oleh: Syafirra Setyani (Peserta Lomba Cerpen Dies Natalis ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Gendhis kembali bermimpi perihal keterlibatan kakaknya dalam pasal pemberontakan penebangan hutan oleh perusahaan nasional. Terhitung, empat tahun sudah ia terpisah dari kakaknya. Seolah ada peraturan misteri, mereka terpisah tanpa keterangan pasti.
Sementara Gendhis menunggu mi instannya matang, tangannya menari-nari di atas lembaran putih bergaris. Sesekali giginya bergemeletuk ketika kembali mengingat kejadian yang lalu itu.
Denmas Rama yang Gendhis doakan selalu sehat,
Tadi malam Ayah datang hanya untuk mengambil tabungan terakhir Mama. Gendhis coba menanyakan tentang Bulek Sulastri dan adik-adik, tapi Ayah memilih bungkam dan berlalu dengan BMW putihnya. Seragam lengkap sepertinya cukup menandakan Ayah sedang buru-buru. Entahlah, mungkin akan terbang ke Eropa atau Amerika lagi.
Gendhis tidak tahu harus bagaimana. Denmas Rama tidak pernah mengabari Gendhis soal keadaan di sana. Padahal, Gendhis tidaklah terlalu sibuk untuk hanya mendengarkan Denmas bercerita tentang dinginnya sel tahanan dan sangarnya senior kriminal. Kalau Denmas mau mencoba telepon, Gendhis insyaallah luang di hari Rabu dan Minggu.
Tidak ada yang pernah berdoa agar diberi hidup yang benar-benar menjengkelkan. Toh, Tuhan juga adil pada makhluk-Nya. Contohnya, Cimot. Minggu lalu dia melahirkan tiga anak berbulu yang lucu sekali. Terlepas dari kakinya yang hilang satu bulan lalu, Cimot terlihat bahagia dengan bayinya sekarang. Atau Denmas juga bisa melihat Bayu. Anak itu kembali dapat kejuaraan renang di tengah carut-marut kebangkrutan ayahnya.
Tapi keadilan rupanya belum mau berpihak pada Gendhis. Denmas yang Gendhis punya, terpaksa berpisah sementara sejauh ribuan kilometer. Gendhis tidak tahu Denmas sudah makan atau belum, makanannya enak atau tidak, tidurnya bagaimana, temannya siapa. Tahu tidak, sih? Gendhis sekarang hanya mau peluk Denmas. Gendhis tidak peduli orang-orang memandang sinis rumah ini atas “kasus” Denmas.
Gendhis ingat waktu Denmas berjanji membelikan Mama kalung mutiara mainan di alun-alun. Saat itu, Mama langsung cemberut sepanjang pulang ke rumah. Denmas juga pernah, kan, berjanji membelikan Ayah mobil baru. Katanya, mobil Ayah kalau dipakai beberapa meter saja sudah berasap. Ternyata Ayah betul-betul mendapat mobil, seukuran Cimot yang masih berumur dua bulan. Perut Gendhis sampai mulas melihat kelakuan Denmas.
Oh, ya, Gendhis datang ke pameran lukisan kemarin. Ada satu lukisan tentang lansia yang menjadi badut di perempatan kota. Dia tengah menikmati nasi dengan balutan daun pisang. Tiga porsi pun rupanya tak akan cukup mengenyangkan cacing-cacing di perutnya. Pemandu juga mengajak Gendhis bertemu Si Pelukis. Masih muda. Ganteng kaya Denmas, hehe. Namanya Juna. Mas Juna mendapat inspirasi waktu buru-buru berangkat kerja. Betul ada, loh, Denmas. Lansia itu sedang menyantap nasi bungkus sambil sesekali menyeka peluhnya. Kata Mas Juna, perawakannya sudah bungkuk, kerutannya dari jauh pun sudah terlihat, giginya juga sepertinya sudah habis. Mungkin sekitar 60-70 tahun. Gendhis sedikit terpaku ketika Mas Juna bercerita tentang kakinya yang seperti Cimot, hilang satu. Lansia itu memakai kaki palsu untuk membantunya menjadi badut. Mas Juna akhirnya mengambil cuti hari itu. Dia mengantar Si Lansia pulang.
Mas Juna sempat menghela napas sejenak, sebelum kembali melanjutkan kisahnya. Sebuah gubuk triplek yang kerap bergoyang diterpa angin, menyapa kedatangan Mas Juna dan Mbah Tus. Iya, nama badut lansia itu Mbah Tus. Hanya ada ceret sehitam jelaga di meja serbaguna. Satu meja, berjuta fungsi. Oleh karena itu, Mas Juna menyebutnya meja serbaguna. Mas Juna baru tahu kalau Mbah Tus memang tinggal sendiri. Putra sulungnya meninggal tujuh tahun lalu, sedangkan Si Bungsu tidak pernah pulang sejak mengirimi surat dan tiga juta rupiah dari Mesir. Mbah Tus terus berusaha bertahan hidup. Katanya, beliau pernah hanya menggigit jari melihat tetangganya yang pegawai negeri menerima bantuan dari pemerintah. Mau protes pun tidak punya kuasa. Kejawennya yang sampai sekarang masih dipegang erat, sering digunjingkan perangkat desa sebagai penyebabnya tidak pernah menerima uluran tangan pemerintah. Gendhis yakin Denmas akan marah ketika mendengar cerita ini. Seolah penghayat kepercayaan tidak pantas hidup sejahtera..
Mas Juna berhenti bercerita sewaktu istrinya menelepon, katanya hari itu adalah hari sidang perceraiannya. Haha, Gendhis tidak tahu kenapa, tapi kemarin Gendhis langsung teringat pada Denmas. Ingat tidak, sih, hanya Denmas yang berani menentang Ayah dan kelakuan bejatnya. Gendhis selalu merinding setiap kembali mengingat hakim yang lebat kumisnya itu. Kita berdua tertawa bersama ketika tahu hakim itu korupsi dan dipenjara. Eh, penjara atau hotel, ya, Denmas? Sudah sombong, sok necis, sok gaul, dan sok-sok yang lainnya. Kalau bisa bertemu lagi, sudah Gendhis gulung hakim itu.
Gendhis bersandar sejenak pada kursi tempatnya duduk. Ia memutar-mutar pena sembari menatap atap-atap rumah. Matanya melirik foto keluarga yang masih tergantung rapi dengan pigura mutiara kesukaan ibunya. Nota 30 juta rupiah Gendhis temukan di meja dekat televisi. Seumur hidup, baru kali itu Gendhis melihat pigura foto seharga puluhan juta rupiah. Namun, mutiara yang melekat sempurna pada pigura tak mampu merekatkan hubungan ayah dan ibunya.
Gendhis terperanjak ketika mengingat mi instannya yang mungkin sudah matang dari tadi. Bergegas, ia pergi ke dapur. Mi instannya kini dalam keadaan mengenaskan. Tak ayal, ia pun merasa kecewa. Gendhis sudah membayangkan mi instan bonus telur yang membuat air liur menetes, tetapi sirna karena kelalaiannya sendiri.
“Kalau Denmas tahu kelakuan Gendhis, pasti Denmas bilang seperti ini, kasihan mi instan mahal Denmas jadi seonggok makanan tak berdaya,” tutur Gendhis dengan menirukan gaya bicara Rama. Ia tertawa terbahak-bahak sebelum akhirnya menghentikannya. Tidak ada Rama yang sering menemaninya bersenda gurau. Tidak ada Rama yang akan meledeknya ketika tidak dapat menikmati lezatnya seblak buatan Mbok Tinah.
Gadis 21 tahun itu kembali duduk, menatap nanar surat yang sudah ditulisnya panjang-panjang. Perlahan, jemari lentiknya mengukir lagi alinea per alinea, tempatnya menuangkan keluh kesah kepada Rama.
Entah Denmas akan baca surat ini atau tidak, tapi Gendhis harap Denmas bisa bersabar dengan ocehan-ocehan receh Gendhis.
Kalau mengingat Ayah dan Mama, Gendhis masih berharap bisa memeluk mereka bersama. Ya, meskipun Gendhis sudah mulai membuka hati untuk Dhira, bayi imut yang suka makan martabak manis, juga Bulek Sulastri dan anak-anaknya yang lain. Tidak ada seorang anak yang menginginkan orang tuanya berpisah. Gendhis tahu Mama masih sayang Ayah, tapi Gendhis juga tahu kalau rumah tangga mereka rentan untuk dilanjutkan.
Tidak pernah tersirat dalam benak Gendhis, mungkin juga Denmas, dua perempuan Ayah bawa pulang ke rumah. Setelah kecurigaan panjang, adu mulut tak terbantahkan antara Denmas dan Ayah, wanita yang dulu sangat Gendhis benci akhirnya menampakkan batang hidungnya. Gendhis ingat Denmas hanya menundukkan kepala dengan raut penuh amarah. Belum empat puluh hari makam adik kering, Ayah meminta izin menghalalkan wanita paruh baya yang tengah menggandeng anak perempuannya. Gendhis ingin sekali menentang keinginan Ayah, tapi Gendhis lebih teriris melihat Mama terduduk lesu sambil memeluk foto almarhum adik kecil kita. Jika Ayah menemani persalinan Mama, mungkin adik kecil kita kini sudah menjadi anak yang tampan dan pintar.
Andai tidak ada karir di atas hubungan keluarga, Gendhis yakin Denmas sudah menghakimi Ayah terang-terangan di muka para bos biadabnya. Bagaimana mungkin seorang terhormat yang berpendidikan tinggi, jelas-jelas menutupi hubungan terlarang anak buahnya. Lebih baik makan nasi pakai garam daripada tabungan terisi uang milyaran, tapi keluarga dipertaruhkan.
Seolah kepingan memori itu tak pernah hilang, Gendhis tahu saat Denmas pulang dengan keadaan semakin kacau. Namanya Sulastri. Wanita yang berhasil menjadi madu Ayah selama tiga tahun lebih. Hebatnya lagi, wanita yang kini kita panggil Bulek Sulastri itu, tidak pernah berhenti mengagung-agungkan orang tuanya yang anggota dewan. Apa hebatnya, sih, menjadi anggota dewan jika hanya numpang tidur di ruang ber-AC tanpa pernah bicara soal aspirasi rakyatnya. Kelakuan anaknya saja tak pernah diperhatikan, atau memang sengaja ditutup-tutupi. Entahlah. Mbok Tinah sempat melihat Denmas yang bahkan rela menjatuhkan harga diri, bersujud di kaki Ayah, agar Ayah dapat kembali ke rumah ini.
Memperbaiki gelas yang sudah pecah memang tak akan bisa, tapi Mama dengan lapang dada membiarkan Ayah mendua sembari merapalkan doa. Hanya Tuhan yang saat itu kita punya. Mama bahkan mengajak Bulek Sulastri memasak kue bersama, mengajari anak perempuannya membaca dan berhitung, serta membelikan apapun yang anak itu inginkan.
Saat itu, cinta pertama Gendhis sudah patah. Gendhis tidak lagi percaya pada laki-laki. Gendhis menganggap semua laki-laki seperti Ayah. Namun, melihat Denmas yang begitu gigih memperjuangkan kita sebagai bagian janji suci Ayah, Gendhis akhirnya tahu bahwa masih ada laki-laki seperti Denmas yang tidak hanya memikirkan nafsu belaka.
Setitik air mata jatuh. Gendhis membenamkan wajahnya pada lipatan tangan, membiarkan lebih banyak bulir membasahi kertas bergaris itu. Ia ingin teriak. Ia ingin meluapkan semua emosi yang menyesakkan dadanya.
Gendhis berkali-kali menghirup napas dalam. Oksigen yang melimpah seakan tak mampu mencukupi kebutuhan paru-parunya. Drama perceraian keluarga membuatnya sangat lelah, belum lagi kepergian ibunya serta penangkapan kakaknya.
Ini surat ke seratus dua puluh yang Gendhis tulis untuk Denmas. Sejak surat pertama, Gendhis tidak berharap dibalas. Gendhis hanya ingin Denmas tahu kalau Gendhis masih di sini. Gendhis masih akan terus memperjuangkan hak Denmas sampai kita bisa berkumpul lagi. Gendhis tidak akan pernah tahu apa yang Denmas rasakan di sana, tapi melalui surat ini Gendhis ingin menjadi teman Denmas berbagi semuanya.
Entah akan ada berapa kali lagi sidang dilakukan. Entah akan ada berapa kali lagi ketidakadilan terjadi. Denmas mungkin sudah lelah. Gendhis tahu, Denmas ratusan kali bersuara, mungkin tenggorokan Denmas sudah tak mampu kembali mengeluarkan kata-kata yang sama. Namun, Gendhis berharap Denmas tidak menyerah. Gendhis dan Mas Fajar tidak akan lelah mencoba. Denmas berhak mendapatkan kebebasan lagi. Denmas berhak mengajar lagi, bertemu anak-anak hebat, keliling Indonesia. Denmas berhak membaktikan diri lagi pada masyarakat.
Doakan Gendhis dan Mas Fajar, ya, Denmas. Semoga masih ada keajaiban. Semoga masih ada hakim yang benar-benar bekerja untuk keadilan. Kita sudah berkali-kali melewati badai yang sama. Kita harus sama-sama berpegangan tangan agar kapal kita masih sama kuatnya.
Denmas sehat-sehat di sana,
Gendhis rindu,
Gendhis mau peluk Denmas,
Gendhis mau ajak Denmas bertemu Dhira,
Gendhis mau ajak Denmas mencoba soto ayam Bulek Sulastri,
Gendhis mau ajak Denmas mencoba seblaknya Mbok Tinah lagi,
Denmas jangan lelah mencoba,
Denmas punya kekuatan Tuhan yang luar biasa,
Denmas punya Gendhis dan Mas Fajar,
Denmas pasti bisa kembali bebas.
Gendhis tidak keberatan kalau Denmas minta dibawakan makanan. Apapun. Denmas tinggal tulis pesanannya. Nanti Gendhis antarkan.
Surat ini Gendhis tulis saat mi instan mahal Denmas jadi seonggok makanan tak berdaya.
Dari Gendhis yang sudah mau sarjana.
Gendhis memandang tulisannya sejenak, lalu melipat dan memasukkannya ke dalam amplop.
“Gendhis sayang Denmas,” ujarnya dengan senyum penuh cinta.
Ia meraih sling bag biru pastel dipadukan kardigan dan sneakers berwarna senada. Wajahnya diberi riasan tipis untuk menutupi raut malangnya. Gendhis berjalan penuh harap menuju mobil Fajar yang telah menunggunya. Hari ini adalah jadwal sidang yang kesekian kali, entah hasil apa yang akan diputuskan hakim.
Kita kuat bersama, Denmas, batin Gendhis. Matanya beradu dengan binar mata Fajar, lalu mengangguk bersama. Lexus silver melaju kencang. Beriringan ditemani langit biru yang cerah, tempat anak-anak manusia menggantungkan harapan untuk kehidupan masa depan.
Komentar