Karya: Putri Nurcahyanti (Peserta Lomba Cerpen DN 14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Pondok Pesantren Al Ikhlas yang terletak di Desa Sukamulya, Kuningan Jawa Barat baru 3 tahun dibangun. Namun santri sudah banyak yang menimba ilmu di sana. Kyai Hari adalah pendiri sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Al Ikhlas. Kyai Hari dan tim masih gencar mencari donatur untuk terus melakukan pembangunan dan pembaruan bangunan di Pondok Pesantren Al ikhlas.
Selain pondok pesantren, juga terdapat sekolah madrasah bernama MTS Al Ikhlas Sukamulya. Usia sama seperti pondok pesantren, karena memang dibangun berbarengan. Angkatan pertama masih 30 siswa yang semuanya mondok. Angkatan kedua naik menjadi 100 siswa, dan di angkatan ketiga ini sudah mencapai 225 siswa. Memang tidak diwajibkan mondok untuk anak-anak dekat pesantren, jadi siswa ada yang mondok ada yang hanya bersekolah saja.
Dewi dan Yuni yang bersahabat akrab dan merupakan santri di Pondok Pesantren Al Ikhlas. Mereka santri yang rajin dan pandai. Sama-sama dari Desa Sukamulya dan mondok di pesantren ini. Dewi sangat fasih bertilawah Alquran, sedangkan Yuni sedang menghafal Alquran sudah 3 juz.
“Yun, besok kita pulang bareng ya ke rumah. Tapi pagi gimana?” tanya Dewi.
“Pagi banget aja kali ya jam lima gimana?” Yuni balik bertanya.
“Oke setuju.” Jawab Dewi mantap.
Keesokan harinya Dewi dan Yuni pulang ke rumah masing-masing. Mereka pulang berjalan kaki karena memang letak pondok tidak terlalu jauh dari rumah mereka. Santri yang lain pun banyak yang pulang. Rutinitas mereka bagi yang rumahnya dekat jika Minggu tiba mereka akan pulang. Jika yang rumahnya jauh, para keluarga banyak yang mengunjungi.
Sesampainya di rumah, Dewi langsung disambut kedua adiknya yang masih balita. Sedangkan ibu Dewi seperti biasa sudah memasak masakan kesukaan Dewi yaitu sayur asem, ikan asin cucut, dan sambal terasi. Dewi pun langsung sarapan dengan lahapnya.
“Ayah mana Bu?”
“Oh iya, Ibu lupa bilang sama kamu ya, semalam ayah berangkat ke Jakarta Nak. Mendadak mang Ucup pulang kampung, istrinya sakit.” Terang ibu.
“Oh begitu, padahal pengin ketemu ayah juga. Minggu kemarin ketemu ayah Cuma sebentar.”
“Ya nanti kan ayah pulang lagi, sabar atuh.” Bujuk ibu.
Sementara di lain tempat. Yuni pulang tapi ayah dan ibunya tidak ada, melainkan kakak Yuni yang ada di rumah.
“Teh Yeni kapan datang?” tanya Yuni.
“Kamu Dek, bukannya salam dulu, langsung aja nyelonong gitu.”
“Iya Teh, abis Yuni seneng ada Teteh di sini.”
“Ini Teteh baru datang si, semalem ayah nelpon, katanya Teteh suruh pulang, ada yang mau diomongin, penting banget katanya.” Terang Yeni. Yeni bekerja sebagai staf administrasi di Jakarta di perusahaan percetakan. Walau hanya lulusan SMA, tapi Yeni sangat gigih dalam bekerja. Selama ini Yeni yang membiayai sekolah Yuni. Karena ayah memang sudah sakit-sakitan tak kuat bekerja. Selain mempunyai penyakit asma, juga asam urat ayah kerap kambuh. Usia ayah masih 49 tahun, masih belum terlalu tua, tapi karena sakit yang dideritanya ayah lebih sering di rumah. Awalnya ayah adalah penjual cilok keliling. Gerobaknya pun masih ada. Sesekali jika sedang benar-benar sehat, baru ayah akan berjualan. Dulu sebelum sakit ayah juga seorang yang sangat rajin.
“Oh, terus ayah sama ibu ke mana Teh?” tanya Yuni lagi.
“Nah itu, Teteh juga belum tahu.”
Saat Yuni dan Yeni sedang mengobrol, ayah dan ibu datang. Setelah masuk dan duduk. Ayah dan ibu kemudian berbicara pada Yuni dan Yeni.
“Sebelum Ayah dan Ibu bicara, Yuni tanya kalian dari mana?”
“Kami dari rumah nenek.” Jawab Ibu.
“Tunggu, terus kenapa Ayah terlihat pucat? Ayah kambuh?” tanya Yeni.
“Ayah tidak apa-apa, mungkin Ayah kecapean saja.” Jawab Ayah singkat.
“Yuni, Yani, biarkan Ibu selesai bicara, jangan potong pembicaraan sebelum ibu selesai bicara ya. Sebenarnya Ibu sakit, tak kalah sakitnya dari Ayah. Mungkin umur Ibu sudah tidak lama lagi. Ibu terkena leukimia. Ibu takut tak bisa lagi mengurus Ayah. Selama ini ibu menahan sakit sendiri, tapi kali ini Ibu harus jujur. Ibu akan pulang ke rumah nenek. Ibu sudah tidak bisa lagi bersama Ayah. Ibu ingin berpisah dari Ayah. Perlu kalian tahu, Ayah sudah setuju. Ibu harap kalian juga setuju. Kalian harus tahu Ibu sayang sekali pada kalian, tapi Ibu hanya manusia biasa. Ibu punya pilihan hidup di sisa umur Ibu sekarang ini.”
“Tidak mungkin, Ibu pasti bohong kan?” Yuni berkata dengan suara keras karena tidak percaya.
“Iya Ibu jangan bercanda.” Timpal Yeni.
“Ayah, kenapa diam saja? Ayah?!” Teriak Yuni.
“Itu pilihan Ibu.” Hanya itu yang terucap dari mulut ayah.
Tanpa basa-basi, Ibu pergi meninggalkan rumah membawa sebuah koper besar yang memang ternyata sudah ibu persiapkan jauh-jauh hari. Ibu akan pulang ke Bandung, ke rumah orang tua ibu, nenek dan kakek Yuni dan Yeni. Jika orang tua ayah tinggal tidak jauh dari rumah, sekitar 200 meter saja. Semua sudah setuju. Tapi bagi Yeni dan Yuni ini sangat mengejutkan, bak sambaran petir di siang bolong. Apalagi Yuni. Yuni tak henti-hentinya menangis. Yeni sebagai anak sulung berusaha berbesar hati menerima kenyataan ini. Yeni dan ayah terus membujuk Yuni dan menenangkannya. Besoknya Dewi berangkat ke pondok hanya sendiri karena Yuni belum bisa ke pondok. Keadaan Yuni masih sangat terpukul dengan perceraian kedua orang tuanya.
Hari Selasa sore Yeni berangkat ke Jakarta lagi. Sebenarnya Yeni tak tega jika harus meninggalkan ayahnya sendirian, karena Yuni harus kembali ke pondok. Tapi setelah ayah meyakinkan bahwa ia bisa jaga diri, maka Yeni pun berangkat ke Jakarta lagi. Rabu pagi Yuni sudah kembali ke pondok. Saat Dewi bertanya kenapa Yuni baru masuk hari ini, Yuni hanya berkata bahwa ia nanti akan bercerita semuanya.
“Yuni, tolong nanti persiapkan diri kamu ya, seminggu lagi ada perlombaan tilawah Alquran. Kamu dan Dewi yang mewakili MTS ini, kemarin Dewi sudah mulai berlatih. Hari ini kamu ikut ya berlatih.” Ucap bu Rina wali kelas Dewi dan Yuni.
“Iya Bu.” Ucap Yuni.
Yuni masih murung. Dewi sebenarnya sudah ingin mendengarkan cerita Yuni, namun karena keadaan Yuni masih seperti itu Dewi pun menundanya. Jam 5 sore saat kegiatan sekolah dan pesantren selesai, Yuni mengajak Dewi ke taman belakang pondok. Sejak pagi Yuni hanya berbicara seperlunya saja. Dewi pun mengikuti Yuni berjalan di belakangnya. Namun saat hendak sampai ke taman belakang pondok, tiba-tiba…
“Aaaaaaaaaaaa, haha haha haha …” Yuni berteriak dan tertawa sangat keras membuat Dewi terkejut.
“Yuni Ya Allah.”
“Tolong! Tolong!” teriak Dewi
Kyai Hari sang pemilik pesantren datang bersama para santri. Lalu mengobati Yuni yang kesurupan. Setelah sadar Yuni pun menangis. Yuni bercerita bahwa kedua orang tuanya bercerai. Yuni sangat sedih. Dewi pun menemani Yuni bersama kawan-kawan lainnya. Tiga hari berturut-turut Yuni selalu kesurupan. Akhirnya, atas permintaan ayah Yuni, Yuni sementara dirumahkan dahulu sambil terus diobati. Sementara lomba tilawah Alquran Yuni digantikan oleh Zaskia.
Awal bulan ini Kyai Hari pergi ke luar kota untuk urusan keluarga. Selama tiga hari Kyai Hari pergi. Maka otomatis semua guru ikut bertanggung jawab menjaga pesantren ini. Hari pertama Kyai Hari pergi ada peristiwa kesurupan dialami oleh Diana.
“Tolong Pak, Diana teriak sepertinya kesurupan.” Ucap Rini.
“Tenangkan dulu, saya telepon Kyai Hari dulu, saya tanya beliau untuk mengobati Diana.” Ucap pak Dahlan guru bahasa Arab.
“Maaf Pak, biar saya saja, saya Insya Allah bisa.” Pak Udin sang pesuruh sekolah tiba-tiba datang dan menawarkan diri.
“Baiklah Pak.” Ucap pak Dahlan.
Setelah pak Udin komat-kamit tanpa suara, Diana pun sadar. Pak Dahlan dan para santri yang lain baru mengetahui jika pak Udin bisa mengobati santri yang kesurupan. Semua berterima kasih kepada pak Udin. Setelah itu mereka bubar. Keesokan harinya ada kesurupan lagi, kali ini menimpa Rini. Dengan sigap pak Udin pun mengobatinya.
“Pak Dahlan, tunggu saya mau bicara.” Ucap pak Udin menghentikan langkah pak Dahlan.
“Iya kenapa Pak?” tanya pak Dahlan.
“Sebenarnya pondok pesantren ini sudah tidak aman Pak, para penunggu di sini semakin jahil, Bapak lihat kan kesurupan yang terjadi? Maaf pak mereka minta tumbal, jika pembangunan tetap dilanjutkan.” Terang pak Udin panjang lebar.
“Pak Udin tahu dari mana? Tumbal? Masa iya?” pak Dahlan seolah tak percaya.
“Iya Pak, saya mohon Bapak tolong bicara pada Kyai Hari untuk menghentikan pembangunan gedung baru yang dilaksanakan bulan depan. Kabarnya ruangan akan menjorok ke halaman rumah saya kan Pak?” ucap pak Udin semakin tegas.
“Bapak kata siapa kalau pembangunan ruangan baru bakal menjorok ke halaman rumah Bapak?” pak Dahlan balik bertanya.
“Walau Kyai Hari belum bicara bahkan belum minta izin pada saya, saya tahu Pak.” Jawab pak Udin.
“Sudahlah Pak, nanti kita bicara pada Kyai Hari.” Ucap pak Dahlan sambil berlalu.
Keesokan harinya Diana dan Rini berbarengan kesurupan. Aneh memang, namun selalu saja pak Udin sigap mengobati. Sebenarnya Dewi agak curiga bahwa ini seperti rekayasa. Tapi sebelum ada bukti Dewi tak mau gegabah. Yuni, andai kamu di sini, pasti kita pecahkan masalah ini sama-sama, gumam Dewi dalam hati.
Setelah lima hari libur, Yuni akhirnya masuk ke pesantren lagi diantar sang ayah. Yuni terlihat lebih bergairah dari sebelumnya. Yuni kembali bersemangat. Yuni sudah lebih bisa menerima keadaan. Setelah Yuni kembali ke pesantren, Dewi pun menceritakan semua peristiwa yang terjadi. Termasuk akan kecurigaannya. Dewi dan Yuni sepakat akan menyelidiki lebih jauh. Dewi dan Yuni selain sama-sama santri cerdas juga dulu pernah memergoki pencurian monitor komputer di ruang guru, dan akhirnya berhasil ditangkap, juga pernah mengungkap kasus pencurian uang dapur yang dilakukan bu Saodah, hingga akhirnya bu Saodah dikeluarkan. Kali ini Dewi dan Yuni akan menyelidiki keganjilan kesurupan ini dan mengumpulkan bukti. Walau masih duduk di kelas 8, tapi jiwa detektif Dewi dan Yuni sangat hebat.
Pondok pesantren ini memang belum memiliki cctv, jadi lebih susah untuk melacak. Harus ada siasat. Kyai Hari yang awalnya berencana pergi hanya tiga hari ternyata seminggu baru kembali. Dewi dan Yuni sudah meminta izin pada Kyai Hari untuk melakukan penyelidikan. Saat Dewi dan Yuni berjalan menuju taman belakang hendak belajar bersama kawan lain ada Diva dan Lia, tiba-tiba di kejauhan mereka melihat pak Udin, Diana, dan Rini sedang berbicara serius. Dewi yang awalnya sudah curiga sigap mengambil HP kemudian memvideokan percakapan mereka, setelah memberi aba-aba pada kawan-kawan untuk mereka berjaga dan jangan mengeluarkan suara. Dari balik pohon rambutan Dewi memvideokan.
“Diana, Rini kalian harus bisa bujuk kawan kalian yang lain untuk berpura-pura kesurupan, kalau Cuma kalian berdua saja terlalu terlihat rekayasa. Tapi ingat jangan bicara pada Dewi, Yuni, Diva, Lia atau kawan lain yang dekat dengan mereka. Jadi kapan kalian akan mulai mengajak kawan lain? Bapak tak bisa menunggu lebih lama lagi.”.
“Sebenarnya saya sudah tak mau melanjutkan ini Pak.” Jawab Diana.
“Iya saya juga sudah tak mau Pak.” Timpal Rini.
“Oh, jadi kalian mau menunggak uang bulanan lebih lama? Saya tahu kalian berdua sudah telat tak membayar uang bulanan pesantren kan, kalau tak mau melanjutkan lagi. Serahkan uang seratus ribu yang kemarin saya kasih ke kalian.” Ancam pak Udin.
“Baik Pak kami akan lanjut.” Jawab Diana.
Pak Udin, Diana, dan Rini meninggalkan taman tanpa mengetahui keberadaan Dewi, Yuni, Diva, dan Lia. Kemudian Dewi dan Yuni pergi menemui Kyai Hari. Sedangkan Diva dan Lia kembali ke kamar. Saat itu waktu menunjukkan pukul 4 sore.
“Aaaaaaaaa… Hahahaha hahahaha” Dewi berteriak sambil tertawa.
“Tolong pak Dahlan panggilkan Kyai Hari.” Pinta Yuni pada pak Dahlan.
“Tapi Kyai Hari baru saja pergi. Saya juga heran, cepat sekali perginya.” Ucap pak Dahlan.
“Nah itu ada pak Udin, Pak kemari tolong bantu sadarkan Dewi.” Pak Dahlan berbicara pada pak Udin.
“Dewi kesurupan?” tanya pak Udin.
“Ya Pak, Kyai Hari tidak ada jadi Bapak saja yang mengobati Dewi.” Terang pak Dahlan.
“Tapi saya tidak bisa sekarang, tunggu saja sampai Kyai Hari datang.” Ucap pak Udin.
“kenapa tidak bisa? Kan biasanya bisa?” tanya pak Dahlan.
“Saya.. “
“ aaaaaaaa… Hahahaha pak Udin tidak bisa ya?” Dewi berteriak tertawa mengerikan.
Tanpa diduga pak Udin pergi berlari. Pak Dahlan langsung mengejar pak Udin. Saat sudah sampai di gerbang, sudah ada Kyai Hari. Pak Udin tambah terkejut.
“Mau ke mana Pak?” tanya Kyai Hari.
“Anu Pak, saya…”
Belum sempat pak Udin melanjutkan kata-katanya. Pak Dahlan, guru-guru, disusul Dewi dan Yuni datang.
“Pak Udin, sudahlah mengaku saja, Bapak sebenarnya tak bisa mengobati Dewi kan? Bapak mengaku saja, Bapak hanya pura-pura kan? Jawab!” tegas pak Dahlan. pak Dahlan sengaja menjebak pak Udin untuk mengobati Dewi yang memang pura-pura kesurupan.
“Tidak Pak.” Jawab pak Udin sambil menunduk.
“pak Udin, sebenarnya ada tujuan apa pak Udin melakukan ini semua?” Tanya Kyai Hari perlahan..
“Bapak bisa lihat ini.” Ucap Kyai Hari sambil menunjukkan ponsel ke arah pak Udin.
Sontak pak Udin terkejut bagaimana bisa semua bisa ketahuan? Saat pak Udin sedang berbicara dengan Diana dan Rini. Dewi pun berbicara bahwa Dewi, Yuni, Diva, dan Lia melihat pak Udin dan Diana juga Rini sedang berbicara di taman, merekayasa kejadian kesurupan dan mengarang cerita bohong kepada pak Dahlan. Akhirnya sambil terus menunduk pak Udin buka suara.
“Maafkan saya, saya memang yang sudah merekayasa kejadian kesurupan Diana dan Rini. Saya menyuruh mereka untuk berpura-pura kesurupan, lalu saya obati. Saya juga telah mengarang cerita bohong kepada pak Dahlan bahwa di sini banyak penunggu dan akan meminta tumbal, agar Kyai Hari tidak melanjutkan pembangunan yang rencananya akan dibangun menjorok ke depan rumah saya dan mengambil halaman depan rumah saya. Saya tidak mau.” Ucap pak Udin.
“Astaghfirullah pak Udin, bagaimana bisa Bapak berpikiran seperti itu? Itu namanya Bapak menyimpulkan sendiri sebelum bertanya. Memang pembangunan nanti akan dilaksanakan bulan depan sudah mendekat ke rumah Bapak, tapi saya tegaskan tidak akan mengambil satu jengkal pun tanah milik Bapak. Jadi hanya karena masalah ini Bapak tega membohongi kami? Kemudian mengancam Diana dan Rini?”
“Maafkan saya Pak, saya menyesal, saya janji tidak akan berbuat seperti itu lagi. Tolong jangan pecat saya Pak.” Pak Udin memelas.
“Baiklah, sebagai konsekuensinya Bapak dirumahkan dulu satu minggu, sementara biar anak-anak santri saling membantu pekerjaan Bapak, Insya Allah ladang pahala juga untuk kalian ya, tolong beri tahu yang lain nanti bergantian saja. Untuk pak Udin, saya harap Bapak tidak mengulangi perbuatan itu lagi, tolong cari tahu dahulu sebelum menyimpulkan sendiri.” Ucap Kyai Hari.
“Iya Pak, maafkan saya.” Ucap pak Udin.
“Untuk Diana dan Rini, apa tanggung jawab kalian?” tanya Kyai Hari.
“Kami akan mengembalikan uang seratus ribu yang diberi oleh pak Udin.” Ucap Diana.
“Kami juga akan membantu pekerjaan pak Udin lebih banyak.” Timpal Rini.
“Baiklah, sepakat semua ya.” Ucap Kyai Hari.
Para santri selepas belajar, mulai membagi tugas untuk melakukan pekerjaan pak Udin. Malamnya saat para santri hendak tidur, tiba-tiba dari kamar Dewi dan Yuni api menyala membesar, semua santri keluar dan panik, bahu membahu memadamkan api. Kyai Hari yang kebetulan masih ada di kantor sekolah langsung memberitahu warga untuk membantu memadamkan api yang makin melebar. Dengan peralatan seadanya para warga membantu memadamkan api. Teriakan histeris mewarnai pemadaman api. Namun di seberang sana pak Udin sedang memperhatikan terlihat gelisah.
“Udin, kamu ini saya kasih tugas selalu gagal.” Bentak seorang di ujung telepon.
“Maafkan saya Pak.” Jawab pak Udin.
“Kamu sudah saya bayar mahal untuk ini semua, tapi selalu gagal. Kecewa saya. Kamu bakar pesantren saja tidak becus!” pria di ujung telepon terus memarahi pak Udin.
Ya Allah hanya karena saya ingin kaya, ingin segera berkeluarga, saya sudah gelap mata menghalalkan segara cara untuk mendapatkan uang. Saya mengorbankan banyak jiwa. Apakah ini saatnya saya harus benar-benar mempertanggungjawabkan perbuatan saya, sehingga tak ada kebohongan lagi? Gumam pak Udin dalam hati. Usia pak Udin sudah menginjak 40 tahun tapi belum juga memiliki istri. Pak Udin tinggal sendirian karena kedua orang tuanya sudah lama meninggal. Pak Udin hanya memiliki satu kakak yang tinggal di desa sebelah bersama anak dan istrinya. Hanya sebulan sekali kakaknya datang menjenguk pak Udin. Sudah dua kali pak Udin akan menikah tapi selalu gagal, yang pertama sang calon istri kecelakaan dan meninggal, yang kedua calon istri tiba-tiba kembali pada mantan kekasihnya dulu. Pak Udin yang kesepian dan ingin segera berkeluarga maka menerima tawaran pak Burhan, pemilik pabrik tahu di Cirebon. Pak Burhan sudah memiliki dua pabrik tahu, dan ingin membuka cabang. Sudah lama pak Burhan tertarik di tanah milik Kyai Hari dan berniat membeli. Namun Kyai Hari tak setuju malah membangun pondok pesantren. Dari situ pak Burhan dendam dan ingin melenyapkan pondok pesantren Al Ikhlas.
“Kami akan segera melakukan penyelidikan, kami harap semua segera sabar menunggu.” Ucap polisi yang datang ke pesantren.
“Baik Pak, saya yakin ada sabotase di sini.” Ucap Kyai Hari yang memang memiliki feeling kuat.
Kyai Hari memerintahkan para santri untuk beristirahat. Untuk kamar Dewi dan Yuni yang terbakar dan beberapa santri lain, akan segera diperbaiki. Sementara mereka bergabung dengan santri lain. Para santri yang masih trauma pun langsung dihibur oleh para ustaz dan ustazah rekan Kyai Hari. Kyai Hari juga meyakinkan para orang tua santri agar tidak perlu khawatir karena semua sudah ditangani dengan aman. Kyai Hari pun menambah personel untuk penjagaan keamanan pesantren.
“Selamat siang Pak. Bapak Hari bisa ikut kami ke kantor polisi sekarang?” polisi datang kembali ke pesantren.
“Bisa Pak.” Jawab Kyai Hari.
Setelah mendapat berbagai keterangan, dilakukan penyelidikan berlanjut akhirnya polisi sudah menetapkan tersangka dan akan segera diproses hukum. Semua terkejut karena pak Udin terlibat. Pak Udin dan dua anak buah pak Burhan yang melakukan pembakaran pesantren. Kemudian pak Burhan pun ikut serta ditangkap. Pak Burhan dalang dari semua ini. Kelegaan menaungi para santri dan guru di pondok pesantren, karena semua sudah terungkap. Tapi tiba-tiba bu Ida, ibu dari Yuni datang dan meminta maaf menangis di depan Kyai Hari. Yuni yang melihat ibunya datang ke pesantren langsung menghampiri dan memeluk sang ibu.
“Ibu kesini kenapa tidak kasih kabar dulu? Terus kenapa ibu menangis dan meminta maaf pada Kyai Hari?” tanya Yuni masih bingung.
Kyai Hari yang sudah mengerti pun meninggalkan mereka berdua.
“Maafkan ibu Nak, maafkan pak Burhan juga ya.” Ucap ibu.
“maaf kenapa Bu? Terus kenapa bawa-bawa pak Burhan?” tanya Yuni lagi.
“Sebenarnya Ibu tidak sakit leukimia, ibu hanya sakit asam lambung. Ibu berbohong terkena leukimia agar ayahmu mau menceraikan ibu. Setelah resmi bercerai Ibu pun menikah dengan pak Burhan. Ibu menjadi istri kedua pak Burhan dan sudah disetujui istri pertamanya. Jujur ibu capek hidup dengan ayahmu yang sudah jarang mencari nafkah dan penyakitan. Ibu ingin bahagia. Maaf kalau Ibu egois. Tapi sekarang Ibu sudah kena karma. Pak Burhan sudah dipenjara. Setelah ini Ibu pasti akan terusir.” Ucap ibu sambil menangis.
“Ya Allah, astaghfirullah Ibu tega sekali. Tega pada Yuni, teh Yeni dan ayah. Ibu jahat. Yuni tak mau melihat Ibu lagi.” Yuni menangis dan berlari menjauh dari ibunya. Hatinya hancur untuk kedua kalinya, setelah dulu hancur karena perceraian orang tuanya, kini pengakuan ibunya yang sungguh tak terpikirkan sama sekali kembali melukai hatinya. Bagi Yuni Ibu sangat jahat, tega membohonginya, teh Yeni dan ayahnya. Bahkan ibu menikah dengan penjahat yang menjadi dalang pembakaran pesantren dan hampir melukainya. Ya karena memang kebakaran paling parah ada di kamar Yuni.
Dewi sang sahabat yang sudah mengetahui cerita Yuni langsung menghiburnya dan terus memotivasinya agar bangkit dan jangan pernah terpuruk. Seiring waktu Yuni kembali menata hatinya. Teh Yeni pun memutuskan untuk tinggal di kampung karena sudah punya modal cukup untuk membuka warung sembako, agar bisa sambil merawat ayah. Yeni pun berpesan pada Yuni untuk terus belajar dan jangan menyerah. Yuni pun mengikuti saran kakaknya itu. Semua yang dialaminya dijadikan pengalaman berharga baginya. Dia juga berusaha membuang rasa benci pada ibunya. Dia akan terus fokus belajar di pesantren. Malah Yuni dan Dewi bertekad suatu saat ingin menjadi guru juga mengabdikan diri di Pondok Pesantren Al Ikhlas dan terus memajukannya.
Share this post