Divisi P3M CSSMoRA UIN Walisongo menyelenggarakan Roadshow CSSMoRA Falak Class pada Sabtu, 1 November 2025 di MA Nurussalam Ngaliyan dengan mengusung tema “Eksplorasi Ilmu Falak Astronomi Islam untuk Kebutuhan Ibadah.” Kegiatan ini merupakan upaya memperluas edukasi mengenai ilmu falak bagi pelajar tingkat menengah, khususnya dalam kaitannya dengan praktik ibadah seperti penentuan awal waktu sholat dan arah kiblat. Kegiatan ini diinisiasi melalui open recruitment internal CSSMoRA untuk mengajak para relawan yang berkomitmen dalam kegiatan pengabdian masyarakat. Peserta kegiatan ialah siswa-siswi kelas XI MA Nurussalam yang mengikuti kegiatan dengan antusias.
Acara dimulai dengan sambutan dari Ketua CSSMoRA UIN Walisongo, saudara Asyraf Zafir Wafa, yang menekankan pentingnya peran mahasiswa dalam menjaga keberlanjutan tradisi keilmuan Islam di tengah perkembangan teknologi modern. Sambutan dilanjutkan oleh Kepala MA Nurussalam Ngaliyan, yang menyampaikan apresiasi mendalam atas kehadiran tim CSSMoRA. Beliau menyatakan bahwa :
“Kami sangat bersyukur telah didatangi mahasiswa dari CSSMoRA UIN Walisongo yang ingin membagikan ilmunya terkait keilmuan falak yang kehadirannya tanpa diundang di sekolah ini dan ini menunjukkan keikhlasan yang luar biasa datang di sekolah kami. Serta menjadi motivasi bagi anak-anak didik kami yang ingin melanjutkan pendidikannya setelah lulus dari sekolah ini, syukur-syukur bisa mendapatkan beasiswa seperti kakak-kakak yang berada di sini.”
Sesi materi kemudian terbagi menjadi tiga bagian, yang masing-masing disampaikan oleh para pemateri dari CSSMoRA. Materi pertama, berjudul Pengenalan Ilmu Falak, disampaikan oleh saudari Nurilhani, yang menjelaskan kedudukan ilmu falak dalam tradisi Islam dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Materi kedua, mengenai Awal Waktu Sholat, disampaikan oleh saudari Sabilatun Nazwa, menjabarkan metode penentuan waktu sholat melalui pendekatan perhitungan astronomis. Selanjutnya, materi ketiga, mengenai Arah Kiblat, dibawakan oleh saudara Fathan Hasan Ali, yang menguraikan metode pengukuran arah kiblat baik tradisional maupun modern.
Setelah sesi materi, kegiatan dilanjutkan dengan praktik penggunaan alat-alat falak sebagai wahana pembelajaran langsung. Sesi pertama adalah praktik Mizwala dipandu oleh saudara Awalul Farhan Yestra, diikuti dengan praktik Theodolite yang dipandu oleh saudara Ais Nur Riski. Pada sesi ini, peserta terlihat aktif berdiskusi, mencoba mengoperasikan alat, serta mencatat hasil pengamatan mereka.
Di sisi lain, para panitia yang terlibat juga memperoleh pengalaman berharga. Salah satu panitia, Intan Muthoharoh, menyampaikan kesan bahwa:
“Pastinya senang bisa bermanfaat bagi orang lain. Selain itu, tujuan ikut juga ingin mengukur seberapa jauh kemampuan saya sendiri baik dalam bersosialisasi, public speaking, maupun tentang materi. Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada P3M yang telah mengadakan proker ini dan membuka peluang kepada selain P3M untuk bisa berpartisipasi.”
Adapun salah satu peserta, Aristin, menyampaikan bahwa kegiatan ini memberi inspirasi untuk mempelajari lebih dalam hubungan kosmos dengan ajaran Islam. Ia menyampaikan harapannya agar komunikasi antara para siswa dan komunitas atau mahasiswa Ilmu Falak dapat terus terjalin ke depannya.
Dengan demikian, kegiatan Roadshow CSSMoRA Falak Class ini telah terlaksana dengan baik dan memberikan manfaat bagi kedua belah pihak: mahasiswa sebagai fasilitator ilmu dan para pelajar sebagai penerima pengetahuan yang memiliki rasa ingin tahu tinggi.
Membedah Ilmu Falak dalam “Class of CSSMORA” Kabinet Navantar
Semarang – CSSMoRA UIN Walisongo Semarang, di bawah naungan Kabinet Navantara. sukses menggelar edisi perdana “Class of CSSMoRA” (CoC) dengan fokus mendalam pada “Perhitungan Awal Waktu Salat”. Acara yang berlangsung hangat dan komunikatif ini dilaksanakan pada Jumat, 31 Oktober 2025, bertempat di YPMI Al-Firdaus, tepat Ba’da Ngaji hingga selesai, menghadirkan Pemantik ahli, Dhimas Richie Pramono.
Kegiatan ini merupakan jawaban atas kebutuhan nyata para anggota baru, khususnya angkatan 2025, dalam menghadapi tantangan keilmuan di bangku perkuliahan.
Mengurai Benang Kusut Perhitungan Salat
Nurziah Rahman, salah satu panitia pelaksana, menjelaskan bahwa CoC Falak ini lahir dari inisiatif untuk menjawab kebingungan anggota baru. “Berangkat dari pertanyaan Kami Kakak Kakak Senior ke Adek Tingkatnya, apa yang sekarang dihadapi, apa yang berat di perkuliahan, apa yang belum dipahami. Makanya dari situ kami mengambil tema ini,” ujar Nurziah.
Meskipun tema ilmu falak umumnya terkesan rumit, namun fokus pada perhitungan awal waktu salat dipilih karena topik inilah yang dirasakan paling sulit oleh anggota 2025.
“Melihat dari pernyataan teman-teman Angatan 2025 itu, ya mereka sampai saat ini tuh yang belum terlalu dipahami itu tentang perhitungan awal-awal waktu salat ini. Karena ya itu ribetnya itu beda ya sama arah kiblat,” kata Nurziah, menjelaskan alasan pemilihan tema yang spesifik tersebut.
Tujuan utama CoC ini adalah menjadi fondasi bagi anggota untuk memperdalam keilmuan di kejuruannya masing-masing. Nurziah juga menegaskan bahwa ke depannya, CoC akan berlanjut dan mencakup keempat jurusan yang ada di CSSMoRA, tidak hanya Ilmu Falak.
Menariknya, CoC ini tidak hanya diikuti oleh mahasiswa Ilmu Falak, tetapi juga oleh peserta dari program studi lain. Kehadiran lintas jurusan ini dipandang sebagai kesempatan emas untuk memperluas manfaat ilmu falak ke ranah yang lebih luas.
Asyraf Zafir Wafa, Ketua Umum CSSMoRA UIN Walisongo, mengungkapkan motivasinya sebagai pemimpin: “Kadang mereka butuh suasana yang lebih enjoy, teman yang lebih bisa menggunakan bahasa-bahasa yang sederhana, agar ilmu itu bisa masuk ke dalam pikiran mereka sendiri.”
Mengenai manfaat bagi peserta non-Falak, Ketua Umum menaruh harapan besar:
“Minimal dia mendapatkan manfaat itu berupa apa? Mungkin dari pembelajaran malam hari ini mungkin teman-teman misal dari Jurusan teknologi informasi mereka akan lebih banyak bertanya oh kira-kira bisa enggak nih ilmu falak ini disandingkan dengan teknologi atau misalkan nanti buat aplikasi,” jelas Asyraf.
Menurutnya, manfaat yang didapat bukan sekadar pengenalan, tetapi juga pemicu ide untuk mengembangkan ilmu falak ke ranah teknologi, sosial, dan filsafat. Ketua Umum pun menilai kegiatan ini “Sangat membantu” karena terbukti mampu menyampaikan materi perhitungan salat yang rumit dengan bahasa sederhana dan mudah diterima oleh anggota.
Catatan Evaluasi: Peka dan Berkelanjutan
Menutup wawancara, Ketua Umum Asyraf Zafir Wafa menyampaikan harapannya untuk panitia agar terus meningkatkan sensitivitas terhadap kebutuhan anggota. “Harapannya kepada semua panitia mungkin mereka bisa lebih membaca lagi apa yang dibutuhkan oleh teman-teman anggota dari CSSMoRA,” pesannya.
Meskipun CoC ini adalah yang pertama, Nurziah Rahman mengonfirmasi bahwa kegiatan serupa akan terus berlanjut. Tidak menutup kemungkinan akan ada review ulang materi falak atau tema lain dari mata kuliah yang dirasa sulit, sesuai dengan permintaan dan kebutuhan anggota CSSMoRA.
Produser : Emma Thomas; Christoper Nolan; Lynda Obst
Durasi : 169 menit
Interstellar adalah sebuah film fiksi ilmiah yang menceritakan bahwa bumi dimasa depan akan mengalami ketidakseimbangan ekosistem akibat badai debu yang menerjang daratan. Semua makhluk hidup bergantung hanya kepada hasil pertanian—termasuk Cooper, mantan pilot NASA yang tinggal bersama kedua anak dan ayah mertuanya. Anak perempuannya yang bernama Murph, percaya bahwa dirumah mereka terdapat sosok tak kasat mata yang berusaha berkomunikasi dengan mereka melalui debu-debu yang membentuk sebuah pola. Namun, ternyata pola-pola tersebut menuntun Murph dan ayahnya ke pangkalan rahasia milik NASA.
Disana mereka bertemu dengan Profesor Brand, ia mengungkapkan kepada Cooper bahwa perjuangan manusia bertahan hidup dalam keadaan yang amat mengerikan ini adalah kesia-siaan. Ia mengungkapkan dua rencananya dan menawarkan kerja sama kepada Cooper. Rencana yang pertama, menciptakan penggerak anti gravitasi untuk mendorong permukiman diluar angkasa. Rencana yang kedua, menerbangkan embrio beku untuk menetap di planet baru yang layak huni. Akhirnya Cooper menerima tawaran dari Profesor Brand untuk menjalankan rencana kedua meskipun keputusannya ini sangat mengecewakan Murph. Pada misi ini ia ditemani tiga astronot lainnya, yaitu Dr. Amelia Brand, Dr. Romily dan Dr. Doyle.
Mereka menuju tiga planet yang berpotensi layak huni berdasarkan laporan astronot sebelumnya yang kini tak kunjung kembali ke bumi. Planet pertama yang mereka kunjungi adalah planet air. Waktu di planet ini berjalan amat lambat yang mana satu jam disana setara dengan tujuh jam di bumi. Misi di planet ini berakhir dengan bencana dan mereka kehilangan salah satu anggota timnya. Planet kedua yaitu planet es, pada misi ini mereka mengalami sebuah konflik yang hampir merenggut nyawa mereka akibat astronot sebelumnya tidak jujur dalam menyampaikan kondisi planet tersebut. Dengan persediaan bekal yang semakin menipis, Copper memutuskan untuk menuju ke planet ketiga yang mana untuk menuju kesana mereka harus masuk kedalam sebuah lubang hitam berbahaya.
Akibat perbedaan waktu yang terlampau jauh, Murph dan kakak laki-lakinya kini sudah dewasa. Murph bergabung dengan NASA dan membantu Profesor Brand untuk menyelesaikan persoalan yang bertahun-tahun tak kunjung selesai mengenai bagaimana manusia secara masal dapat keluar dari tarikan gravitasi. Profesor Brand semakin tua dan jatuh sakit, ia hanya berharap rencana keduanya berhasil dan menusia dapat merintis kehidupan baru di planet yang lebih baik dari bumi.
Setelah masuk kedalam lubang hitam tersebut Cooper berada disebuah tempat yang memungkinkan ia berinteraksi dengan berbagai titik di masa lalu. Cooper mengirimkan kode morse untuk bisa berkomunikasi dengan Murph yang akhirnya dapat membantu Murph menyelesaikan persoalan terkait misi penyelamatan manusia. Setelah berhasil membantu menyelesaikan persoalan tersebut, Cooper diselamatkan dan dibawa kembali ke bumi. Ia akhirnya bertemu kembali dengan putrinya yang kini telah lanjut usia. Copeer hanya mengucapkan kata-kata perpisahan sebelum akhirnya kembali ke luar angkasa untuk berusaha membangun sebuah kehidupan baru di planet ketiga.
Sebuah ajakan yang begitu mendadak dari seorang sahabat from Bungbulang Pakidulan Garut.
“Pin! Besok muncak ka Guntur?! Yu!”
“Gas!” jawabku tanpa banyak cingcong. Jika terlalu banyak wacana tanpa aksi, acap kali tidak terealisasi. Maka, perjalanan ini bermula dengan persiapan satu hari namun InsyaAllah safety. Ialah Ragib, seorang kawan dari Priangan Timur yang kutemui di bawah naungan lembaga pendidikan yang sama: Pondok Cipasung dan madrasah aliyah tercinta. Ini adalah perjalanan menuju puncak tantangan yang kedua kalinya bersama Mas Gib—begitu aku akrab menyapanya.
Maka, pada hari Jumat, 07 Safar 1447 H, setelah sidang Jumat yang dimuliakan Allah SWT, aku memulai keberangkatan dari Bandung menuju Kadungora, Garut. Adalah titik kumpul di sebuah rumah kepunyaan Orangtua Ficky, di pinggir jalan provinsi yang menghubungkan Kota Bandung dan Kabupaten Garut. Di luar Nagreg.
Semalam sebelum keberangkatan, kami—aku dan Mas Gib—menghubungi Ficky.
“Sudikah sobat menampung kami? Yang hendak mendaki puncak tantangan, dan kau pun ikut dalam perjalanan, wahai Sahabat.”
Kira-kira begitulah maksudnya, meski jelas bertuturnya tidak seperti demikian, lebih pakai dialek Sunda Priangan Timur.
Ficky yang baik hati mengizinkan, bahkan gembira dengan kedatangan aku dan Mas Gib. Ia yang belum pernah sekalipun mendaki gunung agak ragu dan nyaris tidak ikut, namun kami meyakinkan bahwa ini akan menyenangkan dan aman dengan doa Ibu, aamiin, mudah-mudahan. Maka ikutlah Ficky nantinya.
Aku tiba di kediaman Ficky pada pukul 16.30 senja hari. Disambut oleh Ficky dengan senyum terkembang dan oleh ibunya Ficky yang amat penyayang. Aku segera disuguhi air kopi dan berceritalah kita—aku dan Ficky—hingga sore berpamitan dan malam menghampiri. Mas Gib kabarnya masih dalam perjalanan dari Bungbulang dan sudah tiba di daerah Cisurupan. Setelah cukup banyak berbincang-bincang, Ficky di panggil ibunya dan dimintai menghampirinya ke dapur dan aku meminjam jamban untuk berseka.
Ketika aku bersiap-siap jamaah Magrib, sebuah kabar gembira tiba-tiba, tiba! ponsel ramai berbunyi. Pada sebuah grup WhatsApp orang-orang berkicau mengenai kabar keputusan seleksi Beasiswa PBSB yang sedang aku dan Ficky hadapi. Aku memilih Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam di UIN Walisongo Semarang, sedangkan Ficky memilih Prodi Perbankan Syariah Islam di UIN Raden Fatah Palembang. Setelah kami gagal di penyisihan SBMPTN (Seleksi Besar Menuju Pengangguran Tingkat Negara), Ficky mengambil jalur mandiri di UNPAD dan lolos, sedang aku membulatkan keputusan untuk gap year.
Ficky sedang mengobrol dengan ibunya di dapur, aku menanyai mereka, ke mana arah kiblat? Katanya ke arah jalan. Hatiku berdesir tidak karu-karuan, dan itulah detik-detik aku membuka pengumuman beasiswa—apakah aku lolos dan lanjut studi atau aku kembali mondok dan menunda masa studi.
Keputusanku sudah bulat ketika akan membuka pengumuman. Aku ingin bersujud dan bersyukur atas segala keputusan takdir, segala ketentuan Tuhan. Aku serahkan semuanya, dan kulangitkan kalimat pujian, kumerendah di hadapan Yang Maha Tinggi.
Dan tibalah, aku membuka situs pendaftaran PBSB dari Kemenag. Hasilnya, Kawan, sebuah ucapan robot mengatakan bahwa aku LOLOS dan berhak mendapatkan Beasiswa PBSB, melanjutkan studi di UIN Walisongo Semarang. Betapa hatiku membuncah, bibirku terus merapal tahmid, dan kusungkurkan badanku di haribaan kasih sayang Tuhan, mataku berkaca-kaca. Dan aku mantap berkeyakinan bahwa Tuhan mendengar setiap doa hamba-Nya yang memuji-Nya (سمع الله لمن حمده).
Segera kukabari Ibu dan Bapak di Bandung bahwa anaknya lolos beasiswa dan akan melanjutkan pendidikan tinggi di Semarang. Bukan main bahagia, bukan kepalang, kita bersyukur. Kukabari pula Akang di Pondok Cipasung—guruku yang membimbing dan memotivasi dari awal masa pendaftaran hingga tiba pengumuman kelulusan. Ia menjawab dan menyelamatiku, lalu mendoakanku. Ah, Akang, aku teringat guru-guruku di Pondok.
Setelah itu adzan Magrib berkumandang. Aku bergegas menuju masjid bersama Ficky, sedang kawanku yang begitu berbakti kepada orang tuanya itu belum membuka pengumuman keputusan beasiswa. Di jalan menuju masjid sudah gatal mulutku bercerita, dan tak mungkin kututupi garis mukaku yang amat berbahagia. Kuceritakan mengenai pengumuman dan bukan main ia girang bukan buatan. Ia malah heran kenapa aku tidak sampai menangis. Di sepanjang jalan menuju masjid aku terus bersyukur dan mulutku tak lepas-lepas mengucap kalimat toyyibah.
Selepas rawatib Maghrib, Ficky begitu dahsyat merapal doa, amat khusyuk. Boleh jadi ia memohon sembari matanya berkaca-kaca, entahlah, aku di belakangnya. Kami beranjak pulang ke rumah. Tibalah saatnya kawanku, simpai keramat anak bungsu, menggelar sejadah, membuka handphone, meluncur menuju situs milik Kemenag, berdoa lagi, dan—“Selamat Saudara/i dinyatakan LOLOS dan berhak mendapatkan Beasiswa PBSB.” Bukan main euforia kami! Erat kami berpelukan, lalu Ficky bersujud, bersyukur, melangitkan puji atas pemberian-Nya yang kita pinta.
Padahal di jalan selepas jamaah, aku sudah overthinking duluan—bagaimana jika karibku tidak lolos dan hanya aku?! Mesti aku minta maaf. Namun itu hanyalah purbasangka. Sam’i Allahu liman hamidah.
Menjelang Isya, kawanku Mas Gib tiba. Ia bergaya layaknya seorang backpacker bermotor tua. Sama sepertiku, Mas Gib merupakan penunggang Bebek Jadul Astrea Grand keluaran tahun 90-an. Kami bersalaman. Ficky dan Ragib berpelukan. Aku tidak berpelukan, memang itulah pertalian persahabatan. But, not my style, hahaha.
Mas Gib membawa oleh-oleh keripik singkong khas kadaharan Bungbulang. Mamah Ficky yang baik hati menyuguhi Mas Gib secangkir teh panas. Kami bercakap-cakap, reuni kecil-kecilan, dan tak kuasa membagi bahagia mengenai kabar kelanjutan studiku dan Ficky. Sebagaimana seorang habib: mencintai dan dicintai.
Mas Gib turut bersuka cita dan nampak raut wajah bangga melihat sahabat mendapat kemenangan kecil dari kehidupan. Seorang guru pernah berkata bahwa habib/habaib tidak melulu terkait jalinan nasab para dzurriyah, namun sebutan bagi seseorang yang ikut berbahagia jika melihatku bahagia, ikut sedih melihatku sedih, rela dan ikhlas merogoh harta demi seseorang itu. Dan pertalianku dengan kawan-kawan di asrama bolehlah kukatakan pertalian para habaib. Solidaritas tanpa batas!
Adzan Isya berkumandang. Kami beranjak menuju masjid. Selepas jamaah, tak henti-henti kami berceloteh, “Anjir, asli Co! Mahasiswa nih?!”
Di rumah, Mamah Ficky yang baik hati telah menyiapkan makan malam. Sungguh entah ke sekian kalinya aku disuguhi makan oleh keluarga Ficky. Tidak sungkan kami lahap memakan hidangan, terutama Mas Gib. Ia mengambil nasi porsi kuli, haha memang aneh, perutnya kecil tapi makannya banyak. Itulah orang-orang tertentu yang diberkahi bakat makan.
Selepas makan malam, tentu saja membakar kretek. Tuhan, cabutlah kenikmatan enaknya merokok pada diriku. Aamiin. Tapi masih enak euy, terutama di momen semacam ini. Aku meminjam korek pada A Feri, kakak Ficky, yang dulu juga sempat mondok di pondok Cipasung. Kami sedikit shaering mengenai rencana jalur pendakian. A Fery pernah muncak ke Guntur juga.
Lalu, Aku dan Mas Gib mampir ke toko peralatan outdoor untuk menyewa beberapa peralatan yang belum lengkap. Beranjak pulang dari toko peralatan outdoor, aku dan Mas Gib rada berselisih paham mengenai jalur pendakian. Mas Gib ingin via Cikahuripan, sedangkan aku ingin via Citiis. Aku melihat info bahwa Cikahuripan termasuk wilayah cagar alam yang notabene tidak boleh diinjakkan kaki manusia. Namun, info resmi dan regulasi pemerintah mengenai jalur itu masih simpang siur.
Menurut Mas Gib, banyak kawan yang juga ke Guntur via Cikahuripan dan tidak apa-apa. Okei, aku ikut ke Cikahuripan soalnya Mas Gib leader-nya dan lebih dulu muncak ketimbang aku. Tiba di rumah Ficky, kami bakar rokok lagi, dan mencari info lebih lanjut mengenai jalur pendakian yang resmi di internet. Akhirnya, Mas Gib berkeputusan mengambil jalur Citiis saja. Sebab kita menghormati alam, meski perusak alam.
Ficky bergabung. Kita pun merencanakan perjalanan besok. Ngantuk. Ke WC, dan tidur.
Dini Hari, Sabtu, 08 Safar 1447 H
Sekitar pukul 3-an, Mas Gib lebih dulu terbangun oleh alarm hapeku yang bunyinya kayak tonggeret. Sebetulnya kami bertiga semalam sebelum tidur, setelah mendengar kajian Pak Fahrudin Faiz, kesulitan buat terlelap dan bikin badan jadi deep sleep. Entah oleh nyamuk, atau posisi yang juga tidak menemui titik wenak. Namun, semua berusaha! Merem saja walau badannya guling-gasah tidak mau diam. Aku pun tahu mereka belum tidur. Namun biarlah kita sama-sama berusaha, sebab besok perlu energi terbarukan untuk menaklukkan puncak tantangan.
Beranjak dari ranjang, kami bertiga ke WC umum. Ya! Beneran WC umum, karena rumah Ficky pinggir jalan provinsi, otomatis banyak para musafir yang kebelet, maka dibuatlah WC umum di rumah itu. Ficky lah penunggu WC itu, ia bisa menghasilkan ratusan ribu rupiah jika sedang musim mudik.
Setelah bebersih dan berpakaian tebal, Ficky telah menyeduh susu jahe. Kami sarapan, memanaskan mesin motor: Neng Asti motorku, dan Bruno milik Mas Gib, a.k.a Astrea Grand 90-an. Berpamitan kepada Mamah Ficky yang baik hati, lalu gasskeun!
Basecamp Bang Ucok — Jalur Citiis
Kami tiba di basecamp Bang Ucok jalur pendakian via Citiis sekitar pukul setengah 5-an, walau rada kesasar dan tetap kembali ke jalan yang benar. Begitulah, kawan, untuk menemukan jalan yang benar memang suka tersesat dulu.
Di basecamp, kami bertemu dengan rombongan asal Cikarang. Kami laksanakan perintah Subuh terlebih dulu di mushola sederhana yang terbuat dari bilik rotan. Sungguh Subuhan yang romantis; begitu dingin airnya, begitu asri suasananya, mudah-mudahan khusyuk ibadahnya dan diterima. Aamiin.
Sang leader mengisi registrasi, menyewa headlamp sebab kemarin lupa tidak nyewa, maklum manusia. Bahkan topi adventure lupa kita bawa. Padahal kita bertiga berencana pakai topi itu supaya kece. Mas Gib berencana menyewa di toko outdoor tapi lupa. Ficky sudah menyiapkannya di rumah tapi lupa tidak dibawa. Dan aku! Sudah membawanya hingga parkiran tapi lupa tidak dibawa summit.Aish! Sungguh, padahal belum tua. Kata Aa, ciri-ciri orang tua ada tiga: yang pertama mudah lupa, yang kedua dan ketiga lupa lagi.
Setelah Bang Ucok menjelaskan rute-rute trek pendakian, kami berangkat.
Subuh rebun, sebuah hari mula-mula. Langit mengaburkan awan, nun di ujung sana siluet mega kuning nampak indah. Gunung-gunung menjulang nampak jelas, pagi yang asri. Mas Gib memotret panorama kaki Gunung Guntur dan pegunungan Garut yang hendak disambut sunrise. Ah, untung ada IP.
Lalu sang leader itu memutar playlist The Changcuters. Aroma petualangan merebak mengitari alam raya pikiranku.
Dari pos ke pos
Menuju pos 1, jalurnya masih terbilang landai, penuh pasir putih, vegetasi alam bak hutan sabana kecil-kecilan. Di bawah sini sudah terlihat jelas puncak Guntur yang gagah perkasa itu. Di kejauhan nampak kilatan blitz, mungkin pendaki yang menggelar tenda dan sedang menangkap sunrise.
Beberapa percabangan untuk mencapai pos 1, aku sebagai anak IPS yang tidak serius belajar geografi rada bingung membaca arahan peta dari Bang Ucok. Untung ada Ficky. Meskipun ia follower alias pendaki pemula, otaknya lebih encer dariku dan dari Mas Gib, haha. Jadi, navigatornya siapa saja dah, yang penting yakin dan berada di bawah tanggung jawab leader.
Selanjutnya vegetasi alam mulai padat. Memasuki hutan geledegan, mengitari jalan setapak, dan melewati aliran air semacam curug kecil-kecilan. Tibalah di pos penjagaan. Biasanya setelah beres muncak dan kembali ke basecamp kita menyerahkan simaksi untuk lapor bahwa perjalanan telah selesai, tapi itu nanti.
Kami melanjutkan perjalanan dengan sedikit beristirahat, paling lama lima menit untuk minum dan sedikit mengatur napas. Mas Gib sudah beberapa kali menyundut rokok, aku engap dan tidak rokok-an sambil jalan, Ficky beberapa kali mengemut permen Kiss. Muach.
Track pendakian ini mulai terasa olahraganya, badanku mulai timbul butir keringat. Jaket, glove, dan headlamp kulepas. Sudah mau nanjak dan curam. Fire!
Tiba di pos 1 ficky bertanya di manakah pos nya? Kami menjawab pos di trek pendakian tidak melulu seperti pos ronda, namun hanya penunjuk batas antar jarak yang telah di tempuh. Kita rehat sejenak, melepas dahaga dan makan logistik ringan dulu ye kan, Mas Gib dan aku melahap protein dari sosis dan Ficky memakan roti tape.
Kami melanjutkan perjalanan dan mulai terjal, batuan besar dan jalur yang curam. Kali ini aku sudah mulai tidak berceloteh dan lebih fokus mengelola napas. Kita pun jadi sedikit bercakap-cakap. Trek terbilang sepi, mungkin karena kita nyubuh dan bukan weekend.
Singkat kata kita tiba-tiba saja tiba di pos 2, beberapa kali spot pemandangan ketinggian sudah terasa, beberapa kali diam sejenak untuk sekedar mengucap pujian atas karunia penglihatan dan hamparan bumi dan pasak pegunungan yang begitu megah. Beberapa kali dilanda capek, nyangsang di bawah pohon rindang, peluh mulai mengalir dan matari mulai naik dan terik. Alhamdulillah cerah.
Mas Gib memotret momen-momen kami menemukan spot Subhanallah. Ficky mulai merasakan tubuhnya di olahraga.
Tiba-tiba pula kita tiba di pos 3, entah kenapa tidak terasa. Sebuah pos yang akan menghantarkan kita menuju puncak ketinggian Mt. Guntur. Di pos 3 kita berkepentingan buat laporan kembali kepada Bapak penjaga pos dan diberikan semacam arahan serta instruksi bahwa trek berikutnya merupakan batuan dan pasir yang licin. Pintar-pintar perlu mengambil arah jalan serta pastikan keselamatan.
Selepas itu kita rehat sejenak, minum lagi, makan sikit-sikit, dan Mas Gib bakar rokok dulu ye kan. Ialah licin sehingga membikin beberapa kali tergelincir—hilang tumpuan, hilang pijakan untuk berdiri. Itulah trek Mt. Guntur: dua kali melangkah terasa satu kali melangkah, sebab kerikil semua!
Dan, Kawan, pada perjalanan itulah aku berorasi layaknya seorang aktivis yang rindu perlawanan. Emm, ya karena treknya sepi, ya supaya nggak jenuh aku yapping haha. “Bahwa perjalanan ini tidak ada apa-apanya ketimbang perjalanan menuju puncak tantangan kehidupan! Ayo, Kawan-kawan, bersemangatlah untuk mendaki puncak tantangan yang tidak seberapa ini!” Sekian orasiku ketika Ficky ngos-ngosan di bawah pohon dan Mas Gib sedang rokok-an.
Hampir tiba, ya! Hampir tiba kita di puncak pertama Mt. Guntur, lantas hamparan pasak gunung terlihat jelas di ketinggian ini, nun di ujung berdiri gagah puncak Cikuray. Aku menunggu dulu Ficky mengelola napas dengan baik dan benar, serta Mas Gib yang asyik foto-an. Dan Inilah, Kawan, tiba pula! Kami di puncak pertama Mt. Guntur.
Rada ngaso dulu ye kan, lalu bertemu pendaki lainnya, rada bahas sana-bahas sini, minum lagi, oiya! Fofotoan, ya! Kita kenyangkan hasrat mengabadikan momen ini walau sesungguhnya tidak ada yang abadi di alam yang fana ini. Betapapun fana, kita bersyukur Mas Gib menyandang iPhone. Setelah kenyang semua, sampai penuh galerinya, perjalanan kita lanjutkan menuju tugu Mt. Guntur yang terkenal di FYP TikTok itu.
Bahwa aa-aa tadi yang pas-pasan di jalan menyarankan untuk mengambil jalur dakian ke kanan, sebab kalau ke kiri bukan main licin dan banyak kerikil. Okeh, nuhun a sarannya. Kami naik-naik ke puncak gunung, benar! Tinggi-tinggi sekali, seperti kenaikan pajak negeri ini! (dimulai dari Pati ya, mbak). Maka tibalah tiga orang sahabat itu di salah satu puncak ketinggian Priangan Timur.
Mas Gib sudah duluan sih, lagi asyik ngaso. Kita bertiga langsung diem dulu dan menikmati teriknya matahari yang tidak seberapa dengan matahari di Yaumul Ba’ats, lalu memandang sekeliling 360 derajat, senang sekali sebab telah sampai di puncak tantangan kali ini. Dengan selamat dan anggota tubuh yang masih lengkap.
Tentu saja, ada iPhone, masa! Iya, tidak fofotoan. Mula-mulanya sendiri-sendiri dulu, lalu datanglah rombongan pendaki safety dari Cianjur yang berjaket gopcore dan berkacamata renang. Tentu saja sebagai sesama manusia yang juga beragama Islam kita mesti bersilaturahmi dan saling membantu, maka bergantianlah kita saling memfotokan rombongan masing-masing. Berpamitan, dan kembali pulang.
Kuceritai kau Kawan, mengenai perjalanan pulang. Bahwa kerap kudengar perjalanan hiking bukanlah perjalanan menuju puncak tetapi perjalanan pulang dengan selamat.
Tentu saja, Ketika turun dari tugu Mt. Guntur menuju pos 3 terasa begitu mudah dan ringan kaki. Berbeda Ketika naik tadi. Namun, tetap Ketika turun perlu ketelitian mendaratkan kaki untuk bertumpu dengan baik dan yoi, sebab kalau-kalau gelincir maka terpeleset dan jatuh. Beberapa kami jatuh karena hilang tujuan, eh, hilang tumpuan maksudnya.
Tiba di pos 3 pada sekitar pukul dua belas Tengah hari. Bersiap-siap untuk memasak konsumsi. Menyalakan kompor portable yang Mas Gib sewa di Kadungora, memasak air menggunakan panci butut milik Ficky, lalu menyeduh mi instan. Biar instan kita kenyang semua, tak perlu lah kuceritai bagaimana prosesi memasak mi instan sebab kau sudah pada tahu semua.
Sebagaimana adat kebiasaan perokok senior, maka membakar signature lah Mas Gib dan Aku setelah makan, memesan kopi hitan dan susu putih serta berceloteh kesana-kemari. Sedang Ficky menjadi perokok pasif di pojokan, tapi tetap ikut dalam suatu wacana yang kita perbincangkan. Ya, mengenai isu konservasi, global warming dan lingkungan tanah adat yang digusur kita jadikan mosi diskusi kala itu. Haha, hoaks.
Waktu dzuhur telah tiba. Aku ke mushola dan tidak sengaja tertidur lama di sana. Setelah bangun aku memesan kopi hitam lagi, sedang Ficky dan Mas Gib tidur pula di mushola sehingga rencana turun ke basecamp pukul 1 melebar dan entah kapan. Sehingga aku membaca bukunya Pak Quraish Shihab sembari ngopi item pada suasana alam di siang hari.
Maka, ba’da ashar kami beneran turun ke basecamp. Hampir, kita tersesat Ketika di percabangan Ficky memilih Langkah yang keliru, semakin dalam semakin semakin asing jalur yang kita lalui, sehingga kita putar balik dan memilih jalan yang benar, yang lurus dan tidak dimurkai. Lagi-lagi perlu tersesat untuk menemukan jalan yang benar.
Sungguh perjalanan turun yang menyenangkan, terutama Ketika di vegetasi sabana, Ketika senja dan langit mengaburkan jingga, suasananya macam di movie lion king, kitapun dengan membahana menyanyikan awing mawek sepanjang perjalanan di sabana. Seperti tiga orang gila kurang kerjaan, woi! Orang gila ga punya kerjaan!
Tiba di basecamp kami istirahat cukup lama. Mas Gib ikut ngecas ke mbak-mbak sesame pengguna Iphone. Fofotoan juga dengan tunggangan kita, Bebek Jadul 90an lalu menyapa Zein seorang karib yang beralamat di Cipanas Garut melalui Personal Chat Whatssap, dekat betul dengan Mt. Guntur rumah orangtuanya itu, ya jelasnya dia belum punya rumah. kami berencana mampir untuk menguatkan silaturahmi dan ikut mandi sebab sudah sangat bau tidak karu-karuan. Zen menyambut kabar kami mau mampir selayaknya seorang habib. Ia pun sama sahabat yang kami temukan di bawah naungan pondok cipasung.
Tiba di kediaman Zen, mendengar suaranya menggelegar melalui toa mushola depan rumahnya itu. Ia sedang adzan. Kita tiba bertepatan pada waktu maghrib, sehingga langsung menuju mushola dan bertemu Zen di sana.
Setelah magriban, kita dipersila masuk kedalam rumah orangtuanya itu. Disambut layaknya tamu, menyalami mamah Zein yang baik hati lalu disuguhi martabak manis dan telur, sungguh varian lengkap! Kami makan tanpa sungkan Ketika mamahnya Zen undur diri, kami ke kamarnya Zen lalu makan martabak di sana sambil ngopi item, lengkap masing-masing satu cangkir. Kami berceritalah kepada Zen mengenai apa yang telah terjadi pada diri masing-masing selepas menunaikan sekolah formal di Aliyah dan non-formal di pondok Cipasung, ya meskipun belum lama namun jelas sudah banyak perubahan di sana-sini.
Mas Gib bercerita mengenai kelanjutan studinya yang melanjutkan D3 di Unsil, Aku dan Ficky yang merantau serta Zen yang akan berangkat Ke Jepang tahun depan untuk studinya, serta bagaimana ia kemudian menjalin pertauatan dengan Perempuan, hehe, asmara-asrama remaja, Dewasa! Oiya Mas Gib baru putus dengan pacarnya, tapi silaturahminya tidak putus kok, hehe. aku dan ficky menjadi jomblo syuhada. Aamiin, mudah-mudahan.
Setelah ngalor-ngidul kesana kemari, satu persatu izin mandi meminjam kamar mandi zen, aku sih minta sampo juga ya. Terus deh kita isya’an dan berencana pamit undur diri untuk Kembali ke kediaman mamah Ficky. Tapi ternyata Kawan, mamah Zein yang baik hati telah menyuguhkan makanan yang perlu kita santap, sungguh demikian kita sulit menolak nasi. Maka makanlah kita dengan lahap. Setelah kenyang semua barulah kita pamit undur diri dan memohon maaf kepada mamahnya Zein sebab datang tak di undang pulang sangat cepat. Sudah makan, sudah mandi, sudah ngopi, sudah segalanya, sungguh sangat enak, jadi ingin Kembali bertandang hehe. Sebelum mangkat kami fotoan dulu ye kan, kapan lagi coba kita bakal berjumpa sebab masing-masing telah memilih jalan yang berbeda.
Pulanglah kita menuju rumah mamah Ficky di antara Kota Bandung dan Kabupaten Garut. Aku pegal mengendalikan Asti, maka kuserahkan sementara kepada Ficky, ia yang pengalamannya lebih aktif mengendarai motor metik sungguh amat berhati-hati mengendarai Asti membikin aku gregetan.
Alhamdulillah kita tiba di rumah mamah ficky pada sekitar pukul 10 malam dan badan kami amat lesu, ingin segera merebahkan badan menuju belaian Kasur. Maka tidurlah Kawan, besok petualangan baru mungkin menanti.
Sebagai upaya memperkuat kapasitas dan profesionalitas pengurus, CSSMoRA menyelenggarakan kegiatan Upgrading Pengurus 2025 di Gazebo YPMI Al Firdaus, Semarang, pada Sabtu, 19 Oktober 2025. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh pengurus aktif dengan tujuan menumbuhkan semangat kebersamaan sekaligus memperdalam pemahaman terhadap nilai dan arah gerak organisasi.
Kegiatan ini menghadirkan dua pemateri utama yang memberikan bekal penting bagi para pengurus. Materi pertama bertema “Penguatan Tujuan dan Identitas Organisasi” disampaikan oleh Muhammad Irkham Maulana, M.H., yang menekankan pentingnya konsistensi pengurus dalam menjaga marwah dan cita-cita organisasi. Ia juga mengingatkan bahwa setiap anggota memiliki peran strategis dalam mewujudkan visi bersama.
Sementara itu, materi kedua disampaikan oleh Alamul Yaqin, M.H., dengan tema “Manajemen Waktu dan Profesionalitas Pengurus.” Dalam pemaparannya, beliau menekankan pentingnya disiplin, tanggung jawab, dan kemampuan mengatur waktu agar setiap program dapat berjalan efektif dan efisien. Menurutnya, profesionalitas bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga tentang sikap dan etika dalam berorganisasi.
Suasana kegiatan berlangsung hangat dan interaktif. Para peserta terlihat antusias mengikuti setiap sesi, berdiskusi, serta menyampaikan pertanyaan seputar tantangan yang dihadapi dalam menjalankan amanah kepengurusan.
Ketua Umum CSSMoRA UIN Walisongo Semarang, Asyraf Zofir Wafa, menyampaikan harapannya agar kegiatan ini menjadi langkah awal bagi pengurus untuk terus tumbuh dan berproses secara bersama.
“Upgrading ini bukan sekadar ajang pembekalan, tetapi momentum bagi kita semua untuk menyatukan visi, memperkuat komitmen, dan belajar bagaimana menjadi pengurus yang profesional sekaligus berjiwa pengabdian. Harapannya, setelah kegiatan ini, semangat dan sinergi antar-pengurus bisa semakin kuat,” ujar Asyraf.
Melalui kegiatan ini, diharapkan seluruh pengurus CSSMoRA semakin solid, berkomitmen tinggi, dan mampu mengelola organisasi dengan lebih baik. Kegiatan ditutup dengan refleksi bersama dan harapan agar semangat pengabdian terus menyala di setiap langkah pengurus.
Berbekal semangat kolaborasi, CSSMoRA UIN Walisongo bersama Relawan Gesit Semarang dan komunitas-komunitas sosial lainnya melaksanakan program AMJI (Aksi Muda jaga Iklim) pada hari Sabtu, 25 Oktober 2025 di Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Semarang Utara.
“Alhamdulillah, pada hari sabtu tanggal 25 oktober 2025 kami dari P3M CSSMoRA UIN Walisongo dan Relawan Gesit berkolaborasi dalam Aksi Muda Jaga Iklim (AMJI), yakni melaksanakan kegiatan bersih bersih di pemukiman warga kampung nelayan dan pesisir pantai. Acara ini bertujuan untuk menyadarkan kalangan anak muda akan pentingnya menjaga kebersihan di Bumi yang kita pijak, serta meminilisir banjir dari sampah sampah yang tersumbat diselokan. Tentunya kegiatan ini sangat seru karena dari kegiatan ini, kami dapat menambah relasi, pengalaman, dan kebersamaan,” ucap Ais Nur Rizqi, koordinator Departemen P3M.
AMJI atau Aksi Muda Jaga Iklim merupakan program kolaboratif yang dilakukan serentak di seluruh Indonesia, yang bertujuan sebagai sarana edukasi terkait krisis iklim dan wadah bagi anak muda dalam memberikan kontribusi nyata. Terdapat 1000 titik penyebaran di seluruh Indonesia, 50 titik diantaranya berkolaborasi dengan Relawan Gesit, salah satunya di wilayah Semarang. Aksi ini bukan hanya sekedar berkolaborasi dengan komunitas lainnya, tetapi juga berkolaborasi program, yaitu program Pasukan Anti Lapar.
Dalam aksinya, Relawan Gesit Semarang turut menggandeng CSSMoRA UIN Walisongo melalui Depatemen P3M (Pemberdayaan Pesantren dan Pengembangan Masyarakat). 22 orang anggota CSSMoRA UIN Walisongo berkontribusi dalam aksi ini, sehingga keseluruhan relawan yang turun aksi berjumlah sekitar 30 orang.
“Dengan berkolaborasi bersama komunitas-komunitas lain, salah satunya dari CSSMoRA UIN Walisongo, ya kita sama-sama saling berbagi kebermanfaatan, saling jaga iklim, dan jaga kebersamaan,” ujar Rozi, ketua Relawan Gesit Semarang.
Pelaksanaan aksi di mulai dengan bergotong royong bersama warga membersihkan sampah di sekitar Masjid I’tikaf Al-Firdaus, Balai Adat Desa, TPQ Al-Firdaus Tambakrejo, dan pemukiman warga Kampung Nelayan. Kemudian di lanjut dengan membersihkan sampah plastik yang ada di pesisir mangrove Kampung Nelayan. Aksi yang dilakukan ini adalah bentuk upaya untuk mengantisipasi terjadinya banjir.
“Tujuannya adalah untuk menjaga lingkungan disini. Karna bisa dilihat, disini masih banyak sampah. Walaupun masih belum bisa full merata, setidaknya kami berusaha membantu untuk mengurangi sampah terrsebut, terutama sampah plastik. Ya, supaya mengantisipasi dampak adanya banjir, rob, dan sebagainya,” jelas Rozi.
Setelah melakukan pembersihan sampah di pesisir pantai, kegiatan aksi dilanjutkan dengan program Pasukan Anti Lapar. Program ini bermaksud untuk berbagi manfaat dengan mengajak para warga Kampung Nelayan untuk bercengkrama dan makan bersama. Dengan lauk yang sederhana, para warga dan para relawan melingkar bersama, menyantap makanan yang telah tersedia.
“Kami merasa senang karena kegiatan Relawan Gesit di Tambakrejo ini sangat bermanfaat untuk kami, terutama masalah sampah. Jadi, kalau bisa jangan cuma hari ini saja datang kesini, bantu-bantu kami untuk menjaga lingkungan. Kami warga Tambakrejo mengucapkan terimakasih banyak untuk Relawan Gesit dan tim, karna sudah membuat kampung kami kembali bersih,” ucap salah satu warga kampung Tambakrejo.
Momen makan bersama tersebut menjadi penutup dari semua rangkaian kegiatan aksi. Aksi kolaboratif ini meninggalkan kesan berharga bagi para relawan dan warga kampung, terutama dalam hal kepedulian terhadap lingkungan sekitar dan terjalinnya kebersamaan untuk menebar kebermanfaatan.
Dewasa ini, jagat maya tengah disibukkan dengan isu “feodalisme di pesantren”. Banyak orang dengan entengnya menggunakan term tersebut, seakan-akan mereka memvisualkan dunia pesantren sebagai suatu lembaga yang memasung independensi santri dalam berpikir, mengkultuskan kiai, dan melestarikan ketimpangan hierarki sosial. Narasi ini terus bergulir tanpa disertai filter akademik yang pasti—naasnya, mereka yang awam terhadap tradisi keilmuan di pesantren melahapnya secara mentah-mentah.
Namun tepatkah sebutan “feodalisme” ini dilekatkan dengan pesantren? Ataukah justru ada kekeliruan mendasar dalam cara kita memandang relasi kiai dan santri yang telah terjalin ratusan tahun tersebut?
Pesantren dan Jejak Historisnya
Sebagai lembaga Pendidikan islam tertua di Nusantara, pesantren lahir dari akulturasi tradisi keilmuan islam yang dibawa oleh para ulama dengan budaya lokal masyarakat Jawa dan Nusantara. Zamakhsyari Dhofier dalam karyanya yang berjudul “Tradisi Pesantren” (1982) mengatakan bahwa pendidikan pesantren dibangun di atas fondasi relasi spiritual kiai dan santri—bukan relasi politik atau ekonomi.
Dalam dunia pesantren, kiai bukanlah sosok penguasa dengan santri sebagai rakyatnya. Kiai merupakan figur moral dan spiritual serta mata air keberkahan ilmu, dan santri adalah murid yang berkhidmah dalam proses menuntut ilmu. Relasi ini bersifat ukhrawi (spiritual) dan kultural, bukan material sebagaimana relasi feodal antara bangsawan dan petani di Eropa abad pertengahan.
Dalam sejarahnya, pesantren justru menjadi pusat pembebasan masyarakat dari kebodohan dan kolonialisme. Tokoh-tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Wahid Hasyim mendirikan gerakan pendidikan yang egaliter dan terbukti membangkitkan kesadaran nasional. Maka, menuduh pesantren sebagai lembaga feodal sama saja dengan menafikan kontribusinya terhadap sejarah kemerdekaan bangsa.
Feodalisme: Konsep yang Salah Alamat
Istilah “feodalisme” merujuk pada sistem sosiopolitik yang berkembang di Eropa Abad Pertengahan. Dalam sistem ini, seluruh tanah secara teoretis dianggap milik raja. Raja kemudian mendelegasikan atau “meminjamkan” sebagian tanah tersebut, yang dikenal sebagai fief atau feodum, kepada kaum bangsawan yang disebut vassal. Sebagai imbalannya, para vassal ini bersumpah untuk memberikan layanan militer dan menunjukkan kesetiaan kepada raja atau tuan (lord) yang lebih tinggi. Dengan demikian, feodalisme pada intinya adalah sebuah struktur pendelegasian kekuasaan dari otoritas pusat kepada elite-elite lokal untuk mengendalikan wilayah yang luas melalui suatu bentuk kemitraan.
Secara ontologis, menjadikan konsep ini sebagai kacamata untuk melihat pesantren jelas suatu kekeliruan dan kecerobohan. Tidak ada relasi kepemilikan tanah atau eksploitasi tenaga kerja antara kiai dan santri. Mengabdi atau berkhidmah bukanlah suatu paksaan bagi santri, melainkan tindakan sukarela yang ia pilih dengan sadar sebagai bagian tradisi dalam pencarian ilmu. Dalam khidmah ini terkandung tiga elemen penting, yaitu ta’dzim (penghormatan), tabarruk (mencari keberkahan), dan tazkiyah (penyucian diri).
Martin van Bruinessen (1995) menegaskan bahwa struktur sosial pesantren memang bersifat karismatik, namun bukan feodal. Karisma kiai tidak bersumber dari kekuasaan duniawi, melainkan dari otoritas moral, ilmu, dan spiritualitas yang diakui oleh masyarakat. Dengan kata lain, relasi ini berlandaskan pengaruh etis, bukan kekuasaan feodal.
Antara Adab dan Subordinasi
Salah satu kesalahpahaman terbesar dalam menilai pesantren adalah kegagalan membedakan antara “adab” dan “subordinasi”. Islam memandang bahwa ilmu tidak akan bermanfaat tanpa dengan disertai adab. KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim menegaskan bahwa adab kepada guru adalah jalan pembuka keberkahan ilmu. Hal ini sejalan dengan ajaran para ulama salaf, seperti Imam Malik yang enggan menjawab pertanyaan di depan makam Rasulullah SAW karena rasa hormatnya.
Maka, ketika santri mencium tangan kiai, berdiri ketika beliau lewat, atau tidak berani memotong pembicaraan, itu bukan tanda feodalisme. Itu ekspresi adab, sebagaimana murid menghormati gurunya di lembaga manapun. Bedanya, pesantren menempatkan nilai spiritual di atas nilai formal.
Tradisi yang demikian ini bukan tanpa dasar. Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam kitabnya Mafahim Yajib an Tushahhah telah menuturkan riwayat-riwayat tentang adab dan praktik tabarruk para sahabat kepada nabi. Dengan demikian, menganggap semua bentuk penghormatan sebagai tanda penindasan justru memperlihatkan cara pandang sekuler yang menolak dimensi spiritual dalam bersosial. Pesantren, sebaliknya, mengajarkan keseimbangan antara kebebasan berpikir dan adab kepada Kiai sebagai samudera pengetahuan.
Kritik Tetap Diperlukan
Meski demikian, tak bisa dipungkiri bahwa di sebagian kecil pesantren memang muncul praktik yang menyimpang: penyalahgunaan otoritas, ketertutupan informasi, atau kekerasan yang mengatasnamakan disiplin. Praktik seperti ini patut dikritik secara terbuka karena bertentangan dengan ruh pendidikan Islam.
Meskipun demikian, kita tak mampu mengelak bahwa memang ditemukan praktik-praktik menyimpang di sebagian kecil pesantren. Mulai dari penyalahgunaan otoritas, isolasi informasi, hingga kekerasan yang overstep dengan mengatasnamakan pendisiplinan. Disinilah peran kritik sangat diperlukan sebagai bahan evaluasi sehingga ruh pendidikan islam dapat dihadirkan kembali.
Namun, menyimpulkan seluruh pesantren sebagai lembaga feodal akibat ulah oknum adalah generalisasi yang tidak adil. Sama seperti kita tidak mungkin mengatakan universitas korup hanya karena ada satu dosen yang menyalahgunakan jabatan. Memberikan kritik haruslah proporsional, yaitu dengan membedakan antara kesalahan sistemik dan kesalahan individu.
Justru, banyak pesantren hari ini telah melakukan modernisasi sistem tanpa kehilangan ruh tradisinya. Ada yang mengembangkan pendidikan vokasi, digitalisasi administrasi, hingga integrasi kurikulum sains dan agama. Pesantren juga melahirkan generasi kritis seperti Gus Dur, KH. Sahal Mahfudz, Gus Mus atau para cendekiawan lainnya yang sangat terbuka terhadap dialog intelektual
Sebuah Refleksi
Pesantren bukanlah menara gading yang anti kritik. Namun, dalam menilai pesantren, kita perlu memakai lensa yang adil dan proporsional. Feodalisme adalah sistem penindasan sosial, sedangkan pesantren adalah sistem pendidikan moral dan spiritual. Dua hal ini berdiri di kutub yang berlawanan.
Tuduhan feodalisme terhadap pesantren sering kali muncul dari kegagalan memahami kearifan relasi keilmuan dalam Islam. Adab dianggap sebagai pengekangan, padahal justru disitulah letak kemerdekaan sejati: kemerdekaan dari kesombongan intelektual dan ego pribadi. Dalam dunia yang semakin permisif ini, pesantren mengajarkan bahwa kebebasan berpikir hanya bermakna bila disertai tanggung jawab moral.
Seperti kata KH. Mustofa Bisri (Gus Mus):
“Santri itu bukan orang yang tak boleh berbeda, tapi orang yang tahu cara berbeda dengan hormat.”
Dan mungkin disitulah letak keindahan tradisi pesantren — sebuah ruang di mana ilmu, adab, dan kebebasan mampu berjalan beriringan.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan anggota di bidang desain grafis, Departemen Kominfo CSSMoRA UIN Walisongo Semarang mengadakan pelatihan bertajuk COOKIES (CSSMoRA Open Opportunities for Knowledge in Editing Skills). Kegiatan ini menjadi wadah bagi para anggota untuk belajar dan mengasah keterampilan desain secara praktis dan menyenangkan.
Pelatihan COOKIES kali ini menghadirkan Alfin Khomsah Sabilalhayat, demisioner Kominfo periode 2024, sebagai pemateri. Dalam penyampaiannya, Alfin menegaskan bahwa kemampuan desain bukanlah bakat bawaan, melainkan keterampilan yang dapat diasah melalui latihan dan eksplorasi.
“Desain bukanlah suatu skill yang diperoleh sejak lahir, namun seni dalam mendesain dapat dilatih dengan seringnya kalian bereksperimen,” Ujar Alfin.
Pada sesi pelatihan ini, Canva menjadi platform utama yang digunakan. Pemateri menjelaskan secara runtut tahapan dalam mendesain, mulai dari konsep awal, pemilihan elemen tulisan, warna, hingga gambar yang cocok.
Salah satu anggota Kominfo menyampaikan bahwa kegiatan COOKIES akan dilaksanakan secara rutin setiap bulan dengan menghadirkan topik dan pengalaman baru di setiap sesinya. Ia juga mengimbau seluruh peserta untuk bergabung dalam grup WhatsApp untuk mendapatkan update, serta monitoring langsung bersama tim Kominfo dan desainer ahli.
“Di setiap sesi pertemuan, kami akan memonitoring hasil dari pelatihan COOKIES. Harapannya agar kegiatan ini menjadi wadah untuk menumbuhkan skill baru pada anggota,” ujar Syarif, salah satu anggota Kominfo.
Sesi perdana pelatihan COOKIES ini dilaksanakan pada 18 Oktober 2025, dan rencananya akan dilanjutkan pada bulan berikutnya, yaitu November 2025. Dengan semangat belajar dan berkreasi, kegiatan ini diharapkan mampu melahirkan desainer-desainer muda yang kreatif di lingkungan CSSMoRA UIN Walisongo Semarang.
Aku Izzuddin, seorang pemuda yang dulu berjalan tanpa kompas, dikendalikan oleh maunya sendiri. Jujur saja, aku bingung atau mungkin tak peduli tentang arah yang benar. Keluargaku? Mereka seperti punya dunia masing-masing. Aku merasa sendirian, sampai akhirnya satu keputusan gila muncul di kepala: Aku harus pergi.
Tekadku bulat: Aku ingin jalan hidup baru, aturan baru. Yang paling penting, aku ingin mulai mencari dan mengenali Sang Pencipta.
Meninggalkan hiruk-pikuk kota, aku tiba di tempat asing, Desa Pamangkih Seberang, Kalimantan Selatan. Di sana berdiri sederhana sebuah kompleks: Pondok Pesantren Al-Muhajirin.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Silakan masuk, untuk mondok ya?” sambut seorang petugas dengan logat Banjar yang hangat.
Sejak saat itu, aku resmi menjadi santri. Pondok non-formal ini didirikan pada 6 Agustus 2014, berdiri di atas tanah wakaf seluas 11 hektar. Pondok ini lahir dari rahim Yayasan Gotong Royong Muhajirin, yang digagas oleh KH. Mukhtar H.S., penerus pengasuh terdahulu, Ibnul Amin. Konon, Al-Muhajirin ini didirikan sebagai solusi karena asrama di pondok induk sudah terlalu tua dan sesak.
Belajar di Bawah Lima Tiang
Sistem di sini disebut Salafiyah Terpadu. Aku belajar bahwa pondok ini punya cita-cita besar: melahirkan generasi Muslim yang bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, mandiri, dan berwawasan luas, semua harus berpijak pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Misinya, yang kulihat dalam rutinitas harian yang super padat, adalah membentuk pribadi sholeh, menyiapkan khairu ummah (umat terbaik), membangun jiwa kepemimpinan, dan yang paling keren, mengajarkan ilmu agama dan umum secara seimbang.
Semboyan pondok “Siap belajar dan siap mengajar, siap dipimpin dan siap memimpin,” benar-benar menampar cara berpikirku yang dulu lurus tanpa tujuan. Di sini, aku dipaksa memegang erat Panca Jiwa: Keikhlasan, Kesederhanaan, Kemandirian, Kebersamaan, dan Keterbukaan. Aku, yang dulunya digerakkan oleh nafsu, kini harus berjalan berpegangan pada lima tiang ini.
Pertemuan di Musholla Sambutan dari ‘Kakak’
Suatu malam setelah Isya, aku duduk merenung sendirian. Tiba-tiba, seorang guru, yang akrab dipanggil Kakak oleh para santri, menghampiriku.
“Kenapa, Nak? Ada keluhan atau ada yang mau ditanyakan, kah?” tanyanya lembut.
“Alhamdulillah, tidak ada, Kak. Cuma rindu saja dengan orang tua,” jawabku jujur.
Aku, si Izzuddin yang dulu cuek pada orang tua, kini harus merasakan perihnya rindu. Izun panggilan lain diriku sosok yang sedang mati-matian melawan gejolak di kepala. Aku lahir di era digital, tetapi koneksi yang nyata baru kudapatkan di sini.
Aku memperhatikan gerak-gerik guru itu, dan mungkin inilah yang akan kucontoh. Ia lantas menjelaskan kenapa mereka dipanggil ‘Kakak’.
“Supaya santri dan guru mengajarnya lebih akrab. Bila ada masalah, baik masalah keluarga atau masalah pelajaran, tidak ada lagi rasa sungkan (canggung) sama guru, karena sudah merasa akrab. Itu di antara alasan guru-guru di sini dipanggil Kakak,” jelasnya.
Aku tertegun. Di sini ada kasih sayang dan perhatian yang tulus.
Guru itu kemudian membahas kepindahanku, dari Ketapang ke Pamangkih.
“Itu termasuk daripada hijrah juga sebenarnya. Nabi kita hijrah dari Mekkah menuju Madinah, itu namanya hijrah. Kalau kita menuntut ilmu, itu maknanya hijrah kita. Makanya kita berbuat baik, jangan lagi berbuat yang tidak baik. Hijrah itu menjauh dari yang tidak baik. Biasanya kita main-main yang tidak baik, kalau kita sudah mondok, jadi hijrah kita daripada main yang tidak baik itu,” ulasnya.
Kontemplasi di Lahan Datar
Aku, yang besar di kota, dulu gampang bosan dengan apa pun yang tidak menggugah jiwa. Di lahan datar seluas 60 hektar ini, yang katanya bebas banjir, kebosanan itu hilang. Aku tidak lagi bermain petak umpet, tapi bersembunyi dari godaan malas. Aku tidak lagi bermain polisi-polisian, tapi sibuk belajar etika Islam yang keren.
Dulu, aku membaca kalimat Pak Tua Pram: “Terpelajar sudah harus bijak, bahkan sejak dalam pikiran.” Aku bingung artinya. Apa itu terpelajar? Apa itu bijak?
Kini, di antara lebih dari 5.500 santri, dengan 120 dewan guru yang membimbing, aku mulai menemukan jawabannya.
Malam itu, di kamar asrama yang padat, sambil membawa kitab untuk muthola’ah (belajar mandiri), sebuah renungan menusuk:
Ternyata masih ada orang yang tidak bisa melihat dan merasakan kasih sayang orang tuanya sejak lahir.
Sedangkan aku? Aku yang melihat, bahkan bisa merasakan kasih sayang orang tua, malah lupa, bahkan tidak bersyukur. Aku tidak ada hentinya mengeluh dan menyalahkan mereka.
Ayah, Ibu, maafkan Izun. Aku sangat merindukan kalian. Jujur, aku ingin memeluk dan mencium kening lembut kalian. Aku rindu suara dan senyum canda kalian.
“Kalau memang rindu, doakan orang tua supaya sehat, panjang umur, rezeki lancar, sehingga kita tamat dan berhasil, orang tua melihat kita sukses,” kata guruku waktu itu.
Kini, aku berdiri di persimpangan. Apakah aku akan teguh pada niat hijrah ini, ataukah akan kalah dengan hawa nafsu yang lama?
Dengan lima pilar jiwa di dada, dan cita-cita mulia pondok sebagai pegangan, aku memilih untuk terus melangkah.
Aku adalah Izun, seorang Muhajirin (orang yang berhijrah), mencari pijakan pasti, yang tidak sedikit pun goyah, di tanah yang telah memilihku.
Pergulatan di Jam Muthola’ah
Kehidupan di Al-Muhajirin memang dinamis, namun ketat aturannya. Pagi disambut salat berjemaah, siang dengan pelajaran formal dan agama. Malam adalah waktu krusial: Jam Muthola’ah.
Inilah medan pertempuranku. Aku, si pemuda yang gampang bosan, kini harus duduk berjam-jam membawa kitab di musholla, merenungi pelajaran agama dan umum yang seimbang. Otakku yang dulu lebih mudah menangkap distorsi musik cadas Kurt Cobain atau lirik The Beatles kini dipaksa berdamai dengan nalar fikih dan logika Nahwu.
Pernah, saat membaca istighfar, rasanya cuma formalitas, tak menyentuh perasaan. Pikiranku berkelana, teringat Izun yang lama sosok yang kumatikan ketika aku memutuskan berhijrah. Aku takut Izun yang sekarang akan kalah dengan nafsu, seperti kakakku yang akhirnya dipenjara. Luka itu, kabar itu, adalah sakit yang paling membekas setelah kepergian Nenek.
“Apakah aku akan bertahan dengan Niatku, atau sebaliknya, aku kalah dengan Hawa Nafsuku?” Bisikan ini selalu datang.
Nasihat di Lapangan
Suatu sore, aku mencoba menikmati kompleks 11 hektar yang terasa melegakan, jauh dari keramaian kota. Sebagian lahan masih kosong, sebagian lagi digunakan untuk perkebunan (49 Ha milik yayasan) dan lapangan olahraga.
Aku melihat seorang Kakak guru, yang dulu menyambutku.
“Lagi apa, Din?” Sapa beliau, memanggilku Udin.
“Lagi merenung, Kak,” jawabku.
“Jangan berlama-lama. Besok kita main bola. Tapi ingat, jangan sampai lupa bangun Subuh dan berjemaah. Bawa kitabnya, ya,” perintahnya ringan.
Gerak-gerik beliau mengingatkanku pada visi pondok: “Mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan umum secara seimbang menuju ulama yang berjiwa besar dan intelektual.” Di sini, guru tidak hanya mengajarkan Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga bagaimana menjadi manusia yang dinamis dan seimbang, sesuai motto: Berfikir dinamis, Berakhlakul karimah.
Aku teringat ceramahnya tentang Konjungsi Kausalitas Nur Muhammad, tentang cinta yang melampaui nalar. Di sini, aku mulai mengerti bahwa cinta yang paling hebat adalah yang mendasari Keikhlasan, salah satu dari Panca Jiwa.
Epilog: Memeluk Keterbukaan
Waktu berjalan cepat. Tak terasa, senja pun menyapa. Azan berkumandang.
Setiap hari, aku melihat lebih dari 65 santri berdesakan di empat asrama yang memang padat, tua, dan butuh renovasi. Keterbatasan fisik ini adalah realita yang dihadapi KH. Barmawi sebagai pengasuh, dan seluruh elemen pondok.
Namun, keterbatasan itu diimbangi dengan kekayaan spiritual dan interaksi yang manusiawi.
Di sebuah malam, aku membulatkan tekad untuk mempraktikkan Panca Jiwa terakhir: Keterbukaan. Aku menghampiri seorang Kakak guru dan mencurahkan semua kegelisahanku: rindu orang tua, penyesalan, cerita kakakku di penjara, dan ketakutan akan kegagalan.
Guru itu mendengarkan dengan sabar. “Bilanya kita rindu itu akan orang tua, dan orang tuanya sudah meninggal, kirimkan Fatihah, kita baca Quran, terimakan. Tapi kalau memang masih hidup, doakan orang tua supaya sehat, panjang umur, dan rezeki lancar.”
“Itu diantaranya cara kita berbakti,” tambahnya.
Air mataku menetes. Aku tidak lagi mengeluh dan menyalahkan. Aku mulai fokus pada kewajibanku: berbuat baik dan belajar.
Kini, aku adalah Izun, seorang pemuda yang menemukan arahnya, bukan karena kebetulan, melainkan karena keputusan berhijrah. Aku telah menjadi lebih dinamis, jujur, dan utuh.
Pondok Pesantren Al-Muhajirin bukan sekadar sekolah, melainkan laboratorium spiritual, tempat jiwa-jiwa lelah menemukan pijakan yang kuat, berlandaskan Keikhlasan, Kemandirian, dan Kebersamaan.
Aku, si Muhajirin, akhirnya pulang. Bukan ke rumah fisik, melainkan ke rumah jiwa.
Mengusung tema “Merawat Tradisi Literasi, Membangun Genarasi dengan Inspirasi”, CSSMoRA UIN Walisongo gelar pelatihan jurnalistik di Mirae Asset Sekuritas Indonesia Semarang, Sabtu 11 Oktober 2025. Diikuti 32 peserta, kegiatan ini bertujuan untuk melatih dan memperkuat ketrampilan menulis, khususnya dalam rangka mempersiapkan penyusunan Majalah Zenith edisi terbaru.
Kegiatan ini terbagi menjadi 3 Sesi, yaitu penyampaian materi, menulis bersama, dan liputan. Sesi pertama diawali dengan penyampaian materi oleh Dr. Muhammad Nurkhanif, M.S.I. yang dipandu oleh saudara Marwan Aldi Pratama. Materi pertama ini mengkaji seputar tanggapan saintifik atas gagasan KHGT (Kalender Hijriyah Global Tunggal). Topik ini tentunya sangat penting sebagai landasan informasi dalam penulisan majalah Zenith terbaru yang akan mengangkat topik serupa. Materi kedua disampaikan oleh Muhammad Daviq Nuruzzuhal dan dipandu oleh saudara Ahmad Misbakhus Surur, yang mengupas seluk beluk penulisan majalah. Kajian ini menjadi modal pokok bagi para kru dalam penulisan majalah nantinya.
Sesi selanjutnya adalah menulis bersama, yang mana seluruh peserta diminta menuliskan sebuah cerpen yang nantinya akan dikodifikasi dalam bentuk buku ber-ISBN. Sesi ini berdurasi sekitar 2 jam, namun terasa menyenangkan dan para peserta terlihat sangat antusias menuliskan karya terbaiknya.
Kegiatan ini dipungkasi dengan liputan di 2 tempat, yaitu Kota Lama dan Stasiun Tawang Semarang. Para peserta dibagi dalam beberapa kelompok yang nantinya akan melakukan wawancara seputar tema yang telah ditentukan. Hasil dari wawancara ini ditulis dalam bentuk artikel yang nantinya akan diupload di website CSSMoRA UIN Walisongo. Inilah sesi yang ditunggu-tunggu karena disamping mengerjakan tugas, para peserta juga dapat menikmati suasana malam Kota Semarang yang indah dan syahdu.
Koordinator Divisi Jurnalistik, Muhammad Mahmud Sidiq menyampaikan harapannya;
“Melalui kegiatan ini, semoga kita dapat terus bertumbuh dan membuahkan lebih banyak lagi karya yang dapat bermanfaat bagi semua orang”.