GUGUR SEBELUM LAYU

oleh: Wahyudi (CSSMoRA UIN Walisongo)

 

Dikara pemuja sang bulan
Nyatanya sang matahri lebih bersinar
Dibuthkan dengan segala penyembahan
Abdi yang nyatanya jelata
Apakah insan yang hina
Sungguh hanya kecewa
Disini kuabdikan prihal hati
Agar menjadi obat lara
Tapi ini,,,,, laksanak dari
Menuusuk hati, LUKA!!!
Faktanya itu hanya seutas pengalaman
Membuat diri ini terhina dalam delusi
Kalau ini bukan lagi tentang bertahan
Kini kau melepas, ya aku pergi
Yakinlah aku tak menyimpan dendam
Hanya saja kecewa ini tak mudah kusembuhkan

Tutur ku hanya bisa berterima kasih
Maafku sungguh dari relungku yang dalam
Ini yang terbaik diantara masa yang menyenangkan
Sungguh senyumku sudah merakah
Dariku terima kasih

Wonolopo, 15 Februari 2022

Loading

PENANTIAN TAK BERUJUNG

Oleh: Fadly Rahmadi (CSSMoRA UIN Walisongo 2018)

Lelah letih sudah langkah kaki

Lemah lunglai ayunan tangan ini

Berjalan tak sampai, berayun tak henti

Tapi yang di cari seolah riap di telan bumi

 

Ditemani mentari timur di awal pagi

Ku duduk sendiri di pelabuhan purnama ini

Hempaskan lelah letihnya kedua kaki

Debu menempel di sekujur tubuh

Berbulir air mata dan butiran peluh

Perjalanan yang panjang dan sangat jauh

 

Cuitan burung-burung camar menggema

Membuatku iri tapi apa daya tak terkata

Sekiranya aku punya sayap seperti mereka

Mungkin sudah lama kusinggah di sana

Seperti mereka dan teman-teman lainnya

 

Dalam khayal aku pikirkan

Kita arungi bahtera kehidupan ini dengan senyuman

Kita bumbui pahit getir ini dengan madu manisan

Lama bentarnya kapal berlayar pada waktunya akan berlabuh juga di dermaga

 

Hmmm,

Kuhempaskan pandanganku ke seberang jauh

Ingin rasanya aku meneriakkan penungguanku

Akan tetapi lidah terasa ngilu

Dan ingin rasanya aku jerit raungkan kerinduanku

Namun mulutku diam membisu

Aku hanya bisa menunggumu di tepian dengan memandangi kapal-kapal yang simpang siur berlayar dan berlabuh

Berharap dikau muncul bersama kapal itu

Dan akan kutunggu, kutunggu sampai air laut tak lagi membiru

 

Oh pencarian yang berubah jadi kekecewaan

Masihkah dikau setia dalam cintamu?

Atau kah sudah pudar diterpa hembusan bayu?

Loading

Cerita Gadis dan Kopiku

Oleh: Umi Latifah

Langit sore bulan Desember hampir selalu gelap. Udara yang tertahan selama menemui waktu untuk bebas dan kembali bermuara di lautan. Bereuni sembari membagi kenangan selama menjelajah langit, bermetamorfosis menjadi sebuah salju yang indah dan luruh kembali menjadi butiran udara yang jatuh ke Bumi. Begitu juga kami yang mengumbar cerita dari banyak topik selama jauh satu sama lain. Daftar cerita yang perlu didengar mengular, kami butuh lebih dari secangkir kopi.

Tempat sakit ini adalah pilihanku. Termasuk mejanya. Aku suka sudut ini, dan tempatku selalu disini. Melihat pemandangan yang sama di tempat ini nyatanya tak membuatku bosan.

Kopi kedua sudah tinggal ampas. Satu cerita persatu menemui ujung. Bersama tenggelamnya cahaya, tenggelam pula kisah pertemuan kami.

Akan ku ulas lagi percakapan kami di sore hari. Di seruputan pertama, dia bercerita tentang bagaimana rasanya berebutan kursi di hari pertama masuk sekolah. Dia bertemu denganmu pagi itu, di kelas 12 A, di bangku paling depan. Kalian ingin duduk di tempat yang sama, namun dia sama batunya denganmu. Dia hanya ingin aku yang duduk dengannya. Pagi itu juga aku memilih untuk duduk di bangku belakang karena jengah dengan kalian. Bel berdentang kalian diam. Duduk berdampingan, walau punggung saling.

Saat itu, aku benci dirimu yang bahkan tak mau mengalah pada makhluk yang bernama Gadis. Kau sungguh jauh dari kriteria lelaki lakilaki yang lembut. Jelas saja, pikiran yang menggelayut di otakku, kau sedang memainkan peran agar mendapat perhatian dari sahabatku. Ya, Gadis sahabatku, kau tahu itu.

Gadis memiliki paras ayu, terlalu lembut untuk bisa diajak berdebat. Namun kau berhasil membuat waajahnya merah padam di pagi yang cerah. Kau pada sama saja.

Seruputaan kedua, dia bercerita tentang kebiasaanmu melirik pekerjaan Gadis di buku tugas, lalu tersenyum sinis tanpa sebab. Lagi-lagi kau mengalihkan perhatiannya. Tak pernah ada orang yang memperlakukan Gadis seperti itu. Aku pernah berpikir jika kau terlampau aneh. Cara yang kau gunakan sedikit berbahaya untuk hanya mendapatkan perhatian.

Ku mulai merasakan perbedaan sikap Gadis pada satu bulan pertama setelah mengenalmu. Dia lebih sensitif dan sering uring-uringan. Menyalahkan banyak nyawa padahal kau biang keladinya. Mungkin hanya sekedar robekan kertas, namun mampu menyulut emosinya, jika itu karenamu. Sungguh, membuat manusia selembut kapas dan memiliki program emosi menjadi sedikit demi sedikit warna. Di bulan selanjutnya, aku mulai kagum dengan caramu.

Semua cerita masa SMA mengalir begitu saja dari bibir Gadis. Memori tentangmu sungguh mengakar dalam otaknya. Jelas ku tahu, terlampau unik hingga berada di posisi itu.

Sempat aku cemburu pada hadirmu dalam otak Gadis. Dia bahkan sering lupa ulang tahunku. Tapi dia ingat hari pertama menghantammu dengan bola kasti. Ini disengaja. Kau tertidur ketika tugas kelompok permeja harus segera diberlakukan. Malam itu, dia mengumpat di grup chat kami karena ia harus begadang semalaman demi meyelesaikan tugas dengan porsi dua kepala dan empat tangan. Pagi harinya, aku menemaninya berdiri di depan gerbang, tanpa tahu apa alasannya. Lima menit kemudian rasa anehku terjawab saat dengan lancarnya Gadis menghantam tubuh kurusmu dengan bola kasti yang ia dapat dari gudang rumah. Sungguh, ku kira dia akan memainkan itu bersama kami di jam istirahat.

Bahkan dia ingat tentang kau yang hadir di promnight. Apa warna dasimu, bajumu, sepatumu, banyak hal yang ia ingat tentangmu. Jelas, Gadis tak lagi sama seperti dulu. Ku sadar, dia mulai menginginkanmu. Ingin bisa berbincang denganmu. Namun aku salah persepsi dari awal tentangmu. Kau memang seperti itu, berbicara seperti itu, bertingkah seperti itu, selalu. Pada itu. Kecuali aku. Naasnya, kau juga menarik perhatianku.

Aku figuran dalam ceritamu dengan Gadis. Hanya tokoh yang ada di samping Gadis dengan seribu kebungkaman.

Sore ini, menyadari banyak hal tentang perasaanku sendiri. Pada posisi, aku pernah ingin ada di posisi Gadis yang bisa kau jahili dengan santai. Kau tatap matanya dengan santai. Segalanya yang biasa saja. Kau bahkan terlampau ramah pada banyak makhluk, termasuk kucing di kantin sekolah yang sering menggelayuti kakiku. Alasanmu diam kepadaku sungguh ingin ku tahu.

Sore ini, aku juga menyadari, bahwa aku juga memiliki kisah yang berbeda denganmu, aku sebagai tokoh utama di cerita itu. Cerita atas kebungkamanmu padaku. Yang hanya saling menatap tanpa mengumbar kata. Bahkan di saat-saat terakhir di promnight itu, kau hanya ada di kejauhan. Bergurau dengan teman-temanmu. Ekor mataku mengikutimu, bahkan kau tahu itu, kau juga membalasku.

Lebih dari apapun, aku megagumimu. Namun sayang, surat ini surat cinta. Rasa kagumku lebih aneh dari yang kau bisa kira. Ku mungkin menginginkan deskripsi yang pasti dari kebungkaman selain kata cinta.

Sampai di seruputan kopi terakhir Gadis, ceritaku tentangmu hanya aku yang tahu. Kebungkamanmu, hanya aku yang memendamnya. Bahkan pertemuan terakhir kita yang hanya berujung dalam diam lalu lalu juga tetap bertengger di daerah tersembunyi. Kau memainkan peran dengan apik. Mengundangku tanpa sapa. Tapi aku dengan suka rela sampai di depanmu.

Seminggu yang lalu itu cukup lucu jika ku ingat sekarang. Kita membiarkan uap kopi habis, meninggalkan kopi tanpa minat. Ku tahu, kau hanya mencari alasan untuk mengembalikanku ke radarmu. Berkelebat di sekelilingmu.

Jika kau mau tahu tentang perasaanku, aku hanya akan tetap berdiam di kebingunganmu. Membiarkan rasamu menguap seperti kopi kita sore itu. Sebuah akhir yang kau ciptakan sendiri. Akhir unik tanpa awalan. Jika orang lain terpesona pada humorismu tingkah, aku akan bertanya sekarang, kenapa kau tak memesonaku dengan cara yanng sama agar aku tak merasa kau berbeda? Kau ingin berbeda.

Mulutku, tetap setia tak mengumbar tentangmu. Gadis yang kau ubah dengan pesonamu itu adalah sahabatku. pesonamu yang tak kau tunjukkan padaku, namun mengikatku. (Semarang)

Loading

Pintuku Tak Pernah Terbuka

oleh: Fajri Zulia Ramdhani

Aku kehilangan 2/3 ruas hati, setelah kembali dari kebun bunga miskin semerbak

ilalang tinggi mengahalang pandang, tanah busuk tengik menyeruak

aku berjalan jejak di setapak yang dibangun dusta

tak bertepi, hilang ujung dan aku buntu

 

Lusa lalu 3/7 kamu datang tok tok mengetuk pintu

ya ya, kubuka perlahan dan kau menyeruak mendobrak

kepemilikanku terampas, kamu jadi kuasa entah sejak ketukan pertama atau sejak tawa kita bersama

saat itu aku kehilangan alasan menggugat, rupawanmu menyihir sadarku

 

Sejak 4/5 drap drap, aku dihentak akibat tak setia

oh Tuhan.. kau telah menjajah banyak rumah, menyihir si empunya untuk biarkanmu haha hihi semaunya

tapi dasar sudah mabuk.

segala kita jadi sibuk, yang lalu lupa sudah halah halah

aku percaya saja

dan biarkanmu masih, menguasai apa saja dan merusak yang mana saja

 

Yah sudah kadung biarlah. Selesai tercabik akibat buta, tuli, dan mau saja

aku menangis tersedu di jalan buntu

kembali aku sudah tak ingat arah, pergi lagi entah jurang mengarah

 

Menyesal mau bagaimana, titut titut bel pintu sudah tak lagi kurisau

biar saja

aku butuh waktu menambal hilang, memintal peka, memaku rambu-rambu agar tak lagi ditilang karena hilang

entah katanya dia orang setia yang tak mungkin mendua, atau jujur inginkan dua sejak tak punya satu

tetap saja pintuku tak terbuka

apa yang tersisa dari 1/3? Jika kubiarkan semua, yang mana sisa?

Jadi kini, pintuku tak pernah terbuka

Loading

Lalu Aku Kagum

Lalu aku kagum

Pada senyum yg tak luntur meski diterpa nelangsa

Pada kebaikan yg tak henti kau berikan pada si penoreh luka

Pada tekad yang tak goyah meski kau diam2 menangis tak berdaya

Kuberi jarak, berharap kau mendekat agar bisa ku peluk erat

Kau pilih diam, dan aku memutuskan untuk membangun sekat

Jangan tanya traumaku

Aku tak sekuat itu menggenggam api

Aku lari dari penjahat hati

Aku tak setangguh itu menanggung lara

Aku kabur dari pembunuh rasa

Aku tak tahan

Maka, jika lelah kembalilah pulang

Hati selalu tau dan memilih tempat ternyaman

Ngaliyan, 29/12

Rohadatul ‘Aisy Idra

Anggota CSSMoRA 2017 UIN Walisongo

Alumni Angkatan 20 PP Diniyyah Pasia, Agam

Loading

Mayat Kosong

Pikir benar yang begitu liar

Pikir benak yang begitu liar
Bertanya-tanya kepada akal!
Tentang hari-hari tanpa jasad
Dikala perbaringan yang gelap
Ketika jiwa tak lagi selaras makna dunia
Insan kotor didekap dalam hamba
Lisan rapuh berkata dalam diam,
Sedang yang lain mulai bercakap
Disaat pekat menyelimuti dengan riang
Akankah tubuh ini melawan?!
Sekali lagi menerka nerka
Apa mungkin sebongkah mayat ini selamat?

Belu, 23 Juli 2020
Yudi

Loading