oleh: Ni Pt Elisa Juniantari Dewi (Peserta Lomba Cerpen Dies Natalis ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Tumbuh bersama ilusi, Tanpa mengenal adanya realita. Pernahkah kalian mengalami itu? Atau kalian menginginkan hidup seperti itu?
Skizofrenia, Penyakit gangguan mental yang menyebabkan kita mengalami halusinasi berkepanjangan. Disaat kamu mengidap penyakit tersebut maka yang akan kamu rasakan adalah mengalami delusi, kekacauan dalam berfikir, mengasingkan diri hingga kemungkinan besarnya yang lain merupakan perubahan perilaku. Penyakit ini juga bukan sembarang penyakit, Dikatakan bahwa yang mengidap penyakit ini banyak yang meninggal di usia muda.
Namanya juga penyakit, Baik itu kecil maupun besar. Tetap saja berbahaya. Apalagi kalau tidak ada penanganan sama sekali untuk mencegahnya.
‘Selamat pagi!!.’
Sesuatu menyembul keluar dari samping bahuku, bersama dengan lengkungan hangat yang menghiasi matanya. Bentuknya seperti kelinci namun bukan juga di kategorikan seperti itu. Rupanya lebih mirip seperti Doraemon namun versi kelincinya.
“Pagi.” Balasku sambil ikut tersenyum padanya. Mendekat ke arah nakas di dekatku lalu membuka laci paling atas dengan tujuan mengambil sebuah plastik khusus berisi beberapa tablet di dalamnya. “Kau mau meminum itu lagi?.” Tanya doraemon versi kelinci itu. Aku hanya merespon dengan menganggukkan kepala.”Kau sakit?” Tanyanya lagi. Tangan yang tadinya hendak mengambil tablet dari tepatnya kini terhenti karena pertanyaan tersebut.
Jika boleh jujur, Aku sendiri bingung bagaimana hal di sampingku itu tercipta. Namun tidak bisa di pungkiri, Bahwa faktanya yang menciptakannya adalah aku sendiri.
Kalau tidak di beritahu oleh orang tuaku juga mungkin saja aku akan terus beranggapan bahwa hal yang di pundakku ini ‘nyata’ sedangkan yang di sekitarnya adalah ilusi. Awalnya memang tidak semudah itu aku menaruh kepercayaan bahwa opiniku ini salah namun lama kelamaan akupun dapat membuka pikiranku. Aku mulai terapi dan minum obat-obatan yang sudah dianjurkan.
Walaupun efeknya sangat lamban untuk dirasakan atau mungkin sekarang masih belum ada efek apapun namun keyakinan dari orang tuaku bahwa aku akan sembuhpun membuatku percaya bahwa aku akan sembuh nantinya. Terkadang terbesit pertanyaan di kepalaku, Apa yang terjadi dengan ku jika Sasa -Makhluk menyerupai kelinci itu– menghilang dari hidupku ini? Masih sanggupkah aku menjalani hari?
Dia hanya sesuatu yang ku buat dari imajinasiku jadi cepat atau lambat aku harus siap saat dirinya menghilang. Sama halnya denganku yang manusia biasa ini, cepat atau lambat pasti harus kembali ke tempat sang pencipta.
Mari jauhkan pikiran ke arah yang lebih menyenangkan dulu. Jika memang perpisahan akan datang maka mengabadikan kenangan adalah solusinya. Jadi aku berencana untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan sampai waktu perpisahanku dengannya menjemput.
“Hey, Sasa. Ingin melakukan sesuatu yang menyenangkan?.” Tanyaku dengan maksud menghindari pertanyaannya tadi.
Makhluk tersebut mengerutkan keningnya, “Sesuatu seperti apa itu?.” Tanyanya balik. Aku terkekeh sebentar lalu mengambil sebuah buku gambar serta pensil warna. “Sesuatu seperti ini!!.” Seru ku girang.
“Mari kita menggambar!.” Ajak ku. Dia terlihat senang dengan tangannya yang di tepuk terus olehnya. “Ayo! Sasa suka menggambar!.” Racaunya senang.
Kami menggambar diri kami sendiri, lebih tepatnya jika di lihat oleh orang lain. Akulah yang menggambar diriku dengannya. Benar kata orang, Kenyataan itu menyakitkan.
Pensil warna menari-nari menghias kertas yang tadinya hanya berisi coretan hitam. Sedikit demi sedikit terisi oleh warna. Namun faktanya, jika tidak ada warna putih maka warna – warna tadi tidak mungkin bisa ada keberadaanya.
Sama seperti keberadaan sasa sekarang. Mungkin jika aku tidak pernah tau mengenainya, aku tidak bisa membedakan dunia yang nyata ataupun yang tidak. Karena dirinya juga aku tidak merasakan kesepian selama ini. Begitu berpengaruh kehadirannya untukku, terlintas terus pertanyaan kesanggupanku tanpa ada dirinya.
Aku menepuk kedua pipiku, ‘Sadarlah! Ini saatnya bersenang-senang, bukan untuk merana ataupun memikirkan nasibku kelak.’ batinku.
“Ada apa? Kau baik-baik sajakan?.” Tanya sasa padaku. Aku meliriknya, “Ya, Aku baik-baik saja haha… ” Ujarku sambil tertawa hambar.
Singkatnya. Hari sudah berganti tahun, dan aku sudah di diagnosis sembuh dari penyakit tersebut. Umurkupun sudah mencapai kepala 3 sekarang. Tapi ingatan tentang sosok kecil itu masih bersamaku. Tidak ada lagi suara serta sosok yang selalu menemaniku itu. Walaupun aku sudah mulai beradaptasi dengan dunia luar entah kenapa aku masih merasa kosong.
Mataku tak sengaja melihat bulan yang sudah berganti tugas dengan matahari, sinarnya menerpa wajah sayuku. Tak sengaja kenangan bersamanya melintas. Saat itu bulan purnama bersinar penuh di langit, sama seperti yang ku lihat hari ini.
Kami duduk di teras sambil menatap langit. Kakinya diayunkannya olehnya, “Tidakkah bulannya cantik?” Ucapnya membelah keheningan di antara kami. Aku menoleh padanya, sedikit bingung dengan maksud dari ucapannya. Bukankah bulan memang cantik mengapa sosok di sampingnya itu bertanya lagi soal itu?, Heranku saat itu.
Tidak mau berfikir panjang lagi, aku mengangguk mengiyakannya. “Begitulah” Gumamku sambil menatap bulan lagi. Tangannya menyentuh tanganku, “Ada kata yang harus aku katakan padamu” Ujarnya dengan tatapan serius padaku. Aku terkekeh pelan, “Apa itu? Katakan saja” Ucapku.
“Aku tidak mengetahui apa itu perasaan namun entah mengapa aku merasa kita akan berpisah dan tidak akan bertemu lagi, jadi aku ingin mengucapkan ini padamu.terima kasih karena telah menjadi temanku dan maaf karena sudah membelenggumu selama ini” Jelasnya sambil menatapku. Air mataku jatuh saat itu, Kesedihan yang ku bendung sedemikian mungkin jadi hancur karena ucapannya. Dari sejak itu, indraku yang mulanya hanya meyakini ilusi sekarang malah beralih pada kenyataan.
Tiba-tiba pintu ruang kerjaku di buka oleh seseorang yang tidak lain adalah keponakanku sendiri. “Bibi!!” Serunya sambil berlari menghampiriku. “Aku ada hadiah buat bibi!” Ucapnya dengan girang, “Apa itu?” Tanyaku sambil tersenyum tipis. Dia menyodorkan tangan dengan benda yang di genggamannya itu.
Aku terkejut saat melihat benda yang di pegangnya. “Tadaaa!! Boneka kelinci ini untuk bibi! Namanya sasa, jaga baik-baik loh ya! Awas aja sampai rusak, nanti aku gak mau ketemu bibi lagi” Ujarnya dengan girang dan tidak lupa dengan pipinya yang sengaja di kembungkan.
Aku terdiam menatap boneka tersebut. Melihat tidak ada reaksi yang kunjung aku berikan pada keponakanku, awalnya dia ingin membuka suaranya untuk menanyakanku soal boneka pemberiannya tersebut namun terhenti saat adikku yang merupakan ibunya memanggilnya untuk makan terlebih dahulu. Alhasih boneka tersebut dengan paksa diberikannya padaku.
Saat pintuku tertutup lagi. Tanganku bergemetar, Air mataku lagi-lagi tidak bisa di bendung. “Aku.. ” Aku menjeda kalimatku. “Aku juga sangat berterima kasih padamu karena telah hadir dalam hidupku. Terima kasih sudah membantuku bangkit dari keterpurukan. Terima kasih telah menjadi teman pertamaku. Terima kasih karena telah mengajarkanku banyak hal. Terima kasih untuk semuanya.” Ucapku sambil memeluk erat boneka tersebut seolah-olah sasalah yang berada di pelukanku sekarang.
‘Terkadang, Penyakitpun dapat mengajarkan kita suatu hal.‘
Komentar