YA TUHAN, MENTALKU PASTI SEHAT

oleh: Tasya Puspa Maharani (Peserta Lomba Dies Natalis ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)

Malam ini terasa sangat dingin, aku merindukan ibu dan ayah, walaupun kami satu rumah, ibu dan ayah sudah istirahat. Sementara aku memandang putihnya dinding kamar tidur ku yang dihiasi dengan banyaknya lembaran kertas kecil berwarna-warni dengan kalimat penyemangat diri yang rutin ku tempel setiap ku ingin tidur, aku berharap saat terbangun dari tidur, aku dapat membacanya berulang-ulang, melupakan rasa lelah ku di hari kemarin dan bersemangat untuk hari yang baru. Ini adalah salah satu caraku untuk berdamai dengan diriku dan menjadi motivasiku untuk terus berjuang.  Namun, aku merasa berbeda sekali pada malam ini, biasanya aku menulis kata-kata yang penuh dengan semangat, seperti “Ayuk semangat belajar! Biar biar sukses, banggakan ibu dan ayah!” atau “Ayuk Tersenyum! Hapus air matamu, senyum mu itu menebar kebahagiaan”. Entah apa yang ada di kepalaku saat ini, firasat ku sangat tidak enak, seolah besok seperti akan ada badai besar dihidupku dan aku hanya ingin mengeluh, kepalaku terasa berat, aku tidak dapat membendung air mataku, mentalku sangat lelah, sangat lelah. Dengan berat aku mengambil secarik kertas kecil berwarna putih, dan menuliskan kalimat “YaTuhan, mentalku Harus Sehat”.

Nama ku  Viani Afa Maharani, aku akrab disapa Viani, Aku adalah seorang anak tunggal dan mahasiswi ditahun pertama pada Universitas Swasta di Jakarta, Aku memiliki banyak sekali luka sayatan di tangan kiri ku, aku menderita penyakit mental, yaitu mudah sekali cemas yang berlebihan, dan depresi serta sulit tidur. Maka dari itu aku sangat tertarik belajar isu-isu mengenai Kesehatan mental, khususnya Kesehatan mental bagi remaja seusiaku. 

Pagi hari ini, aku masuk kuliah seperti biasa, ku terbangun dengan mata yang sembab, dan mataku kembali fokus dengan kalimat “Ya Tuhan, Mentalku Harus Sehat” yang ku tulis semalam. Mendengar detik jam di dinding dan melihat bahwa waktu telah menunjukan pukul enam pagi, aku menghela nafas dengan berat, dan harus bangun dari tempat tidurku, lalu bergegas mandi dan bersiap. 

Sebelum aku pergi meninggalkan rumah, bibi  membuatkan sarapan kesukaanku, yaitu telur mata sapi yang dimasak setengah matang dengan roti yang sudah diolesi saus dan di isi dengan selada. 

“Silahkan non, ini sarapan dan segelas susunya. Ibu sama Bapak sudah pergi dari jam lima subuh, dan menitipkan uang saku sekolah nona” cakap bibi tersenyum sambil memberikan uang tersebut kepadaku dan dan menata piring dan segelas susu dihadapanku.

“Oh, iya bi, biasa, pasti mereka sibuk banget! Aku rindu deh bi dengan ayah dan ibu. Mereka baik-baik aja bi? Dan juga,  terima kasih banyak lho bi, rotinya wueeenaaak poll!” cakap ku tersenyum, sambil mengambil uang saku ku dan mengunyah sarapan ku.

“Sama-sama Non, makan yang banyak ya, Ibu dan Bapak sangat sehat non, namun hari ini mereka terlihat tidak bicara satu sama lain, Bapak sibuk dengan ponselnya dan sarapan di ruang makan kalau ibu sarapan dikamar”.  Jawab bibi heran sambil menyuci piring kotor.

Sambil melanjutkan makan ku, aku sudah biasa menjalani pagi hanya bersama bibi, kedua orangtua ku sudah terlebih dahulu berangkat kerja, mereka adalah pekerja keras, ibuku adalah salah satu seorang pemimpin perusahaan ritel di Jakarta, dan ayahku adalah seorang dokter bedah. Aku sangat jarang bertemu mereka, saat ku ingin sekolah mereka sudah terlebih dahulu pergi, dan saat ku pulang, mereka sudah istirahat. Aku selalu dihantui dengan rasa kesepian dan kecemasan. Dari usiaku delapan tahun, bibi sudah bekerja sebagai pembantu di rumahku. Mungkin dapat dikatakan aku ini lebih akrab dengan bibi dibandingkan dengan ibu ku, aku merasakan sosok ibu saat aku bersama bibi, ia begitu perhatian dan hangat, tak jarang aku membanding-bandingi ibu ku dengan sosok bibi secara personal terhadapku. Namun pagi ini, seperti yang bibi katakan, ibu dan ayah sedang bertengkar, seperti ada keterkaitan antara firasat buruk ku kemarin malam.

 

Setelah ku santap rotiku, aku bergegas pergi kuliah dan pamit dengan bibi yang sedang menyapu lantai ruang tamu.

“Bii, Viani jalan kuliah dulu yaaa” Teriak ku sambil memakai sepatu di teras rumah.

“Iya non, hati-hati ya! Bibi do’akan semoga sukses kuliahnya ya non” balas bibi yang terdengar samar di telingaku.  

Ku keluarkan ponsel dari saku jaket ku untuk menelepon ojek langgananku, Pak Wahid. Sama seperti bibi, Pak Wahid ini adalah ojek langganan dari usiaku masih 8 tahun. Pak Wahid tinggal tidak jauh dari komplek perumahan ku, selain menjadi tukang ojek, Pak Wahid juga bekerja sebagai kurir. Pak Wahid ini sangat jenaka, beliau sering kali membuatku tertawa karena berbagi cerita lucu kami baik di saat kami sedang berkendara menuju kampus atau menuju arah pulang. 

“Halo pak? Jemput Viani sekarang ya, Viani sudah tunggu di depan rumah, sudah siap berangkat” dengan tersenyum dan nada yang semangat. 

“Halo Non, okeee nonn, meluncuuuuurrrrrrr” cakap Pak Wahid dengan nada guyonnya.

Sambil menunggu kedatangan Pak Wahid, aku sedang membuka aplikasi Kesehatan mental yang sudah ku unggah beberapa bulan yang lalu di ponsel ku untuk mengkontrol emosi dan mentalku. Yang aku lakukan adalah menceklis kegiatan ku pagi hari ini, dan mengisi apa yang aku rasakan malam kemarin. 

“Halooo selamat dan semangat pagi Nona Viani !” sapa gembira Pak Wahid yang baru saja datang.

“Paaaaaaagi bapakk, waduh ceria banget nih, jadi mikin Viani makin semangat kuliah! Ayuk pak kita berangkat!! ” balasku ceria sambil menggunakan helm dan duduk di belakang Pak Wahid. 

“Si yayuk lagi menari, Yukkkkk Mariiiiiii” cakap Pak Wahid sambil perlahan mengendarai motornya.

Dari ekor mataku, ku lihat Pak Wahid melirik sedikit-sedikit memperhatikan ku dengan heran dari kaca spion, sebenarnya aku sudah menyadarinya, namun ku biarkan saja dan tidak bertanya karena ku pikir, dia sedang melihat kearah belakang dan kebetulan spionnya mengarah sedikit ke wajahku.

“Non, non baik-baik saja? Kok raut wajah non tidak seperti biasa, kan biasanya ceria, kok ini, kayak bebek ? manyun aja dari tadi, kenapa atuh matanya sembab? Abis nangis he-euh?” Tanya Pak Wahid sambil meniru mulut bebek dan tertawa dari spion.

“Ada apa atuh non? Cerita sok sama bapak, kali saja bapak bisa bantu” sambungnya.

Aku tidak kaget karena mengetahui Pak Wahid ternyata benar memperhatikan ku, aku ingin sekali berbagi cerita kepada Pak Wahid layaknya seperti biasa, aku bercerita mengenai kecemasan ku, apa yang sedang ku takuti, namun, untuk saat ini aku sangat bingung untuk merangkai kata, aku bingung harus memulai dari mana, bahkan aku tidak tahu alasan spesifik mengapa aku menangis dan sangat merasa tidak baik-baik saja pada malam kemarin. Yang kurasakan hanyalah lelah. 

“Ehhh, bapak tau aja nih, mata Viani sembab karena semalam itu Viani begadang bapak, belajar sampai larut untuk bersiap ujian dan kalau manyun ini, Viani mau memastikan kalau Viani manyun, apa aku masih cantik? Eeeehhh ternyata terlihat kayak bebek, hahaha” jawabku bohong.

“Oalah non, jangan begadang atuh, nanti matanya kayak panda ada item-itemnya, tidur yang cukup atuh non, nanti ibu sama bapak kalau tau non begadang marah, pasti mereka peduli sekali sama Nona Viani.

“siapp Pak Wahid, malam ini saja kok pak ! pekan ujian soalnya sudah tiga minggu lagi, jadi harus belajar giat!” balas ku.

Selama perjalanan sambil berfikir dari ucapan Pak Wahid, ibu dan ayahku mungkin tidak akan pernah marah, karena sebelum ku tidur, mereka sudah tidur duluan, mereka juga tidak pernah memastikan dan bertanya kepada bibi kalau aku sudah tidur atau belum.

“Alhamdulillah, Sudah sampai dengan selamat Non, hati-hati turunnya” cakap Pak Wahid sambil memegang tangan ku saat aku turun dari motornya.

“Terimakasih Pak Wahid sudah antar Viani, Pak Wahid hati-hati saat arah pulang ya!” balas ku sambil memberikan helm dan melambaikan tangan ku. 

“Siapppp Nonn, jalan dulu ya non, langsung antar paket bapak non, semangat kuliahnya ya!” ucap Pak Wahid sambil bergegas pergi.

Sambil melihat motor Pak Wahid semakin menjauh, kalau dipikir-pikir, mungkin itulah hangatnya kasih sayang seorang ayah, bahkan aku lupa kapan terakhir aku berbicara bersama ayah, karena ayah adalah dokter bedah yang harus siap sedia di rumah sakit dan jarang pulang karena ada dinas, atau operasi yang memakan waktu sampai berpuluh-puluh jam untuk menyelamatkan nyawa manusia, dan juga aku sangat paham itu adalah tanggung jawab yang mulia. Dan mungkin mengapa sifat ayah sangat dingin ketika di rumah, karena ia kelelahan atau membutuhkan ketenangan akibat bekerja terlalu keras. Sudah lah, mau bagaimanapun, ayah adalah orangtuaku. 

Ku mulai berjalan menuju kelas, sambil mendengarkan musik dengan earphone melalui ponselku. Dari arah berlawanan, ku melihat seseorang melambaikan tangan dengan senyum lebar kearah ku, ku berusaha mengenali wajahnya namun terlalu ramai. Dan dengan cepat ia menghampiriku.

“VIAAAAAANIII” teriaknya kencang sambil memeluk tubuhku

Ternyata ia adalah Rahma, teman pertama ku di kampus ini. Rahma adalah seseorang yang sangat supel dan bawel, kadang ku ingin sekali menjauh darinya beberapa saat karena teralu aktif dan berisik, namun begitu dia sangat perhatian dan peduli terhadapku. Hanya ia, Pak Wahid dan Bibi yang selalu setia menjadi tempat cerita ku. 

Sambil membalas pelukannya, ku sapa kembali Rahma dengan nada yang riang. 

“RAAAHHMMAAA! Yampun, aku pikir siapa, dari jauh tadi gak keliatan karena banyak orang, hihihi maafya, yuk kita ke kelas, kelas sudah mau mulai”

“Iyaaa, gapapa kali, dari tadi aku nungguin kamu, nih aku bawain kamu minuman coklat, awas panas!” balas Rahma sambil memberikan minumannya kepadaku. 

Dengan hati-hati ku ambil minuman tersebut, dan ku ucapkan terimakasih setelahnya. Rahma memang menjadi sosok kawan yang sangat peduli dengan Kesehatan mental ku, seberusaha mungkin Rahma berbicara baik-baik agar aku tidak kepikiran.

Sesampainya di ruang kelas, Rahma menyeret bangku dan duduk disebelah ku, dia melihat ku dengan heran, dan aku berusaha untuk memalingkan wajahku, karena aku tau pasti dia akan bertanya mengenai mata ku. Dan tak lama dia berbicara kepada ku dengan nada yang sedikit mengolok-olok

“Viaaaaniii pasti abis nangis ya? Gabisa bohong sama aku, karena aku tau, Viani ini jarang nangis dan jarang sembab, tapi ini terlihat sangat jelas kalau kamu itu abis nangis, yakan yakan ? ngakuuuuu”

Dan dengan senyum kecil, aku membalas pertanyaan Rahma dengan jawaban yang persis ku lontarlkan kepada Pak Wahid, aku harus berbohong supaya terlihat baik-baik saja, menghindari pertanyaan pertanyaan yang akan datang kepadaku. 

“Begadang? Demi belajar Ujian? Yaampun, Viani, gak perlu sampai segininya, kasian tuh mata kamu jadi sembab begini, Ujian masih tiga minggu lagi! Dijaga kesehatanmu dong, masa harus aku marah-marah terus sih??” balasnya dengan wajah yang marah namun aku tau itu adalah kepeduliannya terhadapku.

“Iya, iya Rahma, maafin Viani ya, gak lagi-lagi deh, suerrrr, hehehhehe” jawabku dengan tertawa dan nada yang santai.

Belum sempat membalas ucapanku, dosen telah memasuki kelas yang bertanda bahwa pelajaran akan dimulai. Aku harus fokus mengenai perkuliahan ini, karena aku yakin pasti akan keluar di soal ujian nanti, namun aku sulit sekali untuk fokus mendengarkan apa yang dikatakan dan membaca apa yang ditulis dosen saat itu. Biar begitu demi untuk membanggakan kedua orangtua ku, aku harus paksakan agar nilai ku sangat memuaskan saat ujian nanti.

Hari ini, aku hanya memiliki dua jadwal kuliah yang telah selesai ku ikuti. Seusai kelas, Rahma mengajak ku untuk pergi ke sebuah toko buku yang sedikit jauh dari kampus ku, dan setelahnya mengajak aku untuk makan siang bersama. Sebenarnya aku takut untuk merasakan bahagia, entah kenapa aku begitu yakin akan ada hal buruk menunggu ku.

“Eh Vi kita ke toko buku yuk? Sekalian makan. Aku laper banget nih, kepingin makan yang kuah-kuah deh, mau gak? Kita naik busway” 

Apa boleh buat, Tanpa ragu aku menerima ajakannya, namun aku harus memberi kabar kepada Pak Wahid terlebih dahulu untuk tidak perlu dijemput siang ini.

“Boleh, tapi aku hubungi Pak Wahid dulu ya” jawabku sambil mencari nomor Pak Wahid.

“Oke deh Vi, aku beresin tas ku dulu ya” jawab Rahma sambil membenahi buku-buku dan alat tulis ke dalam tasnya.

Aku mendengar dering telepon dan tanpa menunggu lama, Pak Wahid mengangkat panggilan ku

“Halo pak, pak sepertinya Viani tidak perlu dijemput dulu hari ini, karena mau keluar sama Rahma ke Toko Buku dan makan siang bersama. Sepertinya aku akan pulang telat dan akan menggunakan kendaraan umum saja” cakapku mendahului .

“Sudah bilang ibu dan bapak non? Apa perlu bapak yang bilangin?” jawab Pak Wahid khawatir

“Tenang saja pak, Viani sudah kirim pesan ke ibu barusan sebelum hubungi bapak” 

Lagi-lagi aku berbohong. Dalam benak ku, kapan ya terakhir kali aku menghubungi atau dihubungi ibu. Sepertinya sudah lama sekali setelah aku memintanya untuk datang di acara penyambutan mahasiswa dan mahasiswi. Itu pun ibu tidak datang, aku ditemani bibi saat itu. Ah aku tidak boleh berfikiran kemana-mana. Semuanya baik-baik saja.

“Baik non, siaap dehh kalau begitu aman ya non, hati hati dijalan non, kalau minta dijemput kabari bapak saja ya non” jawab Pak Wahid dengan lega

“Siap pak, Viani tutup ya teleponnya, terimakasih pak” cakapku mengakhiri panggilan tersebut.

“Bagaimana? Sudah ? Aman ?” tanya Rahma yang menungguku dan sudah siap untuk berangkat. 

“Sudah dong! Aman sekali dong! Mari kita cari buku dan makan siang bersama!” jawabku riang dan tersenyum lebar sambil merangkul pundak Rahma dan berjalan menuju halte busway tak jauh dari kampusku. 

Rahma sangat terlihat sekali kalau dia sangat khawatir kepada ku, dari cara duduk dan tersenyumnya yang seolah memaksakan untuk tersenyum menutupi ke khawatirannya. Aku berusaha untuk mengalihkan pikirannya dengan bertanya mengenai buku yang ia cari dan ingin beli. 

“Aku mau beli buku mengenai biografi dari Albert Einstein Vi, bagiku Albert Einstein itu sangat jenius dan memotivasiku dengan pemikiran-pemikirannya yang luar biasa, kalau kamu mau beli buku apa?” tanyanya kembali kepada ku. 

Itulah Rahma, dia sangat mudah dan suka sekali termotivasi, dia yang mengajariku untuk menulis kalimat-kalimat semangat pada secarik kertas yang ku tempel di dinding kamar ku. Namun untuk sekarang nampaknya aku masih belum tau akan membeli buku apa, aku sebenarnya tidak memiliki keinginan untuk membeli buku, ini hanya karena Rahma mengajak ku.

“Hmm, aku sebenarnya masih belum tau sih Ma, mau beli buku apa, nanti deh sesampainya di sana aku akan liat-liat dulu buku-buku yang sedang banyak diminati” Jawabku bingung. 

Sesampainya di toko buku, kami memutuskan untuk berpencar, dan aku ingin melihat-lihat sekitar. Langkah ku membawaku ke lorong buku “hukum”, “Cerita dan Fantasi” dan terhenti di lorong  “Kesehatan”. Banyak sekali buku mengenai anatomi manusia, mengenai obat-obat herbal, mengenai kekuatan do’a untuk Kesehatan, hingga Kesehatan mental. Dari banyaknya judul buku yang ku baca, aku sangat tertarik dengan buku di rak “Kesehatan Mental”. Ku mulai melihat-lihat judul yang sekiranya berkaitan dengan kehidupanku, mulai dari buku Cintai Dirimu , hingga Trik Jitu Berdamai Dengan Diri Sendiri.

Aku tertarik dengan buku “Berdamai Dengan Diri Sendiri” . Sepertinya aku akan membeli buku ini untuk menjadi teman di kamar ku. Dan ku lihat Rahma sudah mendapatkan buku yang ia cari. Setelah itu kami langung berjalan ke kasir untuk membayar buku kami masing-masing. Setelah membayar, Rahma sudah mengeluh lapar dan ingin buru-buru mencari kantin sekitar toko buku tersebut. Namun, aku merasakan ponsel ku bergetar, ketika ku lihat, ternyata yang menghubungiku adalah nomor telepon bibi yang sudah berkali-kali menghubungi ku.

“Ma, Sebentar ya, aku angkat telepon bibi dulu, sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan kepadaku” cakapku kepada Rahma sambil berjalan ke luar toko buku dan mengangkat panggilan bibi.

“Iya halo Bi? Maaf aku…..” 

“Non!! Non!! Pulang Non!!! Ibu sama Bapak bertengkar hebat ! Maaf bibi mengganggu waktu nona, tapi nona harus pulang sekarang !!! Secepatnya ya non!” 

“Tuut.. tutt… tut..” bunyi nada panggilan diakhiri.

Sambil terdiam kaku dengan posisi ponsel masih menempel di telingaku. 

Dalam hati ku bicara “Ada apa ini? Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, dan bibi sudah memotong kalimatku dengan nada yang sangat panik dan tergesa-gesa. Ibu ? Ayah? Ada apa diantara mereka? Kenapa?” . Aku merasakan sekujur tubuhku kaku dan gemetar, wajahku yang pucat membuat Rahma bertanya apa yang terjadi kepadaku. 

“Vi? Viani? Vi!” Rahma memanggil nama ku dengan menepuk pundak ku.

“Ada apa sih? Kok kaget gitu? Kayak abis di hipnotis lewat telepon-telepon nih! Kamu kenapa sih Vi?” lanjutnya bertanya 

Aku sedikit kaget atas tepukan pundak itu, berkata kepada Rahma bahwa aku harus bergegas untuk pulang.

“Rahma, Rahma maaf, kayaknya Viani harus pulang sekarang dan maaf gak bisa temenin Rahma makan, t.. t tapi aku harus pulang secepatnya Ma” Jawabku dengan gemetar dan nada yang panik. Aku bergegas lari untuk kembali ke halte busway dan meninggalkan Rahma yang kebingungan melihat ku. Terdengar samar di telingaku kalau Rahma menawarkan untuk memesankan Ojek Online, tapi aku hiraukan dan tetap berlari hingga menabrak-nabrak orang yang sedang berjalan. 

Sesampainya di halte dan buswaynya datang tepat waktu, aku menjadi pusat perhatian orang banyak karena wajahku pucat dan keringat sekujur wajahku. Aku Sudah tidak memperdulikan mereka, aku hanya ingin pulang. Pikiran dan hatiku saling bertaut, apakah ini firasat yang ku rasakan semalam? Apakah ini yang membuat salah satu aku ingin menangis? Entahlah, aku tidak akan tahu jawabannya sebelum aku pulang. 

Sesampainya di halte dekat rumah ku, aku berlari menuju pangkalan ojek sekitar halte dan tidak sengaja melihat Pak Wahid yang sedang duduk di atas motornya dan membaca koran harian.

“PPPAAAAAKKK, BAPAAAAKK , PAK WAHIIDDD, ANTERIN VIA PULANG!! PAK WAHID !!!” teriak ku dari kejauhan. 

Pak Wahid menyadari dan mendengar bahwa itu suara ku dan melihat ku sedang berlari-lari, seperti sudah sangat paham situasi, tanpa berlama-lama Pak Wahid menyalakan motornya dan menghampiriku. Aku yang sedang terengah-engah dan berkeringat bergegas naik ke atas motor Pak Wahid. Pak Wahid sepertinya sudah paham situasinya dan di sepanjang arah rumah, ia berusaha tidak menanyakan apapun kepada ku, ia hanya fokus untuk mengendarai motornya dengan hati-hati. Karena, mungkin baginya, ini adalah pertama kali ia melihat ku seperti ini.

Sesampainya di rumah, aku bahkan tidak sempat untuk berterimakasih kepada Pak Wahid yang sudah mengantar ku. Aku bergegas untuk lari dan memasuki rumah dengan sepatu yang masih terpasang di kaki ku. Saat ku buka pintu, ku lihat bahwa rumah ku berantakan, aku melihat bibi sedang membenahi beberapa serpihan kaca yang berserakan di lantai. Dengan gemetar dan membentung air mata, aku menghampiri bibi, berusaha bertanya dengan bibi namun aku tidak mampu. Bibi yang iba melihatku kelelahan dan menangis, memeluk ku dengan hangat, ini kali pertama selama Sembilan belas tahun aku hidup sebagai anak tunggal melihat kondisi rumah ku dan keluarga ku hancur seperti ini. Ini lebih dari dingin, ini menyeramkan. Aku mendengar ibu dan ayah masih berteriak-teriak emosi di lantai atas, saling melontarkan amarah, kepala ku sangat pusing. Banyak sekali pertanyaan dibenak ku. 

Aku di bawa ke dalam kamar bibi, bibi melihat wajah ku dan mengelap air mataku menggunakan daster yang ia kenakan, ia berusaha untuk menenangkan ku dan memberikan ku segelas air putih. Setelah ku meminum air putih itu, dan sedikit tenang, bibi mulai menceritakan awal mula mengapa ibu dan ayah seperti ini.

 

“Jadi non, bibi sedang menyirami tanaman depan, bibi melihat dari kejauhan mobil bapak yang datang dengan kecepatan tinggi, bibi dengan sigap membukakan gerbang dan membiarkan air dari selang mengalir kemana-mana, yang bibi dengar,  ibu dan bapak akan segera berpisah non, bibi tidak mengetahui kenapa alasannya, kalau ini, agar non saja yang bertanya nanti ketika semuanya sudah reda ya?” cakap bibi sambil menahan tangis dan mengusap rambut ku

Dengan kaget dan gemetar aku mendengar ibu dan ayah akan berpisah, aku bergegas lari menghampiri mereka yang sedang bertengkar di lantai atas, saking licinnya lantai dan aku tersandung tali sepatu ku, membuatku terjatuh dan lututku berdarah terkena tepi dari lantai tangga. Aku tetap teruskan untuk berlari dan menghampiri ibu ku.

Sesampainya di depan kamar ibu dan ayah, aku melihat tangan ayah sudah siap untuk menampar ibu yang sedang duduk menangis di tepi Kasur. 

“AYAH JANGAAAAAAAAAAAAAAAAN!!!!!!!!!!” dengan sigap aku berlari kearah ibu untuk melindungi ibu dari tamparan ayah.

“PLAKKKKKK” suara dari pipiku yang tertampar dengan ayah.

Seketika semuanya hening, aku hanya mendengar nafasku yang tersenggal-senggal. Aku juga melihat ekspresi ibu yang sangat kaget dan matanya yang sudah sembab di ikuti riasan wajah yang sudah memudar. Rasanya luar biasa sakit, seketika telingaku bersuara nyaring sekali yang membuatku pusing. Aku seketika terjatuh lemas di sebelah Kasur ibu. Ibu berusaha untuk membantu ku bangun dari posisi terbaring ku, ibu memeluk dan ku rasakan gemetar tubuh ibu ketakutan. Entah apa yang membuat ayah menjadi begini, aku jadi bertanya-tanya kepada diri ku sendiri.

“Viani!” bentak ayah yang membuat ku kaget ketakutan.

“Dengar, saya dan Wanita ini! Dia bukan ibu kandung mu , saya bukan ayah kandung mu! kamu itu kami adopsi sebagai anak kami ! kami urusi Kesehatan mental kamu ! dankamu harus tau karena masing-masing dari kami ini sibuk ,tidak mempunyai waktu untuk mengurus anak. Komitmen kami yang menyatakan kami tidak akan memiliki anak selain kamu, dan akan hanya fokus bekerja untuk masa depan kamu, semuanya dihancurkan dengan Wanita ini ! Dan perusahaan ritel milik saya yang dipimpin oleh Wanita ini, terancam bangkrut karena dia hanya fokus dengan dirinya dia sendiri ! Berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uang demi barang yang tidak jelas!. Cepat atau lambat Wanita ini harus keluar dari rumah ini!”. Penjelasan ayah dengan nada yang tinggi dan amarah yang sangat tidak stabil .

Aku hanya terdiam dengan air mata yang mengalir deras di pipiku, dan melihat ibu yang berdiri serta bergegas mengemasi barang-barang yang ada di lemarinya. Ayah meninggalkan kamar dan pergi keluar dengan mobilnya, aku bingung apa yang harus aku lakukan, apa yang harus aku katakan.  

Dalam benak ku, Apakah ini akhir dari keluarga ku?

Ya Tuhan, kepalaku pusing, apa yang terjadi? Apakah benar aku adalah anak adopsi? Namun jika benar begitu, aku menyayangi kedua orang tua angkatku walaupun mereka sangat dingin terhadapku. Ibu sangat cantik dan berbakat, aku sangat mengagumi sosoknya, ayah yang sangat bijaksana dan mulia. Aku sangat bersyukur memiliki mereka di dalam hidupku Ya Tuhan. 

Melihat ibu sudah selesai, aku berusaha untuk berdiri dan memeluk ibu, namun ibu mendorong ku sehingga ku terjatuh lagi sambil berkata dengan lantang dan menangis

“Kamu sudah dengar bukan? Apa yang dikatakan ayahmu itu? Jangan dekati saya! Sedikit pun saya tidak menyayangimu sebagai anak!” 

Ibu pergi meninggalkan kamar dengan membawa dua tas dan meninggalkan rumah, dan hanya aku tersisa sendiri di tengah kamar yang sangat berantakan dan dingin ini. Aku hanya terdiam terpaku dan menangis sambil bersimpu di lantai, aku mulai menjambak rambut di kepalaku, dan menjerit histeris. Seperti ada lubang di dadaku yang sedikit demi sedikit menjadi besar dan lebar, sakit sekali dadaku, pikiran ku kemana-mana. Lubang di dada ini membuat nafas ku sesak tidak karuan. 

Aku berusaha untuk berdiri dan berjalan  menuju kamar ku, aku melihat di tempat tidur ku, ada koper ayah yang berisi uang dengan selembar catatan untuk biaya kuliah ku, rumah sakit, makan dan keperluan ku dalam beberapa bulan yang akan datang. Dan tulisan “Ayah Sayang Viani”. 

Sambil memeluk tulisan dari ayah, aku menangis dan menjerit , lubang di dadaku seolah semakin besar, dan pandangan ku seketika fokus dengan kalimat “Ya Tuhan, Mentalku Harus Sehat” . Aku langsung berdiri dan merobek-robek kertas yang tertempel di dindingku tidak karuan, melempar setiap barang yang ada dihadapan ku, kamar ku seketika menjadi seperti kapal pecah.

“YAAAAA TUHAAAAAN, IBBBUUUUUU, AYAAAAAAAAAAH, PULAAANGGGG, Jangan tinggalin Viani sendirian! Viani sayang sama ibu, sama ayah, Viani memang merasa ibu dan ayah selama ini bersikap dingin dengan Viani, tapi itu semua karena ibu dan ayah lelah bekerja dan ingin istirahat tanpa Viani ganggu, Ibu Ayah, Pulanggggg, Adanya ibu dan ayah di rumah sudah membuat Viani kesepian, bagaimana ibu dan ayah tidak dirumah!! Setidaknya Viani mendengar suara Ibu berbicara dengan bibi! Setidaknya Viani mendengar suara mobil Ayah! Setidaknya Ibu dan Ayah menitipkan perhatian Ibu dan Ayah untuk Viani melalui Bibi dan Pak Wahid!!!!!!!! IBUUU , AYAAAAH PULAAANGGGGG !!!!!!”

Teriaku sambil menangis mengharapkan ibu dan ayah untuk pulang, aku sangat membenci diri ku sendiri, ketika seperti ini aku tidak bisa apa-apa, aku hanya bisa menangis dan aku merasa sangat depresi. Bibi saat itu datang ke kamar ku membawakan aku minum dan handuk kecil untuk mengusap air mataku, namun entah kenapa, pada saat itu, aku tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa, aku membentak bibi yang tidak salah apa-apa untuk keluar dari kamar ku. 

Aku hanya terbaring di lantai kamar ku, melihat foto masa kecil ku, aku sedang di pangku ibu dan ayah memeluk kami berdua. Kepala ku sangat sakit, saking sakit dan tertekan, hidung ku mimisan, mata ku kunang-kunang. Aku rasa aku hanya terlalu lelah hari ini, biarkan aku beristirahat sejenak hingga fajar tiba menyambut ku, siapa yang tahu kalau ayah dan ibu akan pulang. 

Aku mendengar suara ayam berkokok, yang menandakan ini sudah fajar, saat aku terbangun, aku tidak lagi melihat kalimat motivasi di dinding ku, mata ku hanya tertuju kepada foto kecil ku. 

Sambil menatap foto tersebut, aku berbicara dalam benak ku,

Depresi sama sekali bukan hal yang sepele, kondisi mental ini kemarin baik-baik saja, aku hanya merasa lelah, namun aku tidak merasa sehancur ini, situasi yang datang dan menghantamku diwaktu yang sangat tiba-tiba. Pada awalnya hanya menatap dinding kamar ku yang penuh dengan kertas yang bertuliskan kalimat motivasi untuk semangat. Sekarang hanya memandang putihnya dinding kamar ku. Aku sama sekali tidak dapat menjelaskan perasaan yang sedang ku alami, aku sama sekali tidak dapat memberikan alasan yang jelas mengapa aku menangis, kepalaku mendadak berat dan sekujur tubuh ku kaku, sendi ku kesakitan, mata yang sangat sembab. 

Terkadang aku berfikir bahwa ini hanyalah hari yang buruk saja, dan akan cepat berlalu. Namun sudah tiga hari lamanya aku mengurung diri di kamar dan tidak menyentuh makanan yang di bawakan oleh bibi, membiarkan ponsel ku bergetar tak henti-henti karena Rahma menghubungiku terus-terusan di sambung dengan nomor telepon teman-teman ku yang lain. Lamunanku hanya memikirkan bagaimana masa depan ku, juga,  kapan ayah dan ibu pulang. Hal-hal yang membuatku bersemangat, hanya menjadikan diriku acuh dan tidak acuh. Menjelaskan kondisiku sekarang pada teman-teman ku juga bukan lah pilihan yang tepat. 

Entahlah, aku sangat merasa hampa dan dingin. Berkali-kali aku membenturkan kepalaku ke dinding kamar ku, mencakar-cakar wajahku, memukul-mukul dadaku. Aku merasa aku tidak ingin melihat wajahku, aku sangat merasa ingin menghilang dari muka bumi ini, aku merasa aku hanya menjadi beban ibu dan ayah saja, aku merasa aku ini tidak berguna. 

Malam itu, yang aku fikirkan hanyalah bagaimana caranya aku pergi dari dunia ini, aku merasa sangat tidak pantas untuk hidup, mulai dari fakta bahwa aku ini anak adopsi, yang berarti aku telah dibuang atas ketidakinginan keluarga kandungku memiliki ku. 

Mentalku sangat berantakan, aku tidak baik-baik saja. 

Aku berdiri dan mulai meminum empat obat tidur dan obat demam di laci kamar ku, aku merasa dadaku amat sesak, perut ku sakit dan aku berbaring di kamar hanya berharap bibi atau siapapun datang ke kamar dan memeluk ku. Aku merasa mulai tak sadarkan diri , lalu juga seperti ada busa di mulut ku. Pikirku hanya bagus lah, ini yang aku harapkan, lebih baik jika aku pergi. Ketika ingin ku pejamkan mata, aku melihat pintu kamar ku di dobrak oleh seseorang di ikuti oleh bibi, dan itu adalah Pak Wahid. Pak Wahid dan Bibi.

“Nit.. nit.. nit..” suara dari alat elektrokardiograf . 

Aku membuka mataku perlahan, aku sangat lemas dan haus. Aku menoleh ke kanan dan melihat bibi sedang tidur menunduk di kursi sebelah ku, aku mengangkat tangan kanan ku dan melihat bahwa ada selang infus dan selang oksigen di hidung ku. Aku merasakan wajahku sangat perih akibat luka cakar. Aku menghela nafas panjang, dan membuat bibi terbangun.

“Non! Non Viani! Dokter !! Dokter !!” Bibi yang senang dengan sigap memanggil dokter jaga, untuk memeriksa kondisi ku. 

Dokter menjelaskan bahwa aku tidak memperdulikan Kesehatan ku dengan ingin mengakhiri hidupku mengunakan obat tidur dan obat demam dengan dosis yang tinggi, namun syukurnya aku cepat dilarikan ke rumah sakit dan cepat di tangani dari overdosis obat. Dengan rutin kondisi fisik ku diperhatikan oleh dokter selama satu minggu masa pemulihan. Dokter juga memberikan saran kepada Bibi untuk membawaku ke psikiater. Agar mental ku juga dapat diperhatikan dengan baik. Bibi akan membantu melakukan yang terbaik buat ku, bibi juga dikirimi uang oleh ayah untuk membayar rumah sakit. 

Sambil menangis dan mengusap kepalaku, bibi berkata

“Hampir saja bibi kehilangan nona, jangan begitu lagi ya non, bibi sayang sama nona, bibi sudah telepon bapak dan ibu, nanti bapak akan datang, bapak sedang perjalanan pulang dari dinas di Singapura, sudah satu minggu semenjak bapak pergi meninggalkan rumah. Ibu akan datang ke sini non, akan bertemu dengan nona”

Mendengar perkataan bibi, aku hanya bisa meneteskan air mata dan mengangguk. Ibu, ayah, kalianlah sumber Kesehatan ku, aku ingin memeluk ibu dan ayah.

Beberapa jam kemudian, ketika aku sedang disuapi makan oleh bibi, dari pintu kamar opname ku lihat ayah dan ibu datang dan langsung memeluk ku, bersamaan, aku sangat merasa bahagia dan merasa akan cepat pulih. Aku tidak bisa berkata-kata, aku hanya menangis dan memeluk mereka. 

“Viani, maafin ayah dan ibu nak, maafin kami membuat Viani sakit, membuat Viani berantakan dan tidak memperdulikan Kesehatan mental yang Viani alami selama ini, kami terlalu sibuk untuk memikirkan pekerjaan kami hingga kami tidak ada waktu untuk memperdulikan Viani, kami tarik kata-kata kami yang kemarin ya nak, maafkan kami, kamu anak kesayangan kami satu-satunya nak. Kami akan memberbaiki semua yang sudah terjadi dengan baik dan pelan-pelan agar viani sembuh” ucap ayah ku sambil menangis memeluk ku, biar pun aku sakit, aku merasa sangat hangat dan bahagia.

“Ibu selalu bertanya kepada bibi mengenai pola tidur Viani, bertanya kepada Pak Wahid bagaimana hari kamu nak,karena kami terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan kami masing-masing. Viani tidak boleh cakar-cakar wajah Viani seperti ini ya nak, walaupun bibi sudah berusaha menjauhkan kamu dari sesuatu yang tajam, bukan berarti Viani menyakiti diri Viani dengan kuku. Tetap tidak boleh nak, anak ibu kan cantik, sehat ya sayang” sambung ibu yang sangat sedih melihat beberapa luka cakaran yang membekas basah diwajaku .

Melihat ini bibi pergi keluar untuk memberikan kami waktu. Aku tidak bisa berkata banyak kepada ayah dan ibu, selain aku bangga berada di keluarga ini, dan aku tidak menyesal ada di sini. Dan dari buku yang sudah ku baca mengenai “Berdamai Dengan Diri Sendiri” mengajariku salah satu cara untuk bahagia adalah memaafkan orang yang melukai kita, maafkanlah diri kita, ikhlaskan lah yang sudah terjadi. Dan berterimakasihlah kepada diri kita.

“Ibu, ayah, Viani sudah maafin ibu dan ayah, viani sangat bangga mempunyai orang tua seperti ibu dan ayah, Viani bangga tinggal bersama ayah dan ibu, meskipun dingin dan sepi, tapi mendengar mobil ayah dan ibu sampai rumah atau pergi cukup membuat Viani tenang, jangan tinggalin Viani sendirian lagi bu, yah” 

Ibu dan ayah berjanji untuk tidak meninggalkan ku lagi, dan aku percaya bahwa aku hanya membutuhkan keluarga yang peduli sebagai obat untuk sehat.

Setelah kejadian itu ayah dan ibu rutin menemani ku untuk periksa dan kontrol kesehatan mental ku ke psikiater rumah sakit ternama di Jakarta, aku juga sudah mulai lebih mudah untuk fokus dengan ujian ku yang waktunya semakin dekat. Setiap ingin berangkat kuliah, ayah dan ibu menyempatkan diri untuk berbicara hangat dengan ku. Aku sangat bahagia. Kehidupan ku sekarang semuanya sudah jauh lebih indah.

“Terimakasih YaTuhan, Mentalku Pasti Sehat”.

Share this post

Tinggalkan Balasan