DI BAWAH REMBULAN YANG HANYUT

Karya: Yuanda Envita (Peserta Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)

 

Masa remaja merupakan masa dimana pencarian jati diri dimulai. Seorang anak yang mulai beralih menjadi dewasa akan mempertanyakan segala sesuatu tentang dirinya. Bagaimana dirinya? Apa perannya bagi orang lain? Seperti apa ia di masa depan?

Banyak sekali kasus terjadi dimana para remaja kehilangan kebahagiaannya sebagai seorang remaja. Mereka kehilangan kepercayaan diri. Kehilangan sesuatu yang amat berarti bagi diri mereka. Bahkan tak sempat memikirkan bagaimana nasib mereka di masa yang akan datang. Banyak sekali remaja melalui masa yang begitu sulit. Bahkan, terkadang untuk melampiaskan rasa sakit akibat kesulitan itu, remaja bisa berbuat hal-hal di luar dugaan. Kekerasan, seks bebas, alkohol, narkoba, hingga bunuh diri. Isu ini terus berlanjut di kalangan para remaja yang kehilangan jati dirinya atau bahkan telah kehilangan jati diri mereka sebelum mereka menemukannya. 

Pencarian jati diri dimulai ketika seorang remaja laki-laki telah kehilangan kepercayaannya terhadap dunia. Ia bahkan tak dapat mengerti apa yang dimaksud dengan “percaya”. Ia tak mengerti dengan arti kehidupan yang dijalaninya. Apa tujuannya hidup? Apa tujuannya memiliki sebuah nama? Apa yang membuat orang lain dapat menghargai dirinya? Ia tak pernah menemukan jawabannya.

Ketika itu, ia hanya berjalan dengan langkah kecil di pinggir jalan sebuah kota. Malam hari merupakan waktu dimana para “iblis” beraktivitas. Malam itu, saat remaja laki-laki itu berjalan tanpa arah yang jelas, datang seorang laki-laki dengan rambut panjang dan penampilan serba hitam.

“Hei, kenapa seorang anak muda berjalan-jalan tengah malam begini? Kabur dari rumah? Bertengkar dengan orang tuamu?” tanya laki-laki serba hitam itu.

Remaja laki-laki itu terdiam. Tatapannya terlihat kosong. Wajahnya sendiri terlihat sendu dengan mata yang sayu. 

“Siapa namamu?” tanya laki-laki serba hitam itu.

“Gibran,” jawab remaja laki-laki itu.

Remaja laki-laki itu bernama Gibran. Dilihat dari wajahnya, kemungkinan ia berusia 15 atau 16 tahun. Dengan kata lain, ia adalah seorang siswa Sekolah Menengah Atas. Besok merupakan hari Senin. Tentu saja saat menjelang hari Senin, para murid menyiapkan seragam sekolahnya dan berbagai atribut untuk upacara. Selain itu, biasanya mereka akan mengerjakan tugas di rumah. Lalu, apa yang dilakukan Gibran pada tengah malam meskipun besok adalah hari Senin?

“Hei, kalau kamu tidak memiliki tujuan, bagaimana jika ikut denganku?” ajak laki-laki serba hitam itu.

Gibran hanya terdiam. Kini, ia menatap kendaraan yang berlalu-lalang. Malam semakin larut, tapi jalan masih ramai dengan kendaraan. Suaranya bising, membuat Gibran merasa terganggu. Ia tak memiliki tujuan. Ke mana ia setelah ini? Bagaimana ia istirahat nanti? Bagaimana keadaan selanjutnya? Rasanya ia tak memiliki apa pun. Tujuan hidup? Ya, rasanya ia pun tak pernah memiliki jawaban atas pertanyaan itu.

Berpikir tentang siapa dirinya dan apa perannya dalam kehidupannya sendiri membuat Gibran semakin kebingungan. Usianya masih muda, tapi rasa lelahnya mungkin melebihi seorang manusia yang berusia lebih dari 100 tahun. Rasanya ia ingin mengakhiri rasa lelah itu. Namun, untuk mengakhiri rasa lelah itu, apakah ia harus mengakhiri hidupnya terlebih dahulu?

Wajah Gibran terlihat pucat. Tampaknya ia ingin menolak ajakan laki-laki serba hitam itu. Namun, malam semakin larut dan udara semakin dingin. Setiap embusan angin membuat tubuhnya menggigil dan semakin lama tubuhnya semakin lemas. Oleh karena itu, ia pun mengangguk. Dengan penuh rasa terpaksa, ia menerima tawaran laki-laki serba hitam itu.

“Naiklah!”

Laki-laki serba hitam itu meminta Gibran menaiki motornya. Gibran mengikuti perintah itu dan mereka segera meluncur ke sebuah tempat yang mungkin akan jauh dari bayangan Gibran. Sekitar 15 menit kemudian, mereka akhirnya sampai. Tempat itu adalah sebuah rumah yang bentuknya lebih mirip dengan gudang. Oleh karena itu, mari kita panggil tempat itu sebagai gudang. Gudang itu berada di ujung gang yang gelap dan terisolasi dari pemukiman penduduk. Gibran melihat sekitar. Udara semakin dingin.

“Masuklah!” pinta laki-laki serba hitam itu.

Laki-laki serba hitam itu memasuki gudang itu. Gibran mengikutinya dari belakang. Di dalam gudang itu, terlihat banyak sekali orang berkumpul. Laki-laki, perempuan, mereka semua remaja. Di bawah sinar rembulan yang pucat, ditutupi oleh atap yang hampir ambruk, di sebuah gudang, orang-orang dengan tubuh lunglai itu mulai berhalusinasi. Terlihat dengan jelas wajah penuh keceriaan dari orang-orang tersebut. Beberapa dari mereka bahkan begitu bersemangat sampai melompat-lompat.

Gibran sangat terkejut dengan pemandangan mengerikan yang membuat tubuhnya menggigil. Wajahnya semakin pucat. 

“Mereka ….”

Ucapannya terputus. Laki-laki serba hitam itu pun tersenyum kecil dan menepuk pundak Gibran. “Mereka para pemakai. Lihatlah wajah bahagia mereka!”

Orang-orang di hadapan Gibran merupakan para “pemakai” dan “pecandu” obat-obat terlarang, yaitu narkoba. Gibran melangkah mundur. Ia tak bisa lebih dekat dengan orang-orang itu. Namun, langkah Gibran dicegah oleh laki-laki serba hitam itu.

“Jangan pergi! Mereka bukan orang jahat. Mereka hanya orang-orang putus asa yang kehilangan jalan hidupnya. Mereka hanya melarikan diri. Tenang saja, mereka tidak akan menyakiti orang lain.”

Gibran menggeleng. Wajahnya ketakutan. “Melarikan diri bukan berarti mereka harus memakai barang haram itu, bukan?”

Salah seorang gadis yang termasuk “pemakai” itu menghampiri Gibran. Wajahnya dipenuhi dengan senyum yang merekah. Gadis itu pun menawarkan barang haram itu pada Gibran.

“Bagaimana jika kamu mencobanya? Ini memiliki efek yang cukup kuat. Kamu akan selalu bahagia dan lupa dengan masalahmu jika mencoba ini. Ayolah! Coba sekali saja.”

Gibran memandang barang haram itu.

Beberapa hari telah berlalu, menyisakan rasa manis bagi beberapa orang dan pahit bagi yang lainnya. Di sebuah sekolah, pada pagi hari yang sejuk dan sunyi, seorang gadis hanya berdiri menatap sebuah bangku yang kosong. Hari masih cukup gelap, tapi gadis itu telah berada di sebuah kelas yang masih kosong.

“Gibran, di mana kamu?”

Wajah gadis itu tampak sedih. Tidak, ekspresinya tidak hanya menyiratkan sebuah kesedihan. Sedih, takut, gusar, khawatir, semuanya terlihat jelas. Pandangannya begitu dalam saat melihat bangku kosong itu. Hatinya gelisah selama beberapa hari ini.

Tanpa ia sadari, seseorang telah memasuki kelas itu. Kini, kelas yang sunyi itu telah ditempati oleh dua orang. 

“Rania, kamu masih memikirkan Gibran?”

Gadis berwajah sedih itu bernama Rania. Ia adalah sahabat Gibran. Mereka telah bersahabat dari saat masih Sekolah Dasar. Ia sangat dekat dengan Gibran. Mereka selalu bersama. Tak pernah terpikir dalam benak Rania bahwa Gibran akan menghilang begitu saja.

“Tak ada kabar darinya. Ponselnya tak bisa dihubungi. Orang tuanya pun tak tahu keberadaannya. Gibran tak pernah seperti ini sebelumnya,” ucap Rania pada gadis yang berdiri di sampingnya.

Gadis yang berdiri di samping Rania itu pun ikut memandang bangku kosong tempat duduk Gibran. “Gibran pasti akan kembali,” ucapnya.

Di sisi lain, Gibran diajak laki-laki serba hitam itu ke sebuah tempat untuk membeli minuman. Gibran mengikutinya karena ketidaktahuannya tentang minuman yang dimaksud oleh laki-laki serba hitam itu.

Setelah sampai di tempat itu, Gibran dikejutkan dengan pemandangan berbagai macam botol berisi minuman keras itu. “Jangan bilang kita akan membeli minuman-minuman itu!”

Laki-laki serba hitam itu tak mendengarkan ucapan Gibran. Ia menghampiri laki-laki lain yang duduk di atas sebuah kotak dan memberinya uang. Laki-laki yang duduk di atas kotak itu langsung menyambar uang itu dan menghitungnya.

“Seperti biasa. Aku dan kawan-kawanku akan berpesta malam ini,” ucap laki-laki serba hitam itu.

Setelah selesai menghitung, laki-laki yang duduk di atas kotak itu memasukkan uangnya ke dalam saku bajunya. “Ambil minumannya dan pergilah!” ucapnya.

Laki-laki serba hitam itu pun langsung mengambil sekotak besar yang berisi banyak sekali botol-botol minuman keras. Setelah itu, ia mengajak Gibran pulang dan meminta Gibran untuk membawa kotak berisi minuman keras itu. Namun, Gibran menolaknya.

“Kalau begitu, pulanglah dengan berjalan kaki,” ucap laki-laki serba hitam itu dan ia pun mengendarainya motornya meninggalkan Gibran. 

Gibran pun berjalan kaki. Di hari yang cukup terik, Gibran melihat para siswa dan siswi yang baru pulang sekolah dengan tatapan yang tak dapat didefinisikan. Ia pun menunduk. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Di satu sisi, ia ingin melanjutkan sekolahnya. Di sini lain, ia tahu bahwa itu semua tak ada gunanya.

Ketika ia terus melangkah pulang, tiba-tiba seorang gadis menatapnya dengan mata berbinar. Terlihat berbinar dan membuatnya langsung berlari menghadiri Gibran yang berjalan sambil tertunduk itu. Gadis itu adalah Rania.

Dengan cepat, Rania langsung memeluk Gibran dari belakang dan membuat Gibran terkejut. “Siapa itu?”

Rania hanya diam. Ia hanya terus memeluk Gibran dengan pelukan yang amat erat. Tanpa ia sadari, air matanya mengalir. Gibran dapat merasakan detak jantung Rania yang begitu kencang dan cepat. Kemudian, ia menyentuh tangan Rania dan melepaskan pelukan itu. Gibran menoleh.

“Rania ….”

Wajah Gibran berubah. Seolah melihat air di padang pasir, itulah ekspresi yang dapat didefinisikan dari wajah Gibran saat ini. Wajahnya terlihat senang, lega, dan ada sedikit rasa kerinduan yang dalam.

“Gibran, di mana kamu selama ini? Kenapa tidak masuk sekolah?” tanya Rania.

Gibran, merupakan seorang laki-laki yang selama ini selalu dekat dengan Rania. Mereka berdua selalu jujur satu sama lain. Tak pernah sekali pun Gibran berbohong pada Rania atau sebaliknya. Namun, kali ini, Gibran mungkin akan membohongi Rania untuk yang pertama kalinya.

“Aku …. Aku pindah sekolah,” ucapnya sambil melihat ke arah lain.

Rania tahu bahwa Gibran berbohong. Belum pernah sekali pun Gibran memandang ke arah lain saat berbicara dengannya. Belum pernah sekali pun Gibran terlihat segugup itu.

“Kamu membohongiku, bukan?”

Gibran terdiam dan menunduk. Sudah pasti Rania dapat mengalahkannya. Gibran sangat tidak mahir dalam berbohong. Saat ini, hatinya dipenuhi dengan rasa bersalah.

“Kamu tinggal di mana?” tanya Rania lagi.

Gibran menelan ludahnya. “Di sebuah gudang bersama teman-teman baruku,” ucapnya.

Rania tersenyum. Ia pun meminta Gibran untuk mengajaknya ke sana. Namun, Gibran tidak mengizinkannya. Dengan segala kekuatan yang dimilikinya, Rania terus memaksan Gibran. Pada akhirnya, Gibran mengalah.

Mereka akhirnya berjalan kaki menuju gudang itu. Gibran merasa tidak enak hati mengajak Rania ke tempat yang sangat berbahaya seperti gudang itu. Namun, wajah Rania sendiri terlihat tidak peduli dengan apa pun yang akan terjadi dengannya.

“Kupikir kamu telah menghilang dari dunia ini,” ucap Rania. 

“Apa kamu khawatir jika aku menghilang?” tanya Gibran.

Rania mengangguk. “Tentu saja.”

Mereka akhirnya sampai. Di sana, Rania tidak terlihat terkejut dengan keadaan yang ada. Gibran sendiri telah terkejut melihat keadaan yang kacau di gudang itu. Di sana, beberapa orang terlihat sudah mabuk berat. Beberapa lagi telah memuntahkan isi perutnya, kemungkinan karena terlalu banyak minum. Gibran tak kuat melihat keadaan itu dan memilih keluar. Rania mengikutinya.

Gibran kembali berjalan ke sebuah taman yang tak jauh dari gudang itu dan Rania hanya membuntutinya. Rania sedari kecil memang terlihat seperti bayangan Gibran. Ke mana pun Gibran pergi, Rania akan membuntutinya. Meski begitu, Gibran selalu menerima kehadiran Rania dan Rania pun tak pernah malu jika diejek karena terus membuntuti Gibran.

Mereka akhirnya berhenti di sebuah taman kecil. Di sana, Gibran menaiki ayunan anak-anak yang sudah reot. Rania duduk di ayunan yang ada di samping Gibran. Mereka bermain ayunan. Tanpa disadari, langit telah kehilangan warna birunya. Tanpa disadari, matahari telah bersembunyi lagi. Mereka bermain dalam diam.

Setelah lama hening, Rania memulai pembicaraan.

“Bisa kamu jelaskan padaku, Gibran?” tanya Rania.

Gibran melihat bulan yang telah datang. Bulan itu terlihat pucat, menggantung di langit gelap, dan keadannya mengenaskan. Bulan itu sendirian. Tak ada satu pun bintang yang terlihat menemaninya.

“Jelaskan tentang apa?”

Rania menarik napas kuat-kuat dan mengembuskannya perlahan-lahan. “Alasanmu kabur dari rumah. Bisa kamu jelaskan padaku kenapa kamu kabur dari rumah?”

Gibran terdiam cukup lama setelah mendengar pertanyaan itu. Dalam kebisuan yang cukup lama itu, ia terus menghela napas. 

“Menurutmu kenapa aku kabur dari rumah?” tanya Gibran dengan memberi teka-teki pada Rania.

Rania menghela napas. “Gibran, kumohon jawab pertanyaanku dengan sungguh-sungguh,” pinta Rania dengan wajah lelah.

Gibran tersenyum kecil. “Apa kamu mulai tidak sabar menghadapiku?”

Rania menggeleng. “Aku hanya ingin kamu pulang dan kembali kepada orang tuamu. Aku yakin mereka sangat khawatir.”

Ucapan Rania membuat Gibran menghentikan senyumnya.

“Mereka merampas kameraku. Itu adalah satu-satunya barang berharga yang kumiliki dan kudapatkan dari jerih payahku sendiri. Dengan keegoisan mereka sebagai orang dewasa, mereka merampas impianku dan membuangnya jauh-jauh sampai aku tak bisa menemukannya lagi. Memaksaku menekuni buku-buku ekonomi yang tak sedikit pun kupahami. Memintaku untuk menjadi penerus mereka dan mengurus perusahaan. Aku sama sekali tidak merasakan kehidupan yang mereka berikan padaku. Apa yang terjadi dengan hidupku? Aku hanya ingin bebas. Aku hanya ingin melihat dunia dari sudut pandangku, tapi mereka membuatku buta. Bahkan mereka melumpuhkan kakiku agar bisa terus mengendalikanku. Jadi, untuk apa aku kembali ke neraka tak berujung itu?”

Rania mengerti. Gibran selalu mengikuti apa yang selalu diminta orang tuanya. Tak pernah sekali pun Gibran marah atau menentangnya. Baru kali ini saja Rania melihat Gibran terlihat sangat putus asa.

“Aku tahu. Tindakan mereka benar-benar tidak pantas. Meski begitu, niat mereka baik. mereka hanya ingin kamu menjadi orang yang berhasil di masa depan. Itu cita-cita setiap orang tua pada anaknya. Kita sebagai anak mungkin belum dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang tua, tapi orang tua pernah merasakan apa yang kita rasakan saat ini.”

Gibran tertawa pahit. “Berhasil di masa depan? Itu ucapan yang sungguh egois, Rania. Apa mereka tidak percaya dengan kemampuanku sendiri? Aku ingin berhasil dengan caraku sendiri. Aku tidak ingin menjadi budak yang selalu dipenjara. Keinginanku saat ini hanyalah ingin hidup bebas dari neraka itu. Maka dari itu, jangan paksa aku untuk kembali ke sana.”

Rania berhenti bermain ayunan itu dan kemudian berdiri di hadapan Gibran. Wajahnya tampak sedih. 

“Kalau begitu, jangan menyerah! Kamu laki-laki, bukan? Kamu seharusnya percaya pada dirimu sendiri. Sungguh, aku tidak mengenalmu saat ini. Gibran, sahabat masa kecilku, bukanlah orang yang muram sepertimu. Aku di sini, di hadapanmu, Gibran. Kamu bisa mengandalkanku. Bagaimana pun juga, aku ingin membantumu sebagai seorang sahabat.”

“Meskipun aku dalam masalah besar?”

Rania mengangguk.

“Apa yang akan kamu lakukan untukku?”

Rania mencubit pipi Gibran. “Aku akan menjagamu. Aku benci seorang Gibran yang muram dan bergaul dengan orang-orang yang tidak baik itu. Maka dari itu, aku akan selalu menemanimu dan selalu berada di sisimu. Aku akan duduk mendengar setiap kisah yang kamu ucapkan. Aku akan mengajarkan sesuatu yang tidak kamu mengerti.”

Gibran hanya menatap wajah Rania yang terlihat begitu serius. Ia kemudian menunduk. Lalu, bagaimana jika semua yang dilakukan Rania untuknya hanya sia-sia belaka? Untuk mewujudkan semua itu, apa ia harus kembali ke rumahnya? Apa ia harus kembali bertemu dengan orang tuanya dan mengakui kesalahannya karena kabur dari rumah?

Gibran menepis tangan Rania. “Tidak bisa. Aku tidak akan pulang ke rumah itu. Aku memiliki teman-teman baru yang sama-sama bermasalah sepertiku.”

“Kamu benar-benar tidak ingin pulang dan lebih memilih orang-orang itu?” tanya Rania.

Gibran mengangguk. “Ya. Kamu tidak akan pernah bisa mengerti, Rania.”

Mata Rania berkaca-kaca. Di bawah sinar rembulan itu, wajahnya terlihat seperti seseorang yang telah kehilangan sesuatu yang berharga dari dirinya.

“Apa yang tidak kumengerti? Jika kamu tidak mengatakannya, apa aku bisa mengerti?”

Gibran menunduk. “Rania, kamu mungkin berpikir bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak baik. Kenyataannya, mereka hanya kehilangan masa depan mereka. Kurasa aku mungkin lebih nyaman berada di dekat mereka daripada harus menjadi budak di rumahku sendiri.”

Rania menampar Gibran. Angin di sekitar mereka menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Gibran terlihat terkejut. Pipinya merah karena tamparan itu.

“Kupikir kamu bisa berpikir dewasa, tapi pemikiranmu seperti anak-anak. Saat ini, kamu mungkin menganggap mereka sebagai orang yang tidak beruntung. Kemudian, kamu akan memahami pemikiran mereka dan merasa menjadi satu dengan mereka. Setelah itu, kamu akan mulai mencoba hidup seperti mereka dengan mencoba-coba barang-barang yang dapat merusak masa depan itu. Jika kamu tidak menganggapku sebagai sahabat lagi, silakan kembali ke tempat itu dan lupakan saja diriku.”

Rania pergi. Ia tak kuasa menahan tangisnya. Ia pergi bukan karena marah pada Gibran, tapi karena malu harus menangis di hadapan Gibran. Mereka sama-sama lemah. Mereka hanya remaja yang masih terombang-ambing. Jika Rania benar-benar meninggalkan Gibran saat ini, maka Gibran akan semakin kacau. Gibran mungkin akan menjadi seorang pecandu alkohol dan narkoba. Gibran akan melakukan apa pun demi mendapatkan barang itu, bahkan dengan mencuri dan merampok. Jika semua kesenangan yang ia dapatkan dari barang haram itu telah hilang sepenuhnya dari diri Gibran, mungkin Gibran akan mengakhiri hidupnya. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Rania.

“Lalu, aku harus apa sekarang?” tanya Gibran.

Rania yang baru berjalan beberapa langkah terhenti dengan pertanyaan Gibran. Gibran menghampirinya dan berdiri di samping Rania. 

“Aku harus apa?” tanya Gibran sambil menatap Rania.

Rania menoleh, menatap Gibran dengan tatapan yang begitu dalam. Mereka saling bertatapan. Di tengah air matanya yang mengalir, sebuah senyum merekah dari wajah Rania. “Bagaimana jika kamu pulang ke rumahmu terlebih dahulu?” 

Gibran menggeleng. “Aku sudah mengatakan jika aku tidak ingin kembali ke sana.”

“Aku tahu, tapi bagaimana pun juga kamu harus kembali ke sana. Kamu hanya punya dua pilihan, Gibran. Rumah orang tuamu atau gudang itu. Kupikir pilihan yang paling tepat di sini adalah kembali ke rumahmu. Jika kamu bertahan di gudang itu dengan berpikir bahwa kamu tidak akan terpengaruh oleh perilaku buruk mereka, maka kamu salah. Bagaimana pun juga, sekuat apa pun pendirianmu, kamu masih akan terpengaruh oleh lingkungan tempatmu tinggal. Kamu akan mencoba barang-barang itu. Kamu akan merusak dirimu sendiri. Pada akhirnya, kamu akan benar-benar kehilangan hidup yang begitu berharga.”

Gibran masih menatap Rania. “Lalu, bagaimana jika aku kembali ke rumah?”

Rania menghapus air matanya. “Kamu mungkin akan dipaksa mempelajari buku-buku ekonomi yang tidak kamu mengerti. Namun, kamu tenang saja. Kamu hanya perlu mempelajarinya dan menguasainya dengan baik. Aku berjanji akan membantumu. Setelah kamu melakukannya dengan baik, kamu bisa meminta imbalan pada orang tuamu, yaitu mengembalikan kameramu dan kamu bisa bebas melakukan apa pun dalam hidupmu. Tidak salah jika kamu ingin melakukan apa yang kamu inginkan. Tidak salah juga jika kamu melakukan apa yang orang tuamu inginkan. Semua tergantung pada dirimu. Yang pasti, jangan hanya berdiam diri dan lakukanlah sesuatu yang baik.”

Gibran menyentuh tangan Rania. “Apa kamu bisa mengantarku pulang?”

Rania tersenyum dan mengangguk. Mereka akhirnya kembali ke rumah Gibran. Rasanya, Gibran kembali mendapatkan kepercayaannya terhadap dunia. Ia tak lagi merasa sendiri. Tanpa ia sadari, ada orang yang benar-benar memikirkannya. Maka dari itu, ia pun mencoba melakukan apa yang diminta oleh orang yang sangat peduli padanya itu.

Setelah sampai di depan rumah, Gibran kehilangan keberaniannya. Rania dapat membaca itu dengan jelas dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Gibran pun memberanikan diri dan memasuki rumahnya.

Saat orang tua Gibran melihat Gibran kembali bersama Rania, mereka dengan cepat memeluk Gibran dan bersyukur melihat Gibran baik-baik saja.

“Ke mana saja kamu? Ibu sangat khawatir,” ucap ibu Gibran.

Gibran hanya diam dalam pelukan orang tuanya. Rasanya itu merupakan pelukan hangat yang lama sekali tak ia dapatkan. Pada akhirnya, seorang anak akan kembali pada orang tuanya. Pada akhirnya, sekeras-kerasnya orang tua pada anak, itu adalah suatu upaya mereka dalam mencintai anaknya.

“Ayah, Ibu, aku minta maaf. Aku ingin jujur pada kalian,” ucap Gibran.

“Apa yang ingin kamu katakan pada kami, Nak?” tanya ayah Gibran.

  Gibran melihat Rania. Rania pun memandang Gibran sambil menganggukkan kepalanya. 

“Aku kabur karena kalian mengambil kameraku. Aku membenci hal itu dan menjadi marah. Kemudian, selama kabur ini, aku tinggal di sebuah gudang yang dipenuhi dengan orang-orang seusiaku yang telah pupus harapannya akan masa depan. Aku melihat mereka minum alkohol dan memakai narkoba. Beberapa dari mereka yang sudah tidak sanggup membeli narkoba dan alkohol pun menyerah dan membunuh dirinya sendiri. Aku bersumpah bahwa aku tidak memakai sedikit pun barang itu. Aku minta maaf sudah merepotkan kalian.”

Orang tua Gibran saling bertatapan dan akhirnya tersenyum. Ibu Gibran mengelus kepala Gibran dengan sangat lembut. “Itu salah kami, Gibran. Kami tahu bahwa kamu memberontak seperti ini karena paksaan kami dan juga karena kami merebut barang berhargamu. Ibu minta maaf. Mulai saat ini, kami tidak akan memaksamu lagi. Kamu bebas melakukan apa saja. Kamu bebas memilih pekerjaan apa pun di masa depan. Asalkan tindakan dan pekerjaanmu baik, kami akan mendukungmu.”

Wajah Gibran terlihat cerah. “Benarkah?”

Ayah dan ibunya mengangguk. Gibran memeluk mereka berdua. Rasanya hangat. Rasanya, tak ada lagi yang perlu ia takutkan. Gibran juga sangat berterima kasih pada Rania yang telah membantunya melalui masa sulitnya.

“Apa aku boleh minta tolong pada kalian?” tanya Rania, memecah kehangatan pelukan keluarga itu.

“Minta tolong apa?” tanya Gibran.

“Aku melihat sendiri bagaimana putus asanya mereka. Mereka memiliki ketergantungan yang begitu parah pada barang-barang haram itu. Aku ingin membantu mereka kembali ke jalan yang cerah seperti Gibran, tapi aku tidak memiliki kekuatan yang cukup. Jadi, bisakah aku meminta bantuan pada Paman dan Bibi terkait masalah ini?”

Beberapa hari kemudian, gudang tempat tinggal sementara Gibran saat masa pelariannya itu didatangi oleh orang-orang berseragam. Orang-orang berseragam itu menangkap para remaja itu. Para remaja yang telah kehilangan arah itu pun dibawa dan direhabilitasi karena kecanduan mereka tehadap narkoba.

“Rania, apa ini membuatmu senang?” tanya Gibran.

Rania mengangguk. “Ya, tentu saja. Aku bersyukur masih memiliki orang tua dan teman yang peduli padaku. Aku masih bisa bersekolah. Aku punya rumah yang layak. Aku masih bisa merasakan hangat matahari. Aku bahagia dan bersyukur dengan kehidupanku saat ini dan aku tak ingin bahagia sendirian. Aku ingin mereka berhenti menggunakan barang-barang haram itu dan mulai melangkah menuju cahaya.”

Remaja, merupakan masa-masa yang begitu sulit. Sedikit saja salah bimbingan, remaja bisa kehilangan arah dan tujuannya menjalani hidup. Kenakalan remaja menjadi hal yang umum di berbagai negara. Remaja hanya membutuhkan perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Orang tua harus percaya pada anak mereka sendiri. Percaya bahwa sang anak mampu melakukan hal yang terbaik bagi dirinya sendiri. 

Kenakalan remaja, mungkin ini isu yang begitu panas di berbagai belahan dunia. Sebagai remaja, hal pertama yang dapat kita lakukan untuk menghindari kenakalan-kenakalan yang berkembang di kalangan para remaja adalah dengan mendekatkan diri dengan Tuhan dan juga orang tua. Kita juga harus cerdas mencari teman dan lingkungan pergaulan. 

“Apa yang akan kamu lakukan mulai saat ini, Gibran?” tanya Rania.

“Tentu saja aku akan belajar sungguh-sungguh. Setelah kupikirkan lagi, mungkin aku akan menerima permintaan orang tuaku dan meneruskan cita-cita mereka sebagai seorang pengusaha. Aku akan menjadi pengusaha sukses dan membangun perusahaan di negara-negara lain. Kemudian, aku akan berkeliling dunia dan mengabadikan kisahku dengan kameraku.”

Rania tertawa kecil. “Itu ide yang hebat.”

Gibran menggenggam tangan Rania. “Kamu ikut denganku, bukan?”

Rania tersenyum malu-malu. “Boleh saja.”

Share this post

Tinggalkan Balasan