Mereka menghalangi jalan. Lima orang memakai kaus hitam dan memakai celana jeans sobek yang dihiasi aksesoris rantai di dekat saku. Sablon logo tulisan berbentuk kupu-kupu menghiasi kaos kumal mereka, di bawah logo tersebut tertulis “Slank NggakAda Matinya“.
Mereka terlihat masih muda, mungkin sekitar 17 tahun. Berperawakan tinggi dan ramping. Salah satu dari lima orang tersebut berjalan dari pematang jalan menuju ke tengah. Pelan tapi pasti. Matanya memicing. Tak berselang lama, terlihat sebuah truk. Mereka menyebutnya lempengan. Yang berarti truk yang memuat kontainer dari pelabuhan tetapi sedang kosong muatannya. Ia Terlihat melambaikan tangan, yang satunya lagi berteriak, seraya menelungkupkan kedua telapak tangannya di atas kepala, seperti sedang memohon, dan sisanya melihat rekannya dari tepi jalan sembari bersua dengan rokok bekasnya.
Aku tidak menahu tujuan mereka. Tampaknya datang dari jauh, namun seperti tanpa bekal apa pun. Makanan? Hei, itu bukan yang mereka butuhkan, anak-anak itu percaya, mereka tidak akan mati hanya karena makanan. Imunitas tubuh anak-anak itu kuat, mampu bertahan dalam kondisi apa pun. Mereka hanya butuh Tuhan, titik. Walaupun kenyataannya mereka tak menjalankan kewajiban kepada Tuhan. Toh, Tuhan pun masih mengasihani mereka. Buktinya mereka hidup sampai sekarang.
” Ini mas makanannya.”
“Makasih mbak,” ujarku pada penjual makanan yang menyajikan seporsi nasi padang. Warung ini tidak besar, halamannya pun tidak terlalu luas, hanya sekitar lima kali enam meter, dan terletak di selatan jalan pantura. Perutku sudah berbunyi, perlahan kulahap makananku sembari menatap jalan beraspal tebal yang berdebu. Truk-truk besar lalu lalang, membawa berbagai muatan: pasir, mebel, besi, motor, ah tak perlu kusebutkan semua, kalian pasti sudah tahu sendiri jalur pantura, ‘kan? Namun yang paling menarik perhatianku adalah mereka berlima. Memutar kembali masa-masa itu. Andaikan saja aku lebih dewasa, andaikan saja bapak tahu, mungkin saja semua tidak terjadi.
****
“Sesok sido melu, Mar?” (besok jadi ikut, Mar?). Tanpa basa basi aku pun mengangguk menerima ajakan temanku.
Bapak di rumah, bekerja sebagai guru dan mengajar di madrasah merupakan profesinya. Bapak adalah insan yang amat takut dengan Tuhannya. Pernah suatu malam, kulihat Bapak duduk bersimpuh sendirian di kamar –perlu kau tahu, rumah kami memang tidak ada tempat khusus untuk ibadah— kudengar dia seperti sedang cegukan disertai tetesan air yang menurutku laksana butiran-butiran embun pagi. Saat bapak telah tidur, aku pun memegang sajadah yang dipakai Bapak. Basah. Memang benar, Bapak menangis.
Bapak tidak menahu jika aku jarang shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya. Padahal beliau adalah tokoh masyarakat. Buat apa? Aku percaya Tuhan, tetapi nyatanya tidak shalat pun aku masih hidup, aku masih bisa makan, lalu untuk apa sembahyang? Pikirku.
Bapak juga tidak tahu jika aku sering pergi ke suatu tempat yang jauh, dengan dalih mengikuti pengajian. Konser nampaknya lebih cocok untukku. Hanya di dalam konser seorang Martoyo mendapatkan kesenangan, dan hanya di dalam konser seorang Martoyo menjadi dirinya sendiri. Bukan seseorang yang sedang menyelinap dari dirinya sendiri dan menjadi sosok lain sebab itu yang diinginkan Bapak.
“Le, kowe arep neng ndi?” (Nak, kamu mau kemana?) Dengan logat jawanya yang khas, dia bertanya padaku yang sedang mengenakan kemeja abu-abu lengan panjang, sarung yang asal-asalan kupakai sehingga lipatan yang terdapat di perut terlihat menggelembung. Tak lupa aksesoris kepala yang kujinjing sembari menuju pintu rumah.
“Biasa pak,” Bapak hanya bisa terdiam. Sebenarnya aku tidak ingin memakai kemeja dan sarung, aku seorang Martoyo hanya menjadikan kemeja sebagai baju penyamaran hobiku. aku mengenakan kaus hitam yang sudah dipotong lengannya, sehingga hanya menyisakan lubang besar di kedua sisi kaos. Jika dipakai, bahu sampai bawah ketiak akan terlihat. Tidak kuketahui namanya, tapi aku biasa menamainya singlet. Sesaat setelah keluar dari pintu, temanku datang menjemput menggunakan motor alfa klasik yang suaranya menggelegar. Dengan motor itu kami melaju menuju tempat ‘ganti baju’. Rumah Santo.
Aku bersiap. Di rumah Santo, aku duduk di kursi kayu yang berada di teras rumahnya, rehat sejenak menanti jam keberangkatan. Aku yang notabene seorang Martoyo juga butuh istirahat. Martoyo juga seperti kalian; manusia biasa. Santo menyeduh kopi, dua cangkir, santo menyodorkan salah satunya ke arahku.
“To, kowe Percoyo pengeran?” (to, kamu percaya Tuhan?) tanyaku padanya. Dan seperti biasa, Santo tidak peduli. Dia hanya diam tak bergeming seraya menyeruput kopinya. Berarti dia belum berubah. Santo lebih dari aku, lebih bodoh. Dia bahkan tidak tahu Tuhan itu apa, hidupnya tidak teratur sama sepertiku, hanya saja aku masih percaya pada tuhan. Tuhan tidak pernah marah padaku, kenapa? Karena aku seorang Martoyo percaya Dia. Aku juga yakin Tuhan tidak akan berani marah pada Martoyo. Dia Maha Pengasih, ‘kan?
Malam telah larut, kami yang berangkat telah sampai di jalan raya. Berjalan kaki menuju jalan raya agaknya cukup memakan tenaga. Juga angin malam yang berhembus turut mengelus-elus kulit kami yang hanya berlekatkan singlet. Dingin, tapi kami terbiasa. Jarak antara rumah Santo dan jalan raya cukup dekat hanya sekitar 15 menit. Meski hanya 15 menit, malam ini ritme waktu sepertinya berubah, terasa lama, kemudian perasaan tak mengenakkan mulai muncul. Ah, mungkin cuma perasaan. Biarkan saja. Aku seorang Martoyo, tidak akan takut dengan perasaan.
Sampai hal itu terjadi.
Mataku mengerjap kerjap mencari tahu apa yang sedang terjadi, yang tersisa dari sebuah memori otak sekarang hanyalah suara klakson yang nyaring, dan seberkas sorot yang menyilaukan dengan aku yang berdiri di depan mereka. Perlahan kudapati aku seorang Martoyo terkapar di atas aspal. Perlahan juga kudapati aku seorang Martoyo tidak bisa bergerak. Di pelupuk matanya sekarang hanyalah noda darah yang mengalir, di ikuti seberkas masa lalu yang disertai penyesalan. Di dalam hati, aku seorang Martoyo berkata, “apakah Tuhan marah pada Martoyo?”
Di tengah kejadian, aku seorang Martoyo mendengar suara sepeda dengan pria paruh baya berpeci putih di atasnya yang dengan segera mengulurkan tangannya di depan pelupuk mataku. Bapak. Ia nampaknya sudah curiga padaku sedari berangkat, dan dengan sengaja mengikutiku lalu menemukan seorang Martoyo yang tergeletak tak berdaya. Sejak saat itu aku bukanlah seorang Martoyo, tetapi aku hanyalah Martoyo.
******
“PUAAK MANDEEK! “ (pak berhenti!)
Braak!
Uhuk.. Uhuk.. Aku tersedak, mendengar suara barusan sontak saja membuat terkejut semua orang termasuk aku yang sedang mengisi perut. Aku tahu apa yang terjadi. Kerumunan pun tak terhindarkan. Bagai semut mengerubungi tetesan sirup. Perlahan aku menerobos kerumunan dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dan benar saja, tergeletak salah satu dari mereka berlima –yang berjalan ke tengah jalan— darah mengalir kesana kemari, dan ia tak bergerak. Temannya hanya memegangi sembari meminta tolong, yang satunya lagi berteriak histeris.
Orang yang mengerubungi pun hanya berbisik bisik tak karuan, sibuk memotret kejadian seakan dirinya adalah reporter televisi yang digaji. Tak ada yang menelepon polisi, ambulans, atau semacam bantuan lainnya. Yang ada hanyalah tatapan sinis dari mata yang sok suci. Sedangkan aku sendiri, hanya berdiri mematung menatap mereka sambil menggerayangi sisa-sia makanan di sela-sela gusi dengan jari. Aku tak mau tahu nasib mereka, aku tak peduli. Hanya penasaran saja bagaimana Tuhan bekerja, apakah Tuhan mengasihaninya? Jika benar, aku ingin melihat langsung, bagaimana kasih sayang-Nya bekerja?.
Cerpen ini telah terbit di Majalah Al Irsyad edisi 12 tahun 2021. Penulis adalah orang yang problematik, yang terancam kena gangguan jiwa kalau tidak menulis.
Apakah kamu pernah atau sedang mengalami kegagalan?, kegagalan merupakan suatu hal yang sangat wajar sekali dan pastinya sering dialami oleh semua orang di seluruh belahan bumi ini tanpa terkecuali, baik itu kegagalan dalam hal pendidikan, kegagalan dalam hal pekerjaan atau karier, kegagalan dalam hal mengikuti berbagai lomba atau event, dll. Pada dasarnya semua kegagalan itu merupakan suatu kesempatan untuk bangkit lagi dan harus dijadikan sebagai batu loncatan untuk kedepannya, namun hal itu tergantung bagaimana respon seseorang dalam menghadapinya. Kegagalan memang sangat menyakitkan, namun kegagalan dapat membentuk dan menginspirasi seseorang.
Tidak ada diantara kita yang sama sekali menginginkan kegagalan, namun jika kegagalan itu sudah terjadi, satu-satunya cara yang hanya bisa kita lakukan untuk memandang kegagalan tersebut adalah dengan cara menerima dan meyakini bahwa semuanya akan berlalu dengan baik-baik saja.
Sayangi dirimu apa adanya, dan kita harus tahu bahwa kita adalah orang yang kuat untuk menghadapi setiap persoalan yang tengah kita alami. Ingat! setiap kegagalan yang kita alami pasti akan berlalu dan itu akan membuat kita semakin kuat. Kita belum gagal ketika kita beleum berhenti, Ketika kita berusaha itu merupakan suatu proses…… GAGAL? AYO BANGKIT LAGI!
Begitulah bunyi salah satu poster dari sekian poster di Pondok Pesantren Baiturrohman, Peterongan, Jombang, yang tanpa sengaja terbaca oleh salah satu calon santriwati kala melihat tempat yang beberapa menit terakhir baru saja diinjaknya itu.
Dialah Fatimah, sesosok gadis lugu berpakaian sederhana asal Banyumas.
Banyumas adalah salah satu nama kabupaten yang ada di provinsi Jawa Tengah, sebuah kabupaten yang memiliki julukan kota Satria.
Sejahtera, Adil,Terampil, Rajin, Indah dan Aman
Begitulah makna tersembunyi dari setiap huruf dalam kata Satria
Setelah membaca poster, tiba tiba datang sesosok wanita cantik dan juga pria berkaca mata mengajak Fatimah ketempat administrasi pondok.
Setelah mendapat arahan kang administrasi, Fatimah dan wanita cantik yang tak lain bernama Aisyah, kakak ipar Fatimah pun diajak oleh mbak pengurus menuju asrama putri dan pria tadi duduk di teras masjid, ditemani kang santri sambil minum kopi yang telah tersaji oleh kang santri dipagi hari ini.
Sambil terus mengikuti mbak santri yang berjalan didepannya, tiba-tiba ada sesosok wanita paruh baya disebuah tempat bernama Ndalem berdiri dari duduknya.
“Mbak…mbak…Reneo…”
[Mbak…mbak…kemarilah]
Ucap sesosok wanita paruh baya itu dengan logat Bandek khas Jawa Timur, yang tak lain beliau adalah istri dari pengasuh Pondok Pesantren Baitur Rohman yang bernama Nyai Muhimah.
Nyai Muhimah adalah sesosok wanita asli Blitar yang dipersunting oleh salah satu Kyai asal Jombang yang bernama Kyai Muhaimin untuk menjadi pendamping hidup sekaligus menemani mengurus pondok yang telah diamanahkan oleh salah satu guru beliau yang berasal dari Jawa Tengah.
“Mbak…mbak kerudung abrit…Reneo…”
[Mbak…mbak kerudung merah…kemarilah]
Panggil Nyai Muhimah terhadap mbak santri yang tak lain adalah seseorang yang akan mengantar Fatimah menuju asrama putri.
“Injih Bu nyai…”
Sambil terus menunduk, mbak santri berkerudung merah itu memenuhi panggilan sang guru yang sedang berada di teras Ndalem ditemani sang suami tercinta Kyai Muhaimin.
Sesampainya di teras Ndalem, mbak santri yang bernama Afifah itu langsung mencium punggung tangan sang guru dengan penuh ta’dzim, begitupun Fatimah dan juga mbak Aisyah yang mengikutinya dari belakang.
“Owalah mbak Afifah toh…tak celui Kawit wau gak mireng mireng”
[Owalah Mbah Afifah ya…dipanggil dari tadi tidak dengar dengar]
“Nuwun agungipun pangapunten Bu Nyai…Kulo mboten mireng”
[Mohon maaf yang sebesar besarnya Bu Nyai…saya tidak mendengar]
Ucap mbak Afifah dengan penuh rasa bersalah sambil terus menunduk.
“Yo wes gak opo-opo…anu iku, mengkin tulung celu’no mbak mbak pengurus…Ken sami teng Ndalem sa’wise jama’ah isya, enten rapat ngono”
[Ya sudah tidak apa-apa…anu itu, nanti tolong panggilkan mbak mbak pengurus, suruh ke dalem sesudah jama’ah isya, ada rapat gitu]
“Oowh..njih bu nyai njih”
[Oowh…baik bu nyai baik]
“Ehh…sek sek…”
[Ehh…nanti nanti…]
Terdengar suara bu nyai saat ketiga perempuan tadi hendak mencium tangan beliau untuk pamit undur diri menuju asrama putri
“Iku santri enggal yo fah?”
[Itu santri baru ya fah?]
Tanya Bu nyai terhadap Afifah, lalu mengalihkan pandangannya tehadap gadis yang tak lain adalah Fatimah
Setelah dipersilahkan, pak Ilyaspun masuk keruang tamu bersama Kyai Muhaimin yang kemudian duduk ditempat yang telah tersedia diruang tamu untuk siapa saja yang ingin sowan terhadap beliau
[Ya sudah fah, antar Fatimah keasrama ya…setelah itu buatkan minum tiga, bawa keruang tamu]
Dawuh Bu Nyai terhadap Afifah yang masih berada diteras bersama Fatimah dan juga kakak iparnya itu
“Oowh njih Bu Nyai njih”
[Oowh baik Bu Nyai baik]
Jawab Afifah tersenyum sambil menganggukan kepala dan terus menundukkan kepala sebagai wujud ta’dzim terhadap guru sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam kitab Ta’lim Muta’alim yang merupakan karya Imam Burhanuddin Ibrohim Az-zarnuji. Disini Imam Az-zarnuji menjelaskan bahwa seorang pelajar tidak akan mendapatkan ilmu melainkan ia menghormati ilmu dan juga pemiliknya, yaitu gurunya.
*****
Tak seperti santri baru lainnya yang memiliki banyak teman, Fatimah selalu sendirian hanya karena penampilan yang tak sesuai zaman. Kalaupun ada yang mendekat itupun karena sedang membutuhkan, setelah selesai ya ditinggalkan layaknya jeruk habis manis sepah dibuang. Namun Fatimah selalu dengan senang hati membantu siapapun yang membutuhkan bantuannya, karena baginya itu adalah salah satu upaya tuk menggapai apa yang ia impikan, menjadi orang bermanfaat bagi orang banyak. Hal ini seperti titah salah satu ‘Ulama Indonesia kelahiran Dompu, NTB yaitu Al Habib Saggaf bin Mahdi bin Idrus bin Syeikh Abu Bakar bin Salim, suatu ketika beliau pernah bertitah “Orang yang bermanfaat adalah orang yang memperhatikan orang banyak”. Itulah yang menjadi motivasi Fatimah dalam menjalani kehidupannya di Baiturrohman, suatu pesantren yang telah dipilihkan oleh abahnya untuknya dirinya beberapa waktu silam.
Pernah suatu ketika, disaat ziaroh makam orang tua Kyai Muhaimin yang terletak didesa sebelah, Fatimah dilempari batu oleh beberapa anak kecil yang merupakan santri sepesantren dengan dirinya, mungkin mereka berpikir orang yang berpenampilan tak sepadan sesuai zaman tak memiliki perasaan dan juga rasa sakit. “Tapi biarlah, toh baginda nabi tak pernah marah disaat banyak orang yang berusaha menyakitinya, justru beliau membalasnya dengan kebaikan…layaknya Air Tuba dibalas dengan Air Susu, terus kenapa saya musti jengkel ? Padahal orang yang membenciku tak sebanyak orang yang membenci baginda nabi dulu” jawab Fatimah disaat ada seseorang yang menanyakan kepribadian dirinya yang tak pernah jengkel menghadapi perilaku buruk anak-anak kecil itu bahkan teman-teman sebayanya sekalipun.
Sebagaimana rutinitas pesantren lainya yang berupa lalaran, takror, sorogan bahkan roan, Fatimah selalu menyempatkan diri datang ke perpustakaan pesantren yang bernama Babul Ilmi. Nama perputakaan ini adalah usulan dari Kyai Muhaimin yang terinspirasi oleh Sayyidina Ali Karomallohu wajha dengan mengharap barokah dari beliau supaya siapapun yang membaca buku disini memperoleh ilmu yang bermanfaat barokah sampai akhirat kelak.
Suatu ketika Baginda Nabi pernah bersabda انّا مدينة العلم و علي با بها yang artinya “Aku adalah kotanya ilmu dan ali adalah pintunya ilmu”. Tatkala kaum khawarij mendengar hadits ini, mereka mendengki kepada Sayyidina Ali dan berkumpullah sepuluh pemuka orang mereka, “Kita akan menanyakan satu masalah dan melihat bagaimana ia menjawab kita, seandainya ia menjawab masing-masing dari kita dengan jawaban lain, tahulah kita bahwa ia seorang yang alim sebagaimana dikatakan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw” kata salah seorang diantara mereka.
Satu persatu diantara mereka datang menemui Sayyidina Ali dengan satu pertanyaan yang sama yaitu “Hai Ali, mana yang lebih baik Ilmu atau Harta ?”. Lalu beliaupun menjawab “Ilmu lebih baik daripada Harta” dan beliau menjawab dengan alasan yang berbeda-beda.
“Ilmu itu warisan para nabi, sedangkan harta adalah warisan Qarun, Syaddad, Fir’aun dan lain lain”
“Ilmu menjagamu, sedangkan harta kau yang jaga”
“Pemilik harta memiliki banyak musuh, sedangkan pemilik Ilmu memiliki banyak teman”
“Apabila engkau belanjakan hartamu ia akan berkurang dan apabila engkau amalkan ilmumu ia akan bertambah”
“Pemilik harta bisa dipanggil si Pelit dan menjadi hina sedang pemilik ilmu dipanggil dengan sebutan agung dan mulia”
“Pemilik harta akan di hisab pada hari kiamat sedangkan pemilik ilmu akan memberi syafa’at pada hari kiamat
“Harta itu makin lama didiamkan makin bertambah using, sedang ilmu itu tidak bisa lapuk dan usang”
“Harta itu bisa membuat hati menjadi keras, sedang ilmu itu menerangi hati”
“Pemilik harta dikatakan sebagai pemillik harta dengan sebab harta, sedang orang yang berilmu mengaku sebagai hamba Allah”
Itulah jawaban beliau dari setiap pertanyaan orang-orang khawarij dengan satu pertanyaan yang sama.
*******
Hari demi hari terus terlewati, bahkan 4 tahunpun sudah terlampaui dalam mencari ilmu dipondok pesantren ini dan tentunya masih dengan sedikit teman yang menemani. Disisi lain karena penampilan yang tak sesuai zaman, mungkin juga karena Fatimah yang tak pernah disambang makanya hanya sedikit teman yang ingin berteman. Diantara temannya yang tak seberapa yaitu Hafidhoh namanya, ia memiliki cita-cita sebagai Hafidzoh sesuai dengan nama yang telah disematkan oleh orang tuanya untuk dirinya.
الحمد لله الذي قد وفقا للعلم خير خلقه وللتقي
“Mah….Fatimah”
“Eeh iyo…ono opo dzoh?”
Jawab Fatimah kaget karena sedang asyik lalaran kitab nadzom Al Imrithi dikelas diniyyah pagi yang saat itu sedang waktu istirahat
“Rencangi marang asrama yuh mah,,,awa’ku pengen Dhuhaan koh hhehe”
[Temani ke asrama yok mah,,,saya pengen Dhuhaan hhehe]
“Owalah iyo yo…iki kan rutinitasmu yoh dzoh hhehe aku lali”
[Owalah iya ya…ini kan rutinitasmu yah dzoh hhehe saya lupa]
“ Wuuuuushhh iyo ndaklah… ih tapi dunga’no wae sih iso istiqomah dugi pejah hhehe aamiin”
[Wuuuuushh iya tidaklah…ih tapi doakan saja sih biar bisa istiqomah sampai mati hhehe aamiin]
“Aaamiiiinnnnnnn”
Jawab Fatimah bahagia, karena memiliki teman yang mampu menerima dirinya apa adanya dan selalu menjadi partner dirinya dalam hal kebaikan, terutama dalam hal ngalap barokah sang guru.
Seperti contoh dalam hal menata sandal sang guru, pernah suatu ketika disaat pengajian sudah usai Fatimah dan Aisyah langsung berlari menuju tempat sandal Nyai Muhimah untuk memasangkan sandal tersebut terhadap pemiliknya.
“Yeyyy aku sek sing masangno sandale Bu Nyai” Sorak Aisyah terhadap Fatimah karena merasa kali ini menang tak seperti sebelum-sebelumnya
[Yeyyy saya dulu yang memasangkan sandalnya Bu Nyai]
“Tapi kan sidane aku sek seng salaman mbi Bu Nyai weeeeee” jawab Fatimah tak mau kalah
[Tapi kan jadinya aku dulu yang cium tangan sama Bu Nyai weeee]
Layaknya kisah Mbah Hasyim Asy’ari dan juga Mbah Ahmad Dahlan kala mondok ditempatnya Kyai Sholeh Darat Semarang dulu, beliau berdua adalah sesosok santri yang selalu berlomba lomba dalam hal kebaikan apalagi dalam hal ngalap barokah sang guru.
“Yo wes podo wae kedumen Barokah” Ucap Bu Nyai sambil tersenyum dan menggelengkan kepala yang ternyata dari tadi mendengar pembicaraan mereka
[Ya sudah sama-sama kebagian Barokah]
“Eehh Bu Nyai” Ujar mereka berdua kaget, karena tak menyangka sesosok yang dikiranya udah masuk ke Ndalem tuk istirahat justru mendengarkan pembicaraan mereka berdua barusan
“Yo wes dzoh, aku tak marang lantai 2 sek…ajeng mundut sepatu hhehe,,,ajeng nderek tah ? ngrencangi aku hihihi” Ujar Fatimah dengan mringis mringis
[Ya sudah dzoh, saya ke lantai 2 dulu…mau ambil sepatu hhehe,,,mau ikut yah? Menemani saya hihihi]
“Hhaha ndak lah suwun,,,aku tak sholate sek mumpung durung masuk Diniyyah” Jawab Aisyah tertawa lalu nyelonong masuk ke asrama yang sebelumnya sudah wudhu ditempat khusus wudhu
[Hhaha tidaklah makasih,,,saya mau sholat dulu mumpung belum masuk Diniyyah]
Bruuuuuukkkkkk tiba-tiba suara menggelegar datang dari arah asrama putri yang mampu mengagetkan seluruh penjuru pondok putra dan putri
*****
Beberapa detik setelah Aisyah masuk asrama, akhirnya ku memutuskan pergi menuju lantai dua tuk mengambil sepatu yang tadi pagi baru saja dikeringkan karena basah terkena air saat olahraga dilapangan yang semalam diguyur hujan.
“Owalah…wes mendung neh,,,nek gak giri-giri tak juput iso teles neh sepatuku iki keno udan” Desisku saat menaiki anak tangga menuju lantai dua dengan tergesa
[Owalah…udah mendung saja,,,kalau tidak cepat diambil bisa basah lagi sepatuku ini kena hujan]
Sesampai dilantai dua, ku langsung menuju tempat dimana sepatuku dikeringkan.
Bruuuuuukkkk
Ada sesuatu yang aneh didalam diriku ini, tubuh ini serasa melayang diudara selama beberapa detik melewati atap asrama putri lantai satu. Dan dengan sadar ku telah berada didepan pintu asrama putri lantai satu melewati atap asbes yang baru saja terinjak oleh kakiku beberapa detik yang lalu. Dengan posisi ku berdiri dengan satu kaki ingin rasanya ku pergi menuju Ndalem, meminta maaf terhadap Pak Kyai dan juga Ibu Nyai atas keteledoranku ini, namun apakah mereka mau memaafkan diriku ? toh saya telah merusak salah satu fasilitas asrama pondok berupa atap karena terinjak olehku tadi.
Banyak orang berhamburan mengelilingiku, sungguh kusangat malu dan tiba-tiba ada sesosok wanita paruh baya menghampiri dan langsung memeluk diriku, dialah Nyai Muhimah.
“Oowalah ndukkkk nduk” Ucap beliau sambil terus meneteskan air mata yang mampu menyetrum seluruh santri disekitarnya ikut menangis.
“Kang Ahmad, kang….ndang siapken mobil, sak marine budalo marang Klinik Peterongan, Jombang” Dawuh Bu Nyai terhadap kang sopir pondok dengan cepat.
[Kang Ahmad, kang….cepat siapkan mobil, setelah itu pergi ke Klinik Peterongan, Jombang]
Ternyata Bu Nyai mengkhawatirkan diriku dan tak memarahiku karena telah merusak atap pondok atas keteledoranku tadi.
“Njih Bu Nyai njih…” jawab kang Ahmad cepat
Setelah mobil siap, empat mbak pengurus menggendongku menuju mobil dan langsung menuju Klinik
“Assalamu’alaikum kang Ahmad, pie kabare Fatimah ?” Ucap seseorang dari telephon yang ternyata Kyai Muhaimin dan juga Nyai Muhimah. Terlihat kang Ahmad serius menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh sang pengasuh pondok.
“Mbak, punten bethoen Fatimah marang mobil…teras kito nganter Fatimah wangsul marang Banyumas…pean hafal dalane kan mah ?” Ucap kang Ahmad terhadap mbak pengurus lalu menanyakan perihal jalan arah pulang terhadapku
“Njih hafal kang, tapi nopo Fatimah wangsul ? kan Fatimah mboten nopo-nopo” Ucapku sambil tersenyum menyembunyikan rasa sakit
“Walah walah Fatimah…Fatimah, awakmu miki yo gak iso mlaku,wes manuten Pak Kyai lan Bu nyai…dirawat sek neng nggriyone pean dugi mantun, sak marine yo teko marang pondok neh…yo”
“Njih…sendiko dawuh” Ucapku dengan agak lemas
Setelah keluar dari klinik, kami langsung meneruskan perjalanan menuju Banyumas tempat tinggalku berada. Jam demi jam kami lalui melewati beberapa kabupaten menaiki mobil Sedan ini dan akhirnya nampaklah gapura Selamat Datang dikota Banyumas.
“Assalamu’alaikum” Ucap kang Ahmad sesampainya dirumah yang telah kutunjuk barusan
“Wa’alaikum salam wr.wb” Jawab seorang sepuh berambut putih dari dalam rumah lalu langsung membukakan pintu
“Eeeh Mbah Yai, Assalamu’alaikum” Ucap kang Ahmad kaget saat tiba tiba pintu dibuka oleh seseorang yang tak asing lagi, dan tanpa pikir panjang ia langsung mencium tangan orang sepuh itu. Beliaulah Mbah Yai Muhammad, sesosok sepuh yang merupakan gurunya Kyai Muhaimin dan juga Nyai Muhimah.
Dulu kang Ahmad pernah bertemu dengan beliau saat ziarah ke Sunan Pandanaran yang terletak di kecamatan Bayat, Klaten Jawa Tengah kala diajak oleh Kyai Muhaimin dan juga seluruh keluarga Ndalem saat itu. Jadi kang Ahmad belum pernah sowan terhadap beliau ke Ndalemnya, yang ia tau ya Ndalemnya Mbah Yai Muhammad ada di Banyumas sudah itu saja. Dan detik ini, tanpa sengaja ia mendatangi Ndalemnya beliau karena mengantar Fatimah pulang kerumah.
Setelah dipersilahkan masuk dan dipersilahkan makan disertai obrolan agak panjang, akhirnya kang Ahmad pamit undur diri bersama empat mbak santri yang menemaninya tadi mengantar Fatimah pulang kerumah yang ternyata adalah putri dari gurunya pengasuh pondok pesantrenn Baiturrohman itu.
*****
“Yo wes pak, sesuk dewek rono mbesuk Fatimah sekalian sowan yo….” Tutur Nyai Muhimah terhadap suaminya itu kala mendengar tuturan kang Ahmad barusan.
“Oowh iyo yo siap” Ujar Kyai Muhaimin
“Eh sek, sesuk kan ibune pean ajeng mriki…moso iyo ajeng ditilar ?” Ungkap Kyai lagi
“Alhamdulillah wes pak…” Ujar Nyai Muhimah dari dalam lalu mengikuti sang suami ketempat mobil yang telah disediakan oleh kang Ahmad.
Tin-tinn
Terdengar suara mobil dari arah luar yang ternyata Mbah Yai Muhammad beserta sang istri tercinta Nyai Khodijah namanya dan disusul pula oleh Fatimah.
Setelah uluk salam, akhirnya Mbah Yai beserta keluarga dipersilahkan masuk oleh Kyai Muhaimin. Ditemani beberapa hidangan yang telah tersajikan, mereka lalu mengobrol tentang perkembangan Baiturrohman yang telah lama berdiri itu.
“Alhamdulillah Mbah Yai, pondoke berkembang pesat” Ujar Kyai Muhaimin saat ditanya oleh gurunya itu.
Setelah dirasa obrolan sudah cukup, akhirnya Mbah Yai pamit Kondur beserta Nyai Khodijah dan Fatimah ditinggal sendiri karena harus menyelesaikan belajarnya yang tinggal dua tahun lagi
“Fatimah….” Panggil Nyai Muhimah
“Njih Bu Nyai…” Jawab Fatimah dengan terus menunduk sebagai wujud ta’dzim terhadap guru yang telah membimbingnya itu
“Lappo awakmu gak cerito nek pean iku putrinipun Mbah Yai Muhammad ?”
“Mboten nopo Bu Nyai” Jawab Fatimah dengan tersenyum dan terus menundukkan kepala
“Yo wes, saiki awakmu pindah kamar marang kamaripun putri kulo Nasiroh yo nduk”
“Eeh ndak usah Bu Nyai ndak usah…kulo teng asrama mawon” Tolak Fatimah dengan halus
“Yoo gak opo-opo…iki sebagai wujud khurmate kulo marang guru kulo lewat pean nduk… putrinipun guru kulo, mbok wujudipun khurmat ilmu iku khurmat marang pemilik ilmu lan keluaganipun”
“Nuwun agungiun pangapunten Bu Nyai…mboten susah saestu” Jawab Fatimah terenyum sambil terus menunduk menghadapi sesosok guru yang sangat menghormati bapaknya itu
“Nduk, sesuk nek awakmu mondok ojo sampe nempatno awakmu sebagai putrinipun kyai…awakmu kedah nempatno diri sebagai seorang santri…awakmu kedah khurmat marang gurumu, senajan gurumu kui muridipun bapakmu…yoo”
Pesan Abah yang selalu terngiang-ngiang dipikiran Fatimah sejak empat tahun lalu, disaat Fatimah mencium punggung tangan abah dan pamit hendak mencari ilmu di Jombang Jawa Timur yang diantar oleh kang mas dan juga mbakyu iparnya itu.
Ya walaupun pada akhirnya usaha menyembunyikan diri terungkapkan oleh pihak Ndalem dan seluruh warga pesantren Baiturrohman karena insiden kecelakaan dua minggu lalu.
Seorang Anak Desa dari Ujung Timur Negeri yang bernama Liben. Suara ayam yang begitu nyaring berbunyi dengan merdu membangunkannya dari tidur yang sangat nyenyak. Enggan membuka mata namun,akhirnya dengan perlahan-lahan ia ingin membuka mata.
“Demi Alek”….(Liben terkaget) karena melihat matahari yang sudah mengeluarkan sinar yang menyilaukan kamarnya. Liben pun bergegas lari menuju kamar mandi dan tanpa sarapan pagi untuk segera menuju ke sekolah Liben, SDN Yakomena Fak-fak Papua Barat. Dengan raut wajah yang takut dan detak jantung yang berdebar-debar karena kesiangan untuk datang ke sekolah, Liben Pun…..
“Sioo…Sy Terlambat Lagi… aduhhh!! Menuju gerbang sekolah
(muka cemas)”….
Satpam : “ Liben Ko Kenapa Datang Terlambat lagi….ada bikin apa di rumah ”?
…terlambat Trus haa! (nada Kesal bertanya)
Liben : “ bapak.. Sy cuman ketiduran sebentar saja bapa…, Hanya terlambat
beberapa menit saja Moo…” (* muka berharap)
Satpam : “ Kau ketiduran karena Apa kah… liat kau punya teman-teman datang tra
terlambat semua, hanya kau saja!..”
Liben : “ Sya Ketiduran karena kerjakan tugas Pak…Mohon Lahh pak…”
Satpam : “….Karena Saya barusan liat di buku Absen Terlambat, Kau sudah lebih
dari 3x terlambat jadi,…saya tra bisa kasih masuk kau ke Kelas….”
Liben : “ Terus sya harus ngapain bapa satpam………..”?
Satpam : Itu bukan saya pu Urusan…lain kali jangan sampai Terlambat…Ingat
konsekuensinnya…..Dengar Eee!
Setelah mendengar perkataan satpam sekolahnya, Liben berpikir “ Harus kemana ya aku “…..(*kan aku bolos main ke hutan ah)
Bergegas Liben menuju arah hutan untuk menghilangkan kejengkelannya karena dilarang masuk kedalam kelas, selama menuju perjalanan ke arah hutan, Liben menemui beberapa anak seumurannya yang tidak sekolah karena tidak ada biaya yang Bernama Aisake,Maruna dan Filindo untuk sama-sama diajak bermain Bersamannya kearah hutan.
Liben : “ We Aisake, Maruna Dan Ko Filindo….kam (Kalian) 3 ada mau bikin apa
disini ….?” (Ucap Liben bertaya kepada temannya)
Aiske : “ Kitorang (Kita) ada main-main saja dulu sebelum ke kebun bantu Mace
dan Pace (Ibu dan ayah) cabut Singkong untuk dijual ke Pasar….”
Liben : “ Kamorang (Kalian) ada main apa? Su selesai kah…..”?
Maruna : “ Kita tadi ada main Kayu Malele, tapi su selesai karena kita bertiga su
capek…Hufft” (Nada ringan sambal kelelahan)
Fillindo : “ Spa (siapa) suruh kau datang lama…!”
Liben : “Sioo kam semua begitu sekali. Oke sudah yow, Eh lupa gimana sy ajak
kamorang main ke hutan kah…Keliling-keliling Saja….Ada yang
mau….”?
Filindo : “Gimana ikut kah Tra’da (Tidak)..”?(sambil mencolek Aiske dan Maruna)
Aiske dan Maruna pun Bersama-sama menganggukkan kepalannya (menyatakan iya tanpa suara)
Liben : “Oke gas, sekarang mari kita berempat jalan…”
Siang hari yang sangat Terik dengan sinar matahari tepat berada di atas kepala mereka yang sama-sama menyusuri hutan untuk sekedar berkeliling saja. karena mereka kelelahan hanya berjalan-jalan dan mengelinlingi hutan saja, tibalah mereka di satu pondok hutan yang dibuat oleh masyarakat Pace-pace papua sebagai tempat berteduh Ketika hujan tiba yang terbuat dari Daun pohon sagu sebagai atapnya dan kayu matoa sebagai kerangka rumah pondok tersebut.
Mereka berempat bercengkrama berbicara dengan ceria, dengan Liben menceritakan beberapa kisah yang ia dapati selama sekolah yang duduk di kelas 4 seklah dasar agar kawan-kawannya yang putus sekolah mengetahui cerita-cerita menarik yang ia dapatkan.
Beberapa menit kemudian datanglah seorang pemuda kisaran umur 20 tahun yang Bernama Bang (Bg). Arfail datang kearah mereka berempat dengan membawa beberapa karung berisi hasil kebun berupa singkong, Talas hutan dan beberapa kilo Sagu untuk dijadikan makanan pokok masyarakat Papua. Semakin dekat pemuda tersebut mendekat kearah pondok dan mendekati anak-anak berempat tersebut dan berkata…
Bg Arfail : “ Weee…Anak kecil kalian ada bikin apa di dalam Hutan jam segini…”?
(Ucap Arfail, dengan menatap baju Liben)
Liben : “ Bah Bang…Kitorang (kita semua) hanya keliling saja terus diam-diam
saja di pondok sini…Tra (tidak) macam-macam,….Amannn!!! ”
(raut wajah yang takut dengan sedikit garukan kepala)
Bg Arfail : “ Baru Iben kenapa ko(kau) masih pakai seragam sekolah di hutan
sini…Jangan-jangan Ko (kau) Tra (Tidak) Pigi sekolah to?…Jujur!”
Liben : “ Ohh iyo…hehehe sy tadi ada terlambat sedikit saja,Tapi tra bisa masuk
Lagi ke dalam kelas….”
Bg Arfail : “ Sioooo…..,sayang sekali Oooo….(sambil geleng kepala). Oke sudah
kam lanjut Main Sa (saya) ad acari sesuatu di belakang
pondok…Jangan ada yang ikut !!!….”
Serentak Liben,Maruna,Aiske dan Filindo Oke bang….Ko (kau) lanjuktkan sudah…
Setelah lumayan lama tanpa balik kearah pondok, Liben berinisiatif mengajak Maruna, Aiske,dan Filindo unutk menemui bang Arfail yang agak jauh dari belakang pondok.Karena penasaran yang dilakukan oleh bang arfail, Iben menyeletuk bersuara dan berkata..
Liben : “ Bang ada petik daun apa itu…?” (sambil terheran melihat banyak daun
yang dipetik kedalam karung)
Bg Arfail : “ Kamorang (kalian)….kan tadi sa su bilang jangan kesini..pergi sana
kalian masih kecil jangan kesini….!!! (wajah ketakutan karena ketahuan anak kecil)
Filindo : “ Habis dari tadi katong(kita) ada tunggu abang tra (tidak) balik ke
pondok,jdi kita semua cari abang…”
karena pembicaraan Filindo tidak digubris oleh bang Arfail, mereka pun penasaran daun apa yang sedang dipetik untuk dimasukkan ke dalam karung putih besar.
Bg. Arfail : “ Kam (kalian) jangan kasih tau orang lain kalua disini banyak daun
bungkus..karena banyak yang cari….!”
Dibuat Heran mereka apa sebenarnya Daun yang dipetik itu….
Liben : “ Bang Arfail emang Daun Bungkus itu apa bang….
Dengan raut wajah panik untuk memberitahukan daun bungkus tersebut kepada anak-anak itu…..
Bg. Arfail : “Sa(saya) kasih tau kalian tapi, Kam(kalian) janji jangan dibuat main
Eeee….”
Mereka berempat saling bersautan
“ Aihhh…Paling lama eee …kasih tau sudah bang….Kitorang(kita semua) pasti janji……”
Libena : “ Trus da(dia) punya cara pakainya itu gimana bang…”?
Bg. Arfail : “ Da(dia) Punya cara pakai tu (itu), Kam (kalian) tinggal ambil beberapa
daun bungkus 5 kah atau 3, Trus kamorang(kalian) Remas-remas
sampe keluar air hijau dari daunnya….terakhir kam gosong air Daun
Bungkus ke alat kelamin….tunggu sampe da(dia) reaksi baru
membesar…..”
Merasa karung yang Arfail bawa untuk mencari Daun Bungkus telah penuh,Arfail akhirnya bergegas untuk keluar dari hutan…
Bg. Arfail : “ Weee…anak-anak kamorang Jangan ambil daun itu Eee…
Kam(kalian) Masih kecil,itu orang dewasa saja yang boleh….Abang
mau pi(Pergi) jalan duluan….Kamorang jangan sampe malam di
dalam hutan sini….!!!”
Dengan Langkah yang Panjang Arfail langsung meninggalkan anak kecil tersebut….
Seketika itu pula,Liben merasa penarasan pada Daun Bungkus dengan ingin mencobannya Bersama Teman-Temannya…
Liben : “Weee…,kamorang (kalian) mari kita coba kah…diam-diam saja
Tapi….!”
Mereka bertiga masih memikirkan apa yang diucapkan oleh Liben,karena mereka merasa penasaran akihirnya mengiyakan yang di ucapkan Liben.
Maruna : “ Sa(saya) Ikut sudah….”
Aiske : “Hmm…oke”
Filindo : “…sy juga deh!” (dengan muka khawatir)
Liben : “ kalo(kalau) gitu sabar eee….Sa(saya) panjat pohon sagu dulu karena
tinggal diatas Daun Bungkusnya….”
Mereka bertiga Maruna,Aiske dan Filindo terduduk sambil menunggu Liben turun dari pohon untuk mengambil Daun Bungkus yang Tersisa sedikit diatas.Beberapa menit kemudian Liben berhasil mendapatkan Daun Bungkus tersebut.
Liben : “Weee…kalian sini dulu…Sa(saya) sudah dapat daunnnya…”
Filindo : “ ada kah yang mau coba pertama…,Aiske gimana..?”
Karena terjadi perdebatan diantara teman-temannya,Liben pun menunjukkan dirinya sendiri untuk mencoba Daun Bungkus tersebut lebih awal.
Liben : “ kalo kam(kalian) tidak ada yang mau coba pakai pertama biar saya saja
sudah, Sa(saya) mau remas-remas daun bungkusnya dulu…baru Sa(saya)
Oles Cairannya di kemaluanku….”
Melihat Liben yang tanpa takut untuk mengoleskan cairan Daun Bungkus ke kemaluannya, kawan-kawannya pun masih khawatir karena mengingat perkataan Bang Arfail tadi.
Liben : “Weee…Sa(saya) sudah selesai oles nih…,giliran sapa(siapa) yang mau
berikutnya….?” (Ucap Liben dengan nada meyakinkan kawannya)
Aiske : “Iben Sa(saya) Takut Eeee…Ndak jadi Ahh…!”
Filindo : “Gimana yak…..ikut Aiske saja saya…”
Maruna : “Sa(saya) juga…jangan macam-macam sudah”
Liben : “Demi Kasus…Eeee tadi kamorang(kalian) bilang mau pakai juga”(muka
kesal kepada teman-temannya)
karena hanya Liben saja yang mau memakai Daun Bungkus itu dan waktu telah Menunjukkan matahari mulai terbenam,mereka berempat langsung bergegas keluar dari hutan tersebut untuk menuju rumah masing-masing.Sesampainya di rumah liben pun langsung membersihkan tubuhnya kecuali daerah alat kelaminnya karena kaingintahunnya adanya reaksi dari Daun Bungkus tersebut.
Malam pun tiba, Liben bersiap-siap untuk tidur dikamarnya sendiri.Karena waktu Liben membersihkan tubuhnya selain daerah Kemaluannya Daun Bungkus itu akhirnya bereaksi Ketika malam hari,Ia merasa gatal dan panas pada daerah kemaluannya/alat kelamin. Pagi harinya Liben merasa bahwa alat vitalnya menjadi besar dan sangat merah karena mengalami pembengkakan karena reaksi dari Daun Bungkus itu yang Liben pakai semalam.Hingga alhirnya Liben pun memanggil Pace(ayah/Bapa) dan Mace(ibu/Mama) nya karena merasa khawatir.
Liben : “Mamaaa….Tolong Sa(saya) dulu sini cepat….Ade tra kuat ada gatal dan
panas ini!” (sambil menahan rasa gatal dan panas)
Mama : “Ko(kau) kenapa lagi….pagi-pagi sudah teriak Bokar(besar) sekali…?”
Liben : “Ini Maaa….,Sa(saya) punya alat kelamin..ada rasa gatal dan panas sekali
terus da(dia) juga merah…Sa(saya) takut)”
Mama : “Coba sini Mama liat dulu……Demi Tuhan ko(kau) kemarin habis main apa
ini, bisa besar begitu kau punya alat kelamin” (dengan muka marah)
Liben : “Kemarin tu saya ada main Daun Bungkus dihutan Maaa….”
Mama : “Astaga Tuhan….Su(sudah) jadi bengkak begitu….mari kita ke rumah sakit
sudah biar ko(kau) dapat obat dari dokter kasih hilang rasa sakitnya….”
Bersiap-siap mamanya Liben memanggil bapak liben untuk mengantar anaknya ke rumah sakit karena tak kuat melihat liben menahan rasa panas dan gatal akibat dari Daun Bungkus tersebut.
Mama : “Bapaa…kesini dulu(memanggil bapa liben yang ada diteras rumah) liat
anakmu kasian sekali…”
Bapa : “Kenapa Dia(liben)?, dimana dia Maa….?”
Mama : “Liben ada di kamar kasian anakmu,Kemarin habis main Daun Bungkus
dihutan…”
Bapa : “Astaga Liben…..Mari kita bawa dia ke Rumah sakit buruan…!!!”
Akhirnya Orang tua liben membawanya ke rumah sakit umum daerah terdekat agar liben cepat mendapatkan penangganan untuk menghilangkan rasa sakit gatal,kemerahan dan pembengkakan pada alat vitalnya.
Setelah beberapa lama diperjalanan tibalah mereka dirumah sakit,Liben langsung dimasukkan ke dalam IGD untuk mendapatkan penangganan Bapa Liben menuju Administrasi untuk mengurus biaya obat dan penangganan liben. Hampir 30 menit Liben berada diruang IGD diberikan obat rasa sakit gatal dan panas, mulai mereda.
Dokter : “Aduh…kenapa kau punya alat kelamin jadi begitu habis main Apa
Nak…”(Nada pelan mengambil hati Liben untuk jujur)
Liben : “Aaaa…Saya kemarin ada main Daun Bungkus dihutan Dok…”
Dokter : “Kau pakai berapa Daun Bungkus itu kau kasih ke alat kelaminmu…?”
Liben : “Sa(saya) lupa Dok kayaknya sekitar 8 lembar lebih….”
(dengan wajah tersenyum tipis)
Dokter : “ Aduhhh….Masih kecil baru mainan aneh-aneh…untung saja kau punya
alat kelamin cepat di Obati,kalau tidak akan membesar tidak bisa balik kembali lagi itu…..Kapok kah tidak..?”
Liben : “Iya Dok…Sa(saya) kapok,tidak akan main dan pakai Daun Bungkus itu
Lagi…..”
Setelah mendapat peringatan dari dokter kulit yang menanggani masalah alat kelamin Liben akibat efek dari Daun Bungkus tersebut,Kini Liben sedang mengalami masa pemulihan dan rutin menggunakan obat salep agar alat kelaminnya lekas membaik dari kemerahan dan sedikit pembengkakan yang ditimbulkan. Karena ini adalah permasalahan awal yang terjadi pada anak dibawah umur akibat kurang adanya pengawasan orangtua pada anaknya maka pihak rumah sakit mengambil Tindakan kepada Dinas Kesehatan daerah Fak-fak untuk memberikan penyuluhan/sosialisasi kepada seluruh orang tua tentang kandungan dan efek yang diakibatkan dari Daun Bungkus bagi Kesehatan alat kelamin apabila dipakai oleh anak dibawah umur ataupun orang dewasa.
Berdasarkan hasil pengamatan tentang kandungan Daun Bungkus sangat berbahaya bagi Kesehatan alat Kelamin karena kulit kelamin yang tipis mampu merusak jaringan didalamnnya sehingga terjadi pembengkakan. Daun bungkus biasannya dilakukan oleh orang dewasa papua tidak lebih dari 5 lembar daun,Hingga saat ini masih belum ada aturan pakai yang jelas tentang cara pemakaiannya.semoga dengan adanya penyuluhan/sosialisasi dari pemerintah mampu memberikan pemahaman untuk menjaga Kesehatan alat kelamin dengan tidak memakai bahan dasar yang belum diketahui kadar/Efek yang akan ditimbulkan kedepannya bagi Kesehatan tubuh.
Pondok Pesantren Al Ikhlas yang terletak di Desa Sukamulya, Kuningan Jawa Barat baru 3 tahun dibangun. Namun santri sudah banyak yang menimba ilmu di sana. Kyai Hari adalah pendiri sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Al Ikhlas. Kyai Hari dan tim masih gencar mencari donatur untuk terus melakukan pembangunan dan pembaruan bangunan di Pondok Pesantren Al ikhlas.
Selain pondok pesantren, juga terdapat sekolah madrasah bernama MTS Al Ikhlas Sukamulya. Usia sama seperti pondok pesantren, karena memang dibangun berbarengan. Angkatan pertama masih 30 siswa yang semuanya mondok. Angkatan kedua naik menjadi 100 siswa, dan di angkatan ketiga ini sudah mencapai 225 siswa. Memang tidak diwajibkan mondok untuk anak-anak dekat pesantren, jadi siswa ada yang mondok ada yang hanya bersekolah saja.
Dewi dan Yuni yang bersahabat akrab dan merupakan santri di Pondok Pesantren Al Ikhlas. Mereka santri yang rajin dan pandai. Sama-sama dari Desa Sukamulya dan mondok di pesantren ini. Dewi sangat fasih bertilawah Alquran, sedangkan Yuni sedang menghafal Alquran sudah 3 juz.
“Yun, besok kita pulang bareng ya ke rumah. Tapi pagi gimana?” tanya Dewi.
“Pagi banget aja kali ya jam lima gimana?” Yuni balik bertanya.
“Oke setuju.” Jawab Dewi mantap.
Keesokan harinya Dewi dan Yuni pulang ke rumah masing-masing. Mereka pulang berjalan kaki karena memang letak pondok tidak terlalu jauh dari rumah mereka. Santri yang lain pun banyak yang pulang. Rutinitas mereka bagi yang rumahnya dekat jika Minggu tiba mereka akan pulang. Jika yang rumahnya jauh, para keluarga banyak yang mengunjungi.
Sesampainya di rumah, Dewi langsung disambut kedua adiknya yang masih balita. Sedangkan ibu Dewi seperti biasa sudah memasak masakan kesukaan Dewi yaitu sayur asem, ikan asin cucut, dan sambal terasi. Dewi pun langsung sarapan dengan lahapnya.
“Ayah mana Bu?”
“Oh iya, Ibu lupa bilang sama kamu ya, semalam ayah berangkat ke Jakarta Nak. Mendadak mang Ucup pulang kampung, istrinya sakit.” Terang ibu.
“Ya nanti kan ayah pulang lagi, sabar atuh.” Bujuk ibu.
Sementara di lain tempat. Yuni pulang tapi ayah dan ibunya tidak ada, melainkan kakak Yuni yang ada di rumah.
“Teh Yeni kapan datang?” tanya Yuni.
“Kamu Dek, bukannya salam dulu, langsung ajanyelononggitu.”
“Iya Teh, abis Yuni seneng ada Teteh di sini.”
“Ini Teteh baru datang si, semalem ayah nelpon, katanya Teteh suruh pulang, ada yang mau diomongin, penting banget katanya.” Terang Yeni. Yeni bekerja sebagai staf administrasi di Jakarta di perusahaan percetakan. Walau hanya lulusan SMA, tapi Yeni sangat gigih dalam bekerja. Selama ini Yeni yang membiayai sekolah Yuni. Karena ayah memang sudah sakit-sakitan tak kuat bekerja. Selain mempunyai penyakit asma, juga asam urat ayah kerap kambuh. Usia ayah masih 49 tahun, masih belum terlalu tua, tapi karena sakit yang dideritanya ayah lebih sering di rumah. Awalnya ayah adalah penjual cilok keliling. Gerobaknya pun masih ada. Sesekali jika sedang benar-benar sehat, baru ayah akan berjualan. Dulu sebelum sakit ayah juga seorang yang sangat rajin.
“Oh, terus ayah sama ibu ke mana Teh?” tanya Yuni lagi.
“Nah itu, Teteh juga belum tahu.”
Saat Yuni dan Yeni sedang mengobrol, ayah dan ibu datang. Setelah masuk dan duduk. Ayah dan ibu kemudian berbicara pada Yuni dan Yeni.
“Sebelum Ayah dan Ibu bicara, Yuni tanya kalian dari mana?”
“Kami dari rumah nenek.” Jawab Ibu.
“Tunggu, terus kenapa Ayah terlihat pucat? Ayah kambuh?” tanya Yeni.
“Ayah tidak apa-apa, mungkin Ayah kecapean saja.” Jawab Ayah singkat.
“Yuni, Yani, biarkan Ibu selesai bicara, jangan potong pembicaraan sebelum ibu selesai bicara ya. Sebenarnya Ibu sakit, tak kalah sakitnya dari Ayah. Mungkin umur Ibu sudah tidak lama lagi. Ibu terkena leukimia. Ibu takut tak bisa lagi mengurus Ayah. Selama ini ibu menahan sakit sendiri, tapi kali ini Ibu harus jujur. Ibu akan pulang ke rumah nenek. Ibu sudah tidak bisa lagi bersama Ayah. Ibu ingin berpisah dari Ayah. Perlu kalian tahu, Ayah sudah setuju. Ibu harap kalian juga setuju. Kalian harus tahu Ibu sayang sekali pada kalian, tapi Ibu hanya manusia biasa. Ibu punya pilihan hidup di sisa umur Ibu sekarang ini.”
“Tidak mungkin, Ibu pasti bohong kan?” Yuni berkata dengan suara keras karena tidak percaya.
“Iya Ibu jangan bercanda.” Timpal Yeni.
“Ayah, kenapa diam saja? Ayah?!” Teriak Yuni.
“Itu pilihan Ibu.” Hanya itu yang terucap dari mulut ayah.
Tanpa basa-basi, Ibu pergi meninggalkan rumah membawa sebuah koper besar yang memang ternyata sudah ibu persiapkan jauh-jauh hari. Ibu akan pulang ke Bandung, ke rumah orang tua ibu, nenek dan kakek Yuni dan Yeni. Jika orang tua ayah tinggal tidak jauh dari rumah, sekitar 200 meter saja. Semua sudah setuju. Tapi bagi Yeni dan Yuni ini sangat mengejutkan, bak sambaran petir di siang bolong. Apalagi Yuni. Yuni tak henti-hentinya menangis. Yeni sebagai anak sulung berusaha berbesar hati menerima kenyataan ini. Yeni dan ayah terus membujuk Yuni dan menenangkannya. Besoknya Dewi berangkat ke pondok hanya sendiri karena Yuni belum bisa ke pondok. Keadaan Yuni masih sangat terpukul dengan perceraian kedua orang tuanya.
Hari Selasa sore Yeni berangkat ke Jakarta lagi. Sebenarnya Yeni tak tega jika harus meninggalkan ayahnya sendirian, karena Yuni harus kembali ke pondok. Tapi setelah ayah meyakinkan bahwa ia bisa jaga diri, maka Yeni pun berangkat ke Jakarta lagi. Rabu pagi Yuni sudah kembali ke pondok. Saat Dewi bertanya kenapa Yuni baru masuk hari ini, Yuni hanya berkata bahwa ia nanti akan bercerita semuanya.
“Yuni, tolong nanti persiapkan diri kamu ya, seminggu lagi ada perlombaan tilawah Alquran. Kamu dan Dewi yang mewakili MTS ini, kemarin Dewi sudah mulai berlatih. Hari ini kamu ikut ya berlatih.” Ucap bu Rina wali kelas Dewi dan Yuni.
“Iya Bu.” Ucap Yuni.
Yuni masih murung. Dewi sebenarnya sudah ingin mendengarkan cerita Yuni, namun karena keadaan Yuni masih seperti itu Dewi pun menundanya. Jam 5 sore saat kegiatan sekolah dan pesantren selesai, Yuni mengajak Dewi ke taman belakang pondok. Sejak pagi Yuni hanya berbicara seperlunya saja. Dewi pun mengikuti Yuni berjalan di belakangnya. Namun saat hendak sampai ke taman belakang pondok, tiba-tiba…
“Aaaaaaaaaaaa, haha haha haha …” Yuni berteriak dan tertawa sangat keras membuat Dewi terkejut.
“Yuni Ya Allah.”
“Tolong! Tolong!” teriak Dewi
Kyai Hari sang pemilik pesantren datang bersama para santri. Lalu mengobati Yuni yang kesurupan. Setelah sadar Yuni pun menangis. Yuni bercerita bahwa kedua orang tuanya bercerai. Yuni sangat sedih. Dewi pun menemani Yuni bersama kawan-kawan lainnya. Tiga hari berturut-turut Yuni selalu kesurupan. Akhirnya, atas permintaan ayah Yuni, Yuni sementara dirumahkan dahulu sambil terus diobati. Sementara lomba tilawah Alquran Yuni digantikan oleh Zaskia.
Awal bulan ini Kyai Hari pergi ke luar kota untuk urusan keluarga. Selama tiga hari Kyai Hari pergi. Maka otomatis semua guru ikut bertanggung jawab menjaga pesantren ini. Hari pertama Kyai Hari pergi ada peristiwa kesurupan dialami oleh Diana.
“Tolong Pak, Diana teriak sepertinya kesurupan.” Ucap Rini.
“Tenangkan dulu, saya telepon Kyai Hari dulu, saya tanya beliau untuk mengobati Diana.” Ucap pak Dahlan guru bahasa Arab.
“Maaf Pak, biar saya saja, saya Insya Allah bisa.” Pak Udin sang pesuruh sekolah tiba-tiba datang dan menawarkan diri.
“Baiklah Pak.” Ucap pak Dahlan.
Setelah pak Udin komat-kamit tanpa suara, Diana pun sadar. Pak Dahlan dan para santri yang lain baru mengetahui jika pak Udin bisa mengobati santri yang kesurupan. Semua berterima kasih kepada pak Udin. Setelah itu mereka bubar. Keesokan harinya ada kesurupan lagi, kali ini menimpa Rini. Dengan sigap pak Udin pun mengobatinya.
“Pak Dahlan, tunggu saya mau bicara.” Ucap pak Udin menghentikan langkah pak Dahlan.
“Iya kenapa Pak?” tanya pak Dahlan.
“Sebenarnya pondok pesantren ini sudah tidak aman Pak, para penunggu di sini semakin jahil, Bapak lihat kan kesurupan yang terjadi? Maaf pak mereka minta tumbal, jika pembangunan tetap dilanjutkan.” Terang pak Udin panjang lebar.
“Pak Udin tahu dari mana? Tumbal? Masa iya?” pak Dahlan seolah tak percaya.
“Iya Pak, saya mohon Bapak tolong bicara pada Kyai Hari untuk menghentikan pembangunan gedung baru yang dilaksanakan bulan depan. Kabarnya ruangan akan menjorok ke halaman rumah saya kan Pak?” ucap pak Udin semakin tegas.
“Bapak kata siapa kalau pembangunan ruangan baru bakal menjorok ke halaman rumah Bapak?” pak Dahlan balik bertanya.
“Walau Kyai Hari belum bicara bahkan belum minta izin pada saya, saya tahu Pak.” Jawab pak Udin.
“Sudahlah Pak, nanti kita bicara pada Kyai Hari.” Ucap pak Dahlan sambil berlalu.
Keesokan harinya Diana dan Rini berbarengan kesurupan. Aneh memang, namun selalu saja pak Udin sigap mengobati. Sebenarnya Dewi agak curiga bahwa ini seperti rekayasa. Tapi sebelum ada bukti Dewi tak mau gegabah. Yuni, andai kamu di sini, pasti kita pecahkan masalah ini sama-sama, gumam Dewi dalam hati.
Setelah lima hari libur, Yuni akhirnya masuk ke pesantren lagi diantar sang ayah. Yuni terlihat lebih bergairah dari sebelumnya. Yuni kembali bersemangat. Yuni sudah lebih bisa menerima keadaan. Setelah Yuni kembali ke pesantren, Dewi pun menceritakan semua peristiwa yang terjadi. Termasuk akan kecurigaannya. Dewi dan Yuni sepakat akan menyelidiki lebih jauh. Dewi dan Yuni selain sama-sama santri cerdas juga dulu pernah memergoki pencurian monitor komputer di ruang guru, dan akhirnya berhasil ditangkap, juga pernah mengungkap kasus pencurian uang dapur yang dilakukan bu Saodah, hingga akhirnya bu Saodah dikeluarkan. Kali ini Dewi dan Yuni akan menyelidiki keganjilan kesurupan ini dan mengumpulkan bukti. Walau masih duduk di kelas 8, tapi jiwa detektif Dewi dan Yuni sangat hebat.
Pondok pesantren ini memang belum memiliki cctv, jadi lebih susah untuk melacak. Harus ada siasat. Kyai Hari yang awalnya berencana pergi hanya tiga hari ternyata seminggu baru kembali. Dewi dan Yuni sudah meminta izin pada Kyai Hari untuk melakukan penyelidikan. Saat Dewi dan Yuni berjalan menuju taman belakang hendak belajar bersama kawan lain ada Diva dan Lia, tiba-tiba di kejauhan mereka melihat pak Udin, Diana, dan Rini sedang berbicara serius. Dewi yang awalnya sudah curiga sigap mengambil HP kemudian memvideokan percakapan mereka, setelah memberi aba-aba pada kawan-kawan untuk mereka berjaga dan jangan mengeluarkan suara. Dari balik pohon rambutan Dewi memvideokan.
“Diana, Rini kalian harus bisa bujuk kawan kalian yang lain untuk berpura-pura kesurupan, kalau Cuma kalian berdua saja terlalu terlihat rekayasa. Tapi ingat jangan bicara pada Dewi, Yuni, Diva, Lia atau kawan lain yang dekat dengan mereka. Jadi kapan kalian akan mulai mengajak kawan lain? Bapak tak bisa menunggu lebih lama lagi.”.
“Sebenarnya saya sudah tak mau melanjutkan ini Pak.” Jawab Diana.
“Iya saya juga sudah tak mau Pak.” Timpal Rini.
“Oh, jadi kalian mau menunggak uang bulanan lebih lama? Saya tahu kalian berdua sudah telat tak membayar uang bulanan pesantren kan, kalau tak mau melanjutkan lagi. Serahkan uang seratus ribu yang kemarin saya kasih ke kalian.” Ancam pak Udin.
“Baik Pak kami akan lanjut.” Jawab Diana.
Pak Udin, Diana, dan Rini meninggalkan taman tanpa mengetahui keberadaan Dewi, Yuni, Diva, dan Lia. Kemudian Dewi dan Yuni pergi menemui Kyai Hari. Sedangkan Diva dan Lia kembali ke kamar. Saat itu waktu menunjukkan pukul 4 sore.
“Aaaaaaaaa… Hahahaha hahahaha” Dewi berteriak sambil tertawa.
“Tolong pak Dahlan panggilkan Kyai Hari.” Pinta Yuni pada pak Dahlan.
“Tapi Kyai Hari baru saja pergi. Saya juga heran, cepat sekali perginya.” Ucap pak Dahlan.
“Nah itu ada pak Udin, Pak kemari tolong bantu sadarkan Dewi.” Pak Dahlan berbicara pada pak Udin.
“Dewi kesurupan?” tanya pak Udin.
“Ya Pak, Kyai Hari tidak ada jadi Bapak saja yang mengobati Dewi.” Terang pak Dahlan.
“Tapi saya tidak bisa sekarang, tunggu saja sampai Kyai Hari datang.” Ucap pak Udin.
“kenapa tidak bisa? Kan biasanya bisa?” tanya pak Dahlan.
“Saya.. “
“ aaaaaaaa… Hahahaha pak Udin tidak bisa ya?” Dewi berteriak tertawa mengerikan.
Tanpa diduga pak Udin pergi berlari. Pak Dahlan langsung mengejar pak Udin. Saat sudah sampai di gerbang, sudah ada Kyai Hari. Pak Udin tambah terkejut.
“Mau ke mana Pak?” tanya Kyai Hari.
“Anu Pak, saya…”
Belum sempat pak Udin melanjutkan kata-katanya. Pak Dahlan, guru-guru, disusul Dewi dan Yuni datang.
“Pak Udin, sudahlah mengaku saja, Bapak sebenarnya tak bisa mengobati Dewi kan? Bapak mengaku saja, Bapak hanya pura-pura kan? Jawab!” tegas pak Dahlan. pak Dahlan sengaja menjebak pak Udin untuk mengobati Dewi yang memang pura-pura kesurupan.
“Tidak Pak.” Jawab pak Udin sambil menunduk.
“pak Udin, sebenarnya ada tujuan apa pak Udin melakukan ini semua?” Tanya Kyai Hari perlahan..
“Bapak bisa lihat ini.” Ucap Kyai Hari sambil menunjukkan ponsel ke arah pak Udin.
Sontak pak Udin terkejut bagaimana bisa semua bisa ketahuan? Saat pak Udin sedang berbicara dengan Diana dan Rini. Dewi pun berbicara bahwa Dewi, Yuni, Diva, dan Lia melihat pak Udin dan Diana juga Rini sedang berbicara di taman, merekayasa kejadian kesurupan dan mengarang cerita bohong kepada pak Dahlan. Akhirnya sambil terus menunduk pak Udin buka suara.
“Maafkan saya, saya memang yang sudah merekayasa kejadian kesurupan Diana dan Rini. Saya menyuruh mereka untuk berpura-pura kesurupan, lalu saya obati. Saya juga telah mengarang cerita bohong kepada pak Dahlan bahwa di sini banyak penunggu dan akan meminta tumbal, agar Kyai Hari tidak melanjutkan pembangunan yang rencananya akan dibangun menjorok ke depan rumah saya dan mengambil halaman depan rumah saya. Saya tidak mau.” Ucap pak Udin.
“Astaghfirullah pak Udin, bagaimana bisa Bapak berpikiran seperti itu? Itu namanya Bapak menyimpulkan sendiri sebelum bertanya. Memang pembangunan nanti akan dilaksanakan bulan depan sudah mendekat ke rumah Bapak, tapi saya tegaskan tidak akan mengambil satu jengkal pun tanah milik Bapak. Jadi hanya karena masalah ini Bapak tega membohongi kami? Kemudian mengancam Diana dan Rini?”
“Maafkan saya Pak, saya menyesal, saya janji tidak akan berbuat seperti itu lagi. Tolong jangan pecat saya Pak.” Pak Udin memelas.
“Baiklah, sebagai konsekuensinya Bapak dirumahkan dulu satu minggu, sementara biar anak-anak santri saling membantu pekerjaan Bapak, Insya Allah ladang pahala juga untuk kalian ya, tolong beri tahu yang lain nanti bergantian saja. Untuk pak Udin, saya harap Bapak tidak mengulangi perbuatan itu lagi, tolong cari tahu dahulu sebelum menyimpulkan sendiri.” Ucap Kyai Hari.
“Iya Pak, maafkan saya.” Ucap pak Udin.
“Untuk Diana dan Rini, apa tanggung jawab kalian?” tanya Kyai Hari.
“Kami akan mengembalikan uang seratus ribu yang diberi oleh pak Udin.” Ucap Diana.
“Kami juga akan membantu pekerjaan pak Udin lebih banyak.” Timpal Rini.
“Baiklah, sepakat semua ya.” Ucap Kyai Hari.
Para santri selepas belajar, mulai membagi tugas untuk melakukan pekerjaan pak Udin. Malamnya saat para santri hendak tidur, tiba-tiba dari kamar Dewi dan Yuni api menyala membesar, semua santri keluar dan panik, bahu membahu memadamkan api. Kyai Hari yang kebetulan masih ada di kantor sekolah langsung memberitahu warga untuk membantu memadamkan api yang makin melebar. Dengan peralatan seadanya para warga membantu memadamkan api. Teriakan histeris mewarnai pemadaman api. Namun di seberang sana pak Udin sedang memperhatikan terlihat gelisah.
“Udin, kamu ini saya kasih tugas selalu gagal.” Bentak seorang di ujung telepon.
“Maafkan saya Pak.” Jawab pak Udin.
“Kamu sudah saya bayar mahal untuk ini semua, tapi selalu gagal. Kecewa saya. Kamu bakar pesantren saja tidak becus!” pria di ujung telepon terus memarahi pak Udin.
Ya Allah hanya karena saya ingin kaya, ingin segera berkeluarga, saya sudah gelap mata menghalalkan segara cara untuk mendapatkan uang. Saya mengorbankan banyak jiwa. Apakah ini saatnya saya harus benar-benar mempertanggungjawabkan perbuatan saya, sehingga tak ada kebohongan lagi? Gumam pak Udin dalam hati. Usia pak Udin sudah menginjak 40 tahun tapi belum juga memiliki istri. Pak Udin tinggal sendirian karena kedua orang tuanya sudah lama meninggal. Pak Udin hanya memiliki satu kakak yang tinggal di desa sebelah bersama anak dan istrinya. Hanya sebulan sekali kakaknya datang menjenguk pak Udin. Sudah dua kali pak Udin akan menikah tapi selalu gagal, yang pertama sang calon istri kecelakaan dan meninggal, yang kedua calon istri tiba-tiba kembali pada mantan kekasihnya dulu. Pak Udin yang kesepian dan ingin segera berkeluarga maka menerima tawaran pak Burhan, pemilik pabrik tahu di Cirebon. Pak Burhan sudah memiliki dua pabrik tahu, dan ingin membuka cabang. Sudah lama pak Burhan tertarik di tanah milik Kyai Hari dan berniat membeli. Namun Kyai Hari tak setuju malah membangun pondok pesantren. Dari situ pak Burhan dendam dan ingin melenyapkan pondok pesantren Al Ikhlas.
“Kami akan segera melakukan penyelidikan, kami harap semua segera sabar menunggu.” Ucap polisi yang datang ke pesantren.
“Baik Pak, saya yakin ada sabotase di sini.” Ucap Kyai Hari yang memang memiliki feeling kuat.
Kyai Hari memerintahkan para santri untuk beristirahat. Untuk kamar Dewi dan Yuni yang terbakar dan beberapa santri lain, akan segera diperbaiki. Sementara mereka bergabung dengan santri lain. Para santri yang masih trauma pun langsung dihibur oleh para ustaz dan ustazah rekan Kyai Hari. Kyai Hari juga meyakinkan para orang tua santri agar tidak perlu khawatir karena semua sudah ditangani dengan aman. Kyai Hari pun menambah personel untuk penjagaan keamanan pesantren.
“Selamat siang Pak. Bapak Hari bisa ikut kami ke kantor polisi sekarang?” polisi datang kembali ke pesantren.
“Bisa Pak.” Jawab Kyai Hari.
Setelah mendapat berbagai keterangan, dilakukan penyelidikan berlanjut akhirnya polisi sudah menetapkan tersangka dan akan segera diproses hukum. Semua terkejut karena pak Udin terlibat. Pak Udin dan dua anak buah pak Burhan yang melakukan pembakaran pesantren. Kemudian pak Burhan pun ikut serta ditangkap. Pak Burhan dalang dari semua ini. Kelegaan menaungi para santri dan guru di pondok pesantren, karena semua sudah terungkap. Tapi tiba-tiba bu Ida, ibu dari Yuni datang dan meminta maaf menangis di depan Kyai Hari. Yuni yang melihat ibunya datang ke pesantren langsung menghampiri dan memeluk sang ibu.
“Ibu kesini kenapa tidak kasih kabar dulu? Terus kenapa ibu menangis dan meminta maaf pada Kyai Hari?” tanya Yuni masih bingung.
Kyai Hari yang sudah mengerti pun meninggalkan mereka berdua.
“Maafkan ibu Nak, maafkan pak Burhan juga ya.” Ucap ibu.
“maaf kenapa Bu? Terus kenapa bawa-bawa pak Burhan?” tanya Yuni lagi.
“Sebenarnya Ibu tidak sakit leukimia, ibu hanya sakit asam lambung. Ibu berbohong terkena leukimia agar ayahmu mau menceraikan ibu. Setelah resmi bercerai Ibu pun menikah dengan pak Burhan. Ibu menjadi istri kedua pak Burhan dan sudah disetujui istri pertamanya. Jujur ibu capek hidup dengan ayahmu yang sudah jarang mencari nafkah dan penyakitan. Ibu ingin bahagia. Maaf kalau Ibu egois. Tapi sekarang Ibu sudah kena karma. Pak Burhan sudah dipenjara. Setelah ini Ibu pasti akan terusir.” Ucap ibu sambil menangis.
“Ya Allah, astaghfirullah Ibu tega sekali. Tega pada Yuni, teh Yeni dan ayah. Ibu jahat. Yuni tak mau melihat Ibu lagi.” Yuni menangis dan berlari menjauh dari ibunya. Hatinya hancur untuk kedua kalinya, setelah dulu hancur karena perceraian orang tuanya, kini pengakuan ibunya yang sungguh tak terpikirkan sama sekali kembali melukai hatinya. Bagi Yuni Ibu sangat jahat, tega membohonginya, teh Yeni dan ayahnya. Bahkan ibu menikah dengan penjahat yang menjadi dalang pembakaran pesantren dan hampir melukainya. Ya karena memang kebakaran paling parah ada di kamar Yuni.
Dewi sang sahabat yang sudah mengetahui cerita Yuni langsung menghiburnya dan terus memotivasinya agar bangkit dan jangan pernah terpuruk. Seiring waktu Yuni kembali menata hatinya. Teh Yeni pun memutuskan untuk tinggal di kampung karena sudah punya modal cukup untuk membuka warung sembako, agar bisa sambil merawat ayah. Yeni pun berpesan pada Yuni untuk terus belajar dan jangan menyerah. Yuni pun mengikuti saran kakaknya itu. Semua yang dialaminya dijadikan pengalaman berharga baginya. Dia juga berusaha membuang rasa benci pada ibunya. Dia akan terus fokus belajar di pesantren. Malah Yuni dan Dewi bertekad suatu saat ingin menjadi guru juga mengabdikan diri di Pondok Pesantren Al Ikhlas dan terus memajukannya.
Tanganku yang lungai mencoba menggapai jam weker yang terus berdering. Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku yang masih setengah. Matakupun masih terasa lengket untuk sekadar meninggalkan dunia mimpi.
Tak lama kemudian adzan subuh berkumandang. Akupun bangkit dari tidurku, masih dengan mata tertutup, terkantuk-kantuk. Sekali waktu juga menguap. Hoaaamm, ku tepuk kedua pipiku menggunakan tanganku bersamaan beberapa kali. Akhirnya akupun sepenuhnya terbangun lantas mengambil wudhu dan bergegas sholat qobliyah subuh sebelum menunaikan sholat subuh. Setelah olahraga pagi, akupun sarapan dengan Mama. Papa sudah dari Subuh pamit ada acara.
“Ma, weekend ini kita jadi kesana kan ya?” kataku pada Mama sambil mengambil piring.
“Iya, pasti. Tapi tadi Papamu izin, katanya ada meeting mendadak sama Pak Ilham, yang anaknya seumuranmu itu lho. Siapa namanya, Sean.Iya Sean.” Jawab Mama.
“Tapi, mobilnya udah oke belum? Nanti kalau mogok lagi seperti pekan kemarin kan jadi horror.” Kataku agak khawatir.
Mama hanya tersenyum. Sarapan pagi ini ditemani dengan sayur sop dan tempe goreng. Bagi kami ini sudah lebih dari cukup, karena kami yakin saat ini diluaran sana masih banyak yang berjuang untuk mengais rejeki demi mendapatkan sesuap nasi. Ditemani segelas susu putih hangat, aku jadi teringat kejadian pekan lalu di sekitaran jembatan Kali Wungu, Majegan, Kecamatan Tulung. Kami sekeluarga, mendapatkan pelajaran berharga dari jagoan kembar.
Ceritanya, hari minggu adalah hari jalan-jalan bagi keluarga kecil kami. Biasanya dari rumah sebelum berangkat kami tak lupa membawa satu kresek berisikan sampah-sampah rumah tangga yang sudah menumpuk selama satu pekan. Untuk apa? Ya untuk dibuang secara hemat dan praktis tanpa ribet di sekitaran Kali Wungu bersama para pembuang sampah yang lain. Rutin? Ya, rutin tiap akhir pekan kami berkunjung kesana untuk memberikan sumbangsih sampah rumah tangga dari rumah kami.
Nah, pekan kemarin setelah membuang sampah yang sudah dibungkus trash bag, jarak beberapa meter dari jembatan Kali Wungu tiba-tiba mobil Papa mogok. Kemudian Papa turun untuk mengecek kondisi mobil.
“Waduh… Kayanya dinamo starter nya nih yang kena.” Kata Papa beberapa waktu kemudian. Aku dan Mama hanya bertukar pandangan.
“Papa sudah telpon Pak Ujang, kita istirahat disini dulu nggak papa ya Ma, Nai..” Kata Papa lagi.
Kamipun menunggu Pak Ujang dengan sabar. Kebetulan aku membawa beberapa roti dari rumah. Kubagikan roti itu ke Mama dan Papa yang sedang rebahan di dalam mobil. Aku izin pada mereka untuk sekadar keluar berjalan mengamati area sekitar. Suasana masih lumayan lengang. Krukk.. Krukk.. Cacing-cacing di perutku sudah tak bisa menahan lapar lagi dan harus segera diasup nutrisi. Tadi kami berencana ingin sarapan di luar alias jajan, eh belum jadi sarapan malah mobilnya sudah mogok duluan.
Dari kejauhan, tampak dua orang anak usia 10 tahunan yang mirip identik. ‘Eh? Kembar?’ sahutku dalam hati. Membawa kresek besar yang sepertinya masih kosong, memakai baju yang agak lusuh dengan wajah yang nampaknya jarang dibasuh membuatku berspekulasi bahwa mereka adalah pemulung. Mereka berjalan ke arahku, atau lebih tepatnya ke arah tumpukan sampah-sampah di belakang mobil Papa.
“Raka, duwite wingi isih sisa to? Mengko mampir ning nggone pakdhe Janto nggo tumbas sarapan yo? (Raka, uang kemarin masih sisa kan? Nanti kita mampir ke pakdhe Janto buat beli sarapan ya?)” Kata salah seorang pemulung itu dengan menggunakan Bahasa Jawa.
“Ya…” Jawab anak yang ternyata namanya Raka tadi.
Tiba-tiba anak yang bernama Raka menghela nafas agak sedikit kesal.
“Arka, nek ngeneki terus dalane awake dhewe bakal dadi gunung sampah. Urung rampung wingi, iki wis dijejeli sing anyar meneh! (Arka, kalau seperti ini terus jalan kita akan jadi gunung sampah. Belum kelar kemarin, ini dijejali yang baru lagi!)” kata Raka dengan nada sedikit memburu.
Aku tersedak, kaget. Akupun segera menuju mobil untuk mengambil minum. Setelah minum, aku memutuskan untuk berbincang dan berbagi makanan kepada anak kembar tadi. Merasa jadi tersangka, akupun mencoba untuk bersikap sewajarnya.
“Permisi adik-adik, namaku Naila… Kalau boleh, aku minta izin untuk berbagi makanan ini sama kalian. Kalian mau?” Kataku dengan penuh hati-hati menggunakan Bahasa Indonesia.
“Wah boleh mbak, kebetulan tadi dari rumah kami belum sarapan. Hehehe…” Kata anak yang bernama Arka menggunakan Bahasa Indonesia.
”Suwun mbak. (Makasih kak)” Kata Raka dan Arka bersamaan. Mereka pun meminta izin untuk mulai makan disitu.
“Aku Arka mba, ini Kakakku beda 5 menit. Namanya Raka.” Kata Arka memperkenalkan dirinya dan kakaknya. Aku hanya mengangguk mengiyakan, walau sebenarnya berkat nguping pembicaraan mereka tadi aku sudah tahu kalau namanya Raka dan Arka.
“Mobilembake kenapa to? Mogok po?” Tanya Raka.
“Mbake sanes tiyang mriki ta? Kok ngomonge nganggo Basa Indonesia? (Mbaknya bukan orang sini kah? Kok ngomongnya pakai Bahasa Indonesia?” Arka menambahi.
“Aku jawab pertanyaanya Raka dulu ya.. Iya nih mobilnya mogok, tapi ini tadi sudah manggil orang untuk memperbaiki kok. Terus ini aku lanjut jawab pertanyaannya Raka.. eh Arka ya? (Kami tertawa cekikikan) Nah iya, sebenernya aku sudah lumayan lama tinggal disini, tapi memang aku bukan asli sini sih. Jadi aku kurang fasih Bahasa Jawanya. Tapi tenang, aku faham apa yang kalian bicarakan kok. Hehe. Oh iya, memangnya kalian sedang ngapain disini?” Tanyaku.
“Sebenarnya kami sedang mengeluh mbak.” Jawab Raka yang membuatku bingung.
“Iya mbak, sekitaran sini iki sering jadi tempat pembuangan sampah. Padahal katane Pak Guruku di sekolah, membuang sampah sembarangan bisa mengundang penyakit karo bencana.” Kata Arka. Pandangannya tiba-tiba melihat ke atas.
“Eh kebakaran hutan ki ora termasuk, bencana laine itu pencemaran lingkungan Arka. Kan wingi Pak Amin bilang ngono. Jalane kotor, air yang harusnya bersih dadi tercemar” Potong Raka meluruskan jawaban Arka yang keliru.
“Oh.. Iya.. Hehe.. lupa.. Iya mbak, itu.. Eh tapi bulan Mei kemarin to TPA Darupono tempat Bapak kita bekerja meledak lho mbak. Emang sampah bisa meledak ya?” Tandasnya kepadaku.
“Itu karena gas temannya di bawah tumpukan sampah. Jadine sampahnya meledak Arka. Kan kemarin pak Amin wis ngajarin. Kowe sing tanya, kowe dhewesing lali.” Jawab Raka kepada Arka menggunakan bahasa campuran Indo-Jawa.
Aku merasa terpojok malu. Bagaimana mungkin orang sebesar aku bisa sebodoh ini dihadapan anak-anak yang nyatanya lebih bijaksana dariku.
“Tapi mbak, masak kemarin pas kita mau angkut sampah-sampah disini ada yang melempari sampah dari jendela mobil. Hih, rasanya pingin tak tinju itu!” Jawab Arka berapi-api.
“Iya, kami juga nggak ngerti. Orang-orang kaya sing punya mobil bagus itu kan biasane orang pintar-pintar ya mbak, tapi kok buang sampahnya sembarangan ngono. Jadi, sebenere mereka ki pintar ora sih mbak?” Kata Raka.
Hatiku meringis mendengar pernyataan itu. Hah, rasanya sudah tidak punya harga diri lagi aku di depan mereka. Aku coba mengontrol diriku. Ku elus kepala mereka berdua sambil mengatakan, “Sejatinya, kalian lebih pintar dari mereka. Daaan, (aku tersenyum sebentar) tadi namanya bukan gas temannya, tapi gas metana yaa. Hehe.”
“Oooohh….” Jawab Raka dan Arka bersamaan, tersenyum polos sekali.
“Tapi, kalau boleh kak Nai bertanya. Kalian kan sedang mencari nafkah dengan memulung sampah yang bisa didaur ulang. Kalau misalnya besok-besok sampah ini sudah tidak ada, bukannya kalian malah kehilangan pekerjaan?” Tanyaku pada mereka.
“Sebenarnya Ayah kami yang kerja memulung sampah di TPA Darupono. Kami sering bantu Ayah disana. Tapi karena disini ada sampah-sampah baru, Ayah minta Aku karo Arka membersihke sampah bagian sini dulu. Kami ki pingin banget bawa semua sampah ini ke TPA, tapi kami ki belum sekuat Popeye nggo ngangkat sampah-sampahe.” jawab Raka.
”Coba waeana pintu Doraemon singisoh mindahne sampah-sampah iki ke dunia lain.” Tambah Arka.
“Kami ki cuma takut kalau terjadi bencana karena sampah-sampah iki. Napa meneh kan rumah kami rumah kecil. Nanti nek banjir, rumah kami tenggelam terus hanyut. Kami ora ngerti lagi mau tinggal dimana. Atau nanti nek banyak nyamuk terus aku kena demam berdarah terus mati, aku dadi nggak isoh sekolah bareng temen-temen meneh.” Sambung Arka dengan wajah polosnya.
Rasanya aku ingin menjawab kalau kena DB nanti tinggal dibawa ke rumah sakit saja, tapi pasti mereka akan mengatakan kalau mereka tak punya cukup uang untuk biaya pengobatan. Makan sehari-hari saja bagi mereka masih harus berjuang, apalagi untuk musibah-musibah dadakan yang membutuhkan dana lumayan, pasti orangtua mereka akan kelabakan untuk menutupi segala kebutuhan yang diperlukan. Akhirnya kuurungkan, takut menyinggung perasaan.
Setelah berbicara lebih jauh dan berdiskusi dengan Papa, Mama, Arka dan Raka kita sepakat akan membantu mereka mengatasi sampah-sampah di sekitar sungai dan rencana tersebut akan dilaksanakan pekan depan. Artinya pelaksanaannya adalah hari ini.
“Ma, yuk! Dah siap nih!” Kataku dengan semangat pada Mama.
“Spanduk dan sepedanya sudah dimasukkan pak Ujang ke dalam mobil. Biar pak Ujang yang nyupir ya Nai..” Kata Mama sambil menuju mobil.
Beberapa saat kemudian mendekati lokasi jembatan Kali Wungu, aku mulai melihat sosok duo kembar bersama dua orang laki-laki paruh baya yang terlihat identik alias kembar. Siapa ya mereka? Selain itu, juga ada mobil pick up disebelah mereka. Setelah kami turun dari mobil, Raka dan Arka langsung menghampiri kami dan mencium Ibu serta tanganku.
”Saya Tomy, ayah Raka dan Arka. Ini Tony saudara saya.” Kata pak Tomy memperkenalkan diri bersama kembarannya.
Setelah berdiskusi pemasangan spanduk, akhirnya kami berjibaku membantu pak Tomy dan pak Tony. Raka dan Arka terlihat mengangkut sampah-sampah ke mobil pick up untuk dibawa ke TPA. Setelah berpamitan, aku memberikan sedikit kado berupa dua sepeda ontel merk Tabibitho Citadel warna hitam untuk Raka dan warna ungu untuk Arka, sesuai dengan warna kesukaan mereka.
Setelah berpamitan, kamipun pulang. Saat perjalanan pulang, kembali ku pandangi spanduk yang kami bawa tadi bertuliskan,
“ORANG BERPENDIDIKAN, TIDAK AKAN BUANG SAMPAH SEMBARANGAN”
-Ya Allah jangan berikan ketentraman hidup bagi orang yang buang sampah sembarangan disini-
Tulisan bagian bawah adalah ide Raka dan Arka. Lucu tapi ngeri-ngeri sedap sih. Langkah selanjutnya aku dan keluarga menjadi lebih bijak dalam memilih limbah sampah. Semoga kita semua dimampukan dalam melindungi bumi dengan menjaga kewarasan berfikir untuk tidak serakah dan merugikan orang lain, terlebih lagi pada lingkungan kita. Bumi juga perlu tetap sehat untuk menampung manusia-manusia di dalamnya. Aku juga berpesan pada diriku agar mulai mengurangi sampah plastik karena walaupun plastik sudah tertata dan terpilah rapi di TPA, namun sampah plastik tidak bisa lenyap begitu saja dari bumi tercinta.
Mungkin saat ini masih ada sisa bungkus permen yang kumakan saat masih SD 15 tahun silam atau mungkin saat ini masih ada sisa bungkus Indomie saat HUT RI ke 55, padahal sekarang sudah terhitung HUT RI ke-76. Bayangkan saja, betapa mengerikannya jika terus berlanjut. Kadang jika berfikir praktis, betul juga kata Raka. Andai saja ada pintu ajaib milik Doraemon untuk memindahkan sampah-sampah plastik itu ke dunia lain lalu lenyap begitu saja. Tapi, mari lupakan karena itu hanya berlaku di dunia khayalan semata. Salam sayang dari Naila untuk kalian Raka dan Arka.
“Biqodril kaddi tu’tho maa taruumu.Dengan kadar kerja kerasmulah kamu akan diberi apa yang menjadi cita-citamu. Maka, kerahkan usaha semaksimal mungkin untuk hasil yang selaras.”
••
“Fia … Fia …,” lirihan seseorang berhasil menarik kesadaran Alifia kembali. Kelopak matanya membuka perlahan. Asap yang berkepul, bau besi terbakar bercampur tanah, serta rasa sakit di sekujur tubuh membuat kepala gadis itu pusing. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali, mencerna keadaan yang sedang merundungnya.
Mulutnya membuka, meski napasnya tersengal. “A–Abang … kita di mana?” Alifia celingak-celinguk melihat sekelilingnya hanya pepohonan. Hal terakhir yang masih diingat, dirinya hendak tidur di dalam mobil, tetapi belum benar-benar terlelap, mobilnya oleng sampai kepalanya terbentuk kaca. Kemudian, pandangannya menjadi hitam dan baru sekarang ini dia tersadar.
“Ya Allah, Fia, kita kecelakaan.”
Alifia menoleh ke sebelah, melihat orang tuanya yang berbaring tidak sadarkan diri. Dengan suara parau, Alifia bertanya lagi kepada Fatir—abangnya—yang sedang menatapnya cemas. “… na?”
Kening Fatir berkerut, tidak mendengar jelas suara Alifia. “Apa, Fi?” Seraya mendekatkan telinga ke mulut adik kecilnya.
“Mo–mobil kita mana—“
Duarrrr!!!
Ucapan Alifia terpotong lantaran suara ledakan yang tidak terlalu jauh dari tempatnya duduk menusuk telinga. Manik matanya nyaris membulat sempurna melihat sesuatu dari sesuatu di belakang Fatir mengeluarkan dentuman keras seiring cahaya oranye menebarkan hawa panas. Sejurus kemudian, Fatir menoleh sejenak ke belakangnya, lalu lekas berbalik dan memeluk Alifia yang menangis saking terkejutnya. Liburan tahun ini menyisakan banyak pelajaran berarti bagi keduanya.
••
Semburat jingga mulai tergantikan birunya malam. Senja telah berakhir bersamaan langkah Alifia menjamah jalanan pulang. Bertepatan azan magrib, dia sudah menapakkan kaki di pekarangan rumah setelah hampir lima jam duduk di kendaraan tadi. Binar matanya mencuat, melihat pintu rumah yang sudah beberapa bulan ini ditinggalkan.
“Assalamu’alaikum! Pa, Fia balik,Pa!” serunya seraya melepas sepatu. Koper berukuran sedang yang sejak tadi dibawa dia tinggal di halaman depan, kakinya berlari memasuki rumah. Bahkan, wanita paruh baya yang datang bersamanya pun tidak diacuhkan. “Papa, Fia pulang!” Tanpa ba-bi-bu, Alifia menghamburkan diri ke sofa ruang tamu, memeluk erat Hamdan—ayah kandungnya.
“Waalaikumussalam. Eh, Fia, alhamdulilah kamu datang dengan selamat ….” Hamdan mengelus puncak kepala Alifia lembut, menyambut kepulangan anak gadis semata wayangnya dari pondok pesantren modern yang terletak melintasi provinsi. Punggung Alifia bergetar menahan isak kerinduan.
Dia melepas pelukannya. “Papa udah minum obat? Makan malam?” Dari arah pintu, Delisha—ibu kandung Alifia—baru masuk membawa barang-barang yang ditinggal Alifia di depan.
“Fia! Resik-resik riyin, jeh, kowe tembe balik. Salat magrib dulu,” cerca Delisha yang ditanggapi kekehan oleh Alifia, sedangkan Hamdan hanya mengulum senyum. Alifia bangun, meraih setengah bobot yang dibawa Delisha, lalu beranjak menuju kamarnya.
Tepat sekali. Malam ini, dia pulang setelah kurang lebih lima bulan mengurung diri di penjara suci. Di tahun ketiga menyandang status santriwati belum sepenuhnya menggerakkan hati Alifia untuk beristikamah dalam perintah Allah dan amalan di pesantren. Justru, semasa di pesantren dia tidak begitu sungguh menuntut ilmu. Catatan pelanggarannya juga terhitung banyak.
Jelas saja dia seperti itu, dimasukkan ke pesantren pun dengan perasaan terpaksa. Semenjak kecelakaan enam tahun silam, Hamdan tidak mampu lagi keluar rumah untuk mencari nafkah, kakinya lumpuh, sehingga ekonomi keluarga menurun drastis. Tidak lama setelah kejadian itu berlalu, Delisha mendapat informasi terkait pondok pesantren modern yang berbayar murah. Tentu saja perihal ekonomi yang membuat Desliha memasukkan Fatir dan Alifia ke pesantren itu.
Alifia pernah menolak, belum siap jika harus merantau untuk belajar di pesantren. Namun, apalah dayanya? Membantu Delisha mengais rezeki juga lebih belum punya kesiapan. Bahkan sampai sekarang pun, keinginan terbesarnya hanya ingin cepat-cepat lulus dan keluar dari penjara suci sana.
Setelah bersih-bersih, Delisha mengajak Alifia dan Hamdan berkumpul di ruang tamu, membahas pengalaman Alifia di pesantren. Hal ini sudah dilakukan sejak Fatir dimasukkan ke pesantren. Selain penasaran dengan cerita anaknya, dengan begini Delisha berharap dapat termotivasi juga untuk menuntut ilmu.
“Oh, Abang pulang minggu depan? Fia kira lebih dulu Abang,” ujar Alifia usai menenggak segelas mineral. “Kan, biasanya begitu. Abang duluan yang dipulangkan, baru Fia.” Pantas dia tidak menemukan batang hidung abangnya, ternyata kata Delisha, Fatir masih di sana.
“Abang kan mau pengabdian, Fi, jadi banyak persiapannya.” Alifia mengangguk. “Lanjut ceritanya, Fi. Jadi, belajar apalagi di sana?” Delisha segera mengalihkan topik. Alifia memang melanjutkan ceritanya, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di hati. Apa karena biasanya dia pulang sudah ada Fatir? Pun biasanya di rumah ramai kedatangan saudara jauh yang ingin menginap selama bulan ramadhan. Sepeninggal nenek dan kakek Alifia, rumahnya memang sering dijadikan tempat berkumpul saudara dari kota. Namun, hari ini terasa sepi.
••
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Alifia menyambut kedatangan Fatir. Dari depan gerbang rumah, Fatir yang hanya membawa satu tas berjalan memakai payung. Sayang sekali menurut Alifia, dia berniat mengajak abangnya jalan-jalan malam ini, sayangnya hujan. Sangat di luar dugaan.
Usai membersihkan tubuh, Alifia, Fatir, Hamdan dan Delisha berkumpul di ruang tamu. Rutinitas Delisha yang mengajak anak-anaknya menceritakan pengalaman di pesantren untuk menghidupkan suasananya.
“Yah, hujannya masih deres, Bang. Padahal tadi mau ngajak Abang jalan-jalan tau,” keluh Alifia di sela-sela keheningan suasana seraya menatap jendela yang menampilkan derasnya hujan. “Pulangnya Abang hari ini enggak direstui alam, hahaha ….” Sementara Fatir terkekeh dan ikut melihat jendela sejenak.
“Alhamdulillah, Fi, berkah banget.” Eh, kok? “Hujan, kan, salah satu rahmat Allah yang enggak bisa manusia ciptain. Hujan juga jadi waktu mustajab terkabulnya doa, kan?” Alifia langusng bungkam seribu bahasa. Benar juga, ya? Waktu kapan juga ustazah di pesantren selalu bersyukur setiap turun hujan. “Kamu udah baca doa ketika hujan turun belum?”
Lagi-lagi, Alifia tergelak karena belum hapal doa-doa keseharian seperti ini. Dia hanya terkekeh kikuk. “Allahumma shoyyiban naafi’aa.” Akhirnya, Fatir membantu Alifia. Gadis itu ikut membaca doa yang baru dirapal Fatir.
Ah, Abang baru pulang, wajarlah masih ada aura-aura santri. Alifia menyingkirkan kesan kagumnya kepada Fatir. Toh, Cuma perkara hujan.
Setelahnya, Hamdan mengajak Fatir membicarakan tentang kelanjutan pendidikan dia. “Jadi, Fat, kamu mau melanjutkan ke mana habis kelulusan nanti?”
“Insyaallah, Pa, maunya lanjut kuliah. Tapi, sambil kerja biar ada penghasilan. Syukur-syukur dapat kerja yang gajinya lumayan buat bantu keuangan rumah.” Hamdan menghela napas panjang. Dia menatap Delisha yang juga tengah menatapnya iba, lalu beralih menatap Fatir kembali.
“Kamu tau piro biaya kuliah, Fat?” tanya Hamdan dengan nada datar. Diam-diam, Alifia melirik ekspresi abangnya. Ternyata Fatir tersenyum simpul.
“Sebenarnya, Pa, dari kelas sebelas kemarin saya ….” Fathir menunduk, membuat sekitarnya heran. “Saya ditetapkan sebagai santri pilihan yang dapat beasiswa kuliah—“
Pyurrrr!!!
Alifia menumpahkan teh manis yang baru saja ditenggaknya, dia tersedak bukan main mendengar penuturan Fatir. Matanya membelalak heboh.
“Kenapa, Fi?” tanya Delisha khawatir. Namun, Alifia menggeleng, dia segera mempersilakan Fatir melanjutkan ucapannya. Fatir berdeham, dia menatap Hamdan kembali.
“Salah satu syaratnya itu ketambahan waktu mengabdi di pesantren. Saya belum ambil tawarannya, Pa … masih bimbang, kalau saya ketambahan waktu mengabdi, saya enggak bisa bekerja buat bantu ekonomi rumah.”
Pembicaraan masih berlanjut. Jantung Alifia berdebar kencang menyaksikan tiap kalimat yang keluar dari mulut Fatir. Dia kagum dengan Fatir, tetapi ada suatu perihal yang seharusnya tidak dia rasakan. Rasa takut tersaingi, padahal tidak sedang berlomba.
••
Dua hari kemudian, rumahnya dipenuhi saudara dari berbagai kota. Alifia merasa sedikit canggung lantaran terbiasa disambut, kini menyambut kedatangan mereka. Sama halnya dengan kedatangan Fatir dulu. Dia yang biasanya disambut, harus menyambut.
“Maju, maju, maju! Ah! Kalah …,” lirih Alifia yang baru saja mengalaminya kekalahan di game-nya. Dia mengusap gusar wajahnya. Di sekelilingnya, Aca, Rana—dua bibi Alifia—, dan Latifa—sepupunya—tengah asyik mengobrol. Di sofa sebelah kiri, Delisha ikut membaur dengan pembahasan mereka. Hanya Alifia seorang yang tidak minat mengikuti arus pembicaraan, sehingga mengeluarkan gadget. Sebelumnya, dia tengah bermain bersama Sabila—sepupunya, tetapi gadis itu pamit mengantuk.
Di tengah keseriusan setiap orang dalam ruang tamu ini, tiba-tiba terdengar suara Fatir dari dalam kamarnya. “Majalul amam? Labbaik, ana ilaa hunaka.” Fatir sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.
“ …. “
“Naam, anta aydon, ma’assalam. Waalaikumussalam warahmatullahi wabaarakatuh.” Tidak lama setelah dia berucap demikian, Fatir membuka pintunya. Dia yang berseragam rapih keluar kamar, pamit hendak pergi bersama temannya.
“Mau ke mana, Fat?” tanya Delisha ketika tangannya diraih untuk dicium Fatir.
“Kumpul di masjid depan, Ma, mau bicarain tabligh akbar bulan depan.”
“Oh, mau ada acara itu, Fat?” Rana ikut menimpali pertanyaan.
“Bagus itu, Fat, sering-sering adain acara kayak gitu.” Kini, Aca yang menyahut. Fatir hanya tersenyum ramah.
“Iya, Bi, insyaallah kalau diizinkan dan dipermudah,” jelas Fatir seraya bangkit. “Ya udah, saya berangkat, ya. Assalamu’alaikum.” Semua penghuni ruang tamu serentak menjawab salamnya.
Sejurus selanjutnya, Fatir yang sudah tiada di tempat dibanjiri pujian dari Aca dan Rana. Latifa pun tidak sedikit ikut menyahut. Sejenak, Alifia menatap manik mata Delisha yang menyiratkan kebanggaan tiada tara. Entah mengapa, karena kerlingan di mata Delisha itu membuat dadanya terasa sesak.
“Pancen pinter, ya, si Fatir. Bahasa Arab-nya juga fasih. Ra muspra kowe ngelairke ndeke, Del,” ujar Aca yang hanya ditanggapi dengan kekehan Delisha. “Kemarin juga dia juara satu lomba pidato Bahasa Arab, ya?”
“Iya, dua-duanya, Ran, Ca. Alhamdulillah, usahanya berbuah manis.” Keempat orang di sana tersenyum sumringah turut bahagia mendengarnya. “Perjuangannya dari minim banget ilmu diniyah sampai alhamdulilah sekarang udah cukup menahami kulit-kulitnya.”
“Kalau udah keluar mau jadi apa, Del? Buka pengajian aja di sini, tambah barokah.” Terus menerus pembahasan berganti dengan sanjungan untuk Fatir. “Omong-omong, Fatir belum ada rencana nikah? Anak tetanggaku yang pesantren di tempat sama anakmu, bilang katanya Fatir banyak dikenal, loh, di sana.” Delisha terkekeh malu.
“Wah, uwis … akeh cah ayu ngenteni,” timpal Rana yang ditanggapi kekehan seisi ruangan. Di sudut ruangan, Alifia merasa, dirinya tidak dilihat di sana. Dia sengaja menambahkan volume sound game di gadget agar mengganggu sekitarnya.
Benar berhasil, Aca dan Rana menyuruh dia mengecilkan suaranya. Begitupun Delisha yang langsung menepuk pelan pundak Alifia. Habisnya dari tadi bicarain Abang mulu. Terus Fia di sini apa? Lumut?
“Fia beda banget, ya, sama Fatir. Padahal adik-kakak. Jangan-jangan Fia adik pungut,” ledek Latifa menghentikan detak jantung Alifia beberapa detik. Keadaan menjadi hening seiring pasang mata Alifia yang membelalak. Dia bangun, melesat keluar tanpa pamit.
••
Di sinilah dia sekarang. Di pos ronda yang terhitung jauh dari rumahnya. Sejak siang tadi, dirinya berdiam diri di pos ini. Dia hanya beranjak setelah azan untuk salat di musala dekat pos, setelah itu kembali duduk dengan hati yang patah.
Alifia tidak menangis, tetapi matanya berkaca-kaca, dia menahan tangis sedari tadi. Meskipun ada air mata yang berhasil turun di beberapa waktu, dia segera menyekanya. Gadis itu baru sadar, dunia seakan selalu menyorot ke arah Fatir. Semua sinar hanya milik Fatir. Sementara dirinya, seberapa keras berusaha terlihat, tetap menjadi perbandingan paling rendah dengan abangnya itu. Dia mengerti, Fatir memang pintar, cerdas, hapalannya kuat, aktif organisasi, dan memiliki banyak talenta. Seketika dia merasa bahwa sanak keluarganya hanya akan datang jika Fatir ada di rumah.
Padahal, dia pun sudah berusaha keras. Dia berusaha menerima keadaan yang berbeda dengan teman sebayanya. Dia memaksa dirinya menerima kenyataan, mencambuk agar mampu beradaptasi di lingkungan pesantren, jauh dari orang tua dan hidup mandiri. Namun, tidak seorang pun melihat perjuangannya.
Seiring air matanya tidak kuasa dibendung, hujan ikut turun dari langit. Membebaskan dia untuk menangis sejadi-jadinya. Kepalanya dipenuhi ejaan prasangka buruk. Tentang keluarga yang baru akan datang ke rumah jika ada Fatir, tentang Delisha yang lebih bangga terhadap Fatir, tentang seluruh prestasi Fatir yang tidak yakin bisa dia dapatkan.
“Fia?” Suara berat yang tidak asing itu terdengar sangat dekat. Alifia mendongak, menghapus linangan air mata dengan ujung hijabnya. Rupanya Fatir di bawah payung biru tua sedang jalan bersama temannya. Dia menoleh. “Dam, duluan aja. Saya di sini dulu,” ujarnya kepada Adam sebelum duduk di sebelah Alifia. Adam mengangguk dan melanjutkan langkahnya.
“Fia? Kok ada di sini? Jauh banget.” Alifia membuang muka, tidak ingin menatap Fatir. “Fi? Ada yang marahin kamu?” Dia menggeleng. “Terus? Ada masalah apa?”
“Ada masalah sama Abang!” tekan Alifia seraya menoleh, menatap tajam Fatir. “Abang itu bisa enggak, sih, berhenti cari perhatian? Soalnya Abang yang dipuji, Fia yang dihina, dijelek-jelekkin!” Sontak, Fatir membelalak kaget.
“Hah? Astagfirullah. Fi, kamu kenapa?”
Di sela isak tangisnya, Alifia menarik napas. “Fia juga tau, Abang hebat. Abang jago ini-itu. Abang selalu jadi juara, baik pelajaran umum atau diniyah. Ubudiyah Abang juga istikamah. Tapi, memangnya enggak bisa, Abang enggak pamer-pamer?”
“Ya Allah, maksud kamu gimana, Fi? Abang pamer gimana?” Bukannya menjawab, Alifia justru semakin menderaskan air matanya. “Coba tenangin diri dulu.” Fatir membuka tas selempangnya, mengeluarkan segelas air mineral yang sengaja dibawa dari masjid tadi. “Nih, minum.”
Setelah menenggak air dari Fatir, Alifia berpikir dua kali akan ucapannya. Sejauh ini, dirinya sendiri yang membuat dia resah. Dirinya yang terlalu cepat memasukkan cibiran orang lain ke hati. Pada dasarnya, dia yang memiliki rasa iri terhadap Fatir, sehingga mudah dirasuki suara-suara buruk.
“Fia juga mau kayak Abang,” rintihnya, lalu kembali menangis. “Tapi, Fia enggak tau gimana caranya. Fia udah berusaha semampu Fia. Pura-pura ikhlas jalanin takdir, berharap bisa terbiasa. Enggak taunya Fia malah semakin kosong, enggak berguna. Abang, huwaaaaa ….”
Petang ini, Fatir merangkul adiknya dengan penuh kehangatan. Mengelus pundak Alifia seraya menyalurkan energi positif. Alifia terus bercerita semua yang mengganjal hatinya. Tentang keberhasilan Fatir di segala bidang, tentang rasa iri, dan sebagainya.
“Fia … Abang juga enggak tiba-tiba dan justru masih jauh dari keberhasilan. Belum pantas Abang juga, masih banyak yang harus dilatih lagi. Kamu jangan mengurangi waktu mengembangkan diri dengan merengek, meratapi takdir. Allah enggak tidur, Fia, Dia melihat orang-orang yang berusaha. Enggak ada usaha yang sia-sia, Fi. Lekas berproses untuk berprogres,” jelas Fatir panjang lebar.
“Tapi, jadi Abang enak! Punya banyak keahlian, punya banyak penghargaan dan prestasi. Lah, Fia?”
Fatir menghela, mencoba menanggapi Alifia dengan tenang. “Man jadda wajada. Ada terlintas di pikiran kamu enggak kalau Abang berusaha selama ini? Bukan maksudnya riya’, Abang takut kamu salah tafsiran takdir. Dan, kalau kamu tanya, apa selama berjuang, Abang menikmatinya? Iya. Abang menikmatinya, tapi bukan berarti enggak ada rintangan. Jelas bukan? Kalau enggak ada rintangan, perjuangan apa yang mau Abang kerahkan supaya pantas mendapat balasan dari Allah?”
“Abang enggak pernah ngeluh.” Alifia masih bersikeras menodong kesempurnaan yang hanya ada pada diri abangnya, tetapi dia tidak.
Fatir menggeleng. “Itu yang Abang usahakan, Fi. Salah kalau kamu nilai begitu, Abang juga manusia biasa yang kalau berdoa enggak lepas dari keluh-kesah kelelahan Abang. Lagian, dunia memang tempat berkeluh-kesah, kok. Tapi, Abang berusaha meminimalkan itu karena udah capek berjuang, walau belum seberapa. Sayang waktunya kalau Abang pakai buat mengeluh. Makanya, Abang bersikeras sibukin diri bukan karena apa, justru karena enggak mau ada kesempatan buat mengeluh berkepanjangan.” Fatir menjeda sejenak ucapannya.
“Fia tau, kan? Abang anak pertama. Laki-laki pula, jadi sorotan orang-orang, ya, wajar. Bukannya Abang mau punya seisi dunia, Abang cuma mau bantu Mama meringankan beban. Mama udah tua, loh, Fi. Kalau Abang terlambat berkembang, selain jadi perbincangan orang, Mama juga kerepotan, kan?” Alifia tergemap di dada bidang berbalut koko cokelat abangnya. Fatir benar. “Pernah Fia pikirin perasaan Papa kalau keluarganya dipandang rendah? Gini, Fi, rezeki itu nikmat yang bukan sekadar uang, dan bisa aja ada rezeki kita di diri orang lain. Mungkin, begitu juga sama Papa. Allah menitip rezeki Papa lewat Abang.”
“Abang, maafin Fia,” lirih Fia. Be–betul juga, ya. Perlahan, Alifia merutuki kebodohan dirinya yang memilih melahirkan rasa iri dalam konteks penyakit hati daripada iri yang menjadi motivasi diri.
“Enggak apa-apa, Fia. Fia kecewa, enggak apa-apa. Yang penting, jangan terlalu lama dan jangan sampai menyalahkan takdir Allah. Jangan menjelek-jelekkan diri sendiri, sama aja kamu enggak bersyukur dengan apa yang Allah ciptakan, kan?” Alifia mengangguk. “Fia, kamu itu alif, huruf yang paling utama, agung dan mulia. Seluruh huruf terlahir dari alif. Sekarang, kamu harus berusaha lebih keras lagi buat pantas menjadi huruf alif itu. Perbaiki niat, belajar dengan sungguh, banyak orang yang ingin hidup kayak kamu, jadi jangan lupa bersyukur. Ingat, al-waqtu kaa assaifi fa in lam taqto’hu qotho’aka. Waktu itu seperti pedang. Jika kamu enggak memotongnya, maka ia akan memotongmu.”
Alifia mengangguk. Dia berjanji dengan dirinya sendiri, mulai detik ini akan berusaha menjadi lebih baik lagi. Di tahun ajaran baru, dia mulai meluruskan niatnya. Pondok pesantren yang selama ini membuatnya dikabut rasa sesal tidak lagi seburuk itu. Bahkan, dia baru sadar, banyak sekali ilmu yang bersemayam di pesantrennya. Sampai terkadang hatinya bertanya-tanya, apakah Devi dan Miftah tidak diberi kesempatan yang sama dengannya? Memperdalam ilmu agama tanpa mengenyampingkan ilmu pengetahuan. Jiwa sosialisasinya juga terasah semenjak menerima keadaan sekarang. Di mana dia harus paham, ada saat di mana dirinya harus mengalah. Dia juga paham bahwa rendah hati adalah kunci utama membuat orang-orang nyaman dan hati tenang.
Semakin dewasa, Alifia menanamkan kutipan Imam Khalid bin Ahmad dalam-dalam. Suatu keharusan bagi ilmu, barang siapa mengabdi kepada ia, orang akan mengabdi kepadanya. Benar, Alifia bukan ingin pengakuan satu dunia bahwa dirinya berkorban ini-itu untuk ilmu, tetapi dialah yang memang membutuhkan ilmu. Seseorang memiliki derajat yang tinggi jika berilmu. Bismillah … Ya Allah, bantu Fia.
Seperti halnya seorang siswa SMA yang masih ingin menikmati masa muda dengan hal yang ia suka dan melakukan segala hal karena kehendaknya sendiri untuk mencapai apa yang diinginkan. Tapi tidak demikian untuk Bayu. Dia adalah seseorang yang baik dan penurut dengan orang tuanya dan dia memiliki prestasi yang sangat banyak di bidang matematika di sekolahnya. Akan tetapi, jiwanya tidak pernah terbebas, bakatnya tidak pernah dikeluarkan, dan dia sangat tidak menikmati hidupnya.
Setiap malam ia tidak pernah bisa tertidur nyeyak karena ia tidur lebih dari jam 12 karena harus belajar bersama orang tuanya. Orang tuanya ingin ia menjadi orang yang sukses di masa depan dengan cara mendidik Bayu dengan sebaik-baiknya.
Ayah: “Hari ini kamu sudah bisa mengerjakan soal ini jadi kamu istirahat dulu ya. Jaga kesehatan karena minggu depan kamu ada lomba lcc di Semarang. Ayah tinggal dulu”.
Bayu : “Iya ayah”.
Ayahnya keluar kamar meninggalkan Bayu yang sedang merapikan meja belajarnya. Terlihat jelas wajah lelah dari Bayu saat itu. Dia tidak terbiasa mengeluh dan berbicara hal yang negative karena ia tahu kalau itu akan membuatnya menjadi lebih buruk. Meletakkan tubuhnya di atas kasur merupakan hal yang sangat melegakan baginya walaupun kasurnya sedikit keras dan banyak bagian yang sobek belum dijahit.
Malam itu sangat dingin sampai terasa di tulang dan sendi Bayu. Menambah selimutnya dengan sarung berlapis dua sudahlah cukup untuk menjaga tubuhnya dari kedinginan malam itu. Suhu dingin tersebut membutuhkan banyak energi untuk memanaskan tubuh sehingga Bayu merasa kelaparan saat itu tetapi dia hanya bisa menahan perih perutnya karena makanan malam itu sudah habis. Hanya sabar yang bisa ia lakukan.
Tepat pukul 4 pagi ia terbangun untuk melakukan salat ke masjid. Tubuhnya sedikit tidak sehat karena terus bergadang akhir-akhir ini dan ditambah rasa lapar yang terus menyakiti perutnya. Lambungnya seolah berkata “Beri aku sebuah makanan walaupun hanya sebiji nasi. Itupun tidak apa-apa”. Akan tetapi, sebagai anak laki-laki dan kakak tertua dari 3 bersaudara ia harus kuat dan ia adalah harapan keluarga saat ini. Semua perjuangannya ini adalah untuk keluarganya dan masa depan adik-adiknya walaupun ia merasa kecewa karena ia tidak bisa melakukan hobinya tetapi malah melakukan hal yang tidak terlalu disukai.
Azan berkumandang dengan indah dan dilanjutnya salat subuh dengan penuh kekhusyukan. Jamaah berjejer lurus dan rapi, jamaah laki-laki dewasa berada di depan dan laki-laki lebih muda berada di belakang. Salat wajib telah dilaksanakan dan dilanjutkan dengan tadarus Al-qur’an. Matahari telah terbit dan para jamaah meninggalkan masjid untuk melanjutkan aktifitas rutinnya begitupula dengan Bayu. Ia berjalan pulang bersama Ilham karena jalan rumahnya yang berdekatan. Perbincangan hangat hangat antara keduanya berakhir di pertigaan jalan rumah masing-masing.
Ilham : “Sepertinya kita harus berpisah disini. Jaga kesehatan ya Bayu. Apapun pilihanmu dan seberapa rasa sakit serta pengorbananmu saat ini kamu harus niatkan karena Allah. Jika kamu sudah lelah jangan terlalu memaksakan diri karena tubuh juga memiliki hak sendiri dan kewajiban kita adalah memberikan hak tersebut”.
Bayu : “Terimakasih ham”.
Ilham : “Aku pergi dulu ya, karena nanti aku harus kembali lagi ke pondok karena ada kegiatan malam ini. Assalamulaikum wr. wb”.
Bayu : “Waalaikumsalam wr. wb”.
Pukul 06.30 Bayu sudah sampai di sekolah yang masih sangat sepi dan hanya ada satpam dan tukang kebun yang sedang membersihkan taman sekolah. Bayu langsung masuk kelas. Tas ia letakkan dan kemudia membersihkan papan tulis. Entah karena lelah ia langsung duduk dikursinya dan tidur di atas mejanya.
Bayu : “Ayah… ampun ayah… aku akan belajar dengan sungguh-sungguh. Aku tidak akan banyak main lagi”.
Ayah : “Kamu tahu kondisi keluarga kita? Kita tidak punya apa-apa. Kita hanya punya kamu, Bayu. Nilai kamu menurun semester ini dan sekarang kamu sedang asik main dengan teman-temanmu. Sekarang pulang atau ayah pukul lagi kamu!!”.
Bayu : “Iya ayah, aku akan pulang. Ampun ayah… Ampun… Ampun…”.
“Bayu bangun. Sudah ada guru yang datang!!”. Teman Bayu yang duduk disampingnya membangunkannya karena waktu jam belajar akan mulai dan guru juga sudah datang. Dengan cepat Bayu bangun dan membuka matanya dengan sangat lebar. Akan tetapi, karena bangun dengan cepat dan kondisi tubuh yang kurang sehat ia merasa sangat pusing. Selang beberapa menit ia tak sadarkan diri di pundak temannya.
Intan : “Bay, bangun sudah ada guru. Bay… Bayu!!! Jangan bercanda”.
Reno : “Sebentar Intan aku lihat dulu.” Setelah beberapa saat “Bayu tidak sadarkan diri, tubuhnya sangat dingin, dan napasnya juga tidak teratur. Teman-teman tolong bantu bawa Bayu ke UKS!!!”.
Guru : “Ayo yang lain bantu Bayu ke UKS sekarang dan yang tidak ikut mengantar bisa belajar mandiri dahulu ya”.
Teman sekelasnya khawatir akan keadaan Bayu sampai lupa tetntang perintah untuk belajar mandiri di kelas. Mereka cemas akan kesehatannya. Di sisi lain, teman-teman yang mengantar ke UKS merasa sangat takut dan cemas karena kejadian ini adalah yang pertama kali bagi mereka. Guru yang mengajar saat itu juga bingung karena semakin lama napas Bayu semakin tidak menentu. Akhirnya dia menghubungi puskesmas terdekat agar datang ke sekolah secepat mungkin.
Ketika menunggu ambulan datang, mereka semua selalu berdoa agar Bayu tidak mengalami hal yang buruk. 20 menit kemudian ambulan datang bersama dengan tenaga medis. Mereka langsung memeriksa Bayu dan menyarankan untuk segera dibawa ke rumah sakit. Bayu dibawa ke rumah sakit dengan didampingi gurunya tersebut. Tidak pernah putus doa kepada Bayu waktu itu bahkan sampai di puskesmas. Perlakuan yang cepat yang dilakukan dokter ketika Bayu sampai membuatnya menjadi lebih baik walaupun harus menjalani pemeriksaan dan penanganan yang cukup lama. Akhirnya Bayu terselamatkan dan napasnya mulai teratur walaupun dia akan tidak sadarkan diri selama beberapa hari ini. Ini adalah kabar bagus tetapi guru masih sangat khawatir karena keadaan muridnya itu sampai ia tidak sadarkan diri selama beberapa hari ke depan.
Dokter: “Bu guru, bisa ikut saya sebentar saya ingin bahas tentang keadaan Bayu”.
Guru : “Baik dok”.
Dalam ruangan yang rapi tersebut dokter ini melepaskan lelah dan penatnya serta melakukan konsultasi dengan pasiennya. Dokter tidak hanya belajar mengenai penyakit dan cara menyembuhkannya tetapi seorang dokter juga belajar mengenai psikologi sehingga mengetahui kondisi Bayu dalam psikologis.
Dokter: “Sebelumnya sebagai dokter saya ucapkan terimakasih telah membawa murid ibu ke rumah sakit sesegera munkin. Mungkin jika tidak dilakukan penanganan cepat mungkin dampak yang diterima akan semakin besar”.
Guru : “Apakah ada masalah yang sangat besar dok?”
Dokter: “Mungkin bukan sebuah masalah besar karena ini merupakan kejadian yang sering dialami sebagian orang tetapi jika hal ini terus terjadi kemungkinan akan berdampak buruk bagi dirinya. Sebelumnya apakah ada masalah yang sedang dialami oleh Bayu atau kegiatan yang sedang dilakukannya saat ini?”.
Guru : “Ada, dia akan mengikuti lomba LCC tingkat provinsi di Semarang minggu ini. Mungkin dia sangat kelelahan belajar untuk mempersiapkan lomba ini bahkan dalam kegiatan belajar di kelas dia juga selalu serius. Menurut berita yang saya dapat dari teman-temannya Bayu selalu bekerja keras sampai larut malam setiap harinya karena desakan orang tuanya.
Dokter: “Ada beban mental yang besar dalam diri Bayu sehingga berpengaruh terhadap kerja fungsi otak yang terganggu. Secara psikologis akan berdampak pada kesehatan seperti yang ibu tahu pada Bayu sekarang tetapi jika beban ini bertambah besar dan terus menerus membebani pikirannya bukan tidak mungkin masalah kejiwaan akan muncul”.
Guru : “Jadi dok?”.
Dokter: “Cobalah untuk tidak berbicara tentang sesuatu hal yang membuat ia berfikir lebih keras dan cobalah untuk membuat dia lebih ceria. Mungkin mengajak liburan atau melakukan hobinya atau sebagainya yang bisa menumbuhkan semangatnya lagi dan yang paling penting saya ingin pihak sekolah berkomunikasi kepada keluarga mengenai masalah ini karena ini demi kebaikan Bayu!”.
Guru : “Baik dok”.
Nasehat dokter adalah sebuah kenyataan dan itu benar adanya. Ibu guru merasa bahwa harus ada perubahan. Keluar dari ruang yang telah membuat hati dan pikirannya terbuka, ia berjalan menuju ruangan Bayu. Hanya sampai di depan pintu saja dan melihatnya dari kejauhan. Dalam hatinya “Sangat besar perjuangan dan rasa sakitmu, Bayu”. Ia pergi dari puskesmas menuju ke sekolah. Ia mengabari ke teman-teman kelas bahwa Bayu sudah lebih baik sekarang. Wajah bahagia terpancar jelas di semua murid itu setelah mendengarnya.
Di kursinya ia mengambil napas panjang dan menjernihkan otaknya karena seharian menjalani berbagai masalah. Ia mengambil telepon untuk menghibungi orang tua Bayu agar datang ke BK membahas tentang masalah yang dialami putra mereka. Bu guru sadar bahwa saat ini bukan waktu yang tepat tetapi jika menunggu Bayu pulang ditakutkan akan terjadi hal yang buruk pada Bayu selanjutnya. Mengakhiri telpon tersebut dan menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya. Tangannya memijat tangan yang lain dan anggota badan yang kelelahan sampai ia tertidur di kursinya.
Beberapa hari telah berlalu, ayah Bayu datang ke sekolah dan langsung menuju ruang BK. Hanya ada guru BK. Dia menyuruh ayah bayu untuk duduk dan menunggu agar guru yang mengantar Bayu datang ke ruang BK. Guru tersebut akhirnya datang dan mengobrol hangat dengan ayahnya Bayu mengenai kegiatan belajarnya, prestasinya, dan cita-citanya sampai pada suatu pembicaraan mengenai masalah yang dialami Bayu.
“Saya mengerti bahwa setiap orang tua ingin melihat anaknya sukses di masa depan dan itu adalah pemikiran yang benar. Akan tetapi, tidak bisa memaksakan anak untuk melakukan hal secara berlebihan. Jika anak terlalu tertekan dan lelah menjalani semua akan berdampak pada proses belajar dan hasilnya pak. Terlebih lagi jika beban ini memengaruhi psikologisnya maka akan berdampak pada mental dan kesehatan yang terganggu pak. Saya sebagai guru dari anak bapak menyarankan agar memberikan waktu untuk Bayu agar bisa menuangkan hobinya, belajar boleh tetapi jangan terlalu lama, dan berikan waktu istirahat yang cukup agar tubuhnya bisa kuat lagi belajar di pagi harinya. Bayu adalah siswa yang cerdas dan pintar saya yakin dia bisa sukses di masa depan. Bapak juga ingin seperti itu, kan? Semua itu penting tetapi kesehatan juga sangat penting bagi Bayu pak”. Penjelasan dari bu guru agar lebih memperhatikan kesehatan anaknya.
Ayahnya hanya bisa terdiam dan mengiyakan nasehat bu guru. Ia juga sadar bahwa ia selama ini terlalu menekan dan membebani Bayu agar menjadi seorang yang ia dambakan tetapi ini semua salah. Ia merenung di perjalanan pulang dari sekolah dan berjanji akan mendidik anaknya dengan cara yang baik dan benar tanpa membuat anaknya sakit lagi.
Mulai saat itu kedua orang tua Bayu mulai memperhatikan kesehatan Bayu dan perkembangan belajarnya di sekolah. Mereka selalu memberikan hal yang bisa mereka kasih walaupun hanya kecil kepada anaknya. Akhirnya Bayu dapat kembali menemukan jati dirinya yang sudah lama terpendam di hati paling dalam dan menorehkan prestasi demi prestasi selama masa sekolahnya. Kedua orang tuanya sangat bangga padanya dan pengalaman pahit atas kesalahan mereka menjadikannya pelajaran berharga untuk adik-adiknya Bayu agar menjadi orang lebih baik walaupun dengan keterbatasan.
Selang beberapa tahun, Bayu menciptakan lapangan pekerjaan dan menjadi pemimpinnya dan ditemani Ilham sebagai wakilnya. Walaupun masih sangat muda usahanya tetapi mereka memiliki tujuan. Adik-adiknya juga mengikuti kesuksesan kakaknya di sekolahan sampai mereka lulus dan melanjutkan ke tingkat selanjutnya. Keberhasilan anak adalah keberhasilan orang tua dalam medidiknya. Tidak peduli seberapa miskinnya orang tua dia akan selalu kaya untuk masa depan anaknya walaupun terkadang tindakan mereka kurang tepat bagi anak mereka.
Semua tahu hidup bukanlah hal mudah. Hidup itu mahal dan tak ada tebusannya. Dibilang hidup mudah tidak salah. Hidup itu sulit itu juga benar. Perlu ambil jalan tengahnya bijak menjalani segala problema kehidupan. Negeri ini tak bisa lepas dari perkembangan peradaban. Manusia seperti diriku sudah mengarungi kehidupan selama 17 tahun. Alu, itulah namaku duduk di bangku SMA, terkena efek zonasi tapi untungnya bisa hemat ongkos pulang pergi. Jalan kaki, itulah kegiatan rutin setiap kali berangkat dan pulang sekolah.
Pagi itu Ibu memberiku uang saku sepuluh ribu. Lebih dari cukup bagi pejalan kaki yang tidak butuh ongkos bensin sepeda motor. Mengenakan seragam putih abu-abu berdasi dan sabuk lalu mengucap salam dan berpamitan pada Ibu. Bapak berkaos putih masih berbaring di kasur lantai. Jadwal dinas Bapakku jam 9 pagi, tugasnya mencangkul dan menanam padi, meskipun tanggal merah tetap dinas pagi. Sudah hampir tiga tahun aku terbiasa menjadi anak sekolah jarak dekat. Melewati Gang Anyelir lokasi rumahku, rumah yang didirikan oleh almarhum Kakek, seorang guru SD yang difitnah dengan isu pemberontakan komunis oleh orang iri hati. Turun jabatan karena kedengkian teman yang honornya lebih rendah darinya kala itu. Menyebabkan Kakek menjadi petani yang sawahnya digarap Bapakku saat ini.
Halima teman karibku, kami berangkat sekolah bersama. Putri dari juragan tahu ini sangat mengerti diriku. Seperti biasa, berbekal tahu goreng lawuhe iwak (lauknya ikan) teri. Kami berjalan keluar gang. Saat sampai di perempatan Kalibagor tepat pukul 6.20 kini. Para pengamen lampu merah bersiap untuk beraksi. Musik kentongan mereka tata di sebelah papan besar bertuliskan “setiap orang/lembaga/badan hukum dilarang memberi uang/barang ke pengemis atau gelandangan”. Kulihat baju mereka sama seperti yang dipakai kemarin sore dan kemarin lusa. Entah dimana mereka tinggal dan menginap tapi di sebelah papan besar itulah tempat dinas mereka. Sungguh pemandangan yang sudah biasa namun luar biasa. Luar biasa mereka tetap mengamen setiap hari meski ada papan peringatan dilarang mengamen dan mengemis. Apakah sanksi yang tertulis di papan besar itu hanya sebagai bahan untuk menakut nakuti masyarakat ?
Aku dan Halima lanjut berjalan kaki hingga kami sampai di perempatan kedua, perempatan Kalimanggis. Dua Badut sedang berjoget di zebra cross, lalu salah satu berkeliling menarik uang sukarela. Keberadaan mereka belum lama di perempatan ini. Kira-kira baru satu bulan saja. Apa ini dampak PHK karena pandemi Covid 19? Kami menyeberang di depan badut yang berjoget itu, pandanganku mengarah pada Bapak pesepeda motor yang memboncengkan istri dan anaknya, Dilihat dari tampilan mereka, sepertinya mereka berasal dari keluarga dengan perekonomian menengah kebawah. Sang Ibu memberi koin seribu rupiah kepada anaknya yang sangat senang dan terhibur dengan para badut itu. Heran, tidak pernah kulihat orang berdasi yang memberikan uang pada pengamen perempatan, sesekali yang kulihat hanya masyarakat biasa yang kebetulan mengantongi uang recehan untuk diberikan kepada mereka. Atau karena rasa iba melihat badut lucu kepanasan di tengah jalan. Salah satu badut menghampiri anak kecil itu lalu menyodorkan kotak uang dan tidak lama lampu kuning bergeser ke lampu hijau. Badut bak bertopeng lucu itu membuka wajahnya masih segar baru mandi dan belum keringatan karena suasana masih pagi.
Sudah lima belas menit kami jalan kaki. Sampailah kami di pertigaan Kalipoh, dekat sekolah kami. Jangan heran, tak luput dari pengamen jalanan, disini tempat mangkal manusia silver yang menawarkan jasa foto atau hanya kamuflase menjadi patung hidup menunggu kotak uang di sampingnya diisi pengguna jalan. Tubuhnya dicat silver yang dibuat dari campuran bubuk sablon dan minyak goreng untuk membentuk cat metalik. Patung hidup, berkilau, entah dia pernah membersihkan cat ditubuhnya atau tidak sebab jam 6.30 dia pasti sudah siap memegang kotak bertuliskan : “sekali foto Rp1000,00” hingga aku pulang bersamaan dengan adzan magrib lelaki itu masih di pertigaan. Kalau yang satu ini sudah 1 tahun sebelum Covid-19 menyebar luas, dia sudah ada di sini. Gerbang sekolah terbuka di depan kami tak sabar mengikuti pelajaran hari ini, bertemu guru matematika favoritku Bapak Aswadi.
Pulang sekolah aku bergegas menuju ruang kelas Halima. Kali ini kami akan mampir ke perpustakaan daerah dahulu. Kulewati pertigaan tadi. Pak Silver sedang menyamar jadi patung pose flamingo (flamingo pose). Dari arah belakang kulihat Satpol PP dan Pak Polisi datang. Pak Silver melirik dan langsung ambil langkah seribu. Ternyata papan larangan memberi uang pada pengemis hendak dipasang dekat lampu merah. Pak Silver sudah ngumpet di warung rames yang berjarak 16 meter dari pertigaan. “Sudah berkali kali masih saja pengamen -pengamen itu datang dan masih saja ada orang yang tidak taat hukum, pasti papan larangan ini juga tidak cukup untuk menghentikan mereka” gumam Pak Polisi itu saat aku dan Halima lewat tepat di sebelahnya.
Setiap orang pasti ingin jabatan tinggi seperti Pak polisi itu bukan? Gaji tetap, pangkat dan kehormatan. Namun, Tuhan menciptakan manusia beragam dan bersuku-suku, bahkan kemampuan sosial. Uang saku 10 ribuku saja pasti sudah membuat para pengamen di jalanan senang ketika kuberikan secara utuh. Memang mereka terkesan mengemis, tidak berusaha mencari pekerjaan layak lainnya. Tapi pandanglah sudut dari sisi mereka yang terbatas pendidikan dan biaya. Mendapat ongkos bermodal mejeng di perempatan saja sudah ada usaha. Tidak perlu kuliah sampai S-1 untuk dapat uang.
Sampailah kami di perpustakaan daerah. Kali ini aku ingin membaca artikel ataupun berita lewat komputer yang tersedia. Sedangkan Halima melihat koleksi buku-buku baru untuk dipinjam. Tampak buku-buku tersusun rapi mulai dari fiksi nonfiksi, stok lama dan baru terbit pun ada. Komputer juga dipisahkan tempatnya sekira ada 10 komputer yang bisa dipakai masyarakat umum di sini. Di meja komputer aku lantas menyentuh keyboard, mengetik, klik google crome, klik detik.com, berita teratas “Warga Sleman Didenda Rp 50 Ribu Gegara Beri Duit Manusia Silver”(Minggu,28 Nov 2021). Berita itu berisi tiga warga Sleman yang membayar denda 50.000 karena sudah tertangkap basah memberikan uang pada manusia silver. Mereka terjaring dalam operasi yustisi Satpol PP DIY. Hasil sidang, hakim memutuskan para terdakwa masing-masing di denda Rp 50.000,00.
Dari perpustakaan daerah kami menuju jalan pulang, Pak badut melakukan free style. Alunan lagu hip hop di perempatan. Kali ini matahari bersinar terik. Mereka menyisih ke tepi jalan membuka topeng, terlihat wajah keringatan kostumnya pun sudah kusut dan berbau apek. Lantas aku bertanya sembari membeli es teh dekat perempatan. Aku bertanya berapa penghasilannya selama sehari dan alasan dia menjadi badut perempatan. Pak Badut itu menjawab dia sebenarnya badut acara ulang tahun anak -anak yang sepi panggilan karena larangan pesta saat PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dan teman yang satunya adalah keponakannya yang masih nganggur setelah di PHK dari pabrik kayu. Penghasilan per hari mereka bisa mencapai 50-100 ribu bila ramai, kalau sepi minimal dapat 20 ribu saja.
Aku pulang ke rumah berganti baju dan mandi. Makan siang pakai telur Balado masakan Ibu memang sedap. Di meja makan Bapak bercerita bahwa besok akan dipasang papan larangan mengemis dan memberi uang pada pengemis sesuai perda di seluruh perempatan dan pertigaan. Razia kabarnya juga akan diadakan. Aku heran mengapa orang berbakat seperti mereka memainkan musik kenthongan, dance masih susah mendapat pekerjaan. Tapi kata Bapak mau bagaimana lagi mencari pekerjaan sulit kalau modal bakat saja, butuh sertifikat kalau mau kerja gaji tetap. Kalau tidak minimal punya lahan buat digarap sendiri.
Esok hari aku berjalan-jalan keliling karena hari Sabtu. Pukul 8 pagi aku ingin membeli telur gulung dan martabak di depan sekolahku. Aku lewati perempatan Kalibagor, Kalimanggis, dan pertigaan Kalipoh. Nampak berbeda dari biasanya, hilang dari pandangan, pengamen di setiap perempatan atau pertigaan saat ini. Papan larangan besar bertuliskan “Setiap orang yang melanggar ketentuan memberi uang dan/atau batang dalam bentuk apapun kepada gelandangan dan pengemis di tempat umum diancam dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) hari dan/atau denda paing banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)” sudah terpasang disamping lampu merah. Entah para pengamen sedang melakukan apa sekarang, ambil job keliling atau menganggur di rumah.
Setelah membeli martabak aku melihat Pak Silver sudah di posisinya. Lalu lintas ramai saat ini . Mungkin karena Sabtu weekend yang dinanti. Saat lampu merah banyak kendaraan berhenti, banyak pula orang tua yang membawa anak-anak mereka berjalan-jalan sambil membeli jajanan di kompleks jajanan dekat sekolahku ini. Sial, Satpol PP datang melakukan razia, Pak Silver yang sedang menyodorkan kotaknya mulai bergelagat siap berlari. Lampu kuning menyala Pak Silver masih menunggu Ibu penjual sayur mengeluarkan uang dari dompetnya, langsung Ia berlari ke tepi jalan setelah menerima upah. Aku menjerit keras sekali, menyaksikan kejadian di depan mataku. Naas, Truk warna kuning dari belakang menabrak Pak Silver, tubuh silvernya terpental. Polisi yang sedang patroli segera ke TKP menutupi tubuh Pak Silver yang berlumuran darah, tubuh Pak Silver dimasukkan ke dalam kantung jenazah dan diangkut dengan mobil polisi. Sedangkan di TKP diberi garis polisi. Bagaimana dengan truk kuning itu? Kabur dengan sangat kencang begitu saja.
Aku bergegas pulang dengan perasaan syok. Jantungku berdebar menyaksikan kecelakaan maut tadi. Kuceritakan semua pada Ibu dan Bapak masih dengan tangan gemetaran. Geram pada sopir truk yang tak punya rasa tanggung jawab sama sekali, meskipun nantinya pasti Polisi berhasil meringkusnya. Ini baru kejadian di kota tempat aku tinggal, diluar sana banyak berita beredar mengenai kasus bermunculannya para pengamen perempatan.
Sungguh miris melihat pemandangan saat ini. Laju pertumbuhan penduduk yag tinggi, pendapatan perkapita yang rendah memang pokok masalah negeri ini. Program KB tak luput, bantuan soial pun diberikan. Kartu pra kerja pun sudah tersedia. Permasalahannya masih saja terjadi kesalahan sasaran penerima bansos yang tidak menjangau beberapa keluarga tidak mampu. Informasi yang mereka dapat juga minim akan cara mendapatkan kartu pra kerja. Lapangan perkerjaan yang sedikit, apalagi pengurangan karyawan karena pandemi juga masih jadi persoalan. Rendahnya pendidikan dan kurangnya pemahaman aturan di masyarakat menimbulkan fenomena pelanggaran dan penyimpangan pada hukum. Kritik sosial juga sering dianggap sepi oleh aparatur negara. Pemerintah selain menciptakan hukum, mengatur dan mengawasi juga perlu memerhatikan masyarakat kecil yang butuh lebih banyak perhatian dan bantuan. Semoga fenomena maraknya pengamen di perempatan bisa diredam dan ditemukan solusi. Semua orang punya kebutuhan, namun cara mereka memenuhi kebutuhan hidup berbeda-beda.
Ada sebuah negara bernama “Seandainya”. Serasa sesak, kering-kerontang, dan gersang. Saat kita menyusuri negeri ini. Kemana kah hati nurani penghuni negeri ini? Negeri yang kata orang “elok rupawan”, bak gadis jelita yang memikat hati? Seperti hawa kecongkaan yang menelusup masuk ke dalam kehidupan yang berdampingan dengan alam, kesewenang-wenangan eksplorasi perut bumi menjadi panglima yang menghujam. Hingga lingkungan tak lagi riang. Jika mereka bisa menangis, pasti air matanya melebihi gelombang lautan.
Bak negeri yang kian lama kian usang. Di sinyalir masih ada satu kota yang masih terjaga. Itu pun sebagian kecil, sebab kini sudah didominasi oleh lingkungan yang rusak. Beberapa masyarakat yang tinggal di negara ini mempunyai keragaman berpikir, ada yang bermimpi mempunyai negara yang makmur seperti negara-negara yang lainnya. Meski tak semua, pasalnya hanya segelintir masyarakat saja yang masih mempunyai misi sama untuk membenahi negari ini. Sedangkan masyarakat yang lainnya acuh tak acuh terhadap kerusakan negaranya. Bahkan tak jarang pejabat yang diberi kepercayaan, mengkhianati bangsanya sendiri. Sebagian dari mereka rela mengeksploitasi kekayaan alam negaranya sendiri tanpa memperhitungkan keberadaan lingkungan berkelanjutan di masa yang akan datang. Mereka tega berpangku intan permata, berkalung emas dua puluh empat karat, mengejar barang branded, dan hidup bergelimang harta. Padahal di sisi lain banyak rakyat yang masih menderita kelaparan.
Salah satu Kota kecil yang ada negera Seandainya itu bernama “Kota Serakah”. Ini adalah kota yang menjadi bentuk cerminan kecil dari negara Seandainya itu. Hidup lah seorang anak bersama kakeknya.
“Kakek, kemana kah orangtuaku tinggal?” tanya Gesang kepada kakeknya di depan pintu rumahnya.
“Mereka telah tiada. Ayah ibumu meninggal saat terjadi banjir bandang lima belas tahun yang lalu. Saat itu kau masih bayi, dan mereka menitipkanmu kepadaku,” jawab Kakek sambil menahan manik matanya yang sudah diujung sudut lipatan bola mata yang kian sayu itu.
“Lalu mengapa mereka tak membawaku pergi bersama mereka Kek? Aku ingin tinggal dengan mereka,” jawab Gesang.
“Husss, syukuri lah bumi ini, syukuri lah negeri ini Nak. Kau lihat itu, jika masyarakat di kota ini semakin serakah, pasti kita akan bersama-sama menyusul ayah ibumu,” jawab kakek sambil mengusap rambut cucunya.
“Mungkinkah Kek? Kapan?” tanya Gesang dengan melototkan kedua mata.
“Saat semua lingkungan ini rusak, alam pun menghajar kita,” kata kakek sambil menunjuk ke arah luar rumah yang sangat panas.
Penduduk Kota Serakah hidup berdampingan dengan kerusakan lingkungan. Sebagian besar dari mereka menjadi seorang buruh. Ada yang menjadi buruh tekstil, buruh kayu, buruh tambang, dan sebagainya. Tak ada satu pun penduduk asli Kota Serakah yang menjadi seorang bos dari pabrik-pabrik itu. Semua hasil yang dihasilkan dari pabrik itu selalu dieksport ke luar negeri. Karena kebetulan pendiri dan bos dari pabrik itu semuanya adalah orang asing. Ironis, penduduk asli menjadi buruh oleh bos-bos orang asing. Seakan dijajah finansial negeri ini. Lalu kemana perginya ahli-ahli dalam negeri? Tak adakah anak bangsa yang pintar dan layak menjadi bos? Apakah sesungguhnya banyak yang pintar tapi tidak ada yang tulus untuk menjaga lingkungan bumi ini? Entahlah.
Ada hal lain yang tak kalah miris, terbentang panjang sebuah sungai bernama “Kali Galak”. Kali Galak adalah sungai yang kini telah menjadi keruh, kotor, berbau, dan dipenuhi dengan sampah. Memang sebagian aliran sungai itu telah bercampur dengan limbah pabrik. Sedangkan kawasan Kota Serakah itu sangat gersang dan panas. Hutan pun hanya tinggal beberapa petak. Penguasa pabrik kayu seringkali menebangi pohon di hutan tanpa perhitungan. Akibatnya berangsur-angsur Kota Serakah ini terasa sangat panas dan seringkali terjadi banjir bandang ketika hujan datang.
“Kek, mengapa Kakek setia dengan pekerjaan kakek sebagai seorang pelukis? Bukankah menjadi buruh seperti masyarakat setempat lebih menjajikan setiap bulan sudah pasti menerima gaji?” tanya Gesang sambil duduk di kamar tidurnya.
“Hemmm, jangan kau remehkan lukisan Kakek. Kakek selalu ingin bernostalgia dengan nuansa lingkungan hidup Kota Serakah ini lima puluh tahun yang lalu. Saat semuanya tak seperti sekarang. Dan satu lagi Gesang, kakek ingin kau dapat mengenyam pendidikan tinggi ke Kota Hidup. Sebagai satu-satunya jantung Negeri Seandainya ini,” jawab kakek sambil merebahkan tubuhnya yang mulai renta semampir di atas kasurnya yang mulai reot.
“Bukan itu maksudku, aku hanya ingin mendidikmu bagaimana bertahan hidup di Kota yang asing bagimu. Dan memberitahumu bagaimana menjadi seorang yang peduli terhadap lingkungan. Kau akan tahu betapa berbedanya Kota Hidup dengan Kota Serakah ini Gesang.”
Kakek terus menekuni pekerjaannya menjadi seorang pelukis. Lukisannya pun mengandung nilai-nilai masa lalu dan harapan-harapan bagi terjaganya lingkungan di masa yang akan datang. Sembari bersekolah, Gesang pun turut membantu pekerjaan kakeknya. Suatu hari, ia sangat penasaran dengan salah satu lukisan kakek.
“Kek, ini lukisan apa? Ada sungai yang jernih mengalir di sepanjang sebuah kota, ada pepohonan yang beragam, bunga-bunga berwarna-warni, ada burung-burung yang sangat cantik. Apakah ini surga?”
“Wah, kau jeli sekali Gesang. Iya, bagi seorang utopian, mungkin itu surga.”
“Apa itu utopian kek?”
“Utopian itu seperti sebuah lambungan atau angan-angan, bagi seorang pemimpi itu surga. Tapi bagi seorang yang hidup, berpikir, dan peduli, itu kenyataan. Kau pilih yang mana Gesang? Pemimpi atau orang yang hidup?”
“Aku ingin menjadi orang hidup yang mewujudkan mimpi Kek, bagaimana?”
“Baik, pintar sekali kau. Bilamana kau tak lagi dapat melihat aku kelak saat maut mengambilu, kau harus ingat bahwa aku selalu hidup di hatimu. Kakek sudah tua Gesang, untuk itu ingat lah pesan kakek “Lingkungan yang indah, murni, menyediakan segalanya, dan penuh dengan rezeki adalah ciptaan Allah yang Maha Sempurna, tapi jika masanya datang suatu kerusakan yang mengerikan itu akan datang. Dimana lingkungan yang kau tinggali, bumi tempatmu berpijak ini, dan alam tempatmu menyadari akan marah dan mengamuk, kau harus tahu jika penyebabnya adalah etika manusianya sendiri.”
Etika manusia yang tak mau lagi peduli dan hanya memikirkan diri sendiri.
Hari yang ditunggu telah tiba, Gesang telah lulus SMA dan harus meneruskan pendidikan tinggi ke Kota Hidup. Bertepatan dengan itu, rezeki besar datang dari Allah. Ada seorang pengoleksi lukisan datang membeli lukisan-lukisan kakek dengan harga yang sangat tinggi. Seorang dermawan itu menghargai karya kakek hingga ratusan juta. Tiba saatnya kakek harus melepaskan Gesang mengenyam pendidikan ke Kota Hidup.
“Tiba saatnya aku memenuhi mau kakek,” Kata Gesang sambil memeluk kakek dari belakang.
Kakek berbalik badan, “Gesang, kau pergi untuk belajar hidup. Meskipun kita tak bisa menampik ke depan kerusakan lingkungan semakin parah. Tapi minimal, selama kita hidup di bumi ini setidaknya kita telah memiliki rasa peduli lingkungan yang tinggi.”
“Iya Kek, Gesang akan penuhi keinginan kakek. Bolehkah Gesang tahu, apakah ketika kakek seumuran Gesang, lingkungan Kota Serakah ini sudah sedemikian parah?”
“Tidak Nak, dahulu masyarakat patuh pada presiden. Tak ada yang berani saling rampok hasil kekayaan alam Negeri Seandainya ini. Sungai Kali Galak yang membentang itu sangat jernih airnya. Kakek sering berenang bersama teman-teman kakek, memancing ikan yang bermacam-macam, dan tak sungkan ketika dahaga, kakek pun meminum air sungai yang sangat menyegarkan itu. Dahulu, hutan tak segundul ini, sangat asri, bahkan orangtua melarang anaknya bermain ke hutan, karena pepohonan yang sangat banyak dan rindang di hutan tentu akan menyusahkan anak-anak menentukan arah untuk kembali ke jalan pulang. Dan kau bisa lihat Gesang? Apa yang terjadi sekarang? Semua berkebalikan, bos-bos asing itu telah bersekongkol dengan pejabat-pejabat yang serakah untuk merampasi kekayaan alam negeri ini tanpa memikirkan kondisi lingkungan yang ada.”
Setelah percakapan itu berakhir, Gesang pun berangkat ke Kota Hidup untuk mengenyam pendidikan tinggi. Dia sangat tercengang sesampainya di sana. Pasalnya Kota Hidup terlihat benar-benar hidup, meskipun ada bangunan tinggi sebagai Perguruan Tinggi, tapi pepohonan masih tampak hijau dimana-mana. Terlihat sawah yang menghampar, ada banyak hutan lindung, dan sungai yang membentang di hilir begitu terlihat suci. Sangat jernih airnya, banyak ikan yang berwarna-warni. Semua ini mirip dengan cerita kakek di Kota Serakah lima puluh tahun yang lalu. Ironisnya Kota Hidup adalah satu-satunya kota yang masih terjaga keasliannya, lingkungannya, dan kebudayaan masyarakatnya. Sangat mencengangkan, Gesang pun tak habis pikir. Betapa serakahnya masyarakat yang tinggal di Kota Serakah yang semakin merusak lingkungan hidupnya sendiri. Dan betapa hidup masyarakat yang hidup di Kota Hidup dengan lingkungan yang terjaga sedemikian rupa. Ini bukan mimpi, ini nyata.
Tak lama kemudian, setelah Gesang menjalani studinya selama satu tahun lamanya. Dia mendapat kabar buruk jika kakeknya telah meninggal dunia. Gesang pun sangat kebingungan. Tapi dengan bekal uang saku dari penjualan lukisan kakek yang ternilai cukup banyak, dengan bantuan teman-teman kuliahnya dan dengan bimbingan dosen. Gesang pun memulai karirnya untuk membudidayakan buah-buahan di sebuah lahan. Sambil belajar, ia pun mempersiapkan dirinya untuk membuka lahan perkebunan buah-buahan.
Tak khayal, setelah lulus kuliah. Gesang telah siap dengan usahanya itu. Dengan tekun ia bekerja sebagai pembudidaya buah-buahan. Bukan hanya untuk mendapatkan rupiah, tapi Gesang selalu ingat pesan-pesan kakeknya untuk menjaga lingkungan hidup dengan baik. Sebagai manusia yang tinggal di bumi, Gesang mempunyai kesadaran untuk bertanggungjawab dengan lingkungan di bumi itu sendiri.
Banyak masyarakat setempat yang terbantu dengan perkebunan Gesang. Sebab diantara mereka dipekerjakan dengan upah yang sesuai dan jam kerja yang sesuai pula. Pasalnya, Gesang sangat miris dengan para buruh yang bekerja di pabrik-pabrik Kota Serakah. Dimana buruh digaji minim, dengan sistem lembur, dan kerja target. Padahal di lihat dari segi lingkungan, keberadaan pabrik itu menghasilkan limbah yang semakin lama dapat merusak lingkungan.
Setelah bertahun-tahun Gesang menekuni perkebunannya. Ia bermaksud pulang ke Kota Serakah. Usaha diplomasi yang panjang dan proses kerjasama yang rumit satu per satu dilakukan Gesang. Setelah melewati banyak langkah, Gesang pun melakukan perundingan.
Pejabat Perizinan berkata, “Proposalmu untuk membugar pabrik yang semula adalah beberapa pabrik kayu dan pabrik tekstil menjadi perkebunan tidak bisa begitu saja kami terima. Pasalnya kita harus rundingkan dahulu dengan pemilik pabrik sebelumnya. Jangan sampai investor asing semuanya menarik diri dari negeri ini.”
Gesang menjawab, “Baik, aku akan melaksanakan prosedur dan biaya pajak seperti pabrik sebelumnya. Toh aku dengar pabrik-pabrik itu tak lagi laris menghasilkan produk, bukan?”
Salah satu bos pabrik yang ada dalam rundingan itu menyaut, “Apa kau bilang? Hahaha, mungkinkah seorang kecil seperti dirimu bisa merealisasikan ide itu. hanya lelucon,” jawab bos itu seakan tak percaya.
Akhirnya Gesang mendapat persetujuan dari pemerintah untuk mengganti beberapa bangunan pabrik dan mengubahnya menjadi sawah dan perkebunan.
Gesang pun membugar pabrik dan membuka lahan baru menjadi beberapa hamparan sawah dan perkebunan. Selain itu buruh yang dahulu bekerja di pabrik, kini dipekerjakan Gesang di lahan-lahan itu. Meski tak semua pabrik dapat dibugar, minimal Gesang telah memulai langkah besar untuk mengubah “Kota Serakah” menjadi “Kota Berkah”. Selain itu Gesang juga mengambil langkah yang berani. Dengan tegas ia memberi ultimatum kepada bos-bos pabrik yang lain untuk mengelola limbah dengan baik. Sehingga Kali Galak tak lagi tercemar. Ia juga memberlakukan aturan kepada seluruh pekerjanya untuk bekerja bakti dan gotong royong membersihkan Kali Galak setiap hari Selasa
Sungguh berbeda, pasalnya bos-bos pabrik yang berasal dari luar negeri itu biasanya bersifat congkak dan kaku terhadap para buruh yang bekerja. Mereka pun dengan bantuan kongkalikong para pejabat negara yang berkepentingan seringkali mengeksploitasi kekayaan alam negeri tanpa berorientasi pada lingkungan dalam jangka panjang. Tapi Gesang seorang yatim piatu yang diasuh dan dididik oleh seorang pelukis kuno yang pemikirannya sanagat konservatif itu pun mampu membalikkan logika itu. Gesang sangat ramah dengan para pekerja yang mengurus kebunnya. Ia juga menularkan banyak ilmu kepada para pekerja, tentang bercocok tanam dan bertani yang baik untuk menghasilkan buah dan beras yang berkualitas. Tak sia-sia kakeknya menyekolahkannya hingga tinggi ke Kota Hidup. Kini ia benar-benar mengimplementasikan ilmunya sebagai seorang sarjana. Didikan kakeknya yang konservatif tapi mencintai lingkungan dipadu dengan basis keilmuan modern yang diperoleh dari Perguruan Tinggi berhasil membentuk pribadi yang pintar dan bertanggungjawab terhadap lingkungan.
Seandainya “Negara Seandainya” berubah menjadi “Negara Kenyataan”? Akankah negeri yang lingkungannya terlanjur rusak akan berubah menjadi hijau, asri, makmur, dan sejahtera? Sebab negeri dengan lingkungan hidup yang sehat, dengan jutaan rakyat yang sejahtera adalah harapan bagi setiap pemimpin dan negarawan sejati. Alam akan terus ramah kepada kita yang masih peduli terhadap bumi ini.