PENGEMIS TUA YANG MENCARI BUNGA DI PASAR

Karya: Yogi Dwi Pradana (Peserta Lomba Cerpen dalam rangka Dies Natalis Ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)

 

Penjual di pasar banyak yang uring-uringan sendiri. Mereka sangat merasakan dampak adanya Pandemi Covid-19. Orang yang belanja di pasar semakin berkurang. Orang-orang takut keluar rumah. Penghasilan penjual di pasar menurun drastis. Ditambah banyaknya pengemis yang silih berganti untuk meminta-minta membuat penjual di pasar semakin memuncak amarahnya. Terkadang penjual di pasar melampiaskan emosi dengan mengumpati pengemis yang datang meminta-minta. 

Yu Jinem, seorang yang telah berjualan di pasar selama 10 tahun sampai hafal dalam satu hari silih berganti ada kurang lebih 5 pengemis yang datang kepadanya. Yu Jinem adalah penjual yang ramah, jarang sekali Yu Jinem terlihat cemberut. Namun, suatu ketika, saat dagangannya; bayam, kenikir, kelapa parutan belum laku sama sekali, Yu Jinem membentak seorang pengemis laki-laki yang masih kecil menenteng kencrengan. Pengemis yang dibentak Yu Jinem pergi dengan wajah yang tak enak—tapi, tetap diam. 

Setelah pengemis laki-laki yang masih kecil itu pergi, Yu Jinem duduk. Yu Jinem merasa bersalah. Yu Jinem mengamati penjual di sekelilingnya. Terlihat di mata kepala Yu Jinem hanya ada satu sampai dua orang yang sedang berbelanja. Hal itu membuat Yu Jinem agaknya menerima bahwa saat ini pasar sedang sepi. Yu Jinem merasa bersalah telah membentak pengemis laki-laki yang masih kecil tadi. 

“Yu?” Yu Sendot menggerak-gerakkan tangan di hadapan Yu Jinem. 

Yu Jinem tak menyahut. Yu Sendot memperhatikan Yu Jinem yang masih melamun. Yu Sendot segera menyentuh pundak Yu Jinem. Yu Jinem kaget. 

“Astagfirullah,” Yu Jinem istigfar. 

“Ada apa to, Yu? Masih pagi kok sudah melamun,” tanya Yu Sendot. 

“Tidak ada apa-apa kok, Yu. Tadi aku cuma merasa bersalah saja telah membentak pengemis laki-laki kecil yang datang ke mari,” jelas Yu Jinem. 

“Oalah, Yu. Aku juga sering sebal juga sebenarnya sama pengemis-pengemis yang datang silih berganti. Tapi, mau tak mau aku tak sampai hati bila tak memberi, meski hanya kadang memberi 200 perak saja. Pengemis itu datang sering tidak terduga soalnya, Yu. Kalau memberi satu pengemis seribu atau dua ribu kan ya bisa tekor kita,” tambah Yu Sendot. 

Ada seorang perempuan datang ke lapak milik Yu Sendot. Yu Sendot meninggalkan Yu Jinem. 

“Silakan, Bu, mau beli ayam yang bagian apa?” tanya Yu Sendot.

“Cuma mau beli yang bagian usus sepuluh ribu saja ya, Bu,” jawab pembeli. 

“Oh baik, Bu,” Yu Sendot mengambil usus dan mulai menimbang. 

Yu Jinem masih menunggu pelanggan pertama di lapak jualannya. Yu Jinem mengambil segelas teh yang sudah dingin. Yu Jinem menyeruput dan berharap segera datang pelanggan yang pertama. 

Tiba-tiba ada seorang perempuan tua datang mendekat ke lapak milik Yu Jinem. Yu Jinem berdiri, memperhatikan betul perempuan yang mendekat itu. Yu Jinem hampir hafal semua pelanggan yang sering belanja di lapak jualan miliknya. Yu Jinem kembali mengamati, perempuan tua itu semakin dekat ke lapaknya. 

“Eh, Ibu, silakan dipilih. Bayam dan kenikirnya masih segar, baru diambil dari kebun tadi pagi. Ini parutan kelapa juga masih segar. Silakan-silakan, Bu,” ucap ramah Yu Jinem. 

Perempuan tua itu mengangguk. Perempuan tua itu memilih bayam. Sesekali perempuan itu membolak-balik bayam untuk mendapatkan yang terbaik. Perempuan tua itu menyisihkan dua tangkai bayam. Perempuan tua itu memilih parutan kelapa yang sudah diwadahkan dalam plastik bening. Perempuan tua itu hanya mengambil satu plastik parutan kelapa dan menyisihkan di dekat dua tangkai bayam yang sudah dipilih.

Perempuan tua itu menenteng dua tangkai bayam dan satu plastik bening berisi parutan kelapa di tangan kanan. Yu Jinem tersenyum, akhirnya ada juga pelanggan yang membeli dagangannya. 

“Sudah, Bu?” tanya Yu Jinem. 

“Sudah,” jawab perempuan tua. 

“Jadi semuanya tujuh ribu saja, Bu,” ucap Yu Jinem tersenyum. 

“Saya bayar dengan bunga ya,” jawab perempuan tua. 

“Maksudnya, Bu?” tanya Yu Jinem.

“Ya, dengan bunga utang yang pernah kamu pinjam dulu,” jawab perempuan tua. 

Perempuan tua itu pergi meninggalkan lapak Yu Jinem. Perempuan itu mendekat ke lapak milik Yu Sendot. Yu Sendot masih melayani pembeli yang lain. 

“Ini ususnya, Bu,” Yu Sendot memberikan usus kepada pembeli. 

Pembeli itu menerima usus dan menyerahkan uang sepuluh ribu kepada Yu Sendot. Yu Sendot mengibas-ibaskan uang di ayam potong dagangannya. Yu Sendot mengucapkan, “Laris manis tanjung kimpul, dagangan laris duit ngumpul.” 

“Silakan, Bu, mau yang bagian apa?” tanya Yu Sendot. 

“Bagian dada satu kilo saja,” jawab perempuan tua. 

“Baik, Bu,” Yu Sendot menyiapkan daging yang bagian dada. Yu Sendot memotong-motong daging yang belum terpotong. 

Yu Jinem masih memperhatikan Yu Sendot memotong-motong daging. Yu Sendot memotong daging dengan raut wajah yang bungah. Perempuan tua itu masih menunggu. Setelah selesai memotong, Yu Sendot menimbang daging yang dipesan oleh perempuan tua itu. Setelah dirasa timbangan sesuai, Yu Sendot memasukkan daging ke dalam plastik hitam gelap. 

“Ini, Bu,” Yu Sendot menyerahkan satu plastik hitam yang berisi daging. 

Perempuan tua itu menerima. Perempuan itu membalikkan badan dan berjalan. 

“Bu, Bu, mau ke mana?” tanya Yu Sendot. 

“Pulang,” jawab perempuan tua. 

“Itu belum dibayar, semua jadi tiga puluh lima ribu,” jelas Yu Sendot. 

“Saya bayar dengan bunga utang yang dulu pernah kamu pinjam,” jawab perempuan tua. 

“Utang yang mana? Saya belum pernah utang kepada Anda,” Yu Sendot bingung. 

Yu Sendot berjalan mendekat. Yu Sendot mengambil kembali satu plastik hitam yang berisi daging. 

Yu Jinem yang melihat peristiwa itu langsung berjalan mendekat. Yu Jinem menghampiri Yu Sendot dan perempuan tua itu. 

“Yu Sendot, berikan daging itu kepadanya, biar aku yang bayar,” ucap Yu Jinem. 

Yu Sendot diam. Yu Jinem mengambil satu plastik hitam yang berisi daging dan memberikan kepada perempuan tua. Perempuan tua itu menerima daging yang kembali diberikan melalui Yu Jinem. 

Perempuan itu membalikkan badan dengan tangan kanan menenteng dua tangkai bayam dan satu plastik putih berisi parutan kelapa, sedangkan di tangan kiri membawa satu plastik hitam yang berisi daging. Yu Sendot kembali ke lapaknya. Yu Jinem berjalan menuju lapak miliknya sendiri. Yu Jinem mengambil uang dari toples kaleng roti. 

Yu Jinem berjalan menuju lapak milik Yu Sendot. Yu Jinem mempercepat langkah karena sudah melihat raut wajah Yu Sendot yang tak enak. 

“Ini uang untuk membayar daging perempuan tua tadi, Yu,” ucap Yu Jinem. 

“Tidak usah, Yu. Aku dari tadi belum melihat pelanggan yang datang sama sekali di lapakmu, tak tega aku bila harus menerima uang darimu,” jawab Yu Sendot. 

“Tak apa, Yu, ambillah uang ini,” Yu Jinem memberikan uang kepada Yu Sendot. 

“Baiklah, Yu, kalau memaksa. Terima kasih ya, Yu,” ucap Yu Sendot. 

Yu Sendot memasukkan uang pemberian Yu Jinem ke dalam sebuah laci kayu kecil. Yu Jinem masih duduk di area lapak milik Yu Sendot. 

“Tadi itu siapa, Yu?” tanya Yu Sendot. 

“Perempuan tua itu adalah orang baik, Yu,” jawab Yu Jinem. 

“Baik apanya, orang belanja tidak mau bayar kok dibilang baik. Kamu ini gimana sih, Yu?” tanya Yu Sendot. 

“Dia baik, Yu. Dulu, dia adalah seorang yang baik hati meminjami uang orang-orang di pasar dengan bunga yang sangat rendah. Namun, aku sendiri juga tak tahu, mengapa sekarang dia menjadi seperti itu,” jelas Yu Jinem. 

“Kamu pernah meminjam uang padanya, Yu?” tanya Yu Sendot. 

“Pernah,” jawab Yu Jinem. 

Yu Sendot baru tahu jika orang yang baru saja tidak ingin membayar saat membeli daging di lapaknya dulu adalah orang kaya. Yu Sendot masih dengan raut wajah yang sinis ketika mengingat perempuan tua itu. 

“Aku balik ke lapakku dulu ya, Yu,” ucap Yu Jinem. 

“Iya, Yu,” jawab Yu Sendot. 

Yu Jinem dan Yu Sendot kembali menunggu pembeli datang. Terlihat hari sudah mulai siang, pengunjung pasar semakin sedikit. 

Perempuan tua yang tadi datang ke lapak milik Yu Jinem dan Yu Sendot sudah sampai di parkiran. Perempuan tua itu tak mengenakan kendaraan dan tidak diantar oleh siapa pun. Namun, perempuan tua itu mendekat ke arah tukang parkir. 

Kang Miswar, tukang parkir yang telah mengabdi selama 25 tahun di pasar. Dia belum juga diangkat sebagai pegawai negeri seperti pekerja-pekerja pasar yang banyak masuk berita karena diangkat menjadi pegawai negeri karena telah mengabdi. Namun, Kang Miswar tetap setia untuk menjadi tukang parkir di pasar. 

Kang Miswar melihat perempuan itu berjalan mendekat ke arahnya. Kang Miswar malah balik yang berjalan mendekat. 

“Eh, Ibu. Apa kabar, Bu?” tanya Kang Miswar. 

“Baik,” jawab perempuan tua. 

“Alhamdulillah,” ucap Kang Miswar. 

“Minta uang dua puluh ribu buat ngojek,” ucap perempuan tua. 

“Oh iya-iya, Bu,” jawab Kang Miswar merogoh saku. 

Kang Miswar tak banyak tanya, ia langsung memberikan uang dengan nominal dua puluh ribu yang terdiri dari uang dua ribuan, lima ribuan, dan sepuluh ribuan—hasil dari parkir. Perempuan tua itu menerima uang pemberian Kang Miswar. 

Perempuan tua itu berjalan. Meninggalkan area parkir yang dijaga Kang Miswar. Kang Miswar tersenyum memperhatikan perempuan tua itu. Perempuan tua itu langsung menuju pangkalan ojek yang ada di sebelah kiri pintu utama pasar. Melihat perempuan tua yang mendekat, salah seorang tukang ojek itu bersiap untuk mengantar. Tukang ojek itu memberikan helm kepada perempuan tua. Tukang ojek sudah siap di atas motor. Perempuan tua itu juga sudah naik di atas motor. Perempuan itu berkata, “Itung-itung ini semua bunga utang dari kalian dulu yang meminjam uang padaku.” Tukang ojek tak terlalu jelas mendengar ucapan perempuan tua yang sedang diboncengnya. Namun, hanya terdengar samar-samar bahwa ada kata ‘utang’. Di dalam pikiran tukang ojek hanya berpikir, semoga perempuan tua itu membayar jasanya dan tidak mengutang padanya. 

 

Bantul, 7 Desember 2021. 

Share this post

Tinggalkan Balasan