperti yang aku rasakan sekarang. Di balik isu si bajak mata, ayahku malah nekat mengajakku bermain ke luar kota. Andaikan ibuku masih duduk menjahit di rumah, habis kami berdua kena marah.   

Sekarang di ambang pintu bus aku menarik napas. Terkagum-kagum melihat bentuk mesin yang teramat besar sedang berada beberapa senti di depan bola mataku. Ayahku sudah naik ke bus beberapa belas detik yang lalu. Dan pada sekian belas detik kemudian, ayahku berteriak, mencariku. Dia kira aku sudah duduk manis di sampingnya. Aku tertegun dan cepat beranjak masuk. Kami berdua tertawa di dalam bus. Ayahku berkata bahwa masih banyak mesin-mesin besar lainnya selain mesin jahit yang ibu gunakan dan mesin yang aku naiki sekarang.

Perjalanan yang panjang. Aku tertidur tidak pulas sama sekali. Di tengah sadar dan tidak, aku melihat seorang berambut panjang kusut sampai ke belakang lutut, memakai jaket levis usang. Tak salah lagi, sayang aku tak sepenuhnya sadar. Bertopi fedora.

“… Mata… tidak akan sakit, cobalah sendiri,” hanya itu yang ku dengar dari deklamasi panjang yang aku lewatkan. Bus berhenti. Semua orang mencongkel matanya, tak mengaduh, tanpa ragu, tak ada desah sakit. Termasuk ayahku. Aku mencoba menghentikannya. Namun dia hanya berkata, “tak apa, ini demi negara nak”

Keempat jari ayah dimasukkan ke dalam kelopak matanya. Bulat hitamnya mendelik ke atas, sangat tinggi. Lalu setelah jari-jarinya menyelam, dia menariknya –dengan lembut. Tak ada suara aduh sedikit pun. Si pria fedora itu menghampiri orang di bus itu satu-persatu. Memasukkan semua bola berlendir itu ke dalam karung. Begitu dia hampir mendekati ayah, aku berlari keluar. Beruntung aku di dekat pintu.

Bulan mengiringi langkahku berlari. Di tengah hutan. Sepertinya pria fendora itu memang sengaja memberhentikan bus di dalam kesunyian, agar tak ada seorang pun yang tahu.

Bulan mulai bosan. Dia pergi ke balik awan. Kegelapan hutan mulai terasa. Aku tak bisa melihat apapun. Pria itu  terasa masih mengejarku. Suara sepatu tebalnya terus beradu angkuh dengan tanah. Senternya menembus kegelapan.

Tak lama kemudian, nasib malang t’lah tiba. Aku tersandung batu yang lumayan besar. Kedua mataku tertusuk ranting-ranting kayu yang berserakan menghadap ke langit. Berdarah-darah. Aku menjerit.

Pria itu datang. Berkilah panjang, “…bola mata itu tak sakit dicongkel nak. Yang sakit ketika kamu menusuk, mencolek tepat ke bola matamu. Jika hanya diambil tanpa harus mencolek, tak akan sakit”

“Kenapa kamu suka mengambil mata?” mataku mulai buram, darah terus bercucuran.

“Oh…ini akan aku hidangkan ke presiden. Dia mungkin akan suka makan mata rakyatnya. Andai rakyatnya tak punya mata, tak mungkinlah perselisihan terjadi. Rakyat Indonesia suka menilai sesuatu hanya dengan menggunakan mata. Aduh, tak perlulah aku banyak omong, lagi pula matamu sudah rusak. Presiden tak minat makan mata cacat seperti punyamu itu. Sepasang mata lagi, maka siap satu ruangan penuh mata untuk presiden. Hidangan terbaik untuk presiden”

“Tunggu!” dia tak menghiraukanku, lanjut meninggalkanku. “KAU APAKAN ORANG-ORANG ITU? APAKAH KAU MENGHIPNOTIS MEREKA?”

Dia berhenti, dan berpaling lagi menghadap wajahku, “Tidak nak. Aku hanya mendoktrin mereka dengan kenyataan yang ada. Empat menit cukup. Taukah kamu nak, aku hanyalah anak SD yang suka membaca hingga detik ini. Membaca buku, membaca keadaan” 

Akhirnya mataku tiba-tiba menggelap, tak ada setitik cahaya pun yang kuasa bertengger di mataku. 

“Bukankah dengan mengambil mata rakyat, mereka tidak bisa lagi membaca?”

Dia terkekeh lalu mengalihkan pembicaraan, “Jangan bilang siapa pun sampai kau punya cucu berumur tujuh tahun, tentang pertemuan ini, ya,” setelah perkataannya itu, aku tak tahu dia masih ada di sana atau tidak. Namun yang pasti, dia tak lagi menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Aku menjerit, tak ada seorang pun yang menjawab. Kecuali hanya lagu yang burung hantu bawakan, angin yang bertengkar dengan dedaunan.

Kala ulang tahun presiden tiba. Ketika seorang wakil rakyat itu siap memasuki tempat pesta ulang tahunnya. Lima meter di depan ruang pesta itu, bau amis tercium jelas. Di muka pintu tertempel sebuah surat. Dibacanya surat itu. Matanya terbelalak. Membuka pintu. Ribuan mata jebol keluar dari ruangan di balik pintu itu. Sehari kemudian dia ceritakan. Seluruh media meliput. Seluruh pelosok desa, kota, pedalaman berubah. Rakyat tanpa mata bahagia, seakan terbayar sudah mata yang presiden makan. Indonesia, operasi.

***

“Benar nek, tidak sakit. Ini, kedua bola mataku nek, untuk presiden”

Nenek paruh baya itu hanya tertawa lembut. Begitu lembut dan tentram.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *