Jauh, untuk saat ini terasa amat jauh
kau tak lagi membuatku ingin selalu dekat.
Beda, entah apa yang berubah
Entah aku yang terlalu sensitif atau kau sedang mencoba menghindar.
Aku selalu merasa ada yang lain, meski kadang aku berkata
“tidak itu hanya perasaanmu saja” dalam hati.
Kawan kau tak lagi sehangat orang yang aku kenali.
Kuharap ini tidak berlangsung lama,
Semoga kita akan tetap baik baik saja, meski tidak seperti dulu lagi
Mata yang sembab oleh air mata … Diri terhina di atas kasta Raga yang kotor akan dosa .. Sedang jiwa yang dicintai nafsu dunia belaka Sujud sungkur yang sebatas gaya Mata berzina Lisan menggila Dan hati masih saja berharap kepada hamba, Dimana Tuhan hanya simbol negara. Hai … Jiwa yang penuh tanya Kemari temani aku dalam neraka Kita berpesta pora Menari gembira Laksana surga Dalam balutan yang membara.
Aku masih berdiri di tempat yang sama seperti dulu. Lorong sepi, kumuh, pengap. Turun dari angkutan angkutan dengan bau asam, muka tertekuk, kumel. Menyedihkan.
Sudah tak berkembang, berapa kertas lamaran yang terkenal. Semuanya hanya akan masuk ke tong sampah perusahaan-perusahaan itu. Pekerja seperti apa yang mereka cari? Meskipun mereka mencari orang jenius seperti Steve Jobs, maaf, dia tak akan tertarik bekerja di perusahaan bergaji minim seperti itu.
Semua seakan tak masuk akal, tempat laundry saja mensyaratkan S1, untuk apa? Apa memang mereka merekomendasikan memperkerjakan ahli kimia untuk menakar detergen? Siapa?
Ku tarik ucapanku kala kuliah dulu, “semuanya akan mudah kalau ada gelar.” Realitanya tak sesederhana itu. Lulus kuliah, dapat kerjaan, kerjaan enak, duduk manis, tiap bulan dapat gaji. sekarang aku sadar, tempat ini sukses surga. Masih banyak manusia yang menatap nyalang karena lapar. Apa di surga ada?
Kampus menjamur, dimana-mana. Wisudawan populer di seluruh penjuru negeri. Sedang apa mereka sekarang?
Wisudawan dengan gelar SH tak menyerahkan penanganan. TAPI hanya satu kursi yang ada. Satu kursi itu terbeli satu dasawarsa lalu. Lantas, mereka kuliah untuk apa? Mengerjakan skripsi buat apa?
Langkahku terhenti, kaki bahkan sudah tak mampu lagi menopang beban tubuh ini. Rasanya sesak. Makhluk bodoh di tengah lorong sepi yang tak berguna. Itu aku.
Udara saja mempunyai tugas di dunia ini. Debu, bulan, pohon, udara, matahari, apa saja, kecuali ku. Sampahpun tak akan mengakui aku sebagai koloninya.
Para pemilik kampus harus bahagia, setidaknya tak semua manusia berwawasan setan sepertiku. Jika ‘iya’, kampus mereka kosong, siapa yang mau menghidupi?
Ku susuri lagi lorong pengap ini. Di ujung sana adalah rumah ibuku. Kupaksakan agar tak jatuh lagi. Merambat di dinding dingin berlumut akan lebih baik di tejungkal.
Pemandangan memuakkan akan selalu menyambutku kala pintu terbuka. Manusia hitam dengan perut buncit dengan santainya meniupkan asap rokoknya. Seluruh wanita di gubuk ini bahkan tak pernah terduduk senyaman dia. Aku muak memanggilnya ayah.
Aku rasa memang banyak sekali takdir yang takdir akan berubah sekeras apapun manusia berusaha. Dan aku punya banyak takdir buruk itu. Takdir yang menempel di bagai kerak.
Aku tahu apa yang mulai bisa berubah, yakni doa tidurku. Ku harap tak akan terbangun di bumi lagi besok. Walaupun di hari-hari sebelumnya doaku gagal karena selalu saja aku terbangun karena tangisan adikku yang meminta-minta telur mata sapi. Hari ini harus terkabul.
Hanya ingin mati, apa sesulit itu kah?
Ku lemparkan semua barang di tangan ke ranjang sempit nan reot. Menatap ke sisi kamar dengan malas. Suara-suara setan meraung di diriku. Kapan kamar ini akan menjadi luas? Perabotan nan lengkap siap memanjakan? Cukup, jangan lagi berteriak tentang kapan hidupku akan terasa seperti ratu.
Pintu kamarku terbuka oleh seorang wanita yang kulitnya tampak lebih kecoklatan dari biasanya. Dia datang menghampiriku.
“Jangan bertanya tentang hari ini. Masih tetap sama. Belum ada uang rokok untuk manusia buncit itu. ”
Wanita itu duduk di ranjang tanpa memulai kata. Hanya menatap ku -buah hatinya- dengan mata sendu. Terlihat dari jumlah kerutan yang tergeletak di wajahnya, harinya pasti sangat melelahkan.
Itulah hal lumrah yang selalu ku temukan setiap hari. Tak ada senyum di wajah yang dulu cantik itu. Dia terlihat terlalu keras bekerja, terlalu banyak berpikir. Namun ada hal yang berbeda, ada yang masih tertahan di bibirnya.
Aku pengaruh kursi di dekat meja kecil yang biasa kujadikan meja belajar sejak dulu. Ku memperlihatkan raut wajah, bibir yang tadi mengatup sempurna sekarang bergetar, udara mata menggantung di pelupuk. Sayangnya aku bukan anak yang romantis yang akan menghapus air mata itu. Tanganku hanya mampu terdiam di atas pangkuan. Ku biarkan ibu siap kalimatnya.
Setelah tarikan nafas yang panjang, ia mengangkat wajahnya dan memandangku lekat.
“Ibu tak pernah menuntut apapun darimu kan?” ku sipitkan mataku, lalu mengangguk –setidaknya ibuku tak pernah melakukannya secara sadar, jadi hitung saja apa yang ia sadari-.
“Maafkan ibu yang tak bisa mengantarkanmu meraih mimpimu.” Kalimat ini tak pernah ku dengar sebelumnya. Aku semakin penasaran dengan kalimat selanjutnya. “Menikahlah. Agar semua ini berakhir. ”
Seketika aku bangun dari dudukku. Menatap wajah ibuku kecewa. Inikah yang berat untuk berbicara? Memang, aku yakin ia telah memprediksikan reaksiku.
“Dengarkan ibu, tuan tanah itu benar-benar menginginkanmu, istri meninggal 3 bulan lalu, ia perlu pendamping.”
Ya, aku telah mendengar slentingan sebelumnya tentang tuan tanah yang umurnya hampir sebaya dengan ibuku itu menginginkanku. Tapi aku bahkan tak pernah berpikir bahwa ibuku akan benar-benar menanggapinya. Apa sekarang aku lah tumbal dari keluarga ini?
Diamlah setan, ibuku tadi mengatakan bahwa semuanya akan berakhir. Benar saja, semua akan berakhir jika aku menikah dengan tua bangka itu, bukan hanya kemiskinan ini, tapi juga hidupku.
Katanya kehidupan bagaikan roda. Di kasus ini milik, pemilik rodaku yang akan berputar dan berada di atas, hanya orang lain di sekitarku. Bagaimana dengan milikku? Hah, sepertinya rodanya kempes sekarang, sudah tak akan berputar lagi.
Jika hidup sering diibaratkan dengan roda yang terus berputar, kadang di atas dan kadang di bawah, aku sangat ingin menginjak-injak orang yang berkata seperti itu. Apa hanya rodaku yang tak mampu berputar?
Sekali lagi, siapa yang membuat perumpamaan itu? Kenapa hidupku tak seperti itu?
Langit sore bulan Desember hampir selalu gelap. Udara yang tertahan selama menemui waktu untuk bebas dan kembali bermuara di lautan. Bereuni sembari membagi kenangan selama menjelajah langit, bermetamorfosis menjadi sebuah salju yang indah dan luruh kembali menjadi butiran udara yang jatuh ke Bumi. Begitu juga kami yang mengumbar cerita dari banyak topik selama jauh satu sama lain. Daftar cerita yang perlu didengar mengular, kami butuh lebih dari secangkir kopi.
Tempat sakit ini adalah pilihanku. Termasuk mejanya. Aku suka sudut ini, dan tempatku selalu disini. Melihat pemandangan yang sama di tempat ini nyatanya tak membuatku bosan.
Kopi kedua sudah tinggal ampas. Satu cerita persatu menemui ujung. Bersama tenggelamnya cahaya, tenggelam pula kisah pertemuan kami.
Akan ku ulas lagi percakapan kami di sore hari. Di seruputan pertama, dia bercerita tentang bagaimana rasanya berebutan kursi di hari pertama masuk sekolah. Dia bertemu denganmu pagi itu, di kelas 12 A, di bangku paling depan. Kalian ingin duduk di tempat yang sama, namun dia sama batunya denganmu. Dia hanya ingin aku yang duduk dengannya. Pagi itu juga aku memilih untuk duduk di bangku belakang karena jengah dengan kalian. Bel berdentang kalian diam. Duduk berdampingan, walau punggung saling.
Saat itu, aku benci dirimu yang bahkan tak mau mengalah pada makhluk yang bernama Gadis. Kau sungguh jauh dari kriteria lelaki lakilaki yang lembut. Jelas saja, pikiran yang menggelayut di otakku, kau sedang memainkan peran agar mendapat perhatian dari sahabatku. Ya, Gadis sahabatku, kau tahu itu.
Gadis memiliki paras ayu, terlalu lembut untuk bisa diajak berdebat. Namun kau berhasil membuat waajahnya merah padam di pagi yang cerah. Kau pada sama saja.
Seruputaan kedua, dia bercerita tentang kebiasaanmu melirik pekerjaan Gadis di buku tugas, lalu tersenyum sinis tanpa sebab. Lagi-lagi kau mengalihkan perhatiannya. Tak pernah ada orang yang memperlakukan Gadis seperti itu. Aku pernah berpikir jika kau terlampau aneh. Cara yang kau gunakan sedikit berbahaya untuk hanya mendapatkan perhatian.
Ku mulai merasakan perbedaan sikap Gadis pada satu bulan pertama setelah mengenalmu. Dia lebih sensitif dan sering uring-uringan. Menyalahkan banyak nyawa padahal kau biang keladinya. Mungkin hanya sekedar robekan kertas, namun mampu menyulut emosinya, jika itu karenamu. Sungguh, membuat manusia selembut kapas dan memiliki program emosi menjadi sedikit demi sedikit warna. Di bulan selanjutnya, aku mulai kagum dengan caramu.
Semua cerita masa SMA mengalir begitu saja dari bibir Gadis. Memori tentangmu sungguh mengakar dalam otaknya. Jelas ku tahu, terlampau unik hingga berada di posisi itu.
Sempat aku cemburu pada hadirmu dalam otak Gadis. Dia bahkan sering lupa ulang tahunku. Tapi dia ingat hari pertama menghantammu dengan bola kasti. Ini disengaja. Kau tertidur ketika tugas kelompok permeja harus segera diberlakukan. Malam itu, dia mengumpat di grup chat kami karena ia harus begadang semalaman demi meyelesaikan tugas dengan porsi dua kepala dan empat tangan. Pagi harinya, aku menemaninya berdiri di depan gerbang, tanpa tahu apa alasannya. Lima menit kemudian rasa anehku terjawab saat dengan lancarnya Gadis menghantam tubuh kurusmu dengan bola kasti yang ia dapat dari gudang rumah. Sungguh, ku kira dia akan memainkan itu bersama kami di jam istirahat.
Bahkan dia ingat tentang kau yang hadir di promnight. Apa warna dasimu, bajumu, sepatumu, banyak hal yang ia ingat tentangmu. Jelas, Gadis tak lagi sama seperti dulu. Ku sadar, dia mulai menginginkanmu. Ingin bisa berbincang denganmu. Namun aku salah persepsi dari awal tentangmu. Kau memang seperti itu, berbicara seperti itu, bertingkah seperti itu, selalu. Pada itu. Kecuali aku. Naasnya, kau juga menarik perhatianku.
Aku figuran dalam ceritamu dengan Gadis. Hanya tokoh yang ada di samping Gadis dengan seribu kebungkaman.
Sore ini, menyadari banyak hal tentang perasaanku sendiri. Pada posisi, aku pernah ingin ada di posisi Gadis yang bisa kau jahili dengan santai. Kau tatap matanya dengan santai. Segalanya yang biasa saja. Kau bahkan terlampau ramah pada banyak makhluk, termasuk kucing di kantin sekolah yang sering menggelayuti kakiku. Alasanmu diam kepadaku sungguh ingin ku tahu.
Sore ini, aku juga menyadari, bahwa aku juga memiliki kisah yang berbeda denganmu, aku sebagai tokoh utama di cerita itu. Cerita atas kebungkamanmu padaku. Yang hanya saling menatap tanpa mengumbar kata. Bahkan di saat-saat terakhir di promnight itu, kau hanya ada di kejauhan. Bergurau dengan teman-temanmu. Ekor mataku mengikutimu, bahkan kau tahu itu, kau juga membalasku.
Lebih dari apapun, aku megagumimu. Namun sayang, surat ini surat cinta. Rasa kagumku lebih aneh dari yang kau bisa kira. Ku mungkin menginginkan deskripsi yang pasti dari kebungkaman selain kata cinta.
Sampai di seruputan kopi terakhir Gadis, ceritaku tentangmu hanya aku yang tahu. Kebungkamanmu, hanya aku yang memendamnya. Bahkan pertemuan terakhir kita yang hanya berujung dalam diam lalu lalu juga tetap bertengger di daerah tersembunyi. Kau memainkan peran dengan apik. Mengundangku tanpa sapa. Tapi aku dengan suka rela sampai di depanmu.
Seminggu yang lalu itu cukup lucu jika ku ingat sekarang. Kita membiarkan uap kopi habis, meninggalkan kopi tanpa minat. Ku tahu, kau hanya mencari alasan untuk mengembalikanku ke radarmu. Berkelebat di sekelilingmu.
Jika kau mau tahu tentang perasaanku, aku hanya akan tetap berdiam di kebingunganmu. Membiarkan rasamu menguap seperti kopi kita sore itu. Sebuah akhir yang kau ciptakan sendiri. Akhir unik tanpa awalan. Jika orang lain terpesona pada humorismu tingkah, aku akan bertanya sekarang, kenapa kau tak memesonaku dengan cara yanng sama agar aku tak merasa kau berbeda? Kau ingin berbeda.
Mulutku, tetap setia tak mengumbar tentangmu. Gadis yang kau ubah dengan pesonamu itu adalah sahabatku. pesonamu yang tak kau tunjukkan padaku, namun mengikatku. (Semarang)
Air yang turun dari talang adalah hal yang paling menyenangkan kala ku kecil. Bermain hujan-hujanan, menengadah di bawahnya seolah berada di air terjun yang mengalir deras, semakin deras. Berlari kesana kemari menembus ribuan tetes hujan yang menghujam Bumi. Hujan dalah shower raksasa bagi anak seusia itu.
Hujan malam ini turun terlalu deras. Tampiasnya membasahi beranda yang menjadi tempatku memandang Bulan purnama. Menghitungnya sebagai tanda keberhasilanku. Membawanya selalu ada di sisiku, dalam jangkauan radarku.
Tampias itu seolah tahu bahwa waktuku telah usai, sengaja ikut lari bersama angin membasahi segalanya, sampai aku tak lagi bisa duduk termenung, lantas tersenyum. Dia tahu bahwa semua akan berakhir, hitungan purnamaku selesai di angka 36. Itu terlalu banyak. Rasa menyiksanya terlalu dalam.
Purnama yang ku lihat terakhir kali terlalu terang, aku tak sanggup melupakan keindahnya. Sekarang aku tak punya lagi. Keindahan yang terlalu indah untuk ku biarkan pergi. Ku tahu air mata tak akan menahannya pergi. Ku putuskan untuk tak membuangnya sia-sia. Cukup hariku ke depan yang menjadi korban, jangan air mataku yang ku rasa mahal.
Hembusan nafasmu terdengar berat. Kau sadar telah menyakiti manusia yang sekarang hanya bisa mematung memandang jendela kaca yang terhantam air hujan. Membiarkan pikiranku berlari kesana-kemari dengan kenangan. Sesekali terhenyak karena kilat, ku tahan agar tak berhambur mencari perlindungan padamu dengan meremas jari sekencang-kencangnya. Kau membiarkan itu, kau tahu apa yang sedang ku hadapi dengan para kilat dan petir itu.
Suara ponsel berdering berkali-kali, jam dinding berdentang sejam sekali. Kita tetap setia dengan kebisuan.
Menantang rasa sakit dengan kalimat, “semua tak nyata,” itu adalah kalimat pertamaku sejak pengakuanmu.
Kau menghela nafas lagi, mungkin kau sebal mengulang kalimatmu untuk yang kesekian kalinya, aku terlalu bebal untuk mau mengakui yang ku dengar sendiri. Atau kau mungkin juga kesal atas kebisuanku, dan kau merasa tak berharga karena setetespun air mata tak melewati hulunya.
Tiga puluh enam purnama bukan waktu yang singkat untuk bisa diakhiri dengan alasan konyol yang datang dari mulut bijakmu yang bertahun ku damba. Ditambah baru saja saat purnama ke 35 yang lalu kau mengajakku untuk menikmati purnama bersama. Dari saat itu aku pikir aku tak perlu lagi menghitung purnama, semua purnama adalah milikku, milik kita.
Gaun putih sudah setengah jadi, kau tega membakar harapannya di depanku malam ini. bahkan udara dalam ruangan ini mengakui ada banyak penyesalan dalam setiap tarikan nafasmu, bahkan tergurat jelas dari sorotan matamu yang sayu. Kau tak perlu menyangkal itu. Jika kau menarik kalimatmu tadi, mungkin aku akan mempertimbangkan itu. Tetapi mengapa kau tak kunjung mengungkapkannya?
Sekali lagi kutatap lekat wajahmu yang dihiasi kumis tipis yang menjadi kesukaanku. Bahu tegap yang menjadi sandaran ternyamanku. Ah, setiap inci darimu yang terbalut kulit cerah itu favoritku. Termasuk jarimu yang terampil memtik senar gitar sembari menyenandungkan lagu indah.
Aku yakin air mataku tak akan tumpah jika kau tak mengatakan kalimat sederhana dari dua kata itu, “maafkan aku,” sedetik kemudian aku tergugu. Tak mampu lagi menahan sesak yang menusuk jantung. Itu artinya kau sangat berharga untukku, bahkan sebelum hitungan purnamaku dimulai. Kalimat itu sudah jelas mengakhiri semuanya secara mutlak. Aku kalah.
Ratusan purnama telah berlalu dengan rasa terpendamku padamu. Lalu kau hadir mengakhiri hitungan purnama kesendirianku. Membuatku menghitung purnama untuk alasan yang lain. Akhirnya kau menyadari keberadaanku. Harapanku membumbung terlalu tinggi untukmu.
“Kenapa? Kenapa nggak cinta? Sejak kapan?” kalimat bodoh lagi yang bisa menyusup keluar. Hatiku meronta, meminta alasan selain itu. Mungkin sebuah penjelasan yang lebih rasional dari sekedar ingin membuat sebuah komitmen dengan orang yang sangat mencintaimu. Kau pernah berpikir jika itu akan berhasil jika kau menerima cinta daripada meminta cinta.
Jika sudut pandangnya ku balik, aku adalah sang peminta cinta, jiwaku mengelak, aku tak serendah itu. Aku selama ini menantimu dalam diam, mengagumimu dengan hormat, tanpa ada rayuan cinta bak pelacur. Tangisku pecah. Kau menggores egoku terlalu lebar. Pembuluh darah seakan terpotong-potong mengeluarkan semua cairannya, deras.
Manusia yang sangat kukagumi menjatuhkanku dalam jurang yang sangat dalam, rasa cinta yang awalnya madu berubah menjadi racun yang menghitamkan seluruh darahku. Tak bisakah dulu kau tak menjadikanku bahan percobaan tentang komitmen dan istilah-istilah lain dalam hubungan untuk memperindah sebuah kalimat memaksakan untuk cinta?
Kau bangkit dari kursi. Meninggalkanku mengulang jawaban yang sudah terungkap sejak di menit pertama yang sengaja ku lupakan.
“sejak awal,” otakku menjawab otomatis saat pintu rumah tertutup meninggalkan jejakmu.
Pikir benak yang begitu liar Bertanya-tanya kepada akal! Tentang hari-hari tanpa jasad Dikala perbaringan yang gelap Ketika jiwa tak lagi selaras makna dunia Insan kotor didekap dalam hamba Lisan rapuh berkata dalam diam, Sedang yang lain mulai bercakap Disaat pekat menyelimuti dengan riang Akankah tubuh ini melawan?! Sekali lagi menerka nerka Apa mungkin sebongkah mayat ini selamat?