oleh: Navilla (Peserta Lomba Cerpen Dies Natalis ke-14 CSSMoRA UIN Walisongo)

KritikSosial

Ari Saepul, seorang buronan Ustadz Tohir bagian keamanan. Sarung yang ia kenakan hanya sekadar melilit, tak ada kesan rapih darinya. “Aku ada ide,” seringai terlihat. “Baiknya Jum’at pagi kita pergi, menghindari area asrama deh.” Asep Sumpena sahabatnya mengerlingkan mata, ia cukup pandai untuk sekedar menerka maksud tersirat itu. “Sepertinya kau ingin diteriaki Ustadz Tohir lagi karena tidak membersihkan asrama.” 

“Aku tidak bermaksud demikian. Namun, jika itu yang tertangkap oleh otakmu, mau bagaimana lagi.” Wajah Ari terlihat menekuk pasrah -dibuat buat- muka yang sangat menjengkelkan untuk Asep. “Lalu, apa rencanamu?” Ari tersenyum penuh arti tepat saat speaker mengumukan kegiatan yang dibencinya, bersih-bersih asrama. “Aku ingin pergi ke perpustakaan utara, disana lebih tenang.” Asep mengangguk mantap. Seringai mereka merekah diantara kesibukan para santri lain. Sedetik kemudian mereka melesat menuju perpustakaan utara, sarung yang menjuntai terlihat dinaikan sampai betis oleh Ari mungkin untuk mempermudah pergerakan. 

Keduanya memasuki perpustakaan sambil mengendap-endap, tak ada siapapun, aman terkendali membuat Ari tersenyum puas. “Lihat, dugaanku benar, tak ada siapapun disini,” Ari melirik temannya yang seperti kebingungan. “Tak apa Asep, kita tidak akan ketahuan. Aku akan tidur, kau bisa membaca buku sepuasmu.”

Ari sudah terbaring sembarangan mencoba menutup matanya sementara Asep masih waspada, bersiap disetiap kemungkinan, matanya menatap tajam kearah jendela takut-takut ada yang datang. Heran dengan Ari yang selalu santai bahkan ketika berbuat pelanggaran. Asep meletakan kepalanya kearah jendela, hatinya berdebar. Ia benar-benar tak terbiasa akan hal seperti ini.

Ada suara tepat diarah pintu. Keterkejutannya luar biasa, Ustadz Tohir mengetahui posisinya. Asep menggerak gerakan tubuh Ari, tak ada tanda-tanda kehidupan. “Kau ini, seperti mayat!” Asep masih berusaha menyeret kaki temannya, ia tersentak saat ada kepala yang menyundul-nyundul dari luar. 

Kriit

Pintu terbuka.

Tepat waktu, usahanya menyeret Ari untuk bersembunyi dikolong meja berhasil, peluh bercucuran. Tapi tunggu, sepasang kaki mendekat, jantung yang semakin tak karuan.

“Alhamdulillah, ternyata bukunya ada disini.”

Langkah kaki itu menjauh dengan sendirinya, ternyata seorang santri yang mengambil bukunya yang tertinggal. Asep menghembuskan nafasnya kasar, rasa lega segera menjalar. Melihat Ari yang masih pulas benar-benar menjengkelkan.

Bug

Pukulan telak diarah perut sukses menghentak Ari, seketika sadar dari tidurnya.

“Sakit Sep!”

Bug 

“Akh!” Ari tak sadar sedang berada dibawah meja, kepalanya mencium kolong meja dengan keras. Asep tidak peduli sedikitpun, rasa jengkelnya memuncak. 

“Mengapa kita ada disini?” Melihat ekspresi Asep sepertinya Ari tahu apa yang telah terjadi. “Kau sangat menyebalkan Ari.” 

Tunggu, Ari melihat sesuatu dibelakang Asep. Seperti buku dengan pendaran cahaya putih mengitarinya. “Itu bukumu?” Asep menoleh, mengikuti arahan tangan sahabatnya. “Mengapa buku itu bercahaya Sep?”

Mereka merangkak perlahan. “Itu buku apa sih Sep?” Ari membuka halaman pertama tanpa memikirkan resikonya. “Jangan asal buka, kau tak tahu kan apa yang ada didalamnya.” Asep menatap aneh buku itu. “Karena itulah aku membukanya Sep.” Ari memang sulit ditebak.

 “Indonesia Tempo Doeloe” 

Mereka saling tatap. Ternyata hanya buku sejarah.

Asep memperhatikan sesuatu yang berbeda disampul depan buku, memang terlihat usang dan tua namun ada sesuatu yang berbeda. “Ari coba perhatikan sampul depannya, kurasa ada ukiran aneh.” Ari menyipitkan pandangannya mencoba fokus pada sampul buku usang itu. Walau usang, tua, kertas yang berwarna coklat dengan ukiran rumit tak menurukan nilai estetiknya seakan ada aura sakral menguar.

Tangan Asep bergetar saat mengusapnya, matanya berkaca-kaca, ada sesuatu dihatinya yang membuat air mata itu menetes tepat diatas ukiran indah nan rumit. Aneh, beberapa saat setelah air mata mengenai ukiran indah buku usang pendaran cahaya itu semakin terang menyakitkan mata siapapun. Silau. 

“Apa yang terjadi, Sep?” Ari sangat panik ketika cahaya itu seolah menariknya, tubuhnya tersedot mengikuti gelombang cahaya sementara Asep bungkam bingung ia pun sama tersedot oleh gelombang cahaya. Rasanya mual saat tubuh terombang-ambing entah karna apa. 

Bug. 

Cahaya yang berpendar itu sudah tidak ada, digantikan dengan geraman, teriakan, serta hentakan langkah kaki. Ari masih mengerjapkan mata menyesuaikan cahaya yang masuk.

“Ari cepatlah sadar, kita ada ditempat yang asing.” Mereka tepat dibawah pohon beringin besar dengan akar yang menjuntai, daunnya menutupi batang pohonnya. Ari menoleh kesana-kemari. Benar, ini tempat asing. “Mengapa kita ada disini? Mengapa ada suara teriakan Sep?” Asep menggeleng sebagai jawaban. “Kurasa buku itu yang membawa kita kemari, Ri.” Dugaan Asep.

Ari sama sekali tak bergeming, ia mematung seperti kerasukan, sangat pucat, matanya tak berkedip saat rentetan suara tembakan silih berganti dengan jeritan kesakitan. “Tenanglah Ari, aku akan mengecek sekitar, tungulah disini.” Asep bersiap beranjak pergi “Jangan pergi sendiri, kita tidak tahu apa yang sedang terjadi Sep, ada begitu banyak suara teriakan dan tembakan, bagaimana jika kamu terluka?”

“Ari jangan panik, mari berfikir jernih.” Asep mencoba mengamati keadaan setelah beberapa lama terdiam menerima kenyataan, sedari tadi mereka berdebat bahwa semua ini mimpi. Dan ketika ada seseorang yang berjalan dengan menenteng senjata, berseragam berwarna hijau tua datang dari sudut lain pohon beringin dengan darah yang mengucur dikepalanya mengacungkan senjata pada seorang wanita yang entah darimana melintas, tanpa basa-basi pria bersenjata itu menembak Si Wanita tepat dikepala dengan tembakan yang brutal. Ari menangis tak kuasa melihatnya, ini jelas bukan mimpi. Mereka berusaha bersembunyi sebaik mungkin hingga akhirnya pria bersenjata itu pergi. “Aku ingin pulang Sep, aku tak mau bernasib sama dengan wanita itu.” Asep menghela nafas, ia juga sama ingin pulangnya seperti Ari. Jiwa mereka terguncang melihat hancurnya kepala Si Wanita.

Tunggu, ada seseorang ditepi sungai. “Ada seseorang, ayo menghampirinya.” Ari menggeleng tegas. “Lebih baik disini, kau tidak pernah tahu ada dimana lelaki bersenjata itu dan berakhir dengan peluru dikepala.” Asep menarik lengan sahabatnya yang bergetar hebat. “Hanya soal waktu pria bersenjata itu menemukanmu dibawah pohon dan langsung menembak kepalamu, sama saja bukan.” Ari menganguk lemah. 

Mereka berjalan waspada mendekati lelaki disungai. Lelaki itu sepertinya sedang membersihkan diri. Dalam hati mereka berdoa agar manusia dihadapannya ini orang baik. “Permisi Tuan.” Lelaki itu menoleh, dengan tatapan meneliksik sedetik kemudian berganti menjadi tatapan cemas. “Mengapa kalian ada disini? Ini berbahaya. Kembalilah bersama rombongan.” Ari dan Asep saling berpandangan tak paham apa yang dimaksud lelaki ini. “Kami tak tahu ini dimana Tuan, kami bukan berasal dari sini.” Lelaki itu mengeryit “Sudahlah Nak, bergabunglah dengan rombogan jika tidak kalian akan menjadi bulan bulanan Pasukan Nippon.”

Ari dan Asep cukup pintar memahami kata Nippon. Siapa yang tak tahu Nippon, penjajah paling kejam, tak memiliki sisi manusiawi, memeras seluruh harta pribumi dan memperkerjakannya dengan biadab -mungkin sifat ini yang diwariskan pada pemerintahan- walau pelajaran sejarah membosankan sangat keterlaluan tidak tahu siapa itu Nippon. 

Tubuh mereka membeku mencoba meruntutkan kejadian yang baru saja mereka lihat, seorang pria dewasa menenteng senjata menembak seorang wanita dengan senyuman itu tentara Nippon. 

“Jangan bengong,” lelaki itu menepuk bahu keduanya. “Ayo ikuti aku, kita akan menemui Yai.” Ari membisu tak percaya, Asep menunjukan tatapan kosong. Mereka sedang bergulat dengan fikiran masing masing. “Jika aku tidak salah, Jepang masuk ke Indonesia pada 1942 dan dipukul mundur tahun 1945 dan jika hipotesisku benar berarti aku dan Ari berada diantara tahun 1942, 1943, 1944, kuharap aku dan Ari tidak menjadi korban perang Jepang.” Batin Asep saat mereka berjalan mengikuti lelaki itu. 

 

“Yai, saya menemukan dua pemuda ini dengan wajah kebingungan, mereka menghampiri saya saat sedang membersihkan tubuh di sungai. Sepertinya mereka terpisah dari rombongan, Yai.” Ucap lelaki itu dengan wajah menunduk takdim. “Terimakasih sudah membawanya padaku Darman, kembalilah bersama rombongan. Kita akan pulang.” Lelaki yang bernama Darman itu mengangguk lalu berjalan mundur dengan pandangan menunduk, sangat takdim.

“Mendekatlah kemari, Nak.” Suara serak, dalam dan tegas seperti seorang pemimpin membuat dua anak lelaki itu mendongakan kepalanya demi melihat seseorang yang amat berwibawa dihadapannya.

Asep terkejut dengan siapa ia berhadapan sekarang, ia mundur selangkah lalu menundukan pandanganya kembali. Seseorang yang ada dihadapannya berbalut pakaian putih bersih, janggut putihnya seolah menggambarkan waktu yang ia hadapi di dunia ini bukan waktu yang sebentar. Bahkan Asep ingat, wajah seseorang itu ada didalam dinding perpustakaan utara. “Mengapa kau melihatku seperti itu anak muda?” ucapnya. 

Ari sudah berada disamping pria tua itu. Entahlah Ari sadar atau tidak pria tua disampingnya itu bukan pria biasa. Bahkan kelak masyarakat Indonesia sangat menghargainya dan takdim padanya. “Maaf Tuan, izinkan aku bertanya sesuatu.” Pria itu tersenyum. “Tentu saja, tanyakanlah tapi bergegaslah kita akan pulang.” Asep tampak ragu-ragu dan menimang kalimat yang pas untuk bertanya pada seseorang yang berilmu tinggi sepertinya. “Apakah Tuan ini Kyai Hasyim Asy’ari pemilik Pesantren Tebu Ireng?”

“Kau ini bicara apa anak muda, bukankah kau santri dari Tebu Ireng? Panggil aku Yai saja, Nak. Agar lebih akrab.” Mereka benar-benar terkejut lalu menundukan pandangannya kembali, takdim dengan seorang yang akan dikenal dengan Hadratusyekh.

Semua sudah pulang ke pondok, balik ke bilik masing-masing untuk membersihkan tubuh. Ari dan Asep digiring menuju bilik Darman untuk beristirahat. Banyak sekali korban, mereka yang kehilangan kakinya, tangannya, tak terhitung berapa luka sobek serta yang kehilangan nyawanya. Suasana malam ini penuh dengan rintih kesakitan para santri bersanding dengan lantunan merdu ayat Al-Qur’an dari surau.

Asep sudah dapat mengambil kesimpulan berkat hipotesisnya. Membuatnya teguh untuk membantu pribumi dimasa ini. Terlihat dari sorot mata yang tak ada keraguan. 

“Ri, jika memang ini nasib kita, aku akan berjuang disini dengan para santrinya Yai.” Keputusannya sudah bulat. “Apa kau bercanda Sep, kau tahu resikonya bukan?” Mata Ari menusuri ruangan, takut-takut ada yang mendengar percakapan mereka. “Aku memiliki hipotesis sendiri, Ri. Dengar, sekarang kita berada di zaman penjajahan Jepang aku tidak tahu pasti ini tahun berapa yang jelas kita berada direntang tahun 1942, 1943, 1944. Kau tahu apa artinya?” Asep menjelaskan dengan suara mantap, ia sangat yakin hipotesisnya benar. “Beberapa tahun lagi proklamasi dikumandangkan Ri, apa kau tidak mau ikut serta membangun Indonesia?” Ari gusar, ia tak tahu harus bagaimana. “Sep, kita itu masih remaja tangung, baru berumur 16 tahun, tahu apa kita tentang pemerintahan sebelum proklamasi,” matanya kembali berair. “Aku ingin pulang.” Tambah Ari.

“Kau seperti tidak belajar saja, remaja itu berperan penting dalam sebuah bangsa Ri. Zubair bin Awwam pertama kali ikut berperang saat usianya remaja, Usamah bin Zaid menjadi panglima diusia remaja. Oh, jangan lupakan Sang Dzulfikar bahkan sedari kecil selalu berjuang bersama Rasulullah SAW.” Ari menghembuskan nafasnya. Ia tahu itu tapi faktanya ia tak sehebat Para Sahabat. Ini berbeda. “Nyaliku saja bahkan tak ada secuilpun dari Para Sahabat, Sep.”

Asep paham sahabatnya ini ketakutan bahkan sampai sekarangpun tubuh Ari masih terlihat bergetar. “Itu benar tapi apa kau tidak malu sebagai lelaki pada Martha Christina yang ikut berperang melawan Belanda pada Perang Patimura tahun 1817 hingga ia diasingkan, pada saat itu ia berusia 17 tahun.” Rasa bersalah kepada para pahlawan menjalar keseluruh tubuh Ari, ia menangis dalam diam, hatinya remuk. “Dari mana kau tahu itu?” ucap Ari pelan, meredam isakannya. “Sejarah yang kita pelajari dikelas Ri.” Agar seseorang paham suatu hal dengan baik orang itu harus merasakannya terlebih dahulu. 

“Aku tidak tahu diri Sep, aku ada diposisi mereka sekarang tapi bukannya gagah berani melawan penjajah, aku malah meringkuk dan menangis ketakutan di dalam bilik.” Isakannya tumpah, telapak tangan yang menutupi wajahnya basah. “Bahkan setelah merdekapun aku selalu melanggar, mengantuk saat pelajaran sejarah, aku tak minat dengan pelajaran PPKN padahal aku Bangsa Indonesia.” Jika situasinya lebih baik mungkin Asep akan tertawa mendengar pengakuan Ari. Tangisanya benar-benar pilu, Ari memang anak nakal tapi perasannya sangat sensitif.

Tak lama pintu kayu itu dibuka dari luar, Darman masuk sambil mengucap salam. Bingung melihat Ari berderai air mata “Ari, kau kenapa?” tak ada balasan, hanya terdengar isakan yang mulai reda. Entah harus menjawab bagaimana, tidak mungkin berkata dari masa depan, kan.  “Dia melihat seorang wanita ditembak tepat dikepalanya siang tadi Ustadz.” Darman membelalakan matanya. “Seorang wanita? Rombongan kami tidak membawa satupun santriwati, siapa wanita itu?”

Darman mendudukan tubuhnya disamping Ari. “Panggil aku Mas saja, aku juga santri seperti kalian.” Tatapannya terus mengarah pada Ari. “Ari, tak perlu kau menangis seperti ini, kematian dalam perang melawan kedzoliman itu pahalanya sungguh besar. Kita sedang melawan Nippon yang kejam. Sudahlah jangan menangis.” Darman menepuk bahu Ari, menenangkannya. Kata Darman penyerangan tadi akibat dari Jepang tak menepati janjinya, gencatan senjata yang seharusnya berlangsung sesuai dengan perjanjian malah dilanggar beberapa kali dengan membunuh dan menculik Santri Tebu Ireng.

Mencoba beradaptasi bukan masalah sulit, toh sama-sama lingkungan pesantren, seperti saat mereka hidup di zamannya. Mungkin perbedaannya Ari dan Asep paling milenial diantara yang lain pada masa ini. 

“Malam ini aku ingin pergi ke Kantor Pos, kata Yai ada surat dari Batavia. Apa kalian ingin ikut?” Ari dan Asep baru saja menyelesaikan tugasnya membersihkan masjid, kali ini Ari tak menolak ataupun kabur. “Ari?” pemuda itu tak menaggapi, tadi dengan para santri Ari membicarakan tentang Jepang, berbagai motivasi dan narasi tentang kemerdekaan yang tak akan lama lagi Ari gaungkan. Tentu saja hal itu membangkitkan semangat para santri. Entahlah, sepertinya pengakuannya tempo malam benar-benar serius. “Surat dari siapa Mas Darman?” Ari berjalan tegap mendekat “Yai bilang itu surat dari Bung Karno, makanya kita perlu menjemputnya.” 

Ari tertegun, Asep mematung. Bung Karno? Soekarno? Sang proklamator itu? “Kalian ini seperti tidak tahu saja, Pak Karno memang sering meminta saran dan nasihat dari Yai.” Perkataan Darman barusan semakin membuat mereka tak percaya. Tak pernah ada dibuku paket sejarah Sang Proklamator meminta nasihat dan saran dari ulama, itu yang Ari dan Asep tahu. Darman berdecak kesal melihat manusia patung dihadapannya. “Kalian mau ikut tidak?” Mereka berdua berpandangan sekejap lalu manggut-manggut kompak. 

Malam itu juga mereka pergi, tak bisa disiang hari, takut-takut diculik oleh Jepang seperti para santri lain yang entah bagaimana kabarnya sekarang. Setidaknya itu jawaban yang diberikan Darman. “Apakah kita pakai mobil, motor atau delman?” Ari memasang wajah polosnya yang langsung mendapat tatapan tajam Asep. “Kau ini bicara apa? Kita akan berjalan kaki.” Beruntung Darman tak ambil pusing.

“Jaraknya hanya 50 kilometer dari sini, jangan mengeluh dan jangan bertingkah mencurigakan. Atau kau akan hilang dibawa Nippon.” Ari bergidik ngeri. “Asep, sebaiknya kau jaga baik-baik temanmu agar tidak hilang.” Asep mengangguk dan terkekeh saat melihat wajah pucat Ari. 

Perjalanan malam yang menegangkan, melebihi jurit malam di sekola. Jika ditangkap paling bertemu setan jadi-jadian sekarang jika tertangkap entah bisa kembali atau tidak. Ari mengepalkan tangan sepanjang perjalanan sangat kentara sikap tegangnya, Asep dan Darman yang waspada berjalan dibelakang Ari. “Mas, ini tahun berapa?” Asep memecah keheningan malam. “Saking tegangnya kalian sampai lupa tahun, ya.” Ari menoleh kebelakang sekejap. “Sekarang itu tahun 1943, hampir dua tahun kita dalam cengkraman Nippon.” 

“Kalian tahu, sewaktu Belanda berkuasa kita masih dapat bernafas dengan Kerja Rodi dan segala kebijakan kejam lainnya walau sangat sulit.” Darman menghentikan ucapannya menoleh kekiri-kanan lengang. “1942, saat awal pertama Nippon masuk dengan membawa slogan yang terkenal dan berkata bahwa mereka saudara Bangsa Indonesia. Oh, jangan lupakan sumpah mereka untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Kami terbuai strategi Nippon, kami menerima Nippon sebagai saudara seperti yang dikatakannya, mereka memang mengusir Belanda untuk mereka ambil posisinya dan memonopoli kita dengan sistem Romusha, mereka lebih licin dari ular, lebih hina daripada yang hina.” Darman sepertinya tersulut emosi, sorot matanya tidak seteduh sebelumnya. “Sama seperti DPR, silih berganti untuk menguasai, keserakahan membuat mereka hina.” Cetus Ari tiba-tiba. “Apa itu DPR?” Darman menoleh kearah Asep meminta penjelasan. “Lupakan Mas, Ari sedang melantur.” Mendengar itu Ari hanya terkekeh sebal.

“Kakak perempuan dan ibuku diperintahkan untuk menanam pohon jarak, saat itu mereka kelelahan dan beristirahat disebuah pohon besar, Nippon menyangka mereka berleha-leha hingga ibuku ditebas dan kakaku disetubuhi beramai-ramai tak ada yang berani menolong, saat itu aku disembunyikan dibalik pohon besar.” Buku-buku tangan Darman memutih, tangannya mengepal menahan emosi, rahang yang mengeras dan ekspresi sulit diartikan, terlihat jelas semua itu saat purnama bersinar terang malam ini. “Ramaku melawan semampu yang ia bisa namun gagal ketika peluru bersarang dikepalanya, saat aku hendak mendekati tiba-tiba tanganku ditarik oleh seseorang dan ia membawaku ke pondoknya Yai. Bagiku Yai itu sangat berharga.” Senyumannya mengembang kembali saat membayangkan wajah Sang Hadrotusyekh.

“Mas, disuatu negeri walaupun sudah memiliki ilmu dan teknologi yang baik para penguasanya tetap berlaku kejam terhadap kaum lemah dan miskin, seolah tidak memiliki etika.” Kali ini Asep yang menimpali Darman. “Bayangkan saja, seorang nenek yang mencuri sebilah kayu untuk makan dijatuhi hukuman hampir sepuluh tahun penjara, dan untuk mereka kalangan elit yang terjerat kasus penggelapan uang bermilyar milyar dijatuhi hukuman hanya berapa tahun saja.” Darman menoleh kearah Asep begitu juga Ari “Benarkah? Di negeri manakah itu?” Ari tertawa ketus. “Kurasa anak keturunan Mas yang akan mengalaminya.” Darman mengeryitkan dahinya. “Mengapa Ari selalu berkata aneh?” Gumamnya dibalas kekehan oleh dua pemuda didekatnya.

Hampir tengah malam sekarang. Tak ada kata lelah saat harapan melihat surat dari Bung Karno terlintas dikepala. Hingga beberapa saat kemudian lampu terlihat berkerlip redup berwarna kuning. Senyum senang mereka bertiga mengembang. Akhirnya.

Masih terlihat beberapa orang saat mememasuki pintu utama Kantor Pos, beruntung belum tutup padahal sudah hampir tengah malam. 

“Mas Darman, akan sangat berbahaya jika pulang selarut ini. Tidurlah kalian di kantor ini, ada ruangan kosong. Pulang saja esok, takutnya kalian hilang dan surat itu tak sampai pada Yai.” Seorang Petugas Pos berbicara dengan nada yang rendah sontak mendapat tatapan horor dari lawan bicaranya. “Mas ini jangan asal bicara didepan mereka, lihatlah sekarang wajahnya pucat seperti mayat.” Akan sangat berbahaya jika memaksakan pulang, jadi mereka menginap. 

Pagi sekali Darman membangunkan, Asep langsung sigap menegakan tubuhnya sementara Ari harus diteriaki beberapa kali lalu mengeluh saat melihat bulan dan gemintang masih bertengger di langit. “Mas, ini jam berapa?” Ari mengucek matanya. “kita perlu bergegas Ari, Nippon sudah mendengar tentang surat dari Bung Karno untuk Yai, hanya masalah waktu mereka datang dan merampasnya.” Kata Nippon benar-benar dapat membuat mata melotot dan hati berdetak kencang. “Kita akan mengambil rute lain, menyamar dan berbaur dengan penduduk. Lepaskan kopiah kalian agar tidak terlalu mencolok.”

Ari sekarang menyampirkan sarungnya dibahu tak lupa memakai tudung kepala khas seorang petani, Asep dengan keranjang besar dan meneteng cangkul, begitupun Darman. Penyamaran mereka sempurna seperti seorang petani yang hendak pergi berladang, peralatan ini dipinjamkan oleh Si Petugas Pos. Sehabis Solat Subuh mereka berangkat sambil merapalkan doa. Baiklah, perjalanan dimulai, berakting menjadi petani itu mudah, tak akan ada hambatan, hanya perlu berfikir positif dan berbaur.

Ari terlihat pucat dan bergetar. “Ri, santai, jangan tegang, wajahmu terlihat seperti ingin buang hajat.” Asep menepuk-nepuk bahu Ari agar sedikit tenang. Ari menarik nafas dalam. “Otaku membayangkan santri-santri yang diculik dan berakhir tragis.” Asep paham itu, tapi saat ini bukan waktunya membayangkan hal mengerikan karna posisi merekapun sedang genting. “Mungkin ini yang dirasakan para mahasiswa yang membela kebenaran lalu ditangkap dan disiksa oleh polisi, kau melihat beritanya bukan Ri. Banyak dari mahasiswa yang hilang entah bagaimana nasibnya.” Ari mengangguk setuju. “Omnimbus Law itu haha.” Kekehannya mencairkan suasana.

“Sep, apa aku jahat jika berasumsi DPR sama kejamnya dengan Nippon?” Asep tak tahu harus membalas bagaimana. “Menurutku terlalu dini untuk membuat kesimpulan seperti itu Ri, bukan berarti aku pro penjajah namun kita baru beberapa hari disini.” Ari manggut-manggut tapi asumsinya tak berubah, teguh pendiriannya. Asep menoleh kearah Darman, sepertinya Darman sungguh berbaur dengan warga. Matahari mulai mengintip diufuk, harus bergegas agar lekas sampai.

Beberapa tentara Jepang yang sedang berpatroli melihat kearah mereka, satu dua hanya menatap, menelisik lalu pergi. Penyamaran berhasil, hanya beberapa jam lagi surat ini sampai pada Yai. Ari semakin santai berjalan, toh Jepang hanya melihat jijik kearah pribumi yang miskin dan terbelakang. Memerintah, menyiksa dan membunuh tugasnya, selebihnya mana peduli. “Sep, aku rindu Ibu dan Ayah. Bagaimana jika pihak Pesantren kehilangan kita dan melaporkannya ke orang tua lalu pihak polisi, kasus santri yang hilang. Itu tidak lucu sama sekali.” Asep menunduk, berjalan sambil menendang nendang batu kerikil kecil. “Kau benar juga, selama disini aku hanya fokus pada Indonesia.” Ari terkekeh. “Nasionalisme sekali,” Ari menatap sahabatnya dengan tatapan bangga. “Ku harap kita bisa menyelesaikan alur ini dengan sangat baik.” Mereka berdua saling berpandangan, menguatkan janji yang tak pernah terucap, mensucikan hati untuk membantu mewujudkan kemerdekaan. 

Ohayōgozaimasu” mendengar itu sontak kepala Darman menunduk, berbeda sekali dengan Asep dan Ari yang berani menatap langsung tepat pada nentranya. Mereka bukan golongan pribumi yang terbiasa menunduk ketakutan bahkan berlutut ketika dihadapannya ada seorang penjajah hina. Jelas saja tentara itu tak suka dengan tatapan dua bocah dihadapannya. Baginya pribumi adalah budak, pemuas nafsu, orang bodoh yang menjengkelkan, orang terbelakang yang tak pantas menatap mata kaum seperti mereka. “Anata ga hiretsuna ningendearu watashi minaide kudasai.” (Jangan menatapku seperti itu! Dasar manusia hina) tangan besinya menampar Ari dan Asep bergantian hingga darah keluar dari sudut mulutnya.

Ari tak bisa menerima ini, ia ingin membalasnya dengan sebuah bogeman namun tangannya tertahan. Asep memegangi dan menatapnya seolah berkata itu jangan lakukan. Dendam kesumat dengan Nippon hina ini menjadi-jadi. Darman pun tak berkutik, menunduk. Selama Belanda yang hampir tiga abad, lalu Jepang tiga tahun lebih, memaksa pribumi untuk menunduk dan berlutut, memohon ampun pada sesuatu yang bukan kesalahannya bahkan beberapa dari pribumi rela bersujud kepada penjajah yang hina demi mendapat pengampunan dari hal sepele. Seperti sudah mengakar dikalangan pribumi, tak heran juga sikap itu sudah membudaya tiga ratus tahun yang lalu. Penjajah merusak mental pribumi dengan membudakannya.

Seorang Nippon lainnya menenteng senapan lebih besar ditangannya, sambil tersenyum ia mendekat. Sangat terlihat menyeramkan saat tersenyum. “Ohayōgozaimasu.” Kali ini tangan Ari mengepal, berjaga-jaga jika kejadian tadi terulang. “Sa.ya datang un..tukh membawha surath dari Seokarno.” Bagus sekali dia sudah dapat berbicara bahasa pribumi dengan aksen Jepang. “Kami tidak membawa apapun Tuan, kami hanya petani.” Darman lebih dulu berbicara. “Jhika ka..lian berbohong akhan sa..ya gantung kepala ka..lian dipohon ihtu.” Senyumannya mengembang sambil menunjuk pohon mangga besar tepat dihadapan kami. Asep bergidik ngeri, Darman menunduk sedalam mungkin.  “Dasar psikopat gila, penjajah hina. Seperti penghianat negeri saja.” Gumam Ari memalingkan pandangannya. “Kami tidak berbohong, kami ini hendak pergi ke perkebunan jarak.” Darman mencoba semampunya, lihatlah dia sekarang sedang berlutut. Ari yang muak, mengangkat tubuh Darman agar bangkit. Tak pantas seperti itu pada sesama manusia. “Lepaskan dua lelaki ini, surat itu ada padaku!” Asep juga Darman membelalakan matanya tak percaya. Apa maksudnya? Ari benar benar sudah gila. Apa ia sadar akan kelakuanya? Ia bisa disiksa hingga mati seperti para mahasiswa yang ia bicarakan sebelumnya. “Tunjukhan pada sa..ya.” Tersenyum simpul Ari menunjukan sebuah surat lengkap dengan tanda dari Soekarno.  “Khamu berani shekali, bhaiklah sa..ya akhan membawamu.” Seringai kemenangan tergurat diwajah seramnya.

“Tunggu, aku akan ikut kalian. Aku paham bahasa Jep- tidak Nippon.” Asep menela, Pria Psikopat masih dengan seringainya mengangguk. Dalam waktu sepersekian detik Asep berbicara dengan Darman. “Mas, sampaikanlah surat itu pada Yai, itu surat penting untuk kemerdekaan Indonesia. Aku dan Ari akan baik-baik saja. Pergilah!” Darman mengangguk lemah lalu berlari, buliran air mata mulai metes satu persatu hingga menjadi deraian, berusaha lari namun kakinya seolah ada yang menahan. Sudah banyak temannya yang diculik Nippon, Darman takut jika akhir dua remaja ini akan seperti yang sudah-sudah.

Dari kejauhan di mobil tentara Jepang Ari dan Asep melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar kepada Darman seolah sedang diajak wisata. Membuat lelaki itu kalut, terduduk lunglai deraian air matanya semakin deras, isakannya menyayat hati. “Duhai Allah, lindungilah dua pemuda itu yang rela menyerahkan dirinya demi kemerdekaan negeri ini.” Kalimatnya berubah menjadi rintihan pilu. Sedetik kemudian ia berlari secepat yang ia mampu, tak ingin perjuangan teman remajanya menjadi sia-sia, surat dari Bung Karno harus sampai pada Yai. 

Entah berapa jam perjalanan, sekarang matahari sudah mencapai titik tertinggi. Tentara Jepang terus saja berbicara dengan bahasanya, seperti sedang mencaci maki, menyumpah serapah karena Ari dan Asep tak memahaminya mereka hanya perlu menunduk, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Bohong jika Asep bisa berbahasa Jepang, itu hanya akal-akalanya agar mereka tak terpisah. Beberapa kali salah satu prajurit itu menampar Ari dan Asep padahal luka tamparan pertama belumlah mengering. Senjata besar yang selalu dibawa menjadi alat untuk memukul, mungkin mereka merasa jijik akan kulit pribumi berfikir bahwa ada penyakit menular. Hingga cucuran darah keluar dari kepala Ari, luka sobek akibat pukulan bertubi-tubi. Tak apa, sekarang hanya perlu berpura-pura kesakitan, Ari bertekad untuk membalas semua perlakuan biadab ini. Air mata Asep keluar tanpa dapat dikontrol hanya bisa menggenggam jemari Ari dalam tangisnya, memberi kekuatan.

“Dasar lu manusia hina. Awas aja lu kalo nanti Jepang minta ekspor barang tambang, minta minta tempe gak akan gue kasih. Gak mau gue nonton Naruto lagi. Lu dasar ih, kesel banget gue.” Ari bergumam dengan suara sangat kecil namun masih dapat terdengar oleh Asep yang berada disampingnya. Asep terkekeh, masih sempat sempatnya Ari berfikir demikian. “Harusnya jangan pake bahasa gaul biar mereka ngerti Ri.” Ari memandang Asep sekejap lalu tersenyum. “Tadinya mau pake bahasa Inggris tapi takut disangka kongkalikong sama Netherland, gak mau aku dicap penghianat, Sep.”

Sekali lagi mereka terkekeh pelan dibahwah tatapan sinis dan tajam para prajurit Nippon, terlebih satu dari mereka mengacungkan senjatanya siap memukul. Dan benar saja detik berikutnya darah segar kembali mengalir dari kepala. Dengan aksen khas Jepang tentara itu mencoba menghardik dengan bahasa Indonesia. “Manushia samp..ah desu, hi..na desu. Masih beranhi tersenyume.” Bukannya takut Ari malah hendak menertawakannya namun kembali Asep yang menjadi penengah. Sebanyak mereka tersenyum sebanyak itu pula pukulan di kepala mereka dapatkan. Tak perlu khawatir, jika hati sudah bertekad sekali raga hancurpun bukan menjadi halangan.

Entah kemana para tentara itu akan membawa mereka, sepertinya sangat jauh. Matahari hampir tenggelam. Semburat jingga terlihat anggun. Asep tak banyak bicara begitupun juga Ari, mereka lelah, kepala yang terus mengeluarkan darah hingga membuat rambut mengeras, wajah Ari sangat kacau karena ia yang paling sering dipukul akibat tawa sinisnya. 

“Hey! Ceph..atlah!” Tentara jelek itu berteriak lagi, tolonglah teriakannya membuat rusak semua ekspetasi Anime dikepala Ari. Asep turun, kakinya sempoyongan, kepalanya terasa berat. Beruntung ada Ari yang menahan tubuhnya agar tak melorot ke bumi. Ari sungguh teman ajaib. 

Mata mereka menatap nyalang tepat didepan terdapat ratusan pribumi yang sedang bekerja tanpa baju, sangat kurus hingga terlihat jajaran rusuknya. Ada yang sedang berlutut lalu ditendang kepalanya, Asep memalingkan wajahnya. Ada yang sengaja menginjak perut salah satu pribumi dengan sepatu khas tentara yang sangat tebal dengan bantalan besi, pribumi itu menjerit kesakitan. Wajah Ari terlihat sangat marah hingga menetes air mata bercampur darah di pipinya. Ia berlari kepada pribumi yang diinjak perutnya itu, membangunkannya namun pribumi itu tak mampu berdiri. Ternyata dibetisnya tertancap potongan besi. Ari tak bisa berkata-kata, ia memeluk pribumi itu. Tangisnya pecah. Tak peduli dengan kepala yang masih bersimbah darah. “kita akan merdeka Pak, aku janji sebentar lagi tidak akan ada penderitaan sep-“ belum sampai kalimat itu habis, bajunya ditarik tentara jelek itu lagi. Ari tak tahu bahwa pribumi yang dipeluknya tadi tersenyum cerah, setidaknya itu harapan terakhir. Kemerdekaan.

Tentara itu terus berkata dengan intonasi membentak, percuma saja Ari tak memahami maksudnya, juga Asep. Tangan mereka diborgol lalu diikat dengan pengait diatas kepala. Tangan mereka tergantung sempurna. Ini ruangan introgasi, ada beberapa pribumi yang juga sedang disiksa sambil ditanya.

“Namae wa nandesuka?” tidak sulit mengartikan kalimat ini. Ari tersenyum simpul. “Nama saya Ari dan dia Asep.” Sambil menunjuk Asep yang terlihat payah. Tentara itu mengangguk. “Lalu mengapa soekarno mengirim surat kepada Hasyim Asy’ari?” Tentara yang pandai bahasa Indonesia datang sambil menenteng sebilah besi pajang. “Aku tidak tahu.” Tentara itu mengangguk pada temannya. Seketika tamparan, tojokan, pukulan bertubi-tubi menghantam kepala Ari. Kali ini Asep sudah pingsan dengan posisi terikat. Ari paham, fisik temanya lemah. Ia akan melindunginya. 

“Itulah jawaban jika kau berbohong, dashar hina!” Bukannya kalap Ari justru tertawa sinis. “Coba tebak duhai Tuan yang suci, mana yang lebih hina dari manusia yang memperlakukan manusia lain seperti binatang?” Kali ini bukan pukulan yang Ari dapat. Lebih dari itu, tulang punggungnya dihantam besi yang sedaritadi digenggam Si Tentara Hina. Ngilu, Ari meringis. Tak boleh menangis.

“Lebih baik kau pergi saja ke negaramu. Dasar Pria Hina, dua tahun dari sekarang negaramu akan hancur lebur oleh Amerika, kau terlalu mengurusi kami.” Mendengar kata Amerika Tentara Hina itu mematung. “Pribumi itu bodoh! Miskin! Tidak tahu apapun! Hanya Empat Serangkai yang dapat berbicara seperti ithu.” Pria itu bersungut-sungut dengan aksen Jepang yang keras. Menghantakan besi tepat ditengah kepala Ari. Darah kembali merembas, darah sisa tadi siangpun belum mengering. Namun begitu Ari masih sadar, hanya sedikit pusing. Darah dari mulutnya muncrat keluar setelah perutnya ditendang sepatu besi.

Para lelaki gagah lain yang tengah diintrogasi menoleh kearah Ari, berharap Ari baik-baik saja. “Coba fikirkan Tuan, kesatria mana yang memukuli seorang anak dengan tangan terikat. KALIAN TAK PANTAS DISEBUT KESATRIA! Kalian tak ada bedanya dengan aparat kami dimasa mendatang yang tega memukuli yang lemah.” Ari mendongakan wajahnya agar bisa menatap Para Tentara Hina didepanya. Ada sekitar enam orang masing-masing membawa senjata bersiap hendak memukul Ari yang sudah bersimah darah. Nippon dibuat geram.

“Dengarkan! Bagi siapapun yang bisa mendengarnya. Percayalah dalam jarak dua tahun, Indonesia akan bebas, kita akan merdeka!” Kalimat itu mengundang perhatian semua yang ada diruangan. Sedetik kemudian para pejuang gagah pribumi menggemakan Takbir, berteriak lantang “MERDEKA!” Hingga kesadaran Ari menghilang saat besi itu ditancabkan tepat dikaki sebelah kanannya. 

Ari dan Asep serta para pejuang lain dibawa ke gua penjara. Penuh sesak oleh mereka yang selalu memberontak pada Jepang, jika ada kegaduhan lain maka satu kepala akan terlepas dari tubuhnya. Biadabnya, kepala itu sengaja dilepar ke tengah tengah pribumi. Besi di kaki Ari sudah dicabut oleh salah satu pemuda hebat, namanya Ahmad. Dia dibawa kemari karena berhasil membebaskan separuh Romusha dan menyembunyikan mereka. 

Tak ada angin tak ada badai, seisi penghuni dikejutkan dengan kedatangan seorang manusia dengan selogan ‘Jasmerah’. “Keluarlah kalian semua, saya yang menjamin keselamatan kalian. Cepat!” Semua berlarian dengan senyum merekah. Saat akan ikut berlari tangan Asep dan Ari ditahan. “Kalian ikut dengan saya.” Ucapnya dengan segala kegagahan yang dimiliki. Dibalik itu, mata Bung Karno berkaca-kaca melihat manusia yang sedang berebutan keluar. 

Bung Karno membawa Asep dan Ari ke sebuah ruangan tertutup. Mengobati luka-luka itu dengan tangannya sendiri sambil bercakap.Surat yang ada pada kalian sebenarnya hanya pengecoh. Saya tahu Nippon akan seperti ini, jadi surat yang asli aku sendiri yang mengantarkannya pada Kyai.” Hening. “Saya tahu darimana kalian berasal. Pulanglah kesatriaku, tepat kalian bukan disini.”

Ari menatap Bung Karno lamat-lamat. “Saya tahu apa maksud tatapan itu Ari. Sejarah akan tetap menjadi sejarah. Banyak hal yang luput dari tulusan hingga tak bisa dikenang oleh generasi mendatang. Kyai Hasyim yang menceritakan kalian padaku. Terima kasih telah mau menjadi bagian dari kelamnya penjajahan. Walau tak tertulis dalam sejarah akan ku kenang kalian dalam sanubariku. Jadi pulanglah, semua akan kembali seperti semula, seolah ini tak pernah terjadi hanya menyisakan memori.” Tanpa persetujuan, Bung Karno telah mengaktifkan buku Indonesia Tempo Doeloe, cahaya kembali berpendar terang. “Ku titipkan bangsaku pada kalian, Kesatriaku.” 

Sepersekian detik berikutnya mereka ada di perpustakaan utara, dijam yang sama, diposisi yang sama, pakaian yang sama sebelum mereka melakukan ‘petualangan’. Hanya menyisakan perasaan sesak, ingin menangis rasanya. “Aku akan menjadi Kesatria seperti yang dikatakan Bung Karno” Ari menyusut ingusnya. “Kita pasti akan menjadi seperti itu.” Jawab Asep dengan yakin.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *