Katya: Yuli Rulina (Peserta Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Sengatan terik matahari menyelinap masuk dari celah jendela, memaksa Dina untuk lekas beranjak meninggalkan tilam kecintaannya. Pagi hari sudah bersambut dengan perpisahan yang amat berat baginya. Setelah semalaman ia merelakan waktu istirahat malam untuk merampungkan tugas-tugas mata kuliah. Sudah sering sebenarnya ia seperti itu. Terhitung hanya dua jam tubuhnya merasakan empuk buntalan kapuk yang ada di pojok kamarnya. Sungguh melelahkan. Dua tahun sudah ia ‘menjabat’ sebagai mahasiswi namun tak tampak seperti kenyataannya. Kuliah dalam jaringan, ya, bukan di dalam kelas. Sebuah transisi proses pembelajaran baru semenjak Covid-19 mendunia. Virus yang merebak dengan kecepatan cahaya, tampak tak kasat mata, menyebarkan kepanikan merajalela. Beruntungnya, karantina telah menjadi finalis yang terpilih diantara solusi terbaik lainnya. Mencegah memang lebih baik daripada mengobati.
Perubahan tiba-tiba yang mengubah drastis rutinitas keseharian Dina. Pagi, siang, dan malam terasa tidak ada bedanya lagi. Dina merasa kelimpungan dalam mengatur waktu. Selama berkegiatan penuh di rumah seperti ini, Dina mencoba menyelaraskan antara membagi tugas pribadi dengan tugas pendidikannya. Seringnya juga Dina terjebak pada situasi dimana jadwal makan tidak teratur, jadwal tidur berantakan, sampai jadwal belajar pun tumpang tindih dengan kegiatan lainnya. Semua orang pasti merasakan hal yang sama juga, tidak hanya Dina. Mengerjakan segala aktivitas hanya di rumah, apapun itu, entah itu bekerja, belajar, berbelanja, hingga ujian praktek berenang saja, semua dikerjakan di rumah berbekal jaringan internet dan perangkat telekomunikasi. Lambat laun kebiasaan itu juga yang mulai menggerogoti kesehatan jasmaninya.
Kelas pagi siap menyambut awal hari Dina. Sedikit malas ia menyiapkan sebuah benda elektronik berlayar dengan bentuk persegi panjang dan memiliki dua sisi. Ia menekan tombol power, lalu seketika menyala layar di hadapannya. Sembari menunggu proses loading ia mengecek informasi mata perkuliahan pada grup WhatsApp di ponselnya. Rutinitasnya di setiap pagi, selalu seperti ini. Melihat ribuan pesan berisikan deadline tugas-tugas yang mau tak mau harus ia kerjakan, memicu denyutan dari dalam kepalanya. Tak amat peduli dengan rasa tersebut, ia memilih untuk beranjak sebentar untuk membuat segelas kopi. Kopi hangat di pagi hari mungkin akan dapat menenangkan dirinya saat ini, pikirnya. Merasa puas setelah ia sudah menenggak habis kopinya, seolah-olah kesulitan dalam hidupnya ikut mengalir bersama air kopi yang masuk ke dalam perutnya.
Kini ia harus menyelesaikan tugas-tugas yang telah diberikan. Ia mulai mengetik jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tersusun rapi pada soal yang terpampang di layar. Berjam-jam Dina hanya duduk dan terus menatap layar membuat badannya seakan-akan telanjur kaku, matanya pun mulai memerah dan berair mengisyaratkan keringnya. Sebetulnya, ia juga merasakan punggungnya terasa panas dan pegal. Denyutan kepala yang sempat menghilang mulai menyerangnya lagi. Demi mengejar tenggat waktu pengumpulan tugas, melalaikan Dina dari keadaan tubuh yang teramat butuh akan istirahat. Jangan lupakan bahwa Dina melewatkan sarapan pagi tadi. Hanya berbekal segelas kopi ia memaksa seluruh organ tubuhnya untuk terus bekerja secara optimal. Serupa dengan kerja rodi, bukan. Kalau saja organ-organ itu bisa bicara, mungkin akan terjadi persatuan antar organ-organ untuk memperjuangkan hak kemerdekaannya.
Dina berhenti sejenak dari kegiatan ketik-mengetiknya. Niatnya ia ingin mengambil segelas air untuk meredakan dahaganya. Ketika ia hendak berdiri, ia merasa pusing sampai pandangannya sedikit menggelap dan kabur. Ditambah perutnya juga terasa kembung dan mual. Dirasa tubuhnya akan ambruk, segera ia berpegangan pada ujung meja. Ia masih berusaha untuk tetap kuat. Ia kembali terduduk, mencoba menetralkan rasa pusingnya. Setelah mereda, ia kembali berdiri dan berjalan pelan untuk mengambil segelas air. Berhasil ia mendapatkan segelas air dan meminumnya. Beberapa menit ia diam dan merenung. Segera ia mengambil ponsel, kemudian ia membuka aplikasi konsultasi kesehatan yang dari sebulan lalu ia pasang dalam rangka berjaga-jaga bila ia membutuhkannya suatu saat nanti. Sebab melihat kondisi sekarang yang tidak memungkinkannya untuk datang secara langsung di tempat layanan kesehatan. Terjadi percakapan antara dirinya dengan seorang dokter di aplikasi tersebut. Ia menanyakan perihal kejadian yang baru saja terjadi. Selang beberapa menit berlalu, dokter menjelaskan penyebab perkara yang dialami Dina.
Ya, Dina tengah mengalami kondisi yang bernama hipotensi ortostatik (HO). Kondisi yang terjadi, tekanan darah Dina terlalu rendah saat ia akan berdiri. Darah yang mengumpul di area perut dan kaki menyebabkan kadar darah untuk kembali ke jantung tidak tercukupi sehingga terjadi tekanan darah menurun. Bagaimana tidak, berjam-jam menghadap layar dengan posisi yang tidak berubah sama sekali, hanya jari yang berpindah-pindah dari satu tombol ke tombol yang lain. Dehidrasi juga menjadi pemicu terjadinya hal tersebut. Saat Dina merasa kehausan, sebenarnya itu sinyal dari tubuh yang tidak ia sadari. Di sisi lain, Dina sudah mengetahui penyebab dari rasa kembung dan mual yang dirasanya. Ia memang memiliki riwayat sakit maag genetik. Teringat ketika pagi tadi ia meminum segelas kopi. Minuman yang mengandung kafein termasuk dalam kategori yang memicu terjadinya cairan asam lambung naik ke atas kerongkongan (esofagus). Dina menyesal telah melupakan suatu hal penting pada dirinya sendiri.
Dina mulai menyadari kecerobohannya. Di saat bersamaan dengan kesadarannya itu, dering ponsel Dina nyaring terdengar. Melihat nama kontak yang tertera di layar ponselnya mampu menghangatkan hatinya. Adiknya Laras, menghubunginya. Diangkatnya telepon dari Laras. Terdengar nada khawatir dari ujung sambungan teleponnya. Laras mengaku merasakan kekhawatiran akan keadaaan Dina sekarang, entah mengapa muncul begitu saja. Dina yang mendengar pengakuan si adik merasa ingin menangis seketika. Ikatan batin persaudaraan tidak dapat disepelekan. Laras yang hanya terpaut umur satu tahun di bawah Dina juga tengah mengemban kewajiban sebagai mahasiswi. Laras memilih untuk berkuliah di luar kota dan mengekos di sana. Dina menetap di rumah yang ditinggalkan kedua orang tuanya setelah keduanya meninggal dunia. Dina merespon telepon Laras, ia mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Dina tidak ingin adiknya bertambah khawatir jika mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian, Laras menutup telepon setelah sebelumnya memberikan pesan dan doa terbaik untuk Dina.
Sekarang Dina memulai perbaikan pada pola kesehariannya. Mulai memperbaiki pola makan dan jam istirahatnya. Sarapan sudah rutin ia usahakan setiap akan mengawali pagi. Sesekali ia luangkan waktu untuk berolahraga, bukan olahraga berat memang, hanya pemanasan sebentar di pagi hari. Kegiatan itu cukup mengurangi datangnya rasa pusing ketika ia menghadap layar saat mengerjakan tugas kuliah. Ia memutuskan untuk tidak terlalu menempa diri sendiri terlalu keras untuk memenuhi kewajiban pendidikannya. Ia hanya takut akan tertinggal jika tidak menyelesaikannya dengan cepat. Dina sadar akan tanggung jawabnya sebagai kakak kepada Laras. Ia ingat pernah mendengar,”mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan”, sebuah hadis riwayat Imam Muslim. Orang yang kuat akan mampu berbuat lebih baik bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Dina harus kuat sebagai kakak agar bisa menjaga Laras. Hal terpenting yang sebenarnya adalah dirinya sendiri. Perhatikan dirimu sendiri lebih baik, baru akan bisa memperhatikan yang lain dengan baik pula.
Share this post