Karya: Zubaidah (Peserta Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Bismillahirrahmanirrahim… iżā waqa’atil-wāqi’ah laisa liwaq’atihā kāżibah
Surat Al waqiah menghiasi pagi di pondok pesantren nurud-dhalam rutinitas santri sebelum berangkat ke madrasah seluruh santri sholat dzuha berjamaah, mengingat pahala dan keutamaannya yang besar tak henti-hentinya kiai menganjurkan agar dilaksanakan secara Istiqomah.
Cahaya mentari semakin bersinar terang para santri berlalu-lalang membawa kitab dan buku dalam genggamannya menuju kelasnya masing-masing sedangkan Aisyah masih mencari-cari bukunya di dalam kamar
“ya Allah… Kemana lagi aku harus mencarinya?” Raut wajahnya gelisah melihat teman-temannya yang sudah berangkat semua kecuali Linda dan Zulfa
“ai masih belum ketemu Tah, tinggal 5 menit lagi kita masuk” ujar Zulfa, dan aisyah deru nafasnya semakin memburu
“kalian duluan ya nanti aku nyusul” namun kedua temennya masih setia menunggu Aisyah menyuruh mereka untuk berangkat saja akhirnya keduanyapun manut saja.. setelah buku mapelnya ditemukan
“Alhamdulillah” Aisyah segera bangkit dan melangkah cepat
“Aisyah mau kemana?” spontan langkahnya terhenti saat Aisyah mendengar nyiai memanggilnya
“ke madrasah nyiai” ujar Aisyah tubuhnya membungkuk sebagai rasa hormat santri kepada nyiai
“oh iya sepulang sekolah kamu ke dhalem ya”
“engghi nyiai”.
waktu berputar hingga menjelang siang Aisyah ke dhalem memenuhi panggilan nyiai beliau sedang duduk di ruang tamu “nak cucian punya Gus Husain nanti diambil ya di kamarnya, dia baru datang dari pondoknya”
‘Deg… Jantung.. oh jantung… Apa yang membuatmu berdetak 2 kali lipat hanya mendengar namanya saja’ bisiknya dalam hati “engghi nyiai saya pamit ke pondok dulu” Aisyah mundur sebelum balik badan nyiai tak boleh melihat raut wajahnya yang seketika berubah mendengar nama putranya
“tunggu… Buatkan kopi dulu ya nak di depan dhalem ada temen-temennya Husain, nanti biar aku saja yang ngasih”
“baik nyiai”
Aisyah menuangkan air hangat ke dalam mug dan mengaduknya pelan, aromanya tercium saat dituangkan kedalam cangkir.
“Husain, kamu bilang 2 tahun lagi kamu akan boyong dari pesantren Lirboyo, dan melanjutkan studimu di Mesir, bolehkah aku menanyakan sesuatu?” tanpa sengaja ia mendengar nama Husain disebut, Sejenak ia terhenti dan mendengarkan secara seksama perbincangan mereka
“Tanyakan saja” Aisyah tersenyum mendengar suara Gus Husain membuat hatinya berdebar ada sesuatu yang tidak biasa terjadi dalam lubuk hatinya ia ingin mendengar suaranya sepanjang waktu
“aku penasaran aja istri idamanmu seperti apa sih? siapa tau kita bisa jadi saudara ipar wkwk”
“Maksudmu kamu menjodoh-jodohkan aku dengan adikmu yang masih MTS itu”
“ya elah Husain, nggak harus memandang usia kan? Hahaha”
“ada-ada saja kau mam, persoalan itu belum aku pikirkan sama sekali”
“Ayolah jawab kita-kita ini sudah bertunangan aku, faisal, roni, masak kamu betah amat jadi jomblo”
“Tentunya……” Husain menggantungkan ucapannya “seperti Sitti Aisyah” Aisyah tertawa kecil seolah-olah dirinyalah yang dimaksud Gus Husain “Sitti Aisyah istri Rosulullah” lanjut Gus Husain membuat Aisyah sadar sepenuhnya ia mengkhayal terlampau jauh hingga lupa ia terlalu berharap sesuatu yang amat muhal baginya
‘ya Allah hanya sesaat aku mengharapkan hambamu… Secepat itu pula runtuh seketika dan merawat harapan selain dari pada-Mu sakitnya benar-benar nyata’ ia bergumam dalam hati hanya ia dan tuhanlah yang tau, Aisyah menganggap dirinya tidak ada apa-apanya karakter Sitti Aisyah istri Rosulullah tidak sedikitpun ada pada dirinya, Aisyah membalikkan badannya nampan sedari tadi ditangannya hampir terjatuh akibat terkejut dengan keberadaan nyiai yang secara tiba-tiba berada di depannya
“biar saya yang ngasih kopinya ya”
“iya nyiai” Aisyah menyerahkan kopinya yang mulai dingin sedingin hatinya yang mulai membeku.
“Husain Husain sini nak, Aisyah kamu jangan kemana-mana dulu” Aisyah mengangguk “iya mi, bentar ya temen-temen” Gus Husain kini berada didepan umminya “Ada apa mi?”
“Nak ambilkan semua bajumu yang kotor ummi pusing yang mau ke kamarmu berantakan sekali nak”
“ummi malu ah ada santriwati di sini… Biasa mi Kan baru Datang masih belum diberesin”
“cepetan gih kasian Aisyah biar ummi yang ngasih kopinya ke temen-temen kamu”.
Aisyah berusaha menetralkan detak jantungnya yang naik turun ia mengikuti Gus Husain dari belakang dan menunggu diluar kamarnya Gus Husain menarik koper besar lalu pergi tanpa sepatah kata
‘sadar Syah, kamu itu santri … tugasmu belajar, jatuh hati urusan nanti’ ia menghela nafas lalu pergi ke pondoknya.
Beberapa baju sudah dimasukkan ke dalam bak untuk segera dicuci barang-barang berharga dikantong baju dan celananya disimpan ke dalam lemari untuk diserahkan ke nyiai setelah bajunya kering nanti. Aisyah juga menemukan note berukuran kecil berisikan kata-kata “Man shabara zhafira.” (Siapa yang bersabar akan beruntung). “Man jadda wajada!” (Siapa bersungguh-sungguh akan berhasil). “Man Saara Ala Darbi Washala” adalah Barang siapa berjalan pada jalannya, maka dia akan sampai (pada tujuannya). Ada stimulus yang Aisyah rasakan setelah membaca selembar tulisan itu meski tak disampaikan langsung oleh Gus Husain ia mengambil hikmah dan dicerna oleh pikiran dan perasaanya bahwa kunci perjuangan berpegang teguh pada 3 mantra itu dengan begitu Aisyah berharap ia mendapatkan barokah ilmu selama ia mondok meskipun sibuk di dhalem dan kesempatan belajar tidak sama dengan Santri lainnya Akan ia perjuangkan untuk terus menimba ilmu.
“Ketahuilah mempelajari ilmu itu wajib hukumnya, apa dalilnya utlubul Ilmi minal Mahdi ilallahdi ingat !.Hingga akhir hayat bukan berhenti ketika sudah berkeluarga atau masa tua” itu lah yang disampaikan oleh ustadzah di sekolah.
Masa aliyah tinggal menghitung Minggu, putih abu-abu serasa baru kemaren Aisyah mengenakannya ia merenung dan bertanya-tanya, apa yang bisa ia lakukan sekarang selain memikirkan masa depan langkah apa yang harus ia ambil setelah lulus nanti mengabdi di pondok atau kuliah sedangkan kuliah biayanya tidak sedikit, finansial sangat tidak mendukung jika memilih kuliah, maka dengan keikhlasan hati ia putuskan untuk mengabdi di pondok hingga menunggu waktu hingga tiba pulang ke kampung halamannya.
“Aisyah….”
“Engghi nyiai…”
“Panggilkan Husain ya nak… Dia belum sarapan”
“Engghi nyiai” Aisyah langsung bergegas memenuhi perintahnya
“Gus dipanggil nyiai..” beliau sedang mengobrol bersama Ridlo teman kelas Aisyah saat SD dia seorang tahfidul Qur’an suatu kebanggaan dan teramat bahagiannya orang tuanya kelak mendapatkan mahkota di surga-Nya yang membuat Aisyah heran bagaimana mereka bisa kenal bahkan seakrab itu
“tenang lur aku tidak akan memanggil dia selagi masih ditempat ini…” Ridlo tertawa dan melihat Aisyah yang masih setia berdiri di depan pintu
“Saya nyusul Syah… Sampaikan ke ummi”
“Baik Gus” hanya itu yang bisa Aisyah katakan.
Aisyah kembali ke dapur dan menyiapkan makanan ke atas meja
“Setelah sarapan kita ngaji”
“iya bi”
“kamu kapan balik pondok nak?”
“setelah pernikahan Ridlo bi” nyaris Aisyah terkejut
‘Ridlo mau menikah dengan siapa, beruntung sekali perempuan tersebut dipinang oleh takhfidul qur’an?’ Aisyah bertanya-tanya dalam hati siapakah calon istrinya.
Aisyah duduk di dalam menunggu mereka hingga selesai sarapan
“Ridlo siapa nak?, abi kok nggak kenal yang tadi di kamarmu ya?”
“dia sudah pulang bi kami teman pondok bi, tapi tidak sekamar”
Sesaat semuanya terdiam
“abi….”
“iya nak….”
“bi sekalipun aku putra abi dan ummi, aku…. Aku Sama seperti lainnya, merasakan yang Namanya sakit hati, cinta, rindu dan bahagia terhadap sosok lain yang tak terikat hubungan mahram dengan kita, apakah abi dan ummi melarang? Aku tidak macam-macam kok bi hanya ingin mencurahkan apa yang terpendam”
“kenapa kamu bilang seperti itu nak?”
“aku… hanya….”
“kamu nggak segan cerita hal itu ke abi?”
“segan bi, sangat segan maaf bi”
“tidak apa-apa nak kamu sudah dewasa kamu yang lebih tau dan lebih mengerti diri kamu sendiri”
“tapi bi…. Ada yang mendahuluiku dan akupun baru tau bi”
“serahkan semuanya kepada pemilik semesta nak… segalanya diatur oleh Allah”
Aisyah termangu mendengar pernyataan dari gus Husain mungkin dia tidak sadar bahwa masih ada santri yang mendengar curahan hatinya. Aisyah turut kasihan kepada gus Husain tanpa tau siapa perempuan yang dia maksud.
Sore itu “Aisyah saatnya kamu pulang”
“kenapa pak? Kalau memang ada perlu ya sudah aku pamit dulu ke nyiai tapi keperluan apa?”
“kamu pamit bareng bapak nak, karna kamu tidak akan balik lagi ke pondok”
“kenapa begitu pak aku betah sekali di pesantren ini kenapa harus berhenti”
Tanpa sepatah kata untuk mewakili jawaban dari pertanyaan Aisyah, bapaknya menyerahkan surat undangan pernikahan, kedua nama mempelai membuat Aisyah tak mampu berkata-kata jantungnya berdetak hebat ia tak mampu bernafas dengan teratur setelah membaca undangan yang tertera nama dirinya Sitti Aisyah & Fathur Ridho Al-farizy yang duduk Bersama gus Husain kemaren.
“kenapa bapak tidak minta persetujuan dariku pak” air matanya tumpah membanjiri kedua pipinya
“dia laki-laki yang baik, kamu masih meragukan pria yang sholeh seperti dia? Maaf nak keputusan bapak dan ibumu itu yang terbaik untuk mu ke depan” Aisyah pun tak kuasa ia hanya bisa pasrah mungkin awal yang ia rasakan saat ini teramat pahit baginya ia hanya bisa berharap esok suasana akan berdamai dengan hatinya sekalipun rasa masih tertuju pada dia gus Husain.
Pelukan berhamburan dari berbagai arah baju-baju di lemari bantu dikemas oleh teman-teman pondoknya ucapan selamat membuat Aisyah masih tidak percaya dengan apa yang dialami saat ini Aisyah dan bapaknya pamit saat sekeluarga berkumpul, nyiai turut merasa kehilangan
“siapa lagi yang ummi suruh untuk cuci bajumu nak kalau Aisyah sudah boyong” nyiai menatap putranya
“ummi kayak punya santri satu saja” gus Husain tersenyum tanpa sengaja pandangan mereka bertemu
‘Ya Allah tidak ada kekuatan dan daya upaya selain dari-Mu aku ikhlas dan pasrah jika Aisyah cinta pertamaku bertemu dengan jodohnya yang telah engkau pilih semoga mereka bahagia dunia akhirat’ harapan dan do’a dari gus Husain penuh dengan keiklasan ia mampu menyembunyikan rasa cintanya dari keluarganya bahkan yang dicintainya kecuali kepada tuhannya
Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan
Dalam hidup dan yang paling pahit
Adalah berharap pada manusia
~Ali bin Abi Tholib~
Share this post