Dari tadi pagi hujan mengguyur kota tanpa henti, udara yang biasanya sangat panas, hari ini terasa sangat dingin. Di jalanan hanya sesekali mobil yang lewat, hari ini hari libur membuat orang kota malas untuk keluar rumah.
Di perempatan jalan, Umar, seorang anak kecil berlari-lari menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah, dia membiarkan tubuhnya terguyur air hujan, hanya saja dia begitu erat melindungi koran dagangannya dengan lembaran plastik. “Korannya bu !”seru Umar berusaha mengalahkan suara air hujan.
Dari balik kaca mobil si ibu menatap dengan kasihan, dalam hatinya dia merenung anak sekecil ini harus berhujan-hujan untuk menjual koran. Dikeluarkannya satu lembar dua puluh ribuan dari lipatan dompet dan membuka sedikit kaca mobil untuk mengulurkan lembaran uang. “Mau koran yang mana bu?”, tanya Umar dengan riang. “Nggak usah, ini buat kamu makan, kalau koran tadi pagi akujuga sudah baca”, jawab si ibu.
Si Umar kecil itu tampak terpaku, lalu diulurkan kembali uang dua puluh ribu yang dia terima, ”Terima kasih bu, saya menjual koran, kalau ibu mau beli koran silakan, tetapi kalau ibu memberikan secara cuma-cuma, mohon maaf saya tidak bisa menerimanya”, Umar berkata dengan muka penuh ketulusan.
Dengan geram si ibu menerima kembali pemberiannya, raut mukanya tampak kesal, dengan cepat dinaikkannya kaca mobil. Dari dalam mobil dia menggerutu ”Udah miskin sombong!”. Kakinya menginjak pedal gas karena lampu menunjukkan warna hijau. Meninggalkan Umar yang termenung penuh tandatanya. Umar berlari lagi ke pinggir, dia mencoba merapatkan tubuhnya dengan dinding ruko tempatnya berteduh.
Tangan kecilnya sesekali mengusap muka untuk menghilangkan butir-butir air yang masih menempel. Sambil termenung dia menatap nanar rintik-rintik hujan di depannya, ”Ya Tuhan, hari ini belum satu pun koranku yang laku”, gumamnya lemah.
Hari beranjak sore namun hujan belum juga reda, Umar masih saja duduk berteduh di emperan ruko, sesekali tampak tangannya memegangi perut yang sudah mulai lapar.Tiba-tiba didepannya sebuah mobil berhenti, seorang bapak dengan bersungut-sungut turun dari mobil menuju tempat sampah,”Tukang gorengan sialan, minyak kaya gini bisa bikin batuk”, dengan penuh kebencian dicampakkannya satu plastik gorengan ke dalam tong sampah, dan beranjak kembali masuk ke mobil.
Umar dengan langkah cepat menghampiri laki-laki yang ada dimobil. ”Mohon maaf pak, bolehkah saya mengambil makanan yang baru saja bapak buang untuk saya makan”, pinta Umar dengan penuh harap. Pria itu tertegun, luar biasa anak kecil di depannya. Harusnya dia bisa saja mengambilnya dari tong sampah tanpa harus meminta ijin. Muncul perasaan belas kasihan dari dalam hatinya. “Nak, bapak bisa membelikan kamu makanan yang baru, kalau kamu mau” “Terima kasih pak, satu kantong gorengan itu rasanya sudah cukup bagi saya, boleh khan pak?”, tanya Umar sekali lagi. “Bbbbbooolehh”, jawab pria tersebut dengan tertegun. Umar berlari riang menuju tong sampah, dengan wajah sangat bahagia dia mulai makan gorengan, sesekali dia tersenyum melihatlaki-laki yang dari tadi masih memandanginya.
Dari dalam mobil sang bapak memandangi terus Umar yang sedang makan. Dengan perasaan berkecamuk di dekatinya Umar. “Nak, bolehkah bapak bertanya, kenapa kamu harus memintaijinku untuk mengambil makanan yang sudah aku buang?”, dengan lembut pria itu bertanya dan menatap wajah anak kecil di depannya dengan penuh perasaan kasihan.
”Karena saya melihat bapak yang membuangnya, saya akan merasakan enaknya makanan halal ini kalau saya bisa meminta ijin kepada pemiliknya, meskipun buat bapak mungkin sudah tidak berharga, tapi bagi saya makanan ini sangat berharga, dan saya pantas untuk meminta ijin memakannya ”, jawab si anak sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak goreng.
Pria itu sejenak terdiam, dalam batinnya berkata, anak ini sangat luar biasa. ”Satu lagi nak, aku kasihan melihatmu, aku lihat kamu basahdan kedinginan, aku ingin membelikanmu makanan lain yang lebih layak, tetapi mengapa kamu menolaknya”.Si anak kecil tersenyum dengan manis,
”Maaf pak, bukan maksud saya menolak rejeki dari Bapak. Buat saya makan sekantong gorengan hari ini sudah lebih dari cukup. Kalau saya mencampakkan gorengan ini dan menerima tawaran makanan yang lain yang menurut Bapak lebih layak, maka sekantong gorengan itu menjadi mubazir, basah oleh air hujan dan hanya akan jadi makanan tikus.”
”Tapi bukankah kamu mensia-siakan peluang untuk mendapatkan yang lebih baik dan lebih nikmat dengan makan di restoran di mana aku yang akan mentraktirnya”, ujar sang laki-laki dengan nada agak tinggi karena merasa anak di depannya berfikir keliru.
Umar menatap wajah laki-laki didepannya dengan tatapan yangsangat teduh,”Bapak!, saya sudah sangat bersyukur atas berkah sekantonggorengan hari ini. Saya lapar dan bapak mengijinkan saya memakannya”, Umar memperbaiki posisi duduknya dan berkata kembali, ”Dan saya merasa berbahagia, bukankah bahagia adalah bersyukur dan merasa cukup atas anugerah hari ini,bukan menikmati sesuatu yang nikmat dan hebat hari ini tetapi menimbulkan keinginan dan kedahagaan untuk mendapatkannya kembali di kemudian hari.”
Umar berhenti berbicara sebentar, lalu diciumnya tangan laki-laki di depannya untuk berpamitan. Dengan suara lirih dan tulus Umar melanjutkan kembali,”Kalau hariini saya makan di restoran dan menikmati kelezatannya dan keesokan harinya sayamenginginkannya kembali sementara bapak tidak lagi mentraktir saya, maka sayasangat khawatir apakah saya masih bisa merasakan kebahagiaannya”.
Pria tersebut masih saja terpana, dia mengamati anak kecil di depannya yang sedang sibuk merapikan koran dan kemudian berpamitan pergi.”Ternyata bukan dia yang harus dikasihani, Harusnya aku yang layak dikasihani, karena aku jarang bisa berdamai dengan hari ini”
Kisah ini menceritakan tentang pertemuan antara murid kls 10 dan kls 11.Mereka dipertemukan oleh organisasi yang mereka ikuti yakni OSIS,ya OSIS lah yang membuat kedua insan ini bersatu.Hari selasa di sekolah mereka diadakan pemilihan ketua/wakil ketua OSIS,Sebuah pertemuan yang menjadi awal dari hubungan mereka.Sebut saja namanya fadly dan fuji,fadly adalah siswa kls 11 sedangkan fuji adalah siswi kls 10.Pertemuan mereka bisa dibilang singkat,karna hanya perlu waktu sehari semalam untuk mereka saling kenal dan mengubah status mereka menjadi PACARAN.Awalnya mereka ragu untuk memilih pacaran tetapi hari demi hari kehangatan pun hadir didalam hubungan mereka walaupun banyak perbedaan pendapat yang sering terjadi.Namanya juga pacaran sama kakel jadi ya kita gabisa liat DIA di kls,cuman bisa ketemu di jam istirahat yang singkat.
Suatu hari fadly menghampiri fuji yang sedang duduk di taman sekolah sambil membawa minum untuknya.
Fadly:”hi sayang”
Fuji:”hi,tumben kamu nyamperin aku”
Fadly:”ya kan aku pacar kamu jadi bolehlah aku nyamperin kamu disini”
Fuji:”oh iya fad,ada yang mau aku omongin sama kamu”
Fuji:”ihh apaan sih,oke janji dulu kamu akan jawab jujur”
Fadly:”oke aku janji,memang mau tanya apa sih”
Fuji:”aku denger isu kamu deket sama kk adel”
Fadly:”adel?putri adelia maksud kamu?”
Fuji:”iya kk adel”
Fadly:”mana ada fuji ku,aku cuman temenan sama dia”
Fuji:”fad,plis jawab jujur!”
Fadly:”aku jujur,ya memang gaada hubungan apa apa fuji”
Fuji:”yaudah aku masuk kls dulu”
Fadly:”fuj,serius aku gaada hubungan apa apa”
Fuji pun pergi dari sana dan msuk ke kelasnya.
Bel pulang pun berbunyi fuji yang biasanya pulang bareng fadly sekarang dia memilih untuk pulang sendiri tanpa fadly
Fadly:”hi sayang,ayo naik panas ini.kita ke cafe dulu ya”
Fuji:”aku udah suruh supir buat jemput jadi kamu duluan saja fad”
Fadly:”hi fuj fujii kamu kok beda sekarang,coba ngomong ada apa?sini sini”
Fuji:”ngga gapapa aku cuman mau sendiri saja dulu”
Fadly:”ayolah fuj,jangan kaya anak kecil”
Fuji:”memang aku anak kecil kan toh aku kan adek kelas kamu”
Fadly:”fujii ayo ngomong ada apa?”
Fuji:”fad,aku cape tahu ga kayak gini terus”
Fadly:”yaudah kita ngobrol di cafe biasa ya,sekarang kamu naik dulu oke”
Merekapun pergi ke cafe untuk membicarakan masalah yang terjadi
Fadly:”ada apa fuj?ayo cerita”
Fuji:”aku cape fad kaya gini terus,kita cuman punya waktu bentar buat ketemu.ya aku tahu kamu sibuk,banyak urusan yang harus kamu urus.tapi kayak coba kamu luangin sedikit saja fad waktu kamu”
Fadly:”fuji,aku juga cape kayak gini terus.dan kl aku boleh jujur aku juga cape dituduh deket sama teman sekelas itu fuj,cobalah kamu ngertiin perasaan aku.aku sudah berusaha buat jaga hati aku buat kamu tapi kamu selalu saja mikir kalo aku ada hubungan sama adel.”
Fuji:”aku minta maaf kalo selama ini sikap aku buat kamu ganyaman dan buat kamu risih”
Fadly:”sekarang mau kamu bagaimana?aku cuman butuh kejelasan saat ini dari kamu”
Fuji:”kita putus”
Fadly:”what?why?fuji hubungan kita ini masih baru fuj!”
Fuji:”kita terlalu cepat ngambil keputusan fad,sehari semalem waktu kita buat saling kenal.dan semua itu menurut aku gacukup fad”
Fadly:”ya aku salah terlalu cepat ngambil keputusan aku minta maaf,jadi mulai sekarang kita putus.kalo itu mau kamu aku ngikut saja tapi kalo suatu saat kamu butuh sama aku dateng saja karna dihati aku cuman ada kamu makasih buat waktunya walau hanya sebentar tapi gapapa ini bisa jadi pelajaran buat aku untuk ga terlalu cepet ambil keputusan.sekali aku minta maaf semoga kamu bahagia tanpa aku,yaudah supir kamu sudah dateng.see you fuj”
Fuji:”aku juga minta maaf,kalo kamu masih butuh sama aku dateng saja,aku pergi dulu see you!”
oleh: Ni Pt Elisa Juniantari Dewi (Peserta Lomba Cerpen Dies Natalis ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Tumbuh bersama ilusi, Tanpa mengenal adanya realita. Pernahkah kalian mengalami itu? Atau kalian menginginkan hidup seperti itu?
Skizofrenia, Penyakit gangguan mental yang menyebabkan kita mengalami halusinasi berkepanjangan. Disaat kamu mengidap penyakit tersebut maka yang akan kamu rasakan adalah mengalami delusi, kekacauan dalam berfikir, mengasingkan diri hingga kemungkinan besarnya yang lain merupakan perubahan perilaku. Penyakit ini juga bukan sembarang penyakit, Dikatakan bahwa yang mengidap penyakit ini banyak yang meninggal di usia muda.
Namanya juga penyakit, Baik itu kecil maupun besar. Tetap saja berbahaya. Apalagi kalau tidak ada penanganan sama sekali untuk mencegahnya.
‘Selamat pagi!!.’
Sesuatu menyembul keluar dari samping bahuku, bersama dengan lengkungan hangat yang menghiasi matanya. Bentuknya seperti kelinci namun bukan juga di kategorikan seperti itu. Rupanya lebih mirip seperti Doraemon namun versi kelincinya.
“Pagi.” Balasku sambil ikut tersenyum padanya. Mendekat ke arah nakas di dekatku lalu membuka laci paling atas dengan tujuan mengambil sebuah plastik khusus berisi beberapa tablet di dalamnya. “Kau mau meminum itu lagi?.” Tanya doraemon versi kelinci itu. Aku hanya merespon dengan menganggukkan kepala.”Kau sakit?” Tanyanya lagi. Tangan yang tadinya hendak mengambil tablet dari tepatnya kini terhenti karena pertanyaan tersebut.
Jika boleh jujur, Aku sendiri bingung bagaimana hal di sampingku itu tercipta. Namun tidak bisa di pungkiri, Bahwa faktanya yang menciptakannya adalah aku sendiri.
Kalau tidak di beritahu oleh orang tuaku juga mungkin saja aku akan terus beranggapan bahwa hal yang di pundakku ini ‘nyata’ sedangkan yang di sekitarnya adalah ilusi. Awalnya memang tidak semudah itu aku menaruh kepercayaan bahwa opiniku ini salah namun lama kelamaan akupun dapat membuka pikiranku. Aku mulai terapi dan minum obat-obatan yang sudah dianjurkan.
Walaupun efeknya sangat lamban untuk dirasakan atau mungkin sekarang masih belum ada efek apapun namun keyakinan dari orang tuaku bahwa aku akan sembuhpun membuatku percaya bahwa aku akan sembuh nantinya. Terkadang terbesit pertanyaan di kepalaku, Apa yang terjadi dengan ku jika Sasa -Makhluk menyerupai kelinci itu– menghilang dari hidupku ini? Masih sanggupkah aku menjalani hari?
Dia hanya sesuatu yang ku buat dari imajinasiku jadi cepat atau lambat aku harus siap saat dirinya menghilang. Sama halnya denganku yang manusia biasa ini, cepat atau lambat pasti harus kembali ke tempat sang pencipta.
Mari jauhkan pikiran ke arah yang lebih menyenangkan dulu. Jika memang perpisahan akan datang maka mengabadikan kenangan adalah solusinya. Jadi aku berencana untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan sampai waktu perpisahanku dengannya menjemput.
“Hey, Sasa. Ingin melakukan sesuatu yang menyenangkan?.” Tanyaku dengan maksud menghindari pertanyaannya tadi.
Makhluk tersebut mengerutkan keningnya, “Sesuatu seperti apa itu?.” Tanyanya balik. Aku terkekeh sebentar lalu mengambil sebuah buku gambar serta pensil warna. “Sesuatu seperti ini!!.” Seru ku girang.
“Mari kita menggambar!.” Ajak ku. Dia terlihat senang dengan tangannya yang di tepuk terus olehnya. “Ayo! Sasa suka menggambar!.” Racaunya senang.
Kami menggambar diri kami sendiri, lebih tepatnya jika di lihat oleh orang lain. Akulah yang menggambar diriku dengannya. Benar kata orang, Kenyataan itu menyakitkan.
Pensil warna menari-nari menghias kertas yang tadinya hanya berisi coretan hitam. Sedikit demi sedikit terisi oleh warna. Namun faktanya, jika tidak ada warna putih maka warna – warna tadi tidak mungkin bisa ada keberadaanya.
Sama seperti keberadaan sasa sekarang. Mungkin jika aku tidak pernah tau mengenainya, aku tidak bisa membedakan dunia yang nyata ataupun yang tidak. Karena dirinya juga aku tidak merasakan kesepian selama ini. Begitu berpengaruh kehadirannya untukku, terlintas terus pertanyaan kesanggupanku tanpa ada dirinya.
Aku menepuk kedua pipiku, ‘Sadarlah! Ini saatnya bersenang-senang, bukan untuk merana ataupun memikirkan nasibku kelak.’ batinku.
“Ada apa? Kau baik-baik sajakan?.” Tanya sasa padaku. Aku meliriknya, “Ya, Aku baik-baik saja haha… ” Ujarku sambil tertawa hambar.
Singkatnya. Hari sudah berganti tahun, dan aku sudah di diagnosis sembuh dari penyakit tersebut. Umurkupun sudah mencapai kepala 3 sekarang. Tapi ingatan tentang sosok kecil itu masih bersamaku. Tidak ada lagi suara serta sosok yang selalu menemaniku itu. Walaupun aku sudah mulai beradaptasi dengan dunia luar entah kenapa aku masih merasa kosong.
Mataku tak sengaja melihat bulan yang sudah berganti tugas dengan matahari, sinarnya menerpa wajah sayuku. Tak sengaja kenangan bersamanya melintas. Saat itu bulan purnama bersinar penuh di langit, sama seperti yang ku lihat hari ini.
Kami duduk di teras sambil menatap langit. Kakinya diayunkannya olehnya, “Tidakkah bulannya cantik?” Ucapnya membelah keheningan di antara kami. Aku menoleh padanya, sedikit bingung dengan maksud dari ucapannya. Bukankah bulan memang cantik mengapa sosok di sampingnya itu bertanya lagi soal itu?, Heranku saat itu.
Tidak mau berfikir panjang lagi, aku mengangguk mengiyakannya. “Begitulah” Gumamku sambil menatap bulan lagi. Tangannya menyentuh tanganku, “Ada kata yang harus aku katakan padamu” Ujarnya dengan tatapan serius padaku. Aku terkekeh pelan, “Apa itu? Katakan saja” Ucapku.
“Aku tidak mengetahui apa itu perasaan namun entah mengapa aku merasa kita akan berpisah dan tidak akan bertemu lagi, jadi aku ingin mengucapkan ini padamu.terima kasih karena telah menjadi temanku dan maaf karena sudah membelenggumu selama ini” Jelasnya sambil menatapku. Air mataku jatuh saat itu, Kesedihan yang ku bendung sedemikian mungkin jadi hancur karena ucapannya. Dari sejak itu, indraku yang mulanya hanya meyakini ilusi sekarang malah beralih pada kenyataan.
Tiba-tiba pintu ruang kerjaku di buka oleh seseorang yang tidak lain adalah keponakanku sendiri. “Bibi!!” Serunya sambil berlari menghampiriku. “Aku ada hadiah buat bibi!” Ucapnya dengan girang, “Apa itu?” Tanyaku sambil tersenyum tipis. Dia menyodorkan tangan dengan benda yang di genggamannya itu.
Aku terkejut saat melihat benda yang di pegangnya. “Tadaaa!! Boneka kelinci ini untuk bibi! Namanya sasa, jaga baik-baik loh ya! Awas aja sampai rusak, nanti aku gak mau ketemu bibi lagi” Ujarnya dengan girang dan tidak lupa dengan pipinya yang sengaja di kembungkan.
Aku terdiam menatap boneka tersebut. Melihat tidak ada reaksi yang kunjung aku berikan pada keponakanku, awalnya dia ingin membuka suaranya untuk menanyakanku soal boneka pemberiannya tersebut namun terhenti saat adikku yang merupakan ibunya memanggilnya untuk makan terlebih dahulu. Alhasih boneka tersebut dengan paksa diberikannya padaku.
Saat pintuku tertutup lagi. Tanganku bergemetar, Air mataku lagi-lagi tidak bisa di bendung. “Aku.. ” Aku menjeda kalimatku. “Aku juga sangat berterima kasih padamu karena telah hadir dalam hidupku. Terima kasih sudah membantuku bangkit dari keterpurukan. Terima kasih telah menjadi teman pertamaku. Terima kasih karena telah mengajarkanku banyak hal. Terima kasih untuk semuanya.” Ucapku sambil memeluk erat boneka tersebut seolah-olah sasalah yang berada di pelukanku sekarang.
‘Terkadang, Penyakitpun dapat mengajarkan kita suatu hal.‘
Kamera ponsel terus merekam tangan kanan pemuda yang menggenggam sesuatu, pemuda itu berjalan mendekati tukang eskrim yang ada di seberang jalan.
“Pak, tos dulu!” Faisal—si pemuda—mengajak bapak penjual es krim fist bumb, penjual es krim tersenyum dan menuruti kemauan Faisal. Faisal membalik tangannya, membuka genggaman tangan dan menampakkan lembaran uang seratus ribu “Rejeki buat Bapak,” lagi, bapak penjual eskrim tersenyum, malu-malu dia menerima lembaran uang itu. sorot kamera dari ponsel di tangan kiri Faisal terus merekap raut wajah bahagia dari sang Bapak. Ia tak sadar, seseorang memerhatikan interaksi mereka.
“Makasih ya, Mas!” Bapak penjual es krim tersenyum dengan tulus, matanya sedikit berkaca-kaca, baginya uang sebesar itu sangat berharga.
“Sama-sama Pak!” Faisal mematikan rekaman di ponselnya, memasukkannya dalam kantong celana.
“Mas, lain kali kalau mau ngasih orang itu yang ikhlas.” Greysha—orang yang memerhatikan interaksi Faisal dengan Bapak penjual es krim—terang-terangan menegur Faisal.
“Memangnya tampang saya ini gak ikhlas Mbak?” Tanya Faisal sedikit kesal
“Kalau ikhlas kan gak perlu divideo gitu, pasti mau buat konten. Cih!” Greysha menampilkan raut wajah seperti mengejek Faisal
“Lagian wajah saya gak kelihatan kok, orang gak akan tahu saya siapa di video itu!” Dengan mantap Faisal menjawab, mengira bahwa argumennya akan membungkam perempuan berambut abu-abu di depannya.
“Wajah Masnya emang gak kelihatan, tapi wajah Bapaknya kelihatan. Emangnya Mas udah minta izin untuk merekam? Memangnya mas gak memikirkan gimana perasaan Bapaknya, beliau risih, gak nyaman, malu, dan semacamnya? Mas pernah mikir sampai situ gak?” Masih dengan wajah judesnya, Greysha menampar Faisal dengankata-kata.
“Gak papa kok Mbak, saya gak papa!” Bapak penjual eskrim yang sebelumya hanya mendengarkan perdebatan dua muda-mudi di depannya ikut bersuara.
“Tuh, Bapaknya aja gak papa!” Faisal yang mendapat pembelaan merasa bahwa yang dia lakukan sudah benar.
“Tapi Pak, Bapak punya hak untuk menolak kalau Bapak memang benar-benar tidak merasa nyaman.” Greysha berbicara lembut dengan Bapak penjual eskrim. Faisal sudah membuka mulutnya, siap berbicara menanggapi argument Greysha, “Pak, saya beli es krimnya tujuh ya, kasian adik-adik saya udah nungguin.” Lanjut Greysha sembari melirik enam bocah di seberang jalan.
Dengan cekatan bapak penjual es krim itu menyajikan es krim pesanan Greysha, dia memanggil dua anak laki-laki untuk membawa beberapa es krim yang lain. Mengeluarkan uang dengan nominal besar dan mengatakan kembaliannya untuk bapak itu. Semua itu tidak luput dari perhatian Faisal, dalam hati dia juga mencibir. Sama saja, nominal yang aku beri masih lebih besar.
Setelah perembuan berambut abu-abu itu pergi, Faisal meminta maaf karena kelancangannya. Diam-diam dia juga memikirkan dan membenarkan apa yang gadis abu-abu itu katakan.
Faisal Jalvey, vlogger yang lebih sering menerima pujian karena konten-kontennya yang bermanfaat di akun utamanya. Di akun fake yang ia gunakan untuk mengunggah konten-konten berbagi juga selalu mendapat pujian. Dia nyaris tak pernah mendapat kritikan dan selalu mengabaikan kritikan yang meurutnya tak mendidik. Namun kali ini, ada perempuan yang berani mengkritiknya secara langsung dan suara gadis abu-abu itu masih terngiyang di telinganya.
Masih sedikit kesal, Faisal melempar kacamatanya ke dasbor mobil, memijat alisnya perlahan. Suara gadis itu membuatnya pusing. Ia merasa taka da yang slah dengan apa yang dia lakukan, dia menganggap bahwa gadis itu hanya iri.
Di antara kemacetan yang semakin membuatnya pusing, Faisal tak sengaja melihat ke kursi penumpang. Ada nasi kotak titipan mamanya yang harus dia bagikan. Ia menghela napas berat, masih sedikit ketar-ketir bertemu dengan orang yang seperti gadis itu. ia memutar otak, berusaha menentukan lokasi yang cocok tapi tak terlalau ramai.
Ting!
Di layar ponselnya tertera nama “Mama”
Mama <3|
Sal, jangan lupa nasi kotaknya dibagiin!
|Anda
Iya, Mama cantik <3
Faisal melemparkan ponselnya bergabung dengan kacamata hitam miliknya. Kemudian keluar dari jalur utama dan berbalik menuju danau dekat sekolahnya dulu. Dia berencana membagikan nasi kotak buatan mamanya ke pedagang yang ada di sana.
Sampai di danau, dia buru-buru mengambil dua kantong palstik besar yang berisi nasi kotak. Menyusuri jalanan menuju taman sekitar danau, sesekali berhenti membagikan nasi itu ke pedagang yang ia lewati. Tanpa ada kamera atau ponsel yang merekam, bahkan Faisal tidak sadar itu hingga di dekat pintu masuk sebelah utara dia bertemu penjual balom.
“Makasih ya Mas nasinya, ini gak difoto atau divideo gitu Mas?” Penjual balon yang sudah lanjut usia itu bertanya, Faisal terperangah. Itukah dampak dari yang selama ini ia lakukan?
“Eh! Gak kok Bu,” Faisal tersenyum kikuk, ia baru sadar jika ponselnya tertinggal di mobil.
“Alhamdulillah kalau gitu. Soalnya saya ini kadang risih Mas kalau di soting gitu, malu sebenarnya. Tapi karena lebih mementingkan perut, ya kesampingkan dulu rasa malunya. Hebat lho Masnya ini, masih muda tapi kalau ngasih orang gak di soting. Sekali lagi makasih ya Mas!” Ibu itu bercerita dengan wajah penuh kelegaan, ia tak perlu mengesampingkan rasa malu untuk mengisi perut.
Sedangkan Faisal, dia merasa tertampar dua kali. Tak ingin pembahasan itu semakin larut, dia pamit undur diri. Buru-buru ingin segera mandi air dingin untuk menyegarkan otaknya.
Melewati jalanan yang lenggang, Faisal sesekali memijat alis dan pengkal hidungnya. Hari ini benar-benar membuatnya pusing. Ia terkejut saat tiba-tiba di depannya ada kucing pincang yang menyebrang. Di jalanan satu arah itu Faisal membanting kemudinya ke kiri, tapi karena jalanan licin mobilnya jadi berputar dan terbalik. Ia masih sadar, tapi tak bisa bergerak karena sabuk pengamannya susah dilepas.
Di sisi lain, Greysha yang baru keluar dari toko makanan hewan melihat kecelakaan itu. Ia mengeram kesal, banyak orang yang berkerumun menyaksikan dan merekam dengan ponsel tanpa mau membantu korban. Setelah memasukkan makanan kucing, dia pergi ke kerumunan itu.
“Mbak, Mas, Pak, Bu! Kalau gak mau nolongin jangan di rekam, gak sopan. Bisa melanggar undang-undang etika lho. Tolong dimatikan kameranya, daripada buat ngerekam mending telpon polisi atau ambulan” setelah mengatakan itu, Greysha langsung berlari menuju mobil yang terbalik. Ia sedikit heran, taka da yang mau membantunya.
Ada suara ketukan kaca dari dalam, berarti korban masih sadar.
“Seat beltnya gak bisa dibuka,” Faisal memberi tahu Greysha, dia menunjuk laci dasbhor. Greysha yang maham, menemukan guntung di mobil. Memotong seat belt itu. mengeluarkan Faisal dari mobil yang terbalik.
Orang-orang yang berada di pinggir jalan tadi mendekat, siap dengan kamera ponsel masing-masing.
“Nunduk dulu!” Pinta Greysha, Faisal yang kebingunan di paksa menunduk oleh Greysha. Kepalanya tertutupi jaket putih yang sebelumnya Greysha kenakan.
“Ini Mas Faisal, vloger yang terkenal itu kan? Kok bisa kecelakaan sih Mas?” Tanya seorang perempuan yang terus saja merekam kejadian hari itu.
“Mbak! Masih gak paham ya yang saya bilang tadi. Ini kprban masih syok lho, jangan ditanya yang aneh-aneh dulu. Daripada ganggu mending pergi sana!” Greysha sudah sangat kesal, mulutnya memang pedas dan kasar kalau berbicara, berbanding terbalik dengan wajah dan penampilannya yang terkesan imut.
Orang-orang yang menonton segera bubar. Tak mau kena semprot untuk ketiga kalinya. Greysha menuntun Faisal duduk di salah satu kursi pinggir jalan, meninggalkannya sebentar untuk mengambil minum. Saat kembali, ia melihat Faisal celingukan seperti mencari sesuatu.
“Nyari apa Mas, ponselnya Mas ada di saya. Ini minum dulu biar tenang. Saya udah telpon polisi dan mereka menuju kemari.”
“Makasih ya, btw untuk yang tadi pagi, maaf.”
“Aman aja, saya juga minta maaf, nih mulut gak bisa direm soalnya,”
Mereka mengobrol santai, Greysha membanu Faisal membersihkan luka-lukanya dengan tisu. Kucing yang Faisal hindari tiba-tiba lewat di depan mereka seakan tak berdosa, menggoyang-goyangkan ekor panjangnya meskipun jalannya sedikit pincang. Greysha mengeluarkan botol dari tas kecil yang terselempang di tubuhnya. Memberi makan kucing itu dengan pellet kucing di dalam botol.
Faisal yang menyaksikan itu semakin merasa kecil di hadapan gadis yang sempat ia maki-maki dalam hati. Perkataan gadis itu tentang kamera benar adanya. Faisal mengalami sendiri tadi, bagaimana orang tidak benar-benar perduli ingin menolong dan hanya numpang eksis.
Tak lama, polisi dating, meminta Greysha untuk mengantarkan Faisal ke rumah sakit dan membawanya ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Gendhis kembali bermimpi perihal keterlibatan kakaknya dalam pasal pemberontakan penebangan hutan oleh perusahaan nasional. Terhitung, empat tahun sudah ia terpisah dari kakaknya. Seolah ada peraturan misteri, mereka terpisah tanpa keterangan pasti.
Sementara Gendhis menunggu mi instannya matang, tangannya menari-nari di atas lembaran putih bergaris. Sesekali giginya bergemeletuk ketika kembali mengingat kejadian yang lalu itu.
Denmas Rama yang Gendhis doakan selalu sehat,
Tadi malam Ayah datang hanya untuk mengambil tabungan terakhir Mama. Gendhis coba menanyakan tentang Bulek Sulastri dan adik-adik, tapi Ayah memilih bungkam dan berlalu dengan BMW putihnya. Seragam lengkap sepertinya cukup menandakan Ayah sedang buru-buru. Entahlah, mungkin akan terbang ke Eropa atau Amerika lagi.
Gendhis tidak tahu harus bagaimana. Denmas Rama tidak pernah mengabari Gendhis soal keadaan di sana. Padahal, Gendhis tidaklah terlalu sibuk untuk hanya mendengarkan Denmas bercerita tentang dinginnya sel tahanan dan sangarnya senior kriminal. Kalau Denmas mau mencoba telepon, Gendhis insyaallah luang di hari Rabu dan Minggu.
Tidak ada yang pernah berdoa agar diberi hidup yang benar-benar menjengkelkan. Toh, Tuhan juga adil pada makhluk-Nya. Contohnya, Cimot. Minggu lalu dia melahirkan tiga anak berbulu yang lucu sekali. Terlepas dari kakinya yang hilang satu bulan lalu, Cimot terlihat bahagia dengan bayinya sekarang. Atau Denmas juga bisa melihat Bayu. Anak itu kembali dapat kejuaraan renang di tengah carut-marut kebangkrutan ayahnya.
Tapi keadilan rupanya belum mau berpihak pada Gendhis. Denmas yang Gendhis punya, terpaksa berpisah sementara sejauh ribuan kilometer. Gendhis tidak tahu Denmas sudah makan atau belum, makanannya enak atau tidak, tidurnya bagaimana, temannya siapa. Tahu tidak, sih? Gendhis sekarang hanya mau peluk Denmas. Gendhis tidak peduli orang-orang memandang sinis rumah ini atas “kasus” Denmas.
Gendhis ingat waktu Denmas berjanji membelikan Mama kalung mutiara mainan di alun-alun. Saat itu, Mama langsung cemberut sepanjang pulang ke rumah. Denmas juga pernah, kan, berjanji membelikan Ayah mobil baru. Katanya, mobil Ayah kalau dipakai beberapa meter saja sudah berasap. Ternyata Ayah betul-betul mendapat mobil, seukuran Cimot yang masih berumur dua bulan. Perut Gendhis sampai mulas melihat kelakuan Denmas.
Oh, ya, Gendhis datang ke pameran lukisan kemarin. Ada satu lukisan tentang lansia yang menjadi badut di perempatan kota. Dia tengah menikmati nasi dengan balutan daun pisang. Tiga porsi pun rupanya tak akan cukup mengenyangkan cacing-cacing di perutnya. Pemandu juga mengajak Gendhis bertemu Si Pelukis. Masih muda. Ganteng kaya Denmas, hehe. Namanya Juna. Mas Juna mendapat inspirasi waktu buru-buru berangkat kerja. Betul ada, loh, Denmas. Lansia itu sedang menyantap nasi bungkus sambil sesekali menyeka peluhnya. Kata Mas Juna, perawakannya sudah bungkuk, kerutannya dari jauh pun sudah terlihat, giginya juga sepertinya sudah habis. Mungkin sekitar 60-70 tahun. Gendhis sedikit terpaku ketika Mas Juna bercerita tentang kakinya yang seperti Cimot, hilang satu. Lansia itu memakai kaki palsu untuk membantunya menjadi badut. Mas Juna akhirnya mengambil cuti hari itu. Dia mengantar Si Lansia pulang.
Mas Juna sempat menghela napas sejenak, sebelum kembali melanjutkan kisahnya. Sebuah gubuk triplek yang kerap bergoyang diterpa angin, menyapa kedatangan Mas Juna dan Mbah Tus. Iya, nama badut lansia itu Mbah Tus. Hanya ada ceret sehitam jelaga di meja serbaguna. Satu meja, berjuta fungsi. Oleh karena itu, Mas Juna menyebutnya meja serbaguna. Mas Juna baru tahu kalau Mbah Tus memang tinggal sendiri. Putra sulungnya meninggal tujuh tahun lalu, sedangkan Si Bungsu tidak pernah pulang sejak mengirimi surat dan tiga juta rupiah dari Mesir. Mbah Tus terus berusaha bertahan hidup. Katanya, beliau pernah hanya menggigit jari melihat tetangganya yang pegawai negeri menerima bantuan dari pemerintah. Mau protes pun tidak punya kuasa. Kejawennya yang sampai sekarang masih dipegang erat, sering digunjingkan perangkat desa sebagai penyebabnya tidak pernah menerima uluran tangan pemerintah. Gendhis yakin Denmas akan marah ketika mendengar cerita ini. Seolah penghayat kepercayaan tidak pantas hidup sejahtera..
Mas Juna berhenti bercerita sewaktu istrinya menelepon, katanya hari itu adalah hari sidang perceraiannya. Haha, Gendhis tidak tahu kenapa, tapi kemarin Gendhis langsung teringat pada Denmas. Ingat tidak, sih, hanya Denmas yang berani menentang Ayah dan kelakuan bejatnya. Gendhis selalu merinding setiap kembali mengingat hakim yang lebat kumisnya itu. Kita berdua tertawa bersama ketika tahu hakim itu korupsi dan dipenjara. Eh, penjara atau hotel, ya, Denmas? Sudah sombong, sok necis, sok gaul, dan sok-sok yang lainnya. Kalau bisa bertemu lagi, sudah Gendhis gulung hakim itu.
Gendhis bersandar sejenak pada kursi tempatnya duduk. Ia memutar-mutar pena sembari menatap atap-atap rumah. Matanya melirik foto keluarga yang masih tergantung rapi dengan pigura mutiara kesukaan ibunya. Nota 30 juta rupiah Gendhis temukan di meja dekat televisi. Seumur hidup, baru kali itu Gendhis melihat pigura foto seharga puluhan juta rupiah. Namun, mutiara yang melekat sempurna pada pigura tak mampu merekatkan hubungan ayah dan ibunya.
Gendhis terperanjak ketika mengingat mi instannya yang mungkin sudah matang dari tadi. Bergegas, ia pergi ke dapur. Mi instannya kini dalam keadaan mengenaskan. Tak ayal, ia pun merasa kecewa. Gendhis sudah membayangkan mi instan bonus telur yang membuat air liur menetes, tetapi sirna karena kelalaiannya sendiri.
“Kalau Denmas tahu kelakuan Gendhis, pasti Denmas bilang seperti ini, kasihan mi instan mahal Denmas jadi seonggok makanan tak berdaya,” tutur Gendhis dengan menirukan gaya bicara Rama. Ia tertawa terbahak-bahak sebelum akhirnya menghentikannya. Tidak ada Rama yang sering menemaninya bersenda gurau. Tidak ada Rama yang akan meledeknya ketika tidak dapat menikmati lezatnya seblak buatan Mbok Tinah.
Gadis 21 tahun itu kembali duduk, menatap nanar surat yang sudah ditulisnya panjang-panjang. Perlahan, jemari lentiknya mengukir lagi alinea per alinea, tempatnya menuangkan keluh kesah kepada Rama.
Entah Denmas akan baca surat ini atau tidak, tapi Gendhis harap Denmas bisa bersabar dengan ocehan-ocehan receh Gendhis.
Kalau mengingat Ayah dan Mama, Gendhis masih berharap bisa memeluk mereka bersama. Ya, meskipun Gendhis sudah mulai membuka hati untuk Dhira, bayi imut yang suka makan martabak manis, juga Bulek Sulastri dan anak-anaknya yang lain. Tidak ada seorang anak yang menginginkan orang tuanya berpisah. Gendhis tahu Mama masih sayang Ayah, tapi Gendhis juga tahu kalau rumah tangga mereka rentan untuk dilanjutkan.
Tidak pernah tersirat dalam benak Gendhis, mungkin juga Denmas, dua perempuan Ayah bawa pulang ke rumah. Setelah kecurigaan panjang, adu mulut tak terbantahkan antara Denmas dan Ayah, wanita yang dulu sangat Gendhis benci akhirnya menampakkan batang hidungnya. Gendhis ingat Denmas hanya menundukkan kepala dengan raut penuh amarah. Belum empat puluh hari makam adik kering, Ayah meminta izin menghalalkan wanita paruh baya yang tengah menggandeng anak perempuannya. Gendhis ingin sekali menentang keinginan Ayah, tapi Gendhis lebih teriris melihat Mama terduduk lesu sambil memeluk foto almarhum adik kecil kita. Jika Ayah menemani persalinan Mama, mungkin adik kecil kita kini sudah menjadi anak yang tampan dan pintar.
Andai tidak ada karir di atas hubungan keluarga, Gendhis yakin Denmas sudah menghakimi Ayah terang-terangan di muka para bos biadabnya. Bagaimana mungkin seorang terhormat yang berpendidikan tinggi, jelas-jelas menutupi hubungan terlarang anak buahnya. Lebih baik makan nasi pakai garam daripada tabungan terisi uang milyaran, tapi keluarga dipertaruhkan.
Seolah kepingan memori itu tak pernah hilang, Gendhis tahu saat Denmas pulang dengan keadaan semakin kacau. Namanya Sulastri. Wanita yang berhasil menjadi madu Ayah selama tiga tahun lebih. Hebatnya lagi, wanita yang kini kita panggil Bulek Sulastri itu, tidak pernah berhenti mengagung-agungkan orang tuanya yang anggota dewan. Apa hebatnya, sih, menjadi anggota dewan jika hanya numpang tidur di ruang ber-AC tanpa pernah bicara soal aspirasi rakyatnya. Kelakuan anaknya saja tak pernah diperhatikan, atau memang sengaja ditutup-tutupi. Entahlah. Mbok Tinah sempat melihat Denmas yang bahkan rela menjatuhkan harga diri, bersujud di kaki Ayah, agar Ayah dapat kembali ke rumah ini.
Memperbaiki gelas yang sudah pecah memang tak akan bisa, tapi Mama dengan lapang dada membiarkan Ayah mendua sembari merapalkan doa. Hanya Tuhan yang saat itu kita punya. Mama bahkan mengajak Bulek Sulastri memasak kue bersama, mengajari anak perempuannya membaca dan berhitung, serta membelikan apapun yang anak itu inginkan.
Saat itu, cinta pertama Gendhis sudah patah. Gendhis tidak lagi percaya pada laki-laki. Gendhis menganggap semua laki-laki seperti Ayah. Namun, melihat Denmas yang begitu gigih memperjuangkan kita sebagai bagian janji suci Ayah, Gendhis akhirnya tahu bahwa masih ada laki-laki seperti Denmas yang tidak hanya memikirkan nafsu belaka.
Setitik air mata jatuh. Gendhis membenamkan wajahnya pada lipatan tangan, membiarkan lebih banyak bulir membasahi kertas bergaris itu. Ia ingin teriak. Ia ingin meluapkan semua emosi yang menyesakkan dadanya.
Gendhis berkali-kali menghirup napas dalam. Oksigen yang melimpah seakan tak mampu mencukupi kebutuhan paru-parunya. Drama perceraian keluarga membuatnya sangat lelah, belum lagi kepergian ibunya serta penangkapan kakaknya.
Ini surat ke seratus dua puluh yang Gendhis tulis untuk Denmas. Sejak surat pertama, Gendhis tidak berharap dibalas. Gendhis hanya ingin Denmas tahu kalau Gendhis masih di sini. Gendhis masih akan terus memperjuangkan hak Denmas sampai kita bisa berkumpul lagi. Gendhis tidak akan pernah tahu apa yang Denmas rasakan di sana, tapi melalui surat ini Gendhis ingin menjadi teman Denmas berbagi semuanya.
Entah akan ada berapa kali lagi sidang dilakukan. Entah akan ada berapa kali lagi ketidakadilan terjadi. Denmas mungkin sudah lelah. Gendhis tahu, Denmas ratusan kali bersuara, mungkin tenggorokan Denmas sudah tak mampu kembali mengeluarkan kata-kata yang sama. Namun, Gendhis berharap Denmas tidak menyerah. Gendhis dan Mas Fajar tidak akan lelah mencoba. Denmas berhak mendapatkan kebebasan lagi. Denmas berhak mengajar lagi, bertemu anak-anak hebat, keliling Indonesia. Denmas berhak membaktikan diri lagi pada masyarakat.
Doakan Gendhis dan Mas Fajar, ya, Denmas. Semoga masih ada keajaiban. Semoga masih ada hakim yang benar-benar bekerja untuk keadilan. Kita sudah berkali-kali melewati badai yang sama. Kita harus sama-sama berpegangan tangan agar kapal kita masih sama kuatnya.
Denmas sehat-sehat di sana,
Gendhis rindu,
Gendhis mau peluk Denmas,
Gendhis mau ajak Denmas bertemu Dhira,
Gendhis mau ajak Denmas mencoba soto ayam Bulek Sulastri,
Gendhis mau ajak Denmas mencoba seblaknya Mbok Tinah lagi,
Denmas jangan lelah mencoba,
Denmas punya kekuatan Tuhan yang luar biasa,
Denmas punya Gendhis dan Mas Fajar,
Denmas pasti bisa kembali bebas.
Gendhis tidak keberatan kalau Denmas minta dibawakan makanan. Apapun. Denmas tinggal tulis pesanannya. Nanti Gendhis antarkan.
Surat ini Gendhis tulis saat mi instan mahal Denmas jadi seonggok makanan tak berdaya.
Dari Gendhis yang sudah mau sarjana.
Gendhis memandang tulisannya sejenak, lalu melipat dan memasukkannya ke dalam amplop.
“Gendhis sayang Denmas,” ujarnya dengan senyum penuh cinta.
Ia meraih sling bag biru pastel dipadukan kardigan dan sneakers berwarna senada. Wajahnya diberi riasan tipis untuk menutupi raut malangnya. Gendhis berjalan penuh harap menuju mobil Fajar yang telah menunggunya. Hari ini adalah jadwal sidang yang kesekian kali, entah hasil apa yang akan diputuskan hakim.
Kita kuat bersama, Denmas, batin Gendhis. Matanya beradu dengan binar mata Fajar, lalu mengangguk bersama. Lexus silver melaju kencang. Beriringan ditemani langit biru yang cerah, tempat anak-anak manusia menggantungkan harapan untuk kehidupan masa depan.
Malam ini terasa sangat dingin, aku merindukan ibu dan ayah, walaupun kami satu rumah, ibu dan ayah sudah istirahat. Sementara aku memandang putihnya dinding kamar tidur ku yang dihiasi dengan banyaknya lembaran kertas kecil berwarna-warni dengan kalimat penyemangat diri yang rutin ku tempel setiap ku ingin tidur, aku berharap saat terbangun dari tidur, aku dapat membacanya berulang-ulang, melupakan rasa lelah ku di hari kemarin dan bersemangat untuk hari yang baru. Ini adalah salah satu caraku untuk berdamai dengan diriku dan menjadi motivasiku untuk terus berjuang. Namun, aku merasa berbeda sekali pada malam ini, biasanya aku menulis kata-kata yang penuh dengan semangat, seperti “Ayuk semangat belajar! Biar biar sukses, banggakan ibu dan ayah!” atau “Ayuk Tersenyum! Hapus air matamu, senyum mu itu menebar kebahagiaan”. Entah apa yang ada di kepalaku saat ini, firasat ku sangat tidak enak, seolah besok seperti akan ada badai besar dihidupku dan aku hanya ingin mengeluh, kepalaku terasa berat, aku tidak dapat membendung air mataku, mentalku sangat lelah, sangat lelah. Dengan berat aku mengambil secarik kertas kecil berwarna putih, dan menuliskan kalimat “YaTuhan, mentalku Harus Sehat”.
Nama ku Viani Afa Maharani, aku akrab disapa Viani, Aku adalah seorang anak tunggal dan mahasiswi ditahun pertama pada Universitas Swasta di Jakarta, Aku memiliki banyak sekali luka sayatan di tangan kiri ku, aku menderita penyakit mental, yaitu mudah sekali cemas yang berlebihan, dan depresi serta sulit tidur. Maka dari itu aku sangat tertarik belajar isu-isu mengenai Kesehatan mental, khususnya Kesehatan mental bagi remaja seusiaku.
Pagi hari ini, aku masuk kuliah seperti biasa, ku terbangun dengan mata yang sembab, dan mataku kembali fokus dengan kalimat “Ya Tuhan, Mentalku Harus Sehat” yang ku tulis semalam. Mendengar detik jam di dinding dan melihat bahwa waktu telah menunjukan pukul enam pagi, aku menghela nafas dengan berat, dan harus bangun dari tempat tidurku, lalu bergegas mandi dan bersiap.
Sebelum aku pergi meninggalkan rumah, bibi membuatkan sarapan kesukaanku, yaitu telur mata sapi yang dimasak setengah matang dengan roti yang sudah diolesi saus dan di isi dengan selada.
“Silahkan non, ini sarapan dan segelas susunya. Ibu sama Bapak sudah pergi dari jam lima subuh, dan menitipkan uang saku sekolah nona” cakap bibi tersenyum sambil memberikan uang tersebut kepadaku dan dan menata piring dan segelas susu dihadapanku.
“Oh, iya bi, biasa, pasti mereka sibuk banget! Aku rindu deh bi dengan ayah dan ibu. Mereka baik-baik aja bi? Dan juga, terima kasih banyak lho bi, rotinya wueeenaaak poll!” cakap ku tersenyum, sambil mengambil uang saku ku dan mengunyah sarapan ku.
“Sama-sama Non, makan yang banyak ya, Ibu dan Bapak sangat sehat non, namun hari ini mereka terlihat tidak bicara satu sama lain, Bapak sibuk dengan ponselnya dan sarapan di ruang makan kalau ibu sarapan dikamar”. Jawab bibi heran sambil menyuci piring kotor.
Sambil melanjutkan makan ku, aku sudah biasa menjalani pagi hanya bersama bibi, kedua orangtua ku sudah terlebih dahulu berangkat kerja, mereka adalah pekerja keras, ibuku adalah salah satu seorang pemimpin perusahaan ritel di Jakarta, dan ayahku adalah seorang dokter bedah. Aku sangat jarang bertemu mereka, saat ku ingin sekolah mereka sudah terlebih dahulu pergi, dan saat ku pulang, mereka sudah istirahat. Aku selalu dihantui dengan rasa kesepian dan kecemasan. Dari usiaku delapan tahun, bibi sudah bekerja sebagai pembantu di rumahku. Mungkin dapat dikatakan aku ini lebih akrab dengan bibi dibandingkan dengan ibu ku, aku merasakan sosok ibu saat aku bersama bibi, ia begitu perhatian dan hangat, tak jarang aku membanding-bandingi ibu ku dengan sosok bibi secara personal terhadapku. Namun pagi ini, seperti yang bibi katakan, ibu dan ayah sedang bertengkar, seperti ada keterkaitan antara firasat buruk ku kemarin malam.
Setelah ku santap rotiku, aku bergegas pergi kuliah dan pamit dengan bibi yang sedang menyapu lantai ruang tamu.
“Bii, Viani jalan kuliah dulu yaaa” Teriak ku sambil memakai sepatu di teras rumah.
“Iya non, hati-hati ya! Bibi do’akan semoga sukses kuliahnya ya non” balas bibi yang terdengar samar di telingaku.
Ku keluarkan ponsel dari saku jaket ku untuk menelepon ojek langgananku, Pak Wahid. Sama seperti bibi, Pak Wahid ini adalah ojek langganan dari usiaku masih 8 tahun. Pak Wahid tinggal tidak jauh dari komplek perumahan ku, selain menjadi tukang ojek, Pak Wahid juga bekerja sebagai kurir. Pak Wahid ini sangat jenaka, beliau sering kali membuatku tertawa karena berbagi cerita lucu kami baik di saat kami sedang berkendara menuju kampus atau menuju arah pulang.
“Halo pak? Jemput Viani sekarang ya, Viani sudah tunggu di depan rumah, sudah siap berangkat” dengan tersenyum dan nada yang semangat.
“Halo Non, okeee nonn, meluncuuuuurrrrrrr” cakap Pak Wahid dengan nada guyonnya.
Sambil menunggu kedatangan Pak Wahid, aku sedang membuka aplikasi Kesehatan mental yang sudah ku unggah beberapa bulan yang lalu di ponsel ku untuk mengkontrol emosi dan mentalku. Yang aku lakukan adalah menceklis kegiatan ku pagi hari ini, dan mengisi apa yang aku rasakan malam kemarin.
“Halooo selamat dan semangat pagi Nona Viani !” sapa gembira Pak Wahid yang baru saja datang.
“Paaaaaaagi bapakk, waduh ceria banget nih, jadi mikin Viani makin semangat kuliah! Ayuk pak kita berangkat!! ” balasku ceria sambil menggunakan helm dan duduk di belakang Pak Wahid.
“Si yayuk lagi menari, Yukkkkk Mariiiiiii” cakap Pak Wahid sambil perlahan mengendarai motornya.
Dari ekor mataku, ku lihat Pak Wahid melirik sedikit-sedikit memperhatikan ku dengan heran dari kaca spion, sebenarnya aku sudah menyadarinya, namun ku biarkan saja dan tidak bertanya karena ku pikir, dia sedang melihat kearah belakang dan kebetulan spionnya mengarah sedikit ke wajahku.
“Non, non baik-baik saja? Kok raut wajah non tidak seperti biasa, kan biasanya ceria, kok ini, kayak bebek ? manyun aja dari tadi, kenapa atuh matanya sembab? Abis nangis he-euh?” Tanya Pak Wahid sambil meniru mulut bebek dan tertawa dari spion.
“Ada apa atuh non? Cerita sok sama bapak, kali saja bapak bisa bantu” sambungnya.
Aku tidak kaget karena mengetahui Pak Wahid ternyata benar memperhatikan ku, aku ingin sekali berbagi cerita kepada Pak Wahid layaknya seperti biasa, aku bercerita mengenai kecemasan ku, apa yang sedang ku takuti, namun, untuk saat ini aku sangat bingung untuk merangkai kata, aku bingung harus memulai dari mana, bahkan aku tidak tahu alasan spesifik mengapa aku menangis dan sangat merasa tidak baik-baik saja pada malam kemarin. Yang kurasakan hanyalah lelah.
“Ehhh, bapak tau aja nih, mata Viani sembab karena semalam itu Viani begadang bapak, belajar sampai larut untuk bersiap ujian dan kalau manyun ini, Viani mau memastikan kalau Viani manyun, apa aku masih cantik? Eeeehhh ternyata terlihat kayak bebek, hahaha” jawabku bohong.
“Oalah non, jangan begadang atuh, nanti matanya kayak panda ada item-itemnya, tidur yang cukup atuh non, nanti ibu sama bapak kalau tau non begadang marah, pasti mereka peduli sekali sama Nona Viani.
“siapp Pak Wahid, malam ini saja kok pak ! pekan ujian soalnya sudah tiga minggu lagi, jadi harus belajar giat!” balas ku.
Selama perjalanan sambil berfikir dari ucapan Pak Wahid, ibu dan ayahku mungkin tidak akan pernah marah, karena sebelum ku tidur, mereka sudah tidur duluan, mereka juga tidak pernah memastikan dan bertanya kepada bibi kalau aku sudah tidur atau belum.
“Alhamdulillah, Sudah sampai dengan selamat Non, hati-hati turunnya” cakap Pak Wahid sambil memegang tangan ku saat aku turun dari motornya.
“Terimakasih Pak Wahid sudah antar Viani, Pak Wahid hati-hati saat arah pulang ya!” balas ku sambil memberikan helm dan melambaikan tangan ku.
“Siapppp Nonn, jalan dulu ya non, langsung antar paket bapak non, semangat kuliahnya ya!” ucap Pak Wahid sambil bergegas pergi.
Sambil melihat motor Pak Wahid semakin menjauh, kalau dipikir-pikir, mungkin itulah hangatnya kasih sayang seorang ayah, bahkan aku lupa kapan terakhir aku berbicara bersama ayah, karena ayah adalah dokter bedah yang harus siap sedia di rumah sakit dan jarang pulang karena ada dinas, atau operasi yang memakan waktu sampai berpuluh-puluh jam untuk menyelamatkan nyawa manusia, dan juga aku sangat paham itu adalah tanggung jawab yang mulia. Dan mungkin mengapa sifat ayah sangat dingin ketika di rumah, karena ia kelelahan atau membutuhkan ketenangan akibat bekerja terlalu keras. Sudah lah, mau bagaimanapun, ayah adalah orangtuaku.
Ku mulai berjalan menuju kelas, sambil mendengarkan musik dengan earphone melalui ponselku. Dari arah berlawanan, ku melihat seseorang melambaikan tangan dengan senyum lebar kearah ku, ku berusaha mengenali wajahnya namun terlalu ramai. Dan dengan cepat ia menghampiriku.
Ternyata ia adalah Rahma, teman pertama ku di kampus ini. Rahma adalah seseorang yang sangat supel dan bawel, kadang ku ingin sekali menjauh darinya beberapa saat karena teralu aktif dan berisik, namun begitu dia sangat perhatian dan peduli terhadapku. Hanya ia, Pak Wahid dan Bibi yang selalu setia menjadi tempat cerita ku.
Sambil membalas pelukannya, ku sapa kembali Rahma dengan nada yang riang.
“RAAAHHMMAAA! Yampun, aku pikir siapa, dari jauh tadi gak keliatan karena banyak orang, hihihi maafya, yuk kita ke kelas, kelas sudah mau mulai”
“Iyaaa, gapapa kali, dari tadi aku nungguin kamu, nih aku bawain kamu minuman coklat, awas panas!” balas Rahma sambil memberikan minumannya kepadaku.
Dengan hati-hati ku ambil minuman tersebut, dan ku ucapkan terimakasih setelahnya. Rahma memang menjadi sosok kawan yang sangat peduli dengan Kesehatan mental ku, seberusaha mungkin Rahma berbicara baik-baik agar aku tidak kepikiran.
Sesampainya di ruang kelas, Rahma menyeret bangku dan duduk disebelah ku, dia melihat ku dengan heran, dan aku berusaha untuk memalingkan wajahku, karena aku tau pasti dia akan bertanya mengenai mata ku. Dan tak lama dia berbicara kepada ku dengan nada yang sedikit mengolok-olok
“Viaaaaniii pasti abis nangis ya? Gabisa bohong sama aku, karena aku tau, Viani ini jarang nangis dan jarang sembab, tapi ini terlihat sangat jelas kalau kamu itu abis nangis, yakan yakan ? ngakuuuuu”
Dan dengan senyum kecil, aku membalas pertanyaan Rahma dengan jawaban yang persis ku lontarlkan kepada Pak Wahid, aku harus berbohong supaya terlihat baik-baik saja, menghindari pertanyaan pertanyaan yang akan datang kepadaku.
“Begadang? Demi belajar Ujian? Yaampun, Viani, gak perlu sampai segininya, kasian tuh mata kamu jadi sembab begini, Ujian masih tiga minggu lagi! Dijaga kesehatanmu dong, masa harus aku marah-marah terus sih??” balasnya dengan wajah yang marah namun aku tau itu adalah kepeduliannya terhadapku.
“Iya, iya Rahma, maafin Viani ya, gak lagi-lagi deh, suerrrr, hehehhehe” jawabku dengan tertawa dan nada yang santai.
Belum sempat membalas ucapanku, dosen telah memasuki kelas yang bertanda bahwa pelajaran akan dimulai. Aku harus fokus mengenai perkuliahan ini, karena aku yakin pasti akan keluar di soal ujian nanti, namun aku sulit sekali untuk fokus mendengarkan apa yang dikatakan dan membaca apa yang ditulis dosen saat itu. Biar begitu demi untuk membanggakan kedua orangtua ku, aku harus paksakan agar nilai ku sangat memuaskan saat ujian nanti.
Hari ini, aku hanya memiliki dua jadwal kuliah yang telah selesai ku ikuti. Seusai kelas, Rahma mengajak ku untuk pergi ke sebuah toko buku yang sedikit jauh dari kampus ku, dan setelahnya mengajak aku untuk makan siang bersama. Sebenarnya aku takut untuk merasakan bahagia, entah kenapa aku begitu yakin akan ada hal buruk menunggu ku.
“Eh Vi kita ke toko buku yuk? Sekalian makan. Aku laper banget nih, kepingin makan yang kuah-kuah deh, mau gak? Kita naik busway”
Apa boleh buat, Tanpa ragu aku menerima ajakannya, namun aku harus memberi kabar kepada Pak Wahid terlebih dahulu untuk tidak perlu dijemput siang ini.
“Boleh, tapi aku hubungi Pak Wahid dulu ya” jawabku sambil mencari nomor Pak Wahid.
“Oke deh Vi, aku beresin tas ku dulu ya” jawab Rahma sambil membenahi buku-buku dan alat tulis ke dalam tasnya.
Aku mendengar dering telepon dan tanpa menunggu lama, Pak Wahid mengangkat panggilan ku
“Halo pak, pak sepertinya Viani tidak perlu dijemput dulu hari ini, karena mau keluar sama Rahma ke Toko Buku dan makan siang bersama. Sepertinya aku akan pulang telat dan akan menggunakan kendaraan umum saja” cakapku mendahului .
“Sudah bilang ibu dan bapak non? Apa perlu bapak yang bilangin?” jawab Pak Wahid khawatir
“Tenang saja pak, Viani sudah kirim pesan ke ibu barusan sebelum hubungi bapak”
Lagi-lagi aku berbohong. Dalam benak ku, kapan ya terakhir kali aku menghubungi atau dihubungi ibu. Sepertinya sudah lama sekali setelah aku memintanya untuk datang di acara penyambutan mahasiswa dan mahasiswi. Itu pun ibu tidak datang, aku ditemani bibi saat itu. Ah aku tidak boleh berfikiran kemana-mana. Semuanya baik-baik saja.
“Baik non, siaap dehh kalau begitu aman ya non, hati hati dijalan non, kalau minta dijemput kabari bapak saja ya non” jawab Pak Wahid dengan lega
“Siap pak, Viani tutup ya teleponnya, terimakasih pak” cakapku mengakhiri panggilan tersebut.
“Bagaimana? Sudah ? Aman ?” tanya Rahma yang menungguku dan sudah siap untuk berangkat.
“Sudah dong! Aman sekali dong! Mari kita cari buku dan makan siang bersama!” jawabku riang dan tersenyum lebar sambil merangkul pundak Rahma dan berjalan menuju halte busway tak jauh dari kampusku.
Rahma sangat terlihat sekali kalau dia sangat khawatir kepada ku, dari cara duduk dan tersenyumnya yang seolah memaksakan untuk tersenyum menutupi ke khawatirannya. Aku berusaha untuk mengalihkan pikirannya dengan bertanya mengenai buku yang ia cari dan ingin beli.
“Aku mau beli buku mengenai biografi dari Albert Einstein Vi, bagiku Albert Einstein itu sangat jenius dan memotivasiku dengan pemikiran-pemikirannya yang luar biasa, kalau kamu mau beli buku apa?” tanyanya kembali kepada ku.
Itulah Rahma, dia sangat mudah dan suka sekali termotivasi, dia yang mengajariku untuk menulis kalimat-kalimat semangat pada secarik kertas yang ku tempel di dinding kamar ku. Namun untuk sekarang nampaknya aku masih belum tau akan membeli buku apa, aku sebenarnya tidak memiliki keinginan untuk membeli buku, ini hanya karena Rahma mengajak ku.
“Hmm, aku sebenarnya masih belum tau sih Ma, mau beli buku apa, nanti deh sesampainya di sana aku akan liat-liat dulu buku-buku yang sedang banyak diminati” Jawabku bingung.
Sesampainya di toko buku, kami memutuskan untuk berpencar, dan aku ingin melihat-lihat sekitar. Langkah ku membawaku ke lorong buku “hukum”, “Cerita dan Fantasi” dan terhenti di lorong “Kesehatan”. Banyak sekali buku mengenai anatomi manusia, mengenai obat-obat herbal, mengenai kekuatan do’a untuk Kesehatan, hingga Kesehatan mental. Dari banyaknya judul buku yang ku baca, aku sangat tertarik dengan buku di rak “Kesehatan Mental”. Ku mulai melihat-lihat judul yang sekiranya berkaitan dengan kehidupanku, mulai dari buku Cintai Dirimu , hingga Trik Jitu Berdamai Dengan Diri Sendiri.
Aku tertarik dengan buku “Berdamai Dengan Diri Sendiri” . Sepertinya aku akan membeli buku ini untuk menjadi teman di kamar ku. Dan ku lihat Rahma sudah mendapatkan buku yang ia cari. Setelah itu kami langung berjalan ke kasir untuk membayar buku kami masing-masing. Setelah membayar, Rahma sudah mengeluh lapar dan ingin buru-buru mencari kantin sekitar toko buku tersebut. Namun, aku merasakan ponsel ku bergetar, ketika ku lihat, ternyata yang menghubungiku adalah nomor telepon bibi yang sudah berkali-kali menghubungi ku.
“Ma, Sebentar ya, aku angkat telepon bibi dulu, sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan kepadaku” cakapku kepada Rahma sambil berjalan ke luar toko buku dan mengangkat panggilan bibi.
“Iya halo Bi? Maaf aku…..”
“Non!! Non!! Pulang Non!!! Ibu sama Bapak bertengkar hebat ! Maaf bibi mengganggu waktu nona, tapi nona harus pulang sekarang !!! Secepatnya ya non!”
“Tuut.. tutt… tut..” bunyi nada panggilan diakhiri.
Sambil terdiam kaku dengan posisi ponsel masih menempel di telingaku.
Dalam hati ku bicara “Ada apa ini? Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, dan bibi sudah memotong kalimatku dengan nada yang sangat panik dan tergesa-gesa. Ibu ? Ayah? Ada apa diantara mereka? Kenapa?” . Aku merasakan sekujur tubuhku kaku dan gemetar, wajahku yang pucat membuat Rahma bertanya apa yang terjadi kepadaku.
“Vi? Viani? Vi!” Rahma memanggil nama ku dengan menepuk pundak ku.
“Ada apa sih? Kok kaget gitu? Kayak abis di hipnotis lewat telepon-telepon nih! Kamu kenapa sih Vi?” lanjutnya bertanya
Aku sedikit kaget atas tepukan pundak itu, berkata kepada Rahma bahwa aku harus bergegas untuk pulang.
“Rahma, Rahma maaf, kayaknya Viani harus pulang sekarang dan maaf gak bisa temenin Rahma makan, t.. t tapi aku harus pulang secepatnya Ma” Jawabku dengan gemetar dan nada yang panik. Aku bergegas lari untuk kembali ke halte busway dan meninggalkan Rahma yang kebingungan melihat ku. Terdengar samar di telingaku kalau Rahma menawarkan untuk memesankan Ojek Online, tapi aku hiraukan dan tetap berlari hingga menabrak-nabrak orang yang sedang berjalan.
Sesampainya di halte dan buswaynya datang tepat waktu, aku menjadi pusat perhatian orang banyak karena wajahku pucat dan keringat sekujur wajahku. Aku Sudah tidak memperdulikan mereka, aku hanya ingin pulang. Pikiran dan hatiku saling bertaut, apakah ini firasat yang ku rasakan semalam? Apakah ini yang membuat salah satu aku ingin menangis? Entahlah, aku tidak akan tahu jawabannya sebelum aku pulang.
Sesampainya di halte dekat rumah ku, aku berlari menuju pangkalan ojek sekitar halte dan tidak sengaja melihat Pak Wahid yang sedang duduk di atas motornya dan membaca koran harian.
“PPPAAAAAKKK, BAPAAAAKK , PAK WAHIIDDD, ANTERIN VIA PULANG!! PAK WAHID !!!” teriak ku dari kejauhan.
Pak Wahid menyadari dan mendengar bahwa itu suara ku dan melihat ku sedang berlari-lari, seperti sudah sangat paham situasi, tanpa berlama-lama Pak Wahid menyalakan motornya dan menghampiriku. Aku yang sedang terengah-engah dan berkeringat bergegas naik ke atas motor Pak Wahid. Pak Wahid sepertinya sudah paham situasinya dan di sepanjang arah rumah, ia berusaha tidak menanyakan apapun kepada ku, ia hanya fokus untuk mengendarai motornya dengan hati-hati. Karena, mungkin baginya, ini adalah pertama kali ia melihat ku seperti ini.
Sesampainya di rumah, aku bahkan tidak sempat untuk berterimakasih kepada Pak Wahid yang sudah mengantar ku. Aku bergegas untuk lari dan memasuki rumah dengan sepatu yang masih terpasang di kaki ku. Saat ku buka pintu, ku lihat bahwa rumah ku berantakan, aku melihat bibi sedang membenahi beberapa serpihan kaca yang berserakan di lantai. Dengan gemetar dan membentung air mata, aku menghampiri bibi, berusaha bertanya dengan bibi namun aku tidak mampu. Bibi yang iba melihatku kelelahan dan menangis, memeluk ku dengan hangat, ini kali pertama selama Sembilan belas tahun aku hidup sebagai anak tunggal melihat kondisi rumah ku dan keluarga ku hancur seperti ini. Ini lebih dari dingin, ini menyeramkan. Aku mendengar ibu dan ayah masih berteriak-teriak emosi di lantai atas, saling melontarkan amarah, kepala ku sangat pusing. Banyak sekali pertanyaan dibenak ku.
Aku di bawa ke dalam kamar bibi, bibi melihat wajah ku dan mengelap air mataku menggunakan daster yang ia kenakan, ia berusaha untuk menenangkan ku dan memberikan ku segelas air putih. Setelah ku meminum air putih itu, dan sedikit tenang, bibi mulai menceritakan awal mula mengapa ibu dan ayah seperti ini.
“Jadi non, bibi sedang menyirami tanaman depan, bibi melihat dari kejauhan mobil bapak yang datang dengan kecepatan tinggi, bibi dengan sigap membukakan gerbang dan membiarkan air dari selang mengalir kemana-mana, yang bibi dengar, ibu dan bapak akan segera berpisah non, bibi tidak mengetahui kenapa alasannya, kalau ini, agar non saja yang bertanya nanti ketika semuanya sudah reda ya?” cakap bibi sambil menahan tangis dan mengusap rambut ku
Dengan kaget dan gemetar aku mendengar ibu dan ayah akan berpisah, aku bergegas lari menghampiri mereka yang sedang bertengkar di lantai atas, saking licinnya lantai dan aku tersandung tali sepatu ku, membuatku terjatuh dan lututku berdarah terkena tepi dari lantai tangga. Aku tetap teruskan untuk berlari dan menghampiri ibu ku.
Sesampainya di depan kamar ibu dan ayah, aku melihat tangan ayah sudah siap untuk menampar ibu yang sedang duduk menangis di tepi Kasur.
“AYAH JANGAAAAAAAAAAAAAAAAN!!!!!!!!!!” dengan sigap aku berlari kearah ibu untuk melindungi ibu dari tamparan ayah.
“PLAKKKKKK” suara dari pipiku yang tertampar dengan ayah.
Seketika semuanya hening, aku hanya mendengar nafasku yang tersenggal-senggal. Aku juga melihat ekspresi ibu yang sangat kaget dan matanya yang sudah sembab di ikuti riasan wajah yang sudah memudar. Rasanya luar biasa sakit, seketika telingaku bersuara nyaring sekali yang membuatku pusing. Aku seketika terjatuh lemas di sebelah Kasur ibu. Ibu berusaha untuk membantu ku bangun dari posisi terbaring ku, ibu memeluk dan ku rasakan gemetar tubuh ibu ketakutan. Entah apa yang membuat ayah menjadi begini, aku jadi bertanya-tanya kepada diri ku sendiri.
“Viani!” bentak ayah yang membuat ku kaget ketakutan.
“Dengar, saya dan Wanita ini! Dia bukan ibu kandung mu , saya bukan ayah kandung mu! kamu itu kami adopsi sebagai anak kami ! kami urusi Kesehatan mental kamu ! dankamu harus tau karena masing-masing dari kami ini sibuk ,tidak mempunyai waktu untuk mengurus anak. Komitmen kami yang menyatakan kami tidak akan memiliki anak selain kamu, dan akan hanya fokus bekerja untuk masa depan kamu, semuanya dihancurkan dengan Wanita ini ! Dan perusahaan ritel milik saya yang dipimpin oleh Wanita ini, terancam bangkrut karena dia hanya fokus dengan dirinya dia sendiri ! Berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uang demi barang yang tidak jelas!. Cepat atau lambat Wanita ini harus keluar dari rumah ini!”. Penjelasan ayah dengan nada yang tinggi dan amarah yang sangat tidak stabil .
Aku hanya terdiam dengan air mata yang mengalir deras di pipiku, dan melihat ibu yang berdiri serta bergegas mengemasi barang-barang yang ada di lemarinya. Ayah meninggalkan kamar dan pergi keluar dengan mobilnya, aku bingung apa yang harus aku lakukan, apa yang harus aku katakan.
Dalam benak ku, Apakah ini akhir dari keluarga ku?
Ya Tuhan, kepalaku pusing, apa yang terjadi? Apakah benar aku adalah anak adopsi? Namun jika benar begitu, aku menyayangi kedua orang tua angkatku walaupun mereka sangat dingin terhadapku. Ibu sangat cantik dan berbakat, aku sangat mengagumi sosoknya, ayah yang sangat bijaksana dan mulia. Aku sangat bersyukur memiliki mereka di dalam hidupku Ya Tuhan.
Melihat ibu sudah selesai, aku berusaha untuk berdiri dan memeluk ibu, namun ibu mendorong ku sehingga ku terjatuh lagi sambil berkata dengan lantang dan menangis
“Kamu sudah dengar bukan? Apa yang dikatakan ayahmu itu? Jangan dekati saya! Sedikit pun saya tidak menyayangimu sebagai anak!”
Ibu pergi meninggalkan kamar dengan membawa dua tas dan meninggalkan rumah, dan hanya aku tersisa sendiri di tengah kamar yang sangat berantakan dan dingin ini. Aku hanya terdiam terpaku dan menangis sambil bersimpu di lantai, aku mulai menjambak rambut di kepalaku, dan menjerit histeris. Seperti ada lubang di dadaku yang sedikit demi sedikit menjadi besar dan lebar, sakit sekali dadaku, pikiran ku kemana-mana. Lubang di dada ini membuat nafas ku sesak tidak karuan.
Aku berusaha untuk berdiri dan berjalan menuju kamar ku, aku melihat di tempat tidur ku, ada koper ayah yang berisi uang dengan selembar catatan untuk biaya kuliah ku, rumah sakit, makan dan keperluan ku dalam beberapa bulan yang akan datang. Dan tulisan “Ayah Sayang Viani”.
Sambil memeluk tulisan dari ayah, aku menangis dan menjerit , lubang di dadaku seolah semakin besar, dan pandangan ku seketika fokus dengan kalimat “Ya Tuhan, Mentalku Harus Sehat” . Aku langsung berdiri dan merobek-robek kertas yang tertempel di dindingku tidak karuan, melempar setiap barang yang ada dihadapan ku, kamar ku seketika menjadi seperti kapal pecah.
“YAAAAA TUHAAAAAN, IBBBUUUUUU, AYAAAAAAAAAAH, PULAAANGGGG, Jangan tinggalin Viani sendirian! Viani sayang sama ibu, sama ayah, Viani memang merasa ibu dan ayah selama ini bersikap dingin dengan Viani, tapi itu semua karena ibu dan ayah lelah bekerja dan ingin istirahat tanpa Viani ganggu, Ibu Ayah, Pulanggggg, Adanya ibu dan ayah di rumah sudah membuat Viani kesepian, bagaimana ibu dan ayah tidak dirumah!! Setidaknya Viani mendengar suara Ibu berbicara dengan bibi! Setidaknya Viani mendengar suara mobil Ayah! Setidaknya Ibu dan Ayah menitipkan perhatian Ibu dan Ayah untuk Viani melalui Bibi dan Pak Wahid!!!!!!!! IBUUU , AYAAAAH PULAAANGGGGG !!!!!!”
Teriaku sambil menangis mengharapkan ibu dan ayah untuk pulang, aku sangat membenci diri ku sendiri, ketika seperti ini aku tidak bisa apa-apa, aku hanya bisa menangis dan aku merasa sangat depresi. Bibi saat itu datang ke kamar ku membawakan aku minum dan handuk kecil untuk mengusap air mataku, namun entah kenapa, pada saat itu, aku tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa, aku membentak bibi yang tidak salah apa-apa untuk keluar dari kamar ku.
Aku hanya terbaring di lantai kamar ku, melihat foto masa kecil ku, aku sedang di pangku ibu dan ayah memeluk kami berdua. Kepala ku sangat sakit, saking sakit dan tertekan, hidung ku mimisan, mata ku kunang-kunang. Aku rasa aku hanya terlalu lelah hari ini, biarkan aku beristirahat sejenak hingga fajar tiba menyambut ku, siapa yang tahu kalau ayah dan ibu akan pulang.
Aku mendengar suara ayam berkokok, yang menandakan ini sudah fajar, saat aku terbangun, aku tidak lagi melihat kalimat motivasi di dinding ku, mata ku hanya tertuju kepada foto kecil ku.
Sambil menatap foto tersebut, aku berbicara dalam benak ku,
Depresi sama sekali bukan hal yang sepele, kondisi mental ini kemarin baik-baik saja, aku hanya merasa lelah, namun aku tidak merasa sehancur ini, situasi yang datang dan menghantamku diwaktu yang sangat tiba-tiba. Pada awalnya hanya menatap dinding kamar ku yang penuh dengan kertas yang bertuliskan kalimat motivasi untuk semangat. Sekarang hanya memandang putihnya dinding kamar ku. Aku sama sekali tidak dapat menjelaskan perasaan yang sedang ku alami, aku sama sekali tidak dapat memberikan alasan yang jelas mengapa aku menangis, kepalaku mendadak berat dan sekujur tubuh ku kaku, sendi ku kesakitan, mata yang sangat sembab.
Terkadang aku berfikir bahwa ini hanyalah hari yang buruk saja, dan akan cepat berlalu. Namun sudah tiga hari lamanya aku mengurung diri di kamar dan tidak menyentuh makanan yang di bawakan oleh bibi, membiarkan ponsel ku bergetar tak henti-henti karena Rahma menghubungiku terus-terusan di sambung dengan nomor telepon teman-teman ku yang lain. Lamunanku hanya memikirkan bagaimana masa depan ku, juga, kapan ayah dan ibu pulang. Hal-hal yang membuatku bersemangat, hanya menjadikan diriku acuh dan tidak acuh. Menjelaskan kondisiku sekarang pada teman-teman ku juga bukan lah pilihan yang tepat.
Entahlah, aku sangat merasa hampa dan dingin. Berkali-kali aku membenturkan kepalaku ke dinding kamar ku, mencakar-cakar wajahku, memukul-mukul dadaku. Aku merasa aku tidak ingin melihat wajahku, aku sangat merasa ingin menghilang dari muka bumi ini, aku merasa aku hanya menjadi beban ibu dan ayah saja, aku merasa aku ini tidak berguna.
Malam itu, yang aku fikirkan hanyalah bagaimana caranya aku pergi dari dunia ini, aku merasa sangat tidak pantas untuk hidup, mulai dari fakta bahwa aku ini anak adopsi, yang berarti aku telah dibuang atas ketidakinginan keluarga kandungku memiliki ku.
Mentalku sangat berantakan, aku tidak baik-baik saja.
Aku berdiri dan mulai meminum empat obat tidur dan obat demam di laci kamar ku, aku merasa dadaku amat sesak, perut ku sakit dan aku berbaring di kamar hanya berharap bibi atau siapapun datang ke kamar dan memeluk ku. Aku merasa mulai tak sadarkan diri , lalu juga seperti ada busa di mulut ku. Pikirku hanya bagus lah, ini yang aku harapkan, lebih baik jika aku pergi. Ketika ingin ku pejamkan mata, aku melihat pintu kamar ku di dobrak oleh seseorang di ikuti oleh bibi, dan itu adalah Pak Wahid. Pak Wahid dan Bibi.
“Nit.. nit.. nit..” suara dari alat elektrokardiograf .
Aku membuka mataku perlahan, aku sangat lemas dan haus. Aku menoleh ke kanan dan melihat bibi sedang tidur menunduk di kursi sebelah ku, aku mengangkat tangan kanan ku dan melihat bahwa ada selang infus dan selang oksigen di hidung ku. Aku merasakan wajahku sangat perih akibat luka cakar. Aku menghela nafas panjang, dan membuat bibi terbangun.
“Non! Non Viani! Dokter !! Dokter !!” Bibi yang senang dengan sigap memanggil dokter jaga, untuk memeriksa kondisi ku.
Dokter menjelaskan bahwa aku tidak memperdulikan Kesehatan ku dengan ingin mengakhiri hidupku mengunakan obat tidur dan obat demam dengan dosis yang tinggi, namun syukurnya aku cepat dilarikan ke rumah sakit dan cepat di tangani dari overdosis obat. Dengan rutin kondisi fisik ku diperhatikan oleh dokter selama satu minggu masa pemulihan. Dokter juga memberikan saran kepada Bibi untuk membawaku ke psikiater. Agar mental ku juga dapat diperhatikan dengan baik. Bibi akan membantu melakukan yang terbaik buat ku, bibi juga dikirimi uang oleh ayah untuk membayar rumah sakit.
Sambil menangis dan mengusap kepalaku, bibi berkata
“Hampir saja bibi kehilangan nona, jangan begitu lagi ya non, bibi sayang sama nona, bibi sudah telepon bapak dan ibu, nanti bapak akan datang, bapak sedang perjalanan pulang dari dinas di Singapura, sudah satu minggu semenjak bapak pergi meninggalkan rumah. Ibu akan datang ke sini non, akan bertemu dengan nona”
Mendengar perkataan bibi, aku hanya bisa meneteskan air mata dan mengangguk. Ibu, ayah, kalianlah sumber Kesehatan ku, aku ingin memeluk ibu dan ayah.
Beberapa jam kemudian, ketika aku sedang disuapi makan oleh bibi, dari pintu kamar opname ku lihat ayah dan ibu datang dan langsung memeluk ku, bersamaan, aku sangat merasa bahagia dan merasa akan cepat pulih. Aku tidak bisa berkata-kata, aku hanya menangis dan memeluk mereka.
“Viani, maafin ayah dan ibu nak, maafin kami membuat Viani sakit, membuat Viani berantakan dan tidak memperdulikan Kesehatan mental yang Viani alami selama ini, kami terlalu sibuk untuk memikirkan pekerjaan kami hingga kami tidak ada waktu untuk memperdulikan Viani, kami tarik kata-kata kami yang kemarin ya nak, maafkan kami, kamu anak kesayangan kami satu-satunya nak. Kami akan memberbaiki semua yang sudah terjadi dengan baik dan pelan-pelan agar viani sembuh” ucap ayah ku sambil menangis memeluk ku, biar pun aku sakit, aku merasa sangat hangat dan bahagia.
“Ibu selalu bertanya kepada bibi mengenai pola tidur Viani, bertanya kepada Pak Wahid bagaimana hari kamu nak,karena kami terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan kami masing-masing. Viani tidak boleh cakar-cakar wajah Viani seperti ini ya nak, walaupun bibi sudah berusaha menjauhkan kamu dari sesuatu yang tajam, bukan berarti Viani menyakiti diri Viani dengan kuku. Tetap tidak boleh nak, anak ibu kan cantik, sehat ya sayang” sambung ibu yang sangat sedih melihat beberapa luka cakaran yang membekas basah diwajaku .
Melihat ini bibi pergi keluar untuk memberikan kami waktu. Aku tidak bisa berkata banyak kepada ayah dan ibu, selain aku bangga berada di keluarga ini, dan aku tidak menyesal ada di sini. Dan dari buku yang sudah ku baca mengenai “Berdamai Dengan Diri Sendiri” mengajariku salah satu cara untuk bahagia adalah memaafkan orang yang melukai kita, maafkanlah diri kita, ikhlaskan lah yang sudah terjadi. Dan berterimakasihlah kepada diri kita.
“Ibu, ayah, Viani sudah maafin ibu dan ayah, viani sangat bangga mempunyai orang tua seperti ibu dan ayah, Viani bangga tinggal bersama ayah dan ibu, meskipun dingin dan sepi, tapi mendengar mobil ayah dan ibu sampai rumah atau pergi cukup membuat Viani tenang, jangan tinggalin Viani sendirian lagi bu, yah”
Ibu dan ayah berjanji untuk tidak meninggalkan ku lagi, dan aku percaya bahwa aku hanya membutuhkan keluarga yang peduli sebagai obat untuk sehat.
Setelah kejadian itu ayah dan ibu rutin menemani ku untuk periksa dan kontrol kesehatan mental ku ke psikiater rumah sakit ternama di Jakarta, aku juga sudah mulai lebih mudah untuk fokus dengan ujian ku yang waktunya semakin dekat. Setiap ingin berangkat kuliah, ayah dan ibu menyempatkan diri untuk berbicara hangat dengan ku. Aku sangat bahagia. Kehidupan ku sekarang semuanya sudah jauh lebih indah.
Ari Saepul, seorang buronan Ustadz Tohir bagian keamanan. Sarung yang ia kenakan hanya sekadar melilit, tak ada kesan rapih darinya. “Aku ada ide,” seringai terlihat. “Baiknya Jum’at pagi kita pergi, menghindari area asrama deh.” Asep Sumpena sahabatnya mengerlingkan mata, ia cukup pandai untuk sekedar menerka maksud tersirat itu. “Sepertinya kau ingin diteriaki Ustadz Tohir lagi karena tidak membersihkan asrama.”
“Aku tidak bermaksud demikian. Namun, jika itu yang tertangkap oleh otakmu, mau bagaimana lagi.” Wajah Ari terlihat menekuk pasrah -dibuat buat- muka yang sangat menjengkelkan untuk Asep. “Lalu, apa rencanamu?” Ari tersenyum penuh arti tepat saat speaker mengumukan kegiatan yang dibencinya, bersih-bersih asrama. “Aku ingin pergi ke perpustakaan utara, disana lebih tenang.” Asep mengangguk mantap. Seringai mereka merekah diantara kesibukan para santri lain. Sedetik kemudian mereka melesat menuju perpustakaan utara, sarung yang menjuntai terlihat dinaikan sampai betis oleh Ari mungkin untuk mempermudah pergerakan.
Keduanya memasuki perpustakaan sambil mengendap-endap, tak ada siapapun, aman terkendali membuat Ari tersenyum puas. “Lihat, dugaanku benar, tak ada siapapun disini,” Ari melirik temannya yang seperti kebingungan. “Tak apa Asep, kita tidak akan ketahuan. Aku akan tidur, kau bisa membaca buku sepuasmu.”
Ari sudah terbaring sembarangan mencoba menutup matanya sementara Asep masih waspada, bersiap disetiap kemungkinan, matanya menatap tajam kearah jendela takut-takut ada yang datang. Heran dengan Ari yang selalu santai bahkan ketika berbuat pelanggaran. Asep meletakan kepalanya kearah jendela, hatinya berdebar. Ia benar-benar tak terbiasa akan hal seperti ini.
Ada suara tepat diarah pintu. Keterkejutannya luar biasa, Ustadz Tohir mengetahui posisinya. Asep menggerak gerakan tubuh Ari, tak ada tanda-tanda kehidupan. “Kau ini, seperti mayat!” Asep masih berusaha menyeret kaki temannya, ia tersentak saat ada kepala yang menyundul-nyundul dari luar.
Kriit
Pintu terbuka.
Tepat waktu, usahanya menyeret Ari untuk bersembunyi dikolong meja berhasil, peluh bercucuran. Tapi tunggu, sepasang kaki mendekat, jantung yang semakin tak karuan.
“Alhamdulillah, ternyata bukunya ada disini.”
Langkah kaki itu menjauh dengan sendirinya, ternyata seorang santri yang mengambil bukunya yang tertinggal. Asep menghembuskan nafasnya kasar, rasa lega segera menjalar. Melihat Ari yang masih pulas benar-benar menjengkelkan.
Bug
Pukulan telak diarah perut sukses menghentak Ari, seketika sadar dari tidurnya.
“Sakit Sep!”
Bug
“Akh!” Ari tak sadar sedang berada dibawah meja, kepalanya mencium kolong meja dengan keras. Asep tidak peduli sedikitpun, rasa jengkelnya memuncak.
“Mengapa kita ada disini?” Melihat ekspresi Asep sepertinya Ari tahu apa yang telah terjadi. “Kau sangat menyebalkan Ari.”
Tunggu, Ari melihat sesuatu dibelakang Asep. Seperti buku dengan pendaran cahaya putih mengitarinya. “Itu bukumu?” Asep menoleh, mengikuti arahan tangan sahabatnya. “Mengapa buku itu bercahaya Sep?”
Mereka merangkak perlahan. “Itu buku apa sih Sep?” Ari membuka halaman pertama tanpa memikirkan resikonya. “Jangan asal buka, kau tak tahu kan apa yang ada didalamnya.” Asep menatap aneh buku itu. “Karena itulah aku membukanya Sep.” Ari memang sulit ditebak.
“Indonesia Tempo Doeloe”
Mereka saling tatap. Ternyata hanya buku sejarah.
Asep memperhatikan sesuatu yang berbeda disampul depan buku, memang terlihat usang dan tua namun ada sesuatu yang berbeda. “Ari coba perhatikan sampul depannya, kurasa ada ukiran aneh.” Ari menyipitkan pandangannya mencoba fokus pada sampul buku usang itu. Walau usang, tua, kertas yang berwarna coklat dengan ukiran rumit tak menurukan nilai estetiknya seakan ada aura sakral menguar.
Tangan Asep bergetar saat mengusapnya, matanya berkaca-kaca, ada sesuatu dihatinya yang membuat air mata itu menetes tepat diatas ukiran indah nan rumit. Aneh, beberapa saat setelah air mata mengenai ukiran indah buku usang pendaran cahaya itu semakin terang menyakitkan mata siapapun. Silau.
“Apa yang terjadi, Sep?” Ari sangat panik ketika cahaya itu seolah menariknya, tubuhnya tersedot mengikuti gelombang cahaya sementara Asep bungkam bingung ia pun sama tersedot oleh gelombang cahaya. Rasanya mual saat tubuh terombang-ambing entah karna apa.
Bug.
Cahaya yang berpendar itu sudah tidak ada, digantikan dengan geraman, teriakan, serta hentakan langkah kaki. Ari masih mengerjapkan mata menyesuaikan cahaya yang masuk.
“Ari cepatlah sadar, kita ada ditempat yang asing.” Mereka tepat dibawah pohon beringin besar dengan akar yang menjuntai, daunnya menutupi batang pohonnya. Ari menoleh kesana-kemari. Benar, ini tempat asing. “Mengapa kita ada disini? Mengapa ada suara teriakan Sep?” Asep menggeleng sebagai jawaban. “Kurasa buku itu yang membawa kita kemari, Ri.” Dugaan Asep.
Ari sama sekali tak bergeming, ia mematung seperti kerasukan, sangat pucat, matanya tak berkedip saat rentetan suara tembakan silih berganti dengan jeritan kesakitan. “Tenanglah Ari, aku akan mengecek sekitar, tungulah disini.” Asep bersiap beranjak pergi “Jangan pergi sendiri, kita tidak tahu apa yang sedang terjadi Sep, ada begitu banyak suara teriakan dan tembakan, bagaimana jika kamu terluka?”
“Ari jangan panik, mari berfikir jernih.” Asep mencoba mengamati keadaan setelah beberapa lama terdiam menerima kenyataan, sedari tadi mereka berdebat bahwa semua ini mimpi. Dan ketika ada seseorang yang berjalan dengan menenteng senjata, berseragam berwarna hijau tua datang dari sudut lain pohon beringin dengan darah yang mengucur dikepalanya mengacungkan senjata pada seorang wanita yang entah darimana melintas, tanpa basa-basi pria bersenjata itu menembak Si Wanita tepat dikepala dengan tembakan yang brutal. Ari menangis tak kuasa melihatnya, ini jelas bukan mimpi. Mereka berusaha bersembunyi sebaik mungkin hingga akhirnya pria bersenjata itu pergi. “Aku ingin pulang Sep, aku tak mau bernasib sama dengan wanita itu.” Asep menghela nafas, ia juga sama ingin pulangnya seperti Ari. Jiwa mereka terguncang melihat hancurnya kepala Si Wanita.
Tunggu, ada seseorang ditepi sungai. “Ada seseorang, ayo menghampirinya.” Ari menggeleng tegas. “Lebih baik disini, kau tidak pernah tahu ada dimana lelaki bersenjata itu dan berakhir dengan peluru dikepala.” Asep menarik lengan sahabatnya yang bergetar hebat. “Hanya soal waktu pria bersenjata itu menemukanmu dibawah pohon dan langsung menembak kepalamu, sama saja bukan.” Ari menganguk lemah.
Mereka berjalan waspada mendekati lelaki disungai. Lelaki itu sepertinya sedang membersihkan diri. Dalam hati mereka berdoa agar manusia dihadapannya ini orang baik. “Permisi Tuan.” Lelaki itu menoleh, dengan tatapan meneliksik sedetik kemudian berganti menjadi tatapan cemas. “Mengapa kalian ada disini? Ini berbahaya. Kembalilah bersama rombongan.” Ari dan Asep saling berpandangan tak paham apa yang dimaksud lelaki ini. “Kami tak tahu ini dimana Tuan, kami bukan berasal dari sini.” Lelaki itu mengeryit “Sudahlah Nak, bergabunglah dengan rombogan jika tidak kalian akan menjadi bulan bulanan Pasukan Nippon.”
Ari dan Asep cukup pintar memahami kata Nippon. Siapa yang tak tahu Nippon, penjajah paling kejam, tak memiliki sisi manusiawi, memeras seluruh harta pribumi dan memperkerjakannya dengan biadab -mungkin sifat ini yang diwariskan pada pemerintahan- walau pelajaran sejarah membosankan sangat keterlaluan tidak tahu siapa itu Nippon.
Tubuh mereka membeku mencoba meruntutkan kejadian yang baru saja mereka lihat, seorang pria dewasa menenteng senjata menembak seorang wanita dengan senyuman itu tentara Nippon.
“Jangan bengong,” lelaki itu menepuk bahu keduanya. “Ayo ikuti aku, kita akan menemui Yai.” Ari membisu tak percaya, Asep menunjukan tatapan kosong. Mereka sedang bergulat dengan fikiran masing masing. “Jika aku tidak salah, Jepang masuk ke Indonesia pada 1942 dan dipukul mundur tahun 1945 dan jika hipotesisku benar berarti aku dan Ari berada diantara tahun 1942, 1943, 1944, kuharap aku dan Ari tidak menjadi korban perang Jepang.” Batin Asep saat mereka berjalan mengikuti lelaki itu.
“Yai, saya menemukan dua pemuda ini dengan wajah kebingungan, mereka menghampiri saya saat sedang membersihkan tubuh di sungai. Sepertinya mereka terpisah dari rombongan, Yai.” Ucap lelaki itu dengan wajah menunduk takdim. “Terimakasih sudah membawanya padaku Darman, kembalilah bersama rombongan. Kita akan pulang.” Lelaki yang bernama Darman itu mengangguk lalu berjalan mundur dengan pandangan menunduk, sangat takdim.
“Mendekatlah kemari, Nak.” Suara serak, dalam dan tegas seperti seorang pemimpin membuat dua anak lelaki itu mendongakan kepalanya demi melihat seseorang yang amat berwibawa dihadapannya.
Asep terkejut dengan siapa ia berhadapan sekarang, ia mundur selangkah lalu menundukan pandanganya kembali. Seseorang yang ada dihadapannya berbalut pakaian putih bersih, janggut putihnya seolah menggambarkan waktu yang ia hadapi di dunia ini bukan waktu yang sebentar. Bahkan Asep ingat, wajah seseorang itu ada didalam dinding perpustakaan utara. “Mengapa kau melihatku seperti itu anak muda?” ucapnya.
Ari sudah berada disamping pria tua itu. Entahlah Ari sadar atau tidak pria tua disampingnya itu bukan pria biasa. Bahkan kelak masyarakat Indonesia sangat menghargainya dan takdim padanya. “Maaf Tuan, izinkan aku bertanya sesuatu.” Pria itu tersenyum. “Tentu saja, tanyakanlah tapi bergegaslah kita akan pulang.” Asep tampak ragu-ragu dan menimang kalimat yang pas untuk bertanya pada seseorang yang berilmu tinggi sepertinya. “Apakah Tuan ini Kyai Hasyim Asy’ari pemilik Pesantren Tebu Ireng?”
“Kau ini bicara apa anak muda, bukankah kau santri dari Tebu Ireng? Panggil aku Yai saja, Nak. Agar lebih akrab.” Mereka benar-benar terkejut lalu menundukan pandangannya kembali, takdim dengan seorang yang akan dikenal dengan Hadratusyekh.
Semua sudah pulang ke pondok, balik ke bilik masing-masing untuk membersihkan tubuh. Ari dan Asep digiring menuju bilik Darman untuk beristirahat. Banyak sekali korban, mereka yang kehilangan kakinya, tangannya, tak terhitung berapa luka sobek serta yang kehilangan nyawanya. Suasana malam ini penuh dengan rintih kesakitan para santri bersanding dengan lantunan merdu ayat Al-Qur’an dari surau.
Asep sudah dapat mengambil kesimpulan berkat hipotesisnya. Membuatnya teguh untuk membantu pribumi dimasa ini. Terlihat dari sorot mata yang tak ada keraguan.
“Ri, jika memang ini nasib kita, aku akan berjuang disini dengan para santrinya Yai.” Keputusannya sudah bulat. “Apa kau bercanda Sep, kau tahu resikonya bukan?” Mata Ari menusuri ruangan, takut-takut ada yang mendengar percakapan mereka. “Aku memiliki hipotesis sendiri, Ri. Dengar, sekarang kita berada di zaman penjajahan Jepang aku tidak tahu pasti ini tahun berapa yang jelas kita berada direntang tahun 1942, 1943, 1944. Kau tahu apa artinya?” Asep menjelaskan dengan suara mantap, ia sangat yakin hipotesisnya benar. “Beberapa tahun lagi proklamasi dikumandangkan Ri, apa kau tidak mau ikut serta membangun Indonesia?” Ari gusar, ia tak tahu harus bagaimana. “Sep, kita itu masih remaja tangung, baru berumur 16 tahun, tahu apa kita tentang pemerintahan sebelum proklamasi,” matanya kembali berair. “Aku ingin pulang.” Tambah Ari.
“Kau seperti tidak belajar saja, remaja itu berperan penting dalam sebuah bangsa Ri. Zubair bin Awwam pertama kali ikut berperang saat usianya remaja, Usamah bin Zaid menjadi panglima diusia remaja. Oh, jangan lupakan Sang Dzulfikar bahkan sedari kecil selalu berjuang bersama Rasulullah SAW.” Ari menghembuskan nafasnya. Ia tahu itu tapi faktanya ia tak sehebat Para Sahabat. Ini berbeda. “Nyaliku saja bahkan tak ada secuilpun dari Para Sahabat, Sep.”
Asep paham sahabatnya ini ketakutan bahkan sampai sekarangpun tubuh Ari masih terlihat bergetar. “Itu benar tapi apa kau tidak malu sebagai lelaki pada Martha Christina yang ikut berperang melawan Belanda pada Perang Patimura tahun 1817 hingga ia diasingkan, pada saat itu ia berusia 17 tahun.” Rasa bersalah kepada para pahlawan menjalar keseluruh tubuh Ari, ia menangis dalam diam, hatinya remuk. “Dari mana kau tahu itu?” ucap Ari pelan, meredam isakannya. “Sejarah yang kita pelajari dikelas Ri.” Agar seseorang paham suatu hal dengan baik orang itu harus merasakannya terlebih dahulu.
“Aku tidak tahu diri Sep, aku ada diposisi mereka sekarang tapi bukannya gagah berani melawan penjajah, aku malah meringkuk dan menangis ketakutan di dalam bilik.” Isakannya tumpah, telapak tangan yang menutupi wajahnya basah. “Bahkan setelah merdekapun aku selalu melanggar, mengantuk saat pelajaran sejarah, aku tak minat dengan pelajaran PPKN padahal aku Bangsa Indonesia.” Jika situasinya lebih baik mungkin Asep akan tertawa mendengar pengakuan Ari. Tangisanya benar-benar pilu, Ari memang anak nakal tapi perasannya sangat sensitif.
Tak lama pintu kayu itu dibuka dari luar, Darman masuk sambil mengucap salam. Bingung melihat Ari berderai air mata “Ari, kau kenapa?” tak ada balasan, hanya terdengar isakan yang mulai reda. Entah harus menjawab bagaimana, tidak mungkin berkata dari masa depan, kan. “Dia melihat seorang wanita ditembak tepat dikepalanya siang tadi Ustadz.” Darman membelalakan matanya. “Seorang wanita? Rombongan kami tidak membawa satupun santriwati, siapa wanita itu?”
Darman mendudukan tubuhnya disamping Ari. “Panggil aku Mas saja, aku juga santri seperti kalian.” Tatapannya terus mengarah pada Ari. “Ari, tak perlu kau menangis seperti ini, kematian dalam perang melawan kedzoliman itu pahalanya sungguh besar. Kita sedang melawan Nippon yang kejam. Sudahlah jangan menangis.” Darman menepuk bahu Ari, menenangkannya. Kata Darman penyerangan tadi akibat dari Jepang tak menepati janjinya, gencatan senjata yang seharusnya berlangsung sesuai dengan perjanjian malah dilanggar beberapa kali dengan membunuh dan menculik Santri Tebu Ireng.
Mencoba beradaptasi bukan masalah sulit, toh sama-sama lingkungan pesantren, seperti saat mereka hidup di zamannya. Mungkin perbedaannya Ari dan Asep paling milenial diantara yang lain pada masa ini.
“Malam ini aku ingin pergi ke Kantor Pos, kata Yai ada surat dari Batavia. Apa kalian ingin ikut?” Ari dan Asep baru saja menyelesaikan tugasnya membersihkan masjid, kali ini Ari tak menolak ataupun kabur. “Ari?” pemuda itu tak menaggapi, tadi dengan para santri Ari membicarakan tentang Jepang, berbagai motivasi dan narasi tentang kemerdekaan yang tak akan lama lagi Ari gaungkan. Tentu saja hal itu membangkitkan semangat para santri. Entahlah, sepertinya pengakuannya tempo malam benar-benar serius. “Surat dari siapa Mas Darman?” Ari berjalan tegap mendekat “Yai bilang itu surat dari Bung Karno, makanya kita perlu menjemputnya.”
Ari tertegun, Asep mematung. Bung Karno? Soekarno? Sang proklamator itu? “Kalian ini seperti tidak tahu saja, Pak Karno memang sering meminta saran dan nasihat dari Yai.” Perkataan Darman barusan semakin membuat mereka tak percaya. Tak pernah ada dibuku paket sejarah Sang Proklamator meminta nasihat dan saran dari ulama, itu yang Ari dan Asep tahu. Darman berdecak kesal melihat manusia patung dihadapannya. “Kalian mau ikut tidak?” Mereka berdua berpandangan sekejap lalu manggut-manggut kompak.
Malam itu juga mereka pergi, tak bisa disiang hari, takut-takut diculik oleh Jepang seperti para santri lain yang entah bagaimana kabarnya sekarang. Setidaknya itu jawaban yang diberikan Darman. “Apakah kita pakai mobil, motor atau delman?” Ari memasang wajah polosnya yang langsung mendapat tatapan tajam Asep. “Kau ini bicara apa? Kita akan berjalan kaki.” Beruntung Darman tak ambil pusing.
“Jaraknya hanya 50 kilometer dari sini, jangan mengeluh dan jangan bertingkah mencurigakan. Atau kau akan hilang dibawa Nippon.” Ari bergidik ngeri. “Asep, sebaiknya kau jaga baik-baik temanmu agar tidak hilang.” Asep mengangguk dan terkekeh saat melihat wajah pucat Ari.
Perjalanan malam yang menegangkan, melebihi jurit malam di sekola. Jika ditangkap paling bertemu setan jadi-jadian sekarang jika tertangkap entah bisa kembali atau tidak. Ari mengepalkan tangan sepanjang perjalanan sangat kentara sikap tegangnya, Asep dan Darman yang waspada berjalan dibelakang Ari. “Mas, ini tahun berapa?” Asep memecah keheningan malam. “Saking tegangnya kalian sampai lupa tahun, ya.” Ari menoleh kebelakang sekejap. “Sekarang itu tahun 1943, hampir dua tahun kita dalam cengkraman Nippon.”
“Kalian tahu, sewaktu Belanda berkuasa kita masih dapat bernafas dengan Kerja Rodi dan segala kebijakan kejam lainnya walau sangat sulit.” Darman menghentikan ucapannya menoleh kekiri-kanan lengang. “1942, saat awal pertama Nippon masuk dengan membawa slogan yang terkenal dan berkata bahwa mereka saudara Bangsa Indonesia. Oh, jangan lupakan sumpah mereka untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Kami terbuai strategi Nippon, kami menerima Nippon sebagai saudara seperti yang dikatakannya, mereka memang mengusir Belanda untuk mereka ambil posisinya dan memonopoli kita dengan sistem Romusha, mereka lebih licin dari ular, lebih hina daripada yang hina.” Darman sepertinya tersulut emosi, sorot matanya tidak seteduh sebelumnya. “Sama seperti DPR, silih berganti untuk menguasai, keserakahan membuat mereka hina.” Cetus Ari tiba-tiba. “Apa itu DPR?” Darman menoleh kearah Asep meminta penjelasan. “Lupakan Mas, Ari sedang melantur.” Mendengar itu Ari hanya terkekeh sebal.
“Kakak perempuan dan ibuku diperintahkan untuk menanam pohon jarak, saat itu mereka kelelahan dan beristirahat disebuah pohon besar, Nippon menyangka mereka berleha-leha hingga ibuku ditebas dan kakaku disetubuhi beramai-ramai tak ada yang berani menolong, saat itu aku disembunyikan dibalik pohon besar.” Buku-buku tangan Darman memutih, tangannya mengepal menahan emosi, rahang yang mengeras dan ekspresi sulit diartikan, terlihat jelas semua itu saat purnama bersinar terang malam ini. “Ramaku melawan semampu yang ia bisa namun gagal ketika peluru bersarang dikepalanya, saat aku hendak mendekati tiba-tiba tanganku ditarik oleh seseorang dan ia membawaku ke pondoknya Yai. Bagiku Yai itu sangat berharga.” Senyumannya mengembang kembali saat membayangkan wajah Sang Hadrotusyekh.
“Mas, disuatu negeri walaupun sudah memiliki ilmu dan teknologi yang baik para penguasanya tetap berlaku kejam terhadap kaum lemah dan miskin, seolah tidak memiliki etika.” Kali ini Asep yang menimpali Darman. “Bayangkan saja, seorang nenek yang mencuri sebilah kayu untuk makan dijatuhi hukuman hampir sepuluh tahun penjara, dan untuk mereka kalangan elit yang terjerat kasus penggelapan uang bermilyar milyar dijatuhi hukuman hanya berapa tahun saja.” Darman menoleh kearah Asep begitu juga Ari “Benarkah? Di negeri manakah itu?” Ari tertawa ketus. “Kurasa anak keturunan Mas yang akan mengalaminya.” Darman mengeryitkan dahinya. “Mengapa Ari selalu berkata aneh?” Gumamnya dibalas kekehan oleh dua pemuda didekatnya.
Hampir tengah malam sekarang. Tak ada kata lelah saat harapan melihat surat dari Bung Karno terlintas dikepala. Hingga beberapa saat kemudian lampu terlihat berkerlip redup berwarna kuning. Senyum senang mereka bertiga mengembang. Akhirnya.
Masih terlihat beberapa orang saat mememasuki pintu utama Kantor Pos, beruntung belum tutup padahal sudah hampir tengah malam.
“Mas Darman, akan sangat berbahaya jika pulang selarut ini. Tidurlah kalian di kantor ini, ada ruangan kosong. Pulang saja esok, takutnya kalian hilang dan surat itu tak sampai pada Yai.” Seorang Petugas Pos berbicara dengan nada yang rendah sontak mendapat tatapan horor dari lawan bicaranya. “Mas ini jangan asal bicara didepan mereka, lihatlah sekarang wajahnya pucat seperti mayat.” Akan sangat berbahaya jika memaksakan pulang, jadi mereka menginap.
Pagi sekali Darman membangunkan, Asep langsung sigap menegakan tubuhnya sementara Ari harus diteriaki beberapa kali lalu mengeluh saat melihat bulan dan gemintang masih bertengger di langit. “Mas, ini jam berapa?” Ari mengucek matanya. “kita perlu bergegas Ari, Nippon sudah mendengar tentang surat dari Bung Karno untuk Yai, hanya masalah waktu mereka datang dan merampasnya.” Kata Nippon benar-benar dapat membuat mata melotot dan hati berdetak kencang. “Kita akan mengambil rute lain, menyamar dan berbaur dengan penduduk. Lepaskan kopiah kalian agar tidak terlalu mencolok.”
Ari sekarang menyampirkan sarungnya dibahu tak lupa memakai tudung kepala khas seorang petani, Asep dengan keranjang besar dan meneteng cangkul, begitupun Darman. Penyamaran mereka sempurna seperti seorang petani yang hendak pergi berladang, peralatan ini dipinjamkan oleh Si Petugas Pos. Sehabis Solat Subuh mereka berangkat sambil merapalkan doa. Baiklah, perjalanan dimulai, berakting menjadi petani itu mudah, tak akan ada hambatan, hanya perlu berfikir positif dan berbaur.
Ari terlihat pucat dan bergetar. “Ri, santai, jangan tegang, wajahmu terlihat seperti ingin buang hajat.” Asep menepuk-nepuk bahu Ari agar sedikit tenang. Ari menarik nafas dalam. “Otaku membayangkan santri-santri yang diculik dan berakhir tragis.” Asep paham itu, tapi saat ini bukan waktunya membayangkan hal mengerikan karna posisi merekapun sedang genting. “Mungkin ini yang dirasakan para mahasiswa yang membela kebenaran lalu ditangkap dan disiksa oleh polisi, kau melihat beritanya bukan Ri. Banyak dari mahasiswa yang hilang entah bagaimana nasibnya.” Ari mengangguk setuju. “Omnimbus Law itu haha.” Kekehannya mencairkan suasana.
“Sep, apa aku jahat jika berasumsi DPR sama kejamnya dengan Nippon?” Asep tak tahu harus membalas bagaimana. “Menurutku terlalu dini untuk membuat kesimpulan seperti itu Ri, bukan berarti aku pro penjajah namun kita baru beberapa hari disini.” Ari manggut-manggut tapi asumsinya tak berubah, teguh pendiriannya. Asep menoleh kearah Darman, sepertinya Darman sungguh berbaur dengan warga. Matahari mulai mengintip diufuk, harus bergegas agar lekas sampai.
Beberapa tentara Jepang yang sedang berpatroli melihat kearah mereka, satu dua hanya menatap, menelisik lalu pergi. Penyamaran berhasil, hanya beberapa jam lagi surat ini sampai pada Yai. Ari semakin santai berjalan, toh Jepang hanya melihat jijik kearah pribumi yang miskin dan terbelakang. Memerintah, menyiksa dan membunuh tugasnya, selebihnya mana peduli. “Sep, aku rindu Ibu dan Ayah. Bagaimana jika pihak Pesantren kehilangan kita dan melaporkannya ke orang tua lalu pihak polisi, kasus santri yang hilang. Itu tidak lucu sama sekali.” Asep menunduk, berjalan sambil menendang nendang batu kerikil kecil. “Kau benar juga, selama disini aku hanya fokus pada Indonesia.” Ari terkekeh. “Nasionalisme sekali,” Ari menatap sahabatnya dengan tatapan bangga. “Ku harap kita bisa menyelesaikan alur ini dengan sangat baik.” Mereka berdua saling berpandangan, menguatkan janji yang tak pernah terucap, mensucikan hati untuk membantu mewujudkan kemerdekaan.
“Ohayōgozaimasu” mendengar itu sontak kepala Darman menunduk, berbeda sekali dengan Asep dan Ari yang berani menatap langsung tepat pada nentranya. Mereka bukan golongan pribumi yang terbiasa menunduk ketakutan bahkan berlutut ketika dihadapannya ada seorang penjajah hina. Jelas saja tentara itu tak suka dengan tatapan dua bocah dihadapannya. Baginya pribumi adalah budak, pemuas nafsu, orang bodoh yang menjengkelkan, orang terbelakang yang tak pantas menatap mata kaum seperti mereka. “Anata ga hiretsuna ningendearu watashi minaide kudasai.” (Jangan menatapku seperti itu! Dasar manusia hina) tangan besinya menampar Ari dan Asep bergantian hingga darah keluar dari sudut mulutnya.
Ari tak bisa menerima ini, ia ingin membalasnya dengan sebuah bogeman namun tangannya tertahan. Asep memegangi dan menatapnya seolah berkata itu jangan lakukan. Dendam kesumat dengan Nippon hina ini menjadi-jadi. Darman pun tak berkutik, menunduk. Selama Belanda yang hampir tiga abad, lalu Jepang tiga tahun lebih, memaksa pribumi untuk menunduk dan berlutut, memohon ampun pada sesuatu yang bukan kesalahannya bahkan beberapa dari pribumi rela bersujud kepada penjajah yang hina demi mendapat pengampunan dari hal sepele. Seperti sudah mengakar dikalangan pribumi, tak heran juga sikap itu sudah membudaya tiga ratus tahun yang lalu. Penjajah merusak mental pribumi dengan membudakannya.
Seorang Nippon lainnya menenteng senapan lebih besar ditangannya, sambil tersenyum ia mendekat. Sangat terlihat menyeramkan saat tersenyum. “Ohayōgozaimasu.” Kali ini tangan Ari mengepal, berjaga-jaga jika kejadian tadi terulang. “Sa.ya datang un..tukh membawha surath dari Seokarno.” Bagus sekali dia sudah dapat berbicara bahasa pribumi dengan aksen Jepang. “Kami tidak membawa apapun Tuan, kami hanya petani.” Darman lebih dulu berbicara. “Jhika ka..lian berbohong akhan sa..ya gantung kepala ka..lian dipohon ihtu.” Senyumannya mengembang sambil menunjuk pohon mangga besar tepat dihadapan kami. Asep bergidik ngeri, Darman menunduk sedalam mungkin. “Dasar psikopat gila, penjajah hina. Seperti penghianat negeri saja.” Gumam Ari memalingkan pandangannya. “Kami tidak berbohong, kami ini hendak pergi ke perkebunan jarak.” Darman mencoba semampunya, lihatlah dia sekarang sedang berlutut. Ari yang muak, mengangkat tubuh Darman agar bangkit. Tak pantas seperti itu pada sesama manusia. “Lepaskan dua lelaki ini, surat itu ada padaku!” Asep juga Darman membelalakan matanya tak percaya. Apa maksudnya? Ari benar benar sudah gila. Apa ia sadar akan kelakuanya? Ia bisa disiksa hingga mati seperti para mahasiswa yang ia bicarakan sebelumnya. “Tunjukhan pada sa..ya.” Tersenyum simpul Ari menunjukan sebuah surat lengkap dengan tanda dari Soekarno. “Khamu berani shekali, bhaiklah sa..ya akhan membawamu.” Seringai kemenangan tergurat diwajah seramnya.
“Tunggu, aku akan ikut kalian. Aku paham bahasa Jep- tidak Nippon.” Asep menela, Pria Psikopat masih dengan seringainya mengangguk. Dalam waktu sepersekian detik Asep berbicara dengan Darman. “Mas, sampaikanlah surat itu pada Yai, itu surat penting untuk kemerdekaan Indonesia. Aku dan Ari akan baik-baik saja. Pergilah!” Darman mengangguk lemah lalu berlari, buliran air mata mulai metes satu persatu hingga menjadi deraian, berusaha lari namun kakinya seolah ada yang menahan. Sudah banyak temannya yang diculik Nippon, Darman takut jika akhir dua remaja ini akan seperti yang sudah-sudah.
Dari kejauhan di mobil tentara Jepang Ari dan Asep melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar kepada Darman seolah sedang diajak wisata. Membuat lelaki itu kalut, terduduk lunglai deraian air matanya semakin deras, isakannya menyayat hati. “Duhai Allah, lindungilah dua pemuda itu yang rela menyerahkan dirinya demi kemerdekaan negeri ini.” Kalimatnya berubah menjadi rintihan pilu. Sedetik kemudian ia berlari secepat yang ia mampu, tak ingin perjuangan teman remajanya menjadi sia-sia, surat dari Bung Karno harus sampai pada Yai.
Entah berapa jam perjalanan, sekarang matahari sudah mencapai titik tertinggi. Tentara Jepang terus saja berbicara dengan bahasanya, seperti sedang mencaci maki, menyumpah serapah karena Ari dan Asep tak memahaminya mereka hanya perlu menunduk, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Bohong jika Asep bisa berbahasa Jepang, itu hanya akal-akalanya agar mereka tak terpisah. Beberapa kali salah satu prajurit itu menampar Ari dan Asep padahal luka tamparan pertama belumlah mengering. Senjata besar yang selalu dibawa menjadi alat untuk memukul, mungkin mereka merasa jijik akan kulit pribumi berfikir bahwa ada penyakit menular. Hingga cucuran darah keluar dari kepala Ari, luka sobek akibat pukulan bertubi-tubi. Tak apa, sekarang hanya perlu berpura-pura kesakitan, Ari bertekad untuk membalas semua perlakuan biadab ini. Air mata Asep keluar tanpa dapat dikontrol hanya bisa menggenggam jemari Ari dalam tangisnya, memberi kekuatan.
“Dasar lu manusia hina. Awas aja lu kalo nanti Jepang minta ekspor barang tambang, minta minta tempe gak akan gue kasih. Gak mau gue nonton Naruto lagi. Lu dasar ih, kesel banget gue.” Ari bergumam dengan suara sangat kecil namun masih dapat terdengar oleh Asep yang berada disampingnya. Asep terkekeh, masih sempat sempatnya Ari berfikir demikian. “Harusnya jangan pake bahasa gaul biar mereka ngerti Ri.” Ari memandang Asep sekejap lalu tersenyum. “Tadinya mau pake bahasa Inggris tapi takut disangka kongkalikong sama Netherland, gak mau aku dicap penghianat, Sep.”
Sekali lagi mereka terkekeh pelan dibahwah tatapan sinis dan tajam para prajurit Nippon, terlebih satu dari mereka mengacungkan senjatanya siap memukul. Dan benar saja detik berikutnya darah segar kembali mengalir dari kepala. Dengan aksen khas Jepang tentara itu mencoba menghardik dengan bahasa Indonesia. “Manushia samp..ah desu, hi..na desu. Masih beranhi tersenyume.” Bukannya takut Ari malah hendak menertawakannya namun kembali Asep yang menjadi penengah. Sebanyak mereka tersenyum sebanyak itu pula pukulan di kepala mereka dapatkan. Tak perlu khawatir, jika hati sudah bertekad sekali raga hancurpun bukan menjadi halangan.
Entah kemana para tentara itu akan membawa mereka, sepertinya sangat jauh. Matahari hampir tenggelam. Semburat jingga terlihat anggun. Asep tak banyak bicara begitupun juga Ari, mereka lelah, kepala yang terus mengeluarkan darah hingga membuat rambut mengeras, wajah Ari sangat kacau karena ia yang paling sering dipukul akibat tawa sinisnya.
“Hey! Ceph..atlah!” Tentara jelek itu berteriak lagi, tolonglah teriakannya membuat rusak semua ekspetasi Anime dikepala Ari. Asep turun, kakinya sempoyongan, kepalanya terasa berat. Beruntung ada Ari yang menahan tubuhnya agar tak melorot ke bumi. Ari sungguh teman ajaib.
Mata mereka menatap nyalang tepat didepan terdapat ratusan pribumi yang sedang bekerja tanpa baju, sangat kurus hingga terlihat jajaran rusuknya. Ada yang sedang berlutut lalu ditendang kepalanya, Asep memalingkan wajahnya. Ada yang sengaja menginjak perut salah satu pribumi dengan sepatu khas tentara yang sangat tebal dengan bantalan besi, pribumi itu menjerit kesakitan. Wajah Ari terlihat sangat marah hingga menetes air mata bercampur darah di pipinya. Ia berlari kepada pribumi yang diinjak perutnya itu, membangunkannya namun pribumi itu tak mampu berdiri. Ternyata dibetisnya tertancap potongan besi. Ari tak bisa berkata-kata, ia memeluk pribumi itu. Tangisnya pecah. Tak peduli dengan kepala yang masih bersimbah darah. “kita akan merdeka Pak, aku janji sebentar lagi tidak akan ada penderitaan sep-“ belum sampai kalimat itu habis, bajunya ditarik tentara jelek itu lagi. Ari tak tahu bahwa pribumi yang dipeluknya tadi tersenyum cerah, setidaknya itu harapan terakhir. Kemerdekaan.
Tentara itu terus berkata dengan intonasi membentak, percuma saja Ari tak memahami maksudnya, juga Asep. Tangan mereka diborgol lalu diikat dengan pengait diatas kepala. Tangan mereka tergantung sempurna. Ini ruangan introgasi, ada beberapa pribumi yang juga sedang disiksa sambil ditanya.
“Namae wa nandesuka?” tidak sulit mengartikan kalimat ini. Ari tersenyum simpul. “Nama saya Ari dan dia Asep.”Sambil menunjuk Asep yang terlihat payah. Tentara itu mengangguk. “Lalu mengapa soekarno mengirim surat kepada Hasyim Asy’ari?” Tentara yang pandai bahasa Indonesia datang sambil menenteng sebilah besi pajang. “Aku tidak tahu.” Tentara itu mengangguk pada temannya. Seketika tamparan, tojokan, pukulan bertubi-tubi menghantam kepala Ari. Kali ini Asep sudah pingsan dengan posisi terikat. Ari paham, fisik temanya lemah. Ia akan melindunginya.
“Itulah jawaban jika kau berbohong, dashar hina!” Bukannya kalap Ari justru tertawa sinis. “Coba tebak duhai Tuan yang suci, mana yang lebih hina dari manusia yang memperlakukan manusia lain seperti binatang?” Kali ini bukan pukulan yang Ari dapat. Lebih dari itu, tulang punggungnya dihantam besi yang sedaritadi digenggam Si Tentara Hina. Ngilu, Ari meringis. Tak boleh menangis.
“Lebih baik kau pergi saja ke negaramu. Dasar Pria Hina, dua tahun dari sekarang negaramu akan hancur lebur oleh Amerika, kau terlalu mengurusi kami.” Mendengar kata Amerika Tentara Hina itu mematung. “Pribumi itu bodoh! Miskin! Tidak tahu apapun! Hanya Empat Serangkai yang dapat berbicara seperti ithu.” Pria itu bersungut-sungut dengan aksen Jepang yang keras. Menghantakan besi tepat ditengah kepala Ari. Darah kembali merembas, darah sisa tadi siangpun belum mengering. Namun begitu Ari masih sadar, hanya sedikit pusing. Darah dari mulutnya muncrat keluar setelah perutnya ditendang sepatu besi.
Para lelaki gagah lain yang tengah diintrogasi menoleh kearah Ari, berharap Ari baik-baik saja. “Coba fikirkan Tuan, kesatria mana yang memukuli seorang anak dengan tangan terikat. KALIAN TAK PANTAS DISEBUT KESATRIA! Kalian tak ada bedanya dengan aparat kami dimasa mendatang yang tega memukuli yang lemah.” Ari mendongakan wajahnya agar bisa menatap Para Tentara Hina didepanya. Ada sekitar enam orang masing-masing membawa senjata bersiap hendak memukul Ari yang sudah bersimah darah. Nippon dibuat geram.
“Dengarkan! Bagi siapapun yang bisa mendengarnya. Percayalah dalam jarak dua tahun, Indonesia akan bebas, kita akan merdeka!” Kalimat itu mengundang perhatian semua yang ada diruangan. Sedetik kemudian para pejuang gagah pribumi menggemakan Takbir, berteriak lantang “MERDEKA!” Hingga kesadaran Ari menghilang saat besi itu ditancabkan tepat dikaki sebelah kanannya.
Ari dan Asep serta para pejuang lain dibawa ke gua penjara. Penuh sesak oleh mereka yang selalu memberontak pada Jepang, jika ada kegaduhan lain maka satu kepala akan terlepas dari tubuhnya. Biadabnya, kepala itu sengaja dilepar ke tengah tengah pribumi. Besi di kaki Ari sudah dicabut oleh salah satu pemuda hebat, namanya Ahmad. Dia dibawa kemari karena berhasil membebaskan separuh Romusha dan menyembunyikan mereka.
Tak ada angin tak ada badai, seisi penghuni dikejutkan dengan kedatangan seorang manusia dengan selogan ‘Jasmerah’. “Keluarlah kalian semua, saya yang menjamin keselamatan kalian. Cepat!” Semua berlarian dengan senyum merekah. Saat akan ikut berlari tangan Asep dan Ari ditahan. “Kalian ikut dengan saya.” Ucapnya dengan segala kegagahan yang dimiliki. Dibalik itu, mata Bung Karno berkaca-kaca melihat manusia yang sedang berebutan keluar.
Bung Karno membawa Asep dan Ari ke sebuah ruangan tertutup. Mengobati luka-luka itu dengan tangannya sendiri sambil bercakap. “Surat yang ada pada kalian sebenarnya hanya pengecoh. Saya tahu Nippon akan seperti ini, jadi surat yang asli aku sendiri yang mengantarkannya pada Kyai.” Hening. “Saya tahu darimana kalian berasal. Pulanglah kesatriaku, tepat kalian bukan disini.”
Ari menatap Bung Karno lamat-lamat. “Saya tahu apa maksud tatapan itu Ari. Sejarah akan tetap menjadi sejarah. Banyak hal yang luput dari tulusan hingga tak bisa dikenang oleh generasi mendatang. Kyai Hasyim yang menceritakan kalian padaku. Terima kasih telah mau menjadi bagian dari kelamnya penjajahan. Walau tak tertulis dalam sejarah akan ku kenang kalian dalam sanubariku. Jadi pulanglah, semua akan kembali seperti semula, seolah ini tak pernah terjadi hanya menyisakan memori.” Tanpa persetujuan, Bung Karno telah mengaktifkan buku Indonesia Tempo Doeloe, cahaya kembali berpendar terang. “Ku titipkan bangsaku pada kalian, Kesatriaku.”
Sepersekian detik berikutnya mereka ada di perpustakaan utara, dijam yang sama, diposisi yang sama, pakaian yang sama sebelum mereka melakukan ‘petualangan’. Hanya menyisakan perasaan sesak, ingin menangis rasanya. “Aku akan menjadi Kesatria seperti yang dikatakan Bung Karno” Ari menyusut ingusnya. “Kita pasti akan menjadi seperti itu.” Jawab Asep dengan yakin.
oleh: Wahyu Rey Persada Situmorang (Peserta Lomba Cerpen Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Mentari itu kini sudah mulai tampak di ufuk timur sana, memamerkan senyumnya lewat cahayanya yang kini telah menyinari sang dunia. Langit nampak cerah berwarna biru di atas sana, terlihat indah dengan burung-burung yang berterbangan di atas langit itu, Subahanallah, sungguh indah ciptaan-Mu. Semua orang pasti akan bertasbih memuji keindahan-Mu. Hari bahagia setelah 5 bulan lamanya berada di Pondok Pesantren Miftahul Ulum tercinta, kini telah tiba hari liburan yang selalu ditunggu-tunggu oleh semua santri putra maupun putri. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB, perhelatan acara Haflatul Imtihan baru saja di mulai, tak ketinggalan juga banyak para wali santri yang juga ikut hadir memeriahkan acara kali ini.
Bunda, sapaku saat aku lihat Bunda sudah ada di depan asramaku, bukan hanya Bunda saja yang ku lihat waktu itu bahkan banyak juga ibu teman-temanku yang sudah duduk di depan asrama menunggu anaknya.
“Bunda udah dari tadi?” tanyaku sambil mencium punggung tangannya, ku lihat Bunda juga mengukir senyum saat aku juga mengukir senyum dan menampakkan kedua lesung pipiku.
“Nggak kok nak, Bunda baru datang” jawab Bunda dengan nada suaranya yang terdengar lembut.
“Bunda kesini sama siapa?”
“Ayah, tapi sekarang Ayahnya sudah ada di santri putra, kan Ayah sekarang jadi panitia juga jadi sibuk” jawab Bunda santai. Ayahku memang menjadi ustadz di Pasantren ini, bahkan Ayah juga diberi tugas mengajar kelas 2 MTSD di putra. Setelah berbincang-bincang dengan Bunda, akupun kemudian langsung mengajak Bunda untuk ikut menyaksikan acara haflah yang sedang berlangsung.
***
Jam terus saja berputar, tanpa terasapun sekarang senja itu sudah mulai nampak di ufuk barat sana dan acara haflahpun sudah selesai. Sontak saja aku dan Bundapun langsung pulang setelah terlebih dahulu Bunda menelepon Ayah dan memintanya agar mengantarkan aku dan Bunda pulang.
“Gimana tadi acara haflahnya?” tanya Ayah saat kami sudah ada di dalam mobil.
“Alhamdulillah Yah, semuanya berjalan lancar” jawabku singkat dan sopan.
“Wisudanya?” tanya Ayah lagi.
“Alhamdulillah berjalan dengan lancar juga Yah”
“Alhamdulillah anak kita juara 2 Ayah” timpal Bunda yang sedari tadi hanya diam, ku lihat Ayah malah tersenyum mendengar penuturan Bunda tadi, tanpa terasa aku memang sudah kelas 3 SMA dan kelas 3 MTSD, sudh 6 tahun lamanya aku ada di pesantren ini hingga kini aku lulus dengan nilai baik.
“Alhamdulillah Ayah senang mendengarnya”
***
Hari terus berganti hari,tanpa terasa sudah 1 minggu aku ada di rumah. Bahagia memang ketika melewati hari-hari yang indah bersama dengan orang yang sangat aku sayangi, Bunda dan Ayah. Ketika mentari sudah mulai meninggi akupun kemudian langsung mandi dan melaksanakan sholat sunnah Dhuha, setelah selesai membantu Bunda terlebih dahulu.
“Fatimnya ada bun?” tanya Salma saat dia sedang main ke rumahku.
“Fatimnya masih sholat dhuha nak, tapi bentar lagi udah selesai kok, kamu tunggu di sini dulu ya, Bunda mau kasih tau Fatim dulu”
“Iya Bun, terima kasih” ucap Salma singkat, sedangkan Bundapun langsung pergi meninggalkannya sendirian di ruang tamu.
“Ada Salma tuh di depan, kamu temuin dulu ya” ucap Bunda kemudian setelah aku selesai sholat Dhuha, tanpa di minta yang kedua kalinya akupun kemudian langsung menemui Salma, sahabat yang sudah aku anggap sebagai saaudaraku sendiri.
“Sal, udah lama ?” tanyaku kemudian duduk di kursi sebelahnya.
“nggak kok, oh iya Tim, aku mau ngajak kamu jalan-jalan nih sekalian beli buku juga”
“Ohh, tunggu dulu ya aku mau izin dulu sama Bunda” ucapku yang kemudian hanya mendapat respon anggukan kepala darinya, sedang akupun kemudian langsung pergi meninggalkannya untuk menemui Bunda dan meminta izin darinya.
“Bunda, aku mau izin ya, tadi aku di ajak sama Salma jalan-jalan sama beli buku juga”
“Ya udah gak apa-apa, tapi jangan lama-lama, nanti kalau udah selesai langsung pulang jangan lupa hati-hati juga”
“Iya bun tenang aja, makasih ya Bun” ucapku sambil senyum dan mencium punggung tangannya, syukurlah ternyata Bunda malah memberiku izin untuk pergi bersama Salma.
***
Senja itupun kini telah datang menyapa semua penduduk bumi, indah memang ketika di pandang, belajar dari senja kalau yang berakhir ternyata juga menyimpan keindahan tersendiri bahkan sering kali dirindukan meski hadirnya hanya sebentar. Dan setelah senja itu telah berlalu dengan menyisakan kerinduan kini malah bergantian dengan sang malam yang juga menghadirkan taburan-taburan bintang yang indah nan berkilau di atas langit sana. Subahanallah lagi-lagi rasanya aku merasa takjub akan keindahan yang Engkau ciptakan ini, selepas sholat Isya’ Ayah dan Bunda memanggilku untuk ikut duduk bersamanya, katanya ada hal penting yang akan dibicarakannya denganku.
“Tapi Yah, Fatim masih tidak memikirkan tentang itu, Fatim masih mau kuliah dulu” ucapku tetap sopan, aku bahkan ingin mewujudkan cita-ciataku dulu, fikirku ketika Ayah tadi memberitahuku klau ada seorang ustadz dari Pesantren Sidogiri yang ingin mengkhitbahku untuk menjadi istrinya, dia tampan, baik, perhatian, pintar, anaknya kiai, bahkan kalau soal agamanya sudah tidak mungkin diragukan lagi setelah 10 tahun dia menimba ilmu di Pesatren Sidogiri. Aku tau mungkin itu adalah kesempatan emas untuk mendapatkan calon suami idaman.
“Ya sudah tidak apa-apa itukan semuanya terserah kamu nak, Ayah tidak akan memaksamu meskipun teman-temanmu yang lain juga sudah banyak yang menikah dan sudah punya anak, pilihanmu juga pilihan yang bagus Ayah dan Bunda pasti akan selalu mendukung apapun yang kamu pilih” ucap Ayah panjang lebar. Ayah memang benar, teman-teman di desaku ini memang sudah banyak yang menikah dan juga sudah punya anak, tapi untuk menikah dini, aku sama sekali tak pernah berfikiran soal itu, kesempatan memang tidak akan datang dua kali, tapi aku yakin Allah pasti akan menjodohkan wanita yang baik dengan laki-laki yang juga baik pula.
“Jadi kau yakin nak tidak akan menerimanya? ini kesempatan mas loh” tanya Bunda memastikan jawabanku.
“Tidak Bunda. Fatim masih pengen kuliah saja dulu masalah jodoh datangnya pasti tidak akan terlambat dan tidak akan tertukar juga, jadi mungkin saja dia bukan jodoh Fatim”
***
4 tahun berlalu begitu cepatnya di Pesantren Miftahul Ulum tercinta ini, sudah banyak badai dan rintangan yang aku lewati bersama dengan teman-teman senasib seperjuangannku, meski semua itu tak mudah untuk kami jalani namun semuanya juga tidak akan menghalangi semangat kami untuk terus melangkah dan menggapai impian yang kami idamkan, happy grandation day itu kini tengah aku rasakan kebahagiaan bersama teman-temanku yang lain. Syukur Alhamdulillah hanya kalimat itu yang bisa aku panjatkan sekarang atas karunia yang di berikan-Nya padaku.
“Dan yang mendapatkan penghargaan mahasisiwi terbaik dengan jurusan HKI diraih oleh ananda Fatimah Az-Zahraa putri dari bapak Saiful Qirom, kepada ananda dipersilahkan naik ke atas panggung untuk menerima pengghargaan yang akan diberikan oleh pengasuh pesantren”
Subahanallah sujud kembali aku panjatkan pada-Nya yang Maha Kuasa atas semua ini, ya Allah hanya kalimat hamdalah yang terus saja terlantun dalam hati dan mulutku sampai kemudian aku sampai di atas pentas dan tanpa terasa juga air mata haru itu kian turus menerobos begitu saja mengalir di kedua pipiku
“Selamat yaa nak, kamu udah berhasil diwisuda dengan nilai baik dan juga menjadi mahasiswi terbaik, Bunda dan Ayah bangga sama kamu” ucap Bunda sambilaa menangis haru dan laansung memelukku saat aku sudah turun dari atas peentas.
“Terima kasih Bunda semua ini juga berkat do’a Bunda dan Ayah juga”.
***
Hari terus saja berlalu sudah 1 bulan aku berhenti dari Pondok Pesantren Miftahul Ulum tercinta sejak aku sudah diwisuda S-1, sudah 1 minggu juga aku kenal dengan laki-laki yang bernama Ahmad Haris Fatahilah. Perkenalan kami cukup sederhana ketika dia tiba-tiba memberiku payung ketika hujan deras dan saat itu aku masih ada di masjid An-Nur berhenti untuk berteduh karna hujan masih saja turun dengan derasnya sedari tadi.
“Tidak terima kasih” ucapku menolak payung yang dijulurkannya padaku.
“Kenapa?”
“Aku tidak ingin merepotkanmu”
“Aku tidak merasa repot, aku kan ikhlas membantumu lagian hujan masih deras”
“Aku mau menunggu sampai nanti saja kalau hujan sudah reda”
“Ya sudah aku temani saja kamu dulu, kau tidak usah takut maksudku baik kok aku juga tidak akan macam-macam” ucapnya lagi yang membuatku kemudian diam tanpa merespon ucapannya sedikitpun.
Meski baru kenal ternyata haris orangnya baik, dan juga ramah bahkan beberapa kali dia juga sempat membuatku tertawa karenanya. Selain tampan dia juga perhatian, bahkan dia juga banyak bercerita tentang pengalamannya yang juga sempat menjadi alumni Podok Pesantren Miftahul Ulum yang kemudian langsung meneruskan mondoknya kembali ke Sidogiri lalu ke Al-Azhar Kairo, Mesir. Setelah lama berbincang-bincang tanpa terasa hujan juga sudah mulai reda langsung saja aku pamit pulang kepadanya.
“Aku mau minta maaf sama kamu” ucapnya lewat pesan whatsaap yang dikirimnya ke nomorku.
“Kenapa kau meminta maaf padaku kau kan tidak bersalah” balasku singkat.
“Aku yakin kau juga pasti pahamkan, setiap hari kita selalu saja kontekan meskipun tak bertemu kau pasti tau hukumnya kalau itu dosa, jadi daripada kau juga ikut berdosa karna aku, lebih baik aku akhiri saja sekarang maaf ya”
“Kenapa kau mau pergi begitu saja saat aku sudah merasa nyaman dengan kata-kata bijak dan nasehat yang selalu kau berikan padaku” balasku seakan tak rela kalau dia tiba-tiba saja memutuskan komunikasinya denganku.
“Kenapa kau merasa nyaman denganku? bukankah semua orang juga bisa melakukan hal yang sama seperti yang pernah aku lakukan padamu, please jangan membuatku merasa tak enak hati saat aku ingin memutuskan komunikasi ini”
“Kau yang berani memulai lantas kenapa kau tak berani untuk menyelesaikannya”
“Maksudmu? Kau ingin aku menyelesaikannya ?”
“Ya kalau kamu memang berani” “Ya sudah dimana rumahmu? aku akan ke sana?”
“Di timur masjid Nurur Huda” balasku singkat yang kemudian tak mendapat balasan lagi darinya.
***
3 hari kemudian…
Saat aku sedang asyik-asyiknya melantunkan kembali hafalan Al-Qur’anku seusai sholat Maghrib aku dengar ada tamu yang sedang berbincang-bincang dengan Ayah dan Bunda di ruang tamu, entah apa yang mereka bicarakan aku tak begitu memperdulikannya, hingga ketika aku selesai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an itu tiba-tiba Bunda datang menghampiriku dan meminta tolong padaku untuk membuat kopi dan teh untuk tamunya, aku langsung mengiyakan permintaan Bunda.
“Nanti kamu anterin ya” pinta Bunda sebelum pergi. Akupun kemudian hanya mengangguk pelan mengiyakan permintaan Bunda tadi.
Setelah selesai akupun kemudian langsung saja mengantarkan teh dan kopi itu ke ruang tamu sesuai dengan permintaan Bunda tadi, dan sesampainya di ruang tamu aku terkejut saat yang ku lihat disana adalah Haris dan juga kedua orang tuanya.
“Sini duduk” ucap Bunda menyuruhku duduk di sampingnya. Aku langsung menuruti permintaan Bunda dan duduk di sampingnya.
“Bismillahirahmanirrahim jadi langsung saja, pertama kedatangaan kami kesini adalah untuk bersilaturrahmi dan yang kedua untuk mengkhitbah anak bapak dan ibu untuk anak saya Haris” ucap seorang laki-laki yang ku yakini adalah Ayahnya haris.
“Bagaimana Haris apa kamu yakin ingin mengkhitbah fatim” tanya Ayahnya memastikan.
“Iya yah” jawabnya singkat.
“Bagaimana nak apa kamu mau?” tanya Ayah padaku. akupun sama sekali tak menjawab pertanyaan Ayah hanya bisa diam dan menunduk saja.
“Diamnya sudah menjadi jawaban kalau dia juga mau” ucap ayah kemudian sambil senyum.
“Kalau begitu kita tentukan saja tanggal nikahnya”
“Bagaimana kalau 1 bulan lagi” ucap Ayah kemudian.
“Alhamdulillah” ucap semua orang yang ada di sana, kemudian do’a apun langsung dipimpin oleh Ayahnya Haris yang juga diamini oleh semua orang yang ada di sana.
***
Mentari kini seakan bersinar lebih indah daripada biasanya, mungkin dia sekarang juga ikut bahagia dengan acara pernikahan Fatim dengan Haris yang pastinya kini tengah bahagia. Acara pernikahan itu memang dilaksanakan cukup sederhana namun juga banyak para tamu undangan yang ikut hadir dan memeriahkan acara pernikahan ini.
Tak ada yang bisa menebaknya, sekalipun itu temasuk Fatim dan juga Haris. Allah tidak akan pernah salah memberikan jodoh kepada setiap hamba-Nya. Yang baik akan bersanding dengan yang baik begitupun yang jahat juga akan bersanding dengan yang jahat. siapa Sangka Fatim akan mendapatkan yang lebih baik dari pada sebelumnya meskipun itu juga sama-sama ustadz. Jika kita mau memperbaiki diri dari sekarang insyaallah pasti yang akan menjadi calon imam kita kelak adalah orang yang baik juga. Takdir bisa diubah dengan do’a begitupun diri kita bisa berubah menjadi lebih baik asalkan juga ada kemauan dan usaha, karena Allah tak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya.
Dikara pemuja sang bulan
Nyatanya sang matahri lebih bersinar
Dibuthkan dengan segala penyembahan
Abdi yang nyatanya jelata
Apakah insan yang hina
Sungguh hanya kecewa
Disini kuabdikan prihal hati
Agar menjadi obat lara
Tapi ini,,,,, laksanak dari
Menuusuk hati, LUKA!!!
Faktanya itu hanya seutas pengalaman
Membuat diri ini terhina dalam delusi
Kalau ini bukan lagi tentang bertahan
Kini kau melepas, ya aku pergi
Yakinlah aku tak menyimpan dendam
Hanya saja kecewa ini tak mudah kusembuhkan
Tutur ku hanya bisa berterima kasih
Maafku sungguh dari relungku yang dalam
Ini yang terbaik diantara masa yang menyenangkan
Sungguh senyumku sudah merakah
Dariku terima kasih
Karya: Yogi Dwi Pradana (Peserta Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Penjual di pasar banyak yang uring-uringan sendiri. Mereka sangat merasakan dampak adanya Pandemi Covid-19. Orang yang belanja di pasar semakin berkurang. Orang-orang takut keluar rumah. Penghasilan penjual di pasar menurun drastis. Ditambah banyaknya pengemis yang silih berganti untuk meminta-minta membuat penjual di pasar semakin memuncak amarahnya. Terkadang penjual di pasar melampiaskan emosi dengan mengumpati pengemis yang datang meminta-minta.
Yu Jinem, seorang yang telah berjualan di pasar selama 10 tahun sampai hafal dalam satu hari silih berganti ada kurang lebih 5 pengemis yang datang kepadanya. Yu Jinem adalah penjual yang ramah, jarang sekali Yu Jinem terlihat cemberut. Namun, suatu ketika, saat dagangannya; bayam, kenikir, kelapa parutan belum laku sama sekali, Yu Jinem membentak seorang pengemis laki-laki yang masih kecil menenteng kencrengan. Pengemis yang dibentak Yu Jinem pergi dengan wajah yang tak enak—tapi, tetap diam.
Setelah pengemis laki-laki yang masih kecil itu pergi, Yu Jinem duduk. Yu Jinem merasa bersalah. Yu Jinem mengamati penjual di sekelilingnya. Terlihat di mata kepala Yu Jinem hanya ada satu sampai dua orang yang sedang berbelanja. Hal itu membuat Yu Jinem agaknya menerima bahwa saat ini pasar sedang sepi. Yu Jinem merasa bersalah telah membentak pengemis laki-laki yang masih kecil tadi.
“Yu?” Yu Sendot menggerak-gerakkan tangan di hadapan Yu Jinem.
Yu Jinem tak menyahut. Yu Sendot memperhatikan Yu Jinem yang masih melamun. Yu Sendot segera menyentuh pundak Yu Jinem. Yu Jinem kaget.
“Astagfirullah,” Yu Jinem istigfar.
“Ada apa to, Yu? Masih pagi kok sudah melamun,” tanya Yu Sendot.
“Tidak ada apa-apa kok, Yu. Tadi aku cuma merasa bersalah saja telah membentak pengemis laki-laki kecil yang datang ke mari,” jelas Yu Jinem.
“Oalah, Yu. Aku juga sering sebal juga sebenarnya sama pengemis-pengemis yang datang silih berganti. Tapi, mau tak mau aku tak sampai hati bila tak memberi, meski hanya kadang memberi 200 perak saja. Pengemis itu datang sering tidak terduga soalnya, Yu. Kalau memberi satu pengemis seribu atau dua ribu kan ya bisa tekor kita,” tambah Yu Sendot.
Ada seorang perempuan datang ke lapak milik Yu Sendot. Yu Sendot meninggalkan Yu Jinem.
“Silakan, Bu, mau beli ayam yang bagian apa?” tanya Yu Sendot.
“Cuma mau beli yang bagian usus sepuluh ribu saja ya, Bu,” jawab pembeli.
“Oh baik, Bu,” Yu Sendot mengambil usus dan mulai menimbang.
Yu Jinem masih menunggu pelanggan pertama di lapak jualannya. Yu Jinem mengambil segelas teh yang sudah dingin. Yu Jinem menyeruput dan berharap segera datang pelanggan yang pertama.
Tiba-tiba ada seorang perempuan tua datang mendekat ke lapak milik Yu Jinem. Yu Jinem berdiri, memperhatikan betul perempuan yang mendekat itu. Yu Jinem hampir hafal semua pelanggan yang sering belanja di lapak jualan miliknya. Yu Jinem kembali mengamati, perempuan tua itu semakin dekat ke lapaknya.
“Eh, Ibu, silakan dipilih. Bayam dan kenikirnya masih segar, baru diambil dari kebun tadi pagi. Ini parutan kelapa juga masih segar. Silakan-silakan, Bu,” ucap ramah Yu Jinem.
Perempuan tua itu mengangguk. Perempuan tua itu memilih bayam. Sesekali perempuan itu membolak-balik bayam untuk mendapatkan yang terbaik. Perempuan tua itu menyisihkan dua tangkai bayam. Perempuan tua itu memilih parutan kelapa yang sudah diwadahkan dalam plastik bening. Perempuan tua itu hanya mengambil satu plastik parutan kelapa dan menyisihkan di dekat dua tangkai bayam yang sudah dipilih.
Perempuan tua itu menenteng dua tangkai bayam dan satu plastik bening berisi parutan kelapa di tangan kanan. Yu Jinem tersenyum, akhirnya ada juga pelanggan yang membeli dagangannya.
“Sudah, Bu?” tanya Yu Jinem.
“Sudah,” jawab perempuan tua.
“Jadi semuanya tujuh ribu saja, Bu,” ucap Yu Jinem tersenyum.
“Saya bayar dengan bunga ya,” jawab perempuan tua.
“Maksudnya, Bu?” tanya Yu Jinem.
“Ya, dengan bunga utang yang pernah kamu pinjam dulu,” jawab perempuan tua.
Perempuan tua itu pergi meninggalkan lapak Yu Jinem. Perempuan itu mendekat ke lapak milik Yu Sendot. Yu Sendot masih melayani pembeli yang lain.
“Ini ususnya, Bu,” Yu Sendot memberikan usus kepada pembeli.
Pembeli itu menerima usus dan menyerahkan uang sepuluh ribu kepada Yu Sendot. Yu Sendot mengibas-ibaskan uang di ayam potong dagangannya. Yu Sendot mengucapkan, “Laris manis tanjung kimpul, dagangan laris duit ngumpul.”
“Silakan, Bu, mau yang bagian apa?” tanya Yu Sendot.
“Bagian dada satu kilo saja,” jawab perempuan tua.
“Baik, Bu,” Yu Sendot menyiapkan daging yang bagian dada. Yu Sendot memotong-motong daging yang belum terpotong.
Yu Jinem masih memperhatikan Yu Sendot memotong-motong daging. Yu Sendot memotong daging dengan raut wajah yang bungah. Perempuan tua itu masih menunggu. Setelah selesai memotong, Yu Sendot menimbang daging yang dipesan oleh perempuan tua itu. Setelah dirasa timbangan sesuai, Yu Sendot memasukkan daging ke dalam plastik hitam gelap.
“Ini, Bu,” Yu Sendot menyerahkan satu plastik hitam yang berisi daging.
Perempuan tua itu menerima. Perempuan itu membalikkan badan dan berjalan.
“Bu, Bu, mau ke mana?” tanya Yu Sendot.
“Pulang,” jawab perempuan tua.
“Itu belum dibayar, semua jadi tiga puluh lima ribu,” jelas Yu Sendot.
“Saya bayar dengan bunga utang yang dulu pernah kamu pinjam,” jawab perempuan tua.
“Utang yang mana? Saya belum pernah utang kepada Anda,” Yu Sendot bingung.
Yu Sendot berjalan mendekat. Yu Sendot mengambil kembali satu plastik hitam yang berisi daging.
Yu Jinem yang melihat peristiwa itu langsung berjalan mendekat. Yu Jinem menghampiri Yu Sendot dan perempuan tua itu.
“Yu Sendot, berikan daging itu kepadanya, biar aku yang bayar,” ucap Yu Jinem.
Yu Sendot diam. Yu Jinem mengambil satu plastik hitam yang berisi daging dan memberikan kepada perempuan tua. Perempuan tua itu menerima daging yang kembali diberikan melalui Yu Jinem.
Perempuan itu membalikkan badan dengan tangan kanan menenteng dua tangkai bayam dan satu plastik putih berisi parutan kelapa, sedangkan di tangan kiri membawa satu plastik hitam yang berisi daging. Yu Sendot kembali ke lapaknya. Yu Jinem berjalan menuju lapak miliknya sendiri. Yu Jinem mengambil uang dari toples kaleng roti.
Yu Jinem berjalan menuju lapak milik Yu Sendot. Yu Jinem mempercepat langkah karena sudah melihat raut wajah Yu Sendot yang tak enak.
“Ini uang untuk membayar daging perempuan tua tadi, Yu,” ucap Yu Jinem.
“Tidak usah, Yu. Aku dari tadi belum melihat pelanggan yang datang sama sekali di lapakmu, tak tega aku bila harus menerima uang darimu,” jawab Yu Sendot.
“Tak apa, Yu, ambillah uang ini,” Yu Jinem memberikan uang kepada Yu Sendot.
Yu Sendot memasukkan uang pemberian Yu Jinem ke dalam sebuah laci kayu kecil. Yu Jinem masih duduk di area lapak milik Yu Sendot.
“Tadi itu siapa, Yu?” tanya Yu Sendot.
“Perempuan tua itu adalah orang baik, Yu,” jawab Yu Jinem.
“Baik apanya, orang belanja tidak mau bayar kok dibilang baik. Kamu ini gimana sih, Yu?” tanya Yu Sendot.
“Dia baik, Yu. Dulu, dia adalah seorang yang baik hati meminjami uang orang-orang di pasar dengan bunga yang sangat rendah. Namun, aku sendiri juga tak tahu, mengapa sekarang dia menjadi seperti itu,” jelas Yu Jinem.
“Kamu pernah meminjam uang padanya, Yu?” tanya Yu Sendot.
“Pernah,” jawab Yu Jinem.
Yu Sendot baru tahu jika orang yang baru saja tidak ingin membayar saat membeli daging di lapaknya dulu adalah orang kaya. Yu Sendot masih dengan raut wajah yang sinis ketika mengingat perempuan tua itu.
“Aku balik ke lapakku dulu ya, Yu,” ucap Yu Jinem.
“Iya, Yu,” jawab Yu Sendot.
Yu Jinem dan Yu Sendot kembali menunggu pembeli datang. Terlihat hari sudah mulai siang, pengunjung pasar semakin sedikit.
Perempuan tua yang tadi datang ke lapak milik Yu Jinem dan Yu Sendot sudah sampai di parkiran. Perempuan tua itu tak mengenakan kendaraan dan tidak diantar oleh siapa pun. Namun, perempuan tua itu mendekat ke arah tukang parkir.
Kang Miswar, tukang parkir yang telah mengabdi selama 25 tahun di pasar. Dia belum juga diangkat sebagai pegawai negeri seperti pekerja-pekerja pasar yang banyak masuk berita karena diangkat menjadi pegawai negeri karena telah mengabdi. Namun, Kang Miswar tetap setia untuk menjadi tukang parkir di pasar.
Kang Miswar melihat perempuan itu berjalan mendekat ke arahnya. Kang Miswar malah balik yang berjalan mendekat.
“Eh, Ibu. Apa kabar, Bu?” tanya Kang Miswar.
“Baik,” jawab perempuan tua.
“Alhamdulillah,” ucap Kang Miswar.
“Minta uang dua puluh ribu buat ngojek,” ucap perempuan tua.
“Oh iya-iya, Bu,” jawab Kang Miswar merogoh saku.
Kang Miswar tak banyak tanya, ia langsung memberikan uang dengan nominal dua puluh ribu yang terdiri dari uang dua ribuan, lima ribuan, dan sepuluh ribuan—hasil dari parkir. Perempuan tua itu menerima uang pemberian Kang Miswar.
Perempuan tua itu berjalan. Meninggalkan area parkir yang dijaga Kang Miswar. Kang Miswar tersenyum memperhatikan perempuan tua itu. Perempuan tua itu langsung menuju pangkalan ojek yang ada di sebelah kiri pintu utama pasar. Melihat perempuan tua yang mendekat, salah seorang tukang ojek itu bersiap untuk mengantar. Tukang ojek itu memberikan helm kepada perempuan tua. Tukang ojek sudah siap di atas motor. Perempuan tua itu juga sudah naik di atas motor. Perempuan itu berkata, “Itung-itung ini semua bunga utang dari kalian dulu yang meminjam uang padaku.” Tukang ojek tak terlalu jelas mendengar ucapan perempuan tua yang sedang diboncengnya. Namun, hanya terdengar samar-samar bahwa ada kata ‘utang’. Di dalam pikiran tukang ojek hanya berpikir, semoga perempuan tua itu membayar jasanya dan tidak mengutang padanya.