Karya: Nurbaeti (Peserta Lomba Cerpen DN14 CSSMoRA UIN Walisongo)
“Saya datang mencari ilmu
Mengabdi tuk cari Barokah sang guru”
Begitulah bunyi salah satu poster dari sekian poster di Pondok Pesantren Baiturrohman, Peterongan, Jombang, yang tanpa sengaja terbaca oleh salah satu calon santriwati kala melihat tempat yang beberapa menit terakhir baru saja diinjaknya itu.
Dialah Fatimah, sesosok gadis lugu berpakaian sederhana asal Banyumas.
Banyumas adalah salah satu nama kabupaten yang ada di provinsi Jawa Tengah, sebuah kabupaten yang memiliki julukan kota Satria.
Sejahtera, Adil,Terampil, Rajin, Indah dan Aman
Begitulah makna tersembunyi dari setiap huruf dalam kata Satria
Setelah membaca poster, tiba tiba datang sesosok wanita cantik dan juga pria berkaca mata mengajak Fatimah ketempat administrasi pondok.
Setelah mendapat arahan kang administrasi, Fatimah dan wanita cantik yang tak lain bernama Aisyah, kakak ipar Fatimah pun diajak oleh mbak pengurus menuju asrama putri dan pria tadi duduk di teras masjid, ditemani kang santri sambil minum kopi yang telah tersaji oleh kang santri dipagi hari ini.
Sambil terus mengikuti mbak santri yang berjalan didepannya, tiba-tiba ada sesosok wanita paruh baya disebuah tempat bernama Ndalem berdiri dari duduknya.
“Mbak…mbak…Reneo…”
[Mbak…mbak…kemarilah]
Ucap sesosok wanita paruh baya itu dengan logat Bandek khas Jawa Timur, yang tak lain beliau adalah istri dari pengasuh Pondok Pesantren Baitur Rohman yang bernama Nyai Muhimah.
Nyai Muhimah adalah sesosok wanita asli Blitar yang dipersunting oleh salah satu Kyai asal Jombang yang bernama Kyai Muhaimin untuk menjadi pendamping hidup sekaligus menemani mengurus pondok yang telah diamanahkan oleh salah satu guru beliau yang berasal dari Jawa Tengah.
“Mbak…mbak kerudung abrit…Reneo…”
[Mbak…mbak kerudung merah…kemarilah]
Panggil Nyai Muhimah terhadap mbak santri yang tak lain adalah seseorang yang akan mengantar Fatimah menuju asrama putri.
“Injih Bu nyai…”
Sambil terus menunduk, mbak santri berkerudung merah itu memenuhi panggilan sang guru yang sedang berada di teras Ndalem ditemani sang suami tercinta Kyai Muhaimin.
Sesampainya di teras Ndalem, mbak santri yang bernama Afifah itu langsung mencium punggung tangan sang guru dengan penuh ta’dzim, begitupun Fatimah dan juga mbak Aisyah yang mengikutinya dari belakang.
“Owalah mbak Afifah toh…tak celui Kawit wau gak mireng mireng”
[Owalah Mbah Afifah ya…dipanggil dari tadi tidak dengar dengar]
“Nuwun agungipun pangapunten Bu Nyai…Kulo mboten mireng”
[Mohon maaf yang sebesar besarnya Bu Nyai…saya tidak mendengar]
Ucap mbak Afifah dengan penuh rasa bersalah sambil terus menunduk.
“Yo wes gak opo-opo…anu iku, mengkin tulung celu’no mbak mbak pengurus…Ken sami teng Ndalem sa’wise jama’ah isya, enten rapat ngono”
[Ya sudah tidak apa-apa…anu itu, nanti tolong panggilkan mbak mbak pengurus, suruh ke dalem sesudah jama’ah isya, ada rapat gitu]
“Oowh..njih bu nyai njih”
[Oowh…baik bu nyai baik]
“Ehh…sek sek…”
[Ehh…nanti nanti…]
Terdengar suara bu nyai saat ketiga perempuan tadi hendak mencium tangan beliau untuk pamit undur diri menuju asrama putri
“Iku santri enggal yo fah?”
[Itu santri baru ya fah?]
Tanya Bu nyai terhadap Afifah, lalu mengalihkan pandangannya tehadap gadis yang tak lain adalah Fatimah
“Njih Bu nyai…”
[Benar Bu nyai…]
“Oowh…patut ibu gak nate eruh pean toh nduk, sinten tah namine ?”
[Oowh…pantes ibu belum pernah melihat kamu nak, Siapa namanya?]
Tanya Bu nyai terhadap Fatimah sambil tersenyum ramah yang merupakan ciri khas beliau dimata para santri dan juga setiap orang yang beliau temui
“Kulo Fatimah Bu nyai…Fatimah Az-Zahra”
[Saya Fatimah Bu nyai…Fatimah Az-Zahra]
“Oowh…Fatimah tah namine…kados namine putrinipun kanjeng nabi yo…”
[Oowh…Fatimah yah namanya…seperti nama putrinya Baginda nabi ya…]
“Hehehe…njih Bu Nyai”
[Hehehe…iya Bu Nyai]
Jawab Fatimah malu malu sambil terus menundukkan wajah
“Teras iku sandingmu sinten tah namine ?”
[Terus itu sampingmu siapa namanya?]
“Iki mbakyu ipar kulo Bu Nyai…naminipun mbak Aisyah”
[Ini kakak iparku Bu Nyai…namanya mbak Aisyah]
“Oowh…iyo yo…saking pundi pean ?”
[Oowh…iya ya…dari mana kamu?]
“Anu iku, kulo saking Banyumas Bu Nyai…”
[Anu itu, saya dari Banyumas Bu Nyai…]
Jawab Fatimah dengan agak gugup, mungkin efek bertemu dengan sang pengasuh pondok pesantren secara langsung dihari pertama mondoknya itu
“Banyumas ?”
Tanya Bu Nyai dengan antusias
“Njih Bu Nyai…”
“Oowh iyo yo yoo…riyin garwone kulo nate mondok teng daerah mriko luh nduk”
[Oowh iya ya ya…dulu suami saya pernah mondok didaerah itu loh nak]
“Ooh iyo nduk…” Ucap Bu Nyai lagi
“Pean ngertos mbah yai,,,”
Tiiiiiinnnn
Suara klakson sepeda motor menghentikan pertanyaan Bu Nyai terhadap santriwati baru itu
“Assalamu’alaikum Bu Nyai”
Ucap pengemudi motor Kharisma 125 itu dengan tersenyum
“Wa’alaikum salam wr.wb….owalah,,,pak Ilyas tah…monggoh pinarak riyin”
Setelah dipersilahkan, pak Ilyaspun masuk keruang tamu bersama Kyai Muhaimin yang kemudian duduk ditempat yang telah tersedia diruang tamu untuk siapa saja yang ingin sowan terhadap beliau
“Yowes fah, jujugen Fatimah marang asrama yo…sak marine damelono unjukan tigo, bethoen mbale”
[Ya sudah fah, antar Fatimah keasrama ya…setelah itu buatkan minum tiga, bawa keruang tamu]
Dawuh Bu Nyai terhadap Afifah yang masih berada diteras bersama Fatimah dan juga kakak iparnya itu
“Oowh njih Bu Nyai njih”
[Oowh baik Bu Nyai baik]
Jawab Afifah tersenyum sambil menganggukan kepala dan terus menundukkan kepala sebagai wujud ta’dzim terhadap guru sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam kitab Ta’lim Muta’alim yang merupakan karya Imam Burhanuddin Ibrohim Az-zarnuji. Disini Imam Az-zarnuji menjelaskan bahwa seorang pelajar tidak akan mendapatkan ilmu melainkan ia menghormati ilmu dan juga pemiliknya, yaitu gurunya.
*****
Tak seperti santri baru lainnya yang memiliki banyak teman, Fatimah selalu sendirian hanya karena penampilan yang tak sesuai zaman. Kalaupun ada yang mendekat itupun karena sedang membutuhkan, setelah selesai ya ditinggalkan layaknya jeruk habis manis sepah dibuang. Namun Fatimah selalu dengan senang hati membantu siapapun yang membutuhkan bantuannya, karena baginya itu adalah salah satu upaya tuk menggapai apa yang ia impikan, menjadi orang bermanfaat bagi orang banyak. Hal ini seperti titah salah satu ‘Ulama Indonesia kelahiran Dompu, NTB yaitu Al Habib Saggaf bin Mahdi bin Idrus bin Syeikh Abu Bakar bin Salim, suatu ketika beliau pernah bertitah “Orang yang bermanfaat adalah orang yang memperhatikan orang banyak”. Itulah yang menjadi motivasi Fatimah dalam menjalani kehidupannya di Baiturrohman, suatu pesantren yang telah dipilihkan oleh abahnya untuknya dirinya beberapa waktu silam.
Pernah suatu ketika, disaat ziaroh makam orang tua Kyai Muhaimin yang terletak didesa sebelah, Fatimah dilempari batu oleh beberapa anak kecil yang merupakan santri sepesantren dengan dirinya, mungkin mereka berpikir orang yang berpenampilan tak sepadan sesuai zaman tak memiliki perasaan dan juga rasa sakit. “Tapi biarlah, toh baginda nabi tak pernah marah disaat banyak orang yang berusaha menyakitinya, justru beliau membalasnya dengan kebaikan…layaknya Air Tuba dibalas dengan Air Susu, terus kenapa saya musti jengkel ? Padahal orang yang membenciku tak sebanyak orang yang membenci baginda nabi dulu” jawab Fatimah disaat ada seseorang yang menanyakan kepribadian dirinya yang tak pernah jengkel menghadapi perilaku buruk anak-anak kecil itu bahkan teman-teman sebayanya sekalipun.
Sebagaimana rutinitas pesantren lainya yang berupa lalaran, takror, sorogan bahkan roan, Fatimah selalu menyempatkan diri datang ke perpustakaan pesantren yang bernama Babul Ilmi. Nama perputakaan ini adalah usulan dari Kyai Muhaimin yang terinspirasi oleh Sayyidina Ali Karomallohu wajha dengan mengharap barokah dari beliau supaya siapapun yang membaca buku disini memperoleh ilmu yang bermanfaat barokah sampai akhirat kelak.
Suatu ketika Baginda Nabi pernah bersabda انّا مدينة العلم و علي با بها yang artinya “Aku adalah kotanya ilmu dan ali adalah pintunya ilmu”. Tatkala kaum khawarij mendengar hadits ini, mereka mendengki kepada Sayyidina Ali dan berkumpullah sepuluh pemuka orang mereka, “Kita akan menanyakan satu masalah dan melihat bagaimana ia menjawab kita, seandainya ia menjawab masing-masing dari kita dengan jawaban lain, tahulah kita bahwa ia seorang yang alim sebagaimana dikatakan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw” kata salah seorang diantara mereka.
Satu persatu diantara mereka datang menemui Sayyidina Ali dengan satu pertanyaan yang sama yaitu “Hai Ali, mana yang lebih baik Ilmu atau Harta ?”. Lalu beliaupun menjawab “Ilmu lebih baik daripada Harta” dan beliau menjawab dengan alasan yang berbeda-beda.
“Ilmu itu warisan para nabi, sedangkan harta adalah warisan Qarun, Syaddad, Fir’aun dan lain lain”
“Ilmu menjagamu, sedangkan harta kau yang jaga”
“Pemilik harta memiliki banyak musuh, sedangkan pemilik Ilmu memiliki banyak teman”
“Apabila engkau belanjakan hartamu ia akan berkurang dan apabila engkau amalkan ilmumu ia akan bertambah”
“Pemilik harta bisa dipanggil si Pelit dan menjadi hina sedang pemilik ilmu dipanggil dengan sebutan agung dan mulia”
“Pemilik harta akan di hisab pada hari kiamat sedangkan pemilik ilmu akan memberi syafa’at pada hari kiamat
“Harta itu makin lama didiamkan makin bertambah using, sedang ilmu itu tidak bisa lapuk dan usang”
“Harta itu bisa membuat hati menjadi keras, sedang ilmu itu menerangi hati”
“Pemilik harta dikatakan sebagai pemillik harta dengan sebab harta, sedang orang yang berilmu mengaku sebagai hamba Allah”
Itulah jawaban beliau dari setiap pertanyaan orang-orang khawarij dengan satu pertanyaan yang sama.
*******
Hari demi hari terus terlewati, bahkan 4 tahunpun sudah terlampaui dalam mencari ilmu dipondok pesantren ini dan tentunya masih dengan sedikit teman yang menemani. Disisi lain karena penampilan yang tak sesuai zaman, mungkin juga karena Fatimah yang tak pernah disambang makanya hanya sedikit teman yang ingin berteman. Diantara temannya yang tak seberapa yaitu Hafidhoh namanya, ia memiliki cita-cita sebagai Hafidzoh sesuai dengan nama yang telah disematkan oleh orang tuanya untuk dirinya.
الحمد لله الذي قد وفقا للعلم خير خلقه وللتقي
“Mah….Fatimah”
“Eeh iyo…ono opo dzoh?”
Jawab Fatimah kaget karena sedang asyik lalaran kitab nadzom Al Imrithi dikelas diniyyah pagi yang saat itu sedang waktu istirahat
“Rencangi marang asrama yuh mah,,,awa’ku pengen Dhuhaan koh hhehe”
[Temani ke asrama yok mah,,,saya pengen Dhuhaan hhehe]
“Owalah iyo yo…iki kan rutinitasmu yoh dzoh hhehe aku lali”
[Owalah iya ya…ini kan rutinitasmu yah dzoh hhehe saya lupa]
“ Wuuuuushhh iyo ndaklah… ih tapi dunga’no wae sih iso istiqomah dugi pejah hhehe aamiin”
[Wuuuuushh iya tidaklah…ih tapi doakan saja sih biar bisa istiqomah sampai mati hhehe aamiin]
“Aaamiiiinnnnnnn”
Jawab Fatimah bahagia, karena memiliki teman yang mampu menerima dirinya apa adanya dan selalu menjadi partner dirinya dalam hal kebaikan, terutama dalam hal ngalap barokah sang guru.
Seperti contoh dalam hal menata sandal sang guru, pernah suatu ketika disaat pengajian sudah usai Fatimah dan Aisyah langsung berlari menuju tempat sandal Nyai Muhimah untuk memasangkan sandal tersebut terhadap pemiliknya.
“Yeyyy aku sek sing masangno sandale Bu Nyai” Sorak Aisyah terhadap Fatimah karena merasa kali ini menang tak seperti sebelum-sebelumnya
[Yeyyy saya dulu yang memasangkan sandalnya Bu Nyai]
“Tapi kan sidane aku sek seng salaman mbi Bu Nyai weeeeee” jawab Fatimah tak mau kalah
[Tapi kan jadinya aku dulu yang cium tangan sama Bu Nyai weeee]
Layaknya kisah Mbah Hasyim Asy’ari dan juga Mbah Ahmad Dahlan kala mondok ditempatnya Kyai Sholeh Darat Semarang dulu, beliau berdua adalah sesosok santri yang selalu berlomba lomba dalam hal kebaikan apalagi dalam hal ngalap barokah sang guru.
“Yo wes podo wae kedumen Barokah” Ucap Bu Nyai sambil tersenyum dan menggelengkan kepala yang ternyata dari tadi mendengar pembicaraan mereka
[Ya sudah sama-sama kebagian Barokah]
“Eehh Bu Nyai” Ujar mereka berdua kaget, karena tak menyangka sesosok yang dikiranya udah masuk ke Ndalem tuk istirahat justru mendengarkan pembicaraan mereka berdua barusan
“Yo wes dzoh, aku tak marang lantai 2 sek…ajeng mundut sepatu hhehe,,,ajeng nderek tah ? ngrencangi aku hihihi” Ujar Fatimah dengan mringis mringis
[Ya sudah dzoh, saya ke lantai 2 dulu…mau ambil sepatu hhehe,,,mau ikut yah? Menemani saya hihihi]
“Hhaha ndak lah suwun,,,aku tak sholate sek mumpung durung masuk Diniyyah” Jawab Aisyah tertawa lalu nyelonong masuk ke asrama yang sebelumnya sudah wudhu ditempat khusus wudhu
[Hhaha tidaklah makasih,,,saya mau sholat dulu mumpung belum masuk Diniyyah]
Bruuuuuukkkkkk tiba-tiba suara menggelegar datang dari arah asrama putri yang mampu mengagetkan seluruh penjuru pondok putra dan putri
*****
Beberapa detik setelah Aisyah masuk asrama, akhirnya ku memutuskan pergi menuju lantai dua tuk mengambil sepatu yang tadi pagi baru saja dikeringkan karena basah terkena air saat olahraga dilapangan yang semalam diguyur hujan.
“Owalah…wes mendung neh,,,nek gak giri-giri tak juput iso teles neh sepatuku iki keno udan” Desisku saat menaiki anak tangga menuju lantai dua dengan tergesa
[Owalah…udah mendung saja,,,kalau tidak cepat diambil bisa basah lagi sepatuku ini kena hujan]
Sesampai dilantai dua, ku langsung menuju tempat dimana sepatuku dikeringkan.
Bruuuuuukkkk
Ada sesuatu yang aneh didalam diriku ini, tubuh ini serasa melayang diudara selama beberapa detik melewati atap asrama putri lantai satu. Dan dengan sadar ku telah berada didepan pintu asrama putri lantai satu melewati atap asbes yang baru saja terinjak oleh kakiku beberapa detik yang lalu. Dengan posisi ku berdiri dengan satu kaki ingin rasanya ku pergi menuju Ndalem, meminta maaf terhadap Pak Kyai dan juga Ibu Nyai atas keteledoranku ini, namun apakah mereka mau memaafkan diriku ? toh saya telah merusak salah satu fasilitas asrama pondok berupa atap karena terinjak olehku tadi.
Banyak orang berhamburan mengelilingiku, sungguh kusangat malu dan tiba-tiba ada sesosok wanita paruh baya menghampiri dan langsung memeluk diriku, dialah Nyai Muhimah.
“Oowalah ndukkkk nduk” Ucap beliau sambil terus meneteskan air mata yang mampu menyetrum seluruh santri disekitarnya ikut menangis.
“Kang Ahmad, kang….ndang siapken mobil, sak marine budalo marang Klinik Peterongan, Jombang” Dawuh Bu Nyai terhadap kang sopir pondok dengan cepat.
[Kang Ahmad, kang….cepat siapkan mobil, setelah itu pergi ke Klinik Peterongan, Jombang]
Ternyata Bu Nyai mengkhawatirkan diriku dan tak memarahiku karena telah merusak atap pondok atas keteledoranku tadi.
“Njih Bu Nyai njih…” jawab kang Ahmad cepat
Setelah mobil siap, empat mbak pengurus menggendongku menuju mobil dan langsung menuju Klinik
“Assalamu’alaikum kang Ahmad, pie kabare Fatimah ?” Ucap seseorang dari telephon yang ternyata Kyai Muhaimin dan juga Nyai Muhimah. Terlihat kang Ahmad serius menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh sang pengasuh pondok.
“Mbak, punten bethoen Fatimah marang mobil…teras kito nganter Fatimah wangsul marang Banyumas…pean hafal dalane kan mah ?” Ucap kang Ahmad terhadap mbak pengurus lalu menanyakan perihal jalan arah pulang terhadapku
“Njih hafal kang, tapi nopo Fatimah wangsul ? kan Fatimah mboten nopo-nopo” Ucapku sambil tersenyum menyembunyikan rasa sakit
“Walah walah Fatimah…Fatimah, awakmu miki yo gak iso mlaku,wes manuten Pak Kyai lan Bu nyai…dirawat sek neng nggriyone pean dugi mantun, sak marine yo teko marang pondok neh…yo”
“Njih…sendiko dawuh” Ucapku dengan agak lemas
Setelah keluar dari klinik, kami langsung meneruskan perjalanan menuju Banyumas tempat tinggalku berada. Jam demi jam kami lalui melewati beberapa kabupaten menaiki mobil Sedan ini dan akhirnya nampaklah gapura Selamat Datang dikota Banyumas.
“Assalamu’alaikum” Ucap kang Ahmad sesampainya dirumah yang telah kutunjuk barusan
“Wa’alaikum salam wr.wb” Jawab seorang sepuh berambut putih dari dalam rumah lalu langsung membukakan pintu
“Eeeh Mbah Yai, Assalamu’alaikum” Ucap kang Ahmad kaget saat tiba tiba pintu dibuka oleh seseorang yang tak asing lagi, dan tanpa pikir panjang ia langsung mencium tangan orang sepuh itu. Beliaulah Mbah Yai Muhammad, sesosok sepuh yang merupakan gurunya Kyai Muhaimin dan juga Nyai Muhimah.
Dulu kang Ahmad pernah bertemu dengan beliau saat ziarah ke Sunan Pandanaran yang terletak di kecamatan Bayat, Klaten Jawa Tengah kala diajak oleh Kyai Muhaimin dan juga seluruh keluarga Ndalem saat itu. Jadi kang Ahmad belum pernah sowan terhadap beliau ke Ndalemnya, yang ia tau ya Ndalemnya Mbah Yai Muhammad ada di Banyumas sudah itu saja. Dan detik ini, tanpa sengaja ia mendatangi Ndalemnya beliau karena mengantar Fatimah pulang kerumah.
Setelah dipersilahkan masuk dan dipersilahkan makan disertai obrolan agak panjang, akhirnya kang Ahmad pamit undur diri bersama empat mbak santri yang menemaninya tadi mengantar Fatimah pulang kerumah yang ternyata adalah putri dari gurunya pengasuh pondok pesantrenn Baiturrohman itu.
*****
“Yo wes pak, sesuk dewek rono mbesuk Fatimah sekalian sowan yo….” Tutur Nyai Muhimah terhadap suaminya itu kala mendengar tuturan kang Ahmad barusan.
“Oowh iyo yo siap” Ujar Kyai Muhaimin
“Eh sek, sesuk kan ibune pean ajeng mriki…moso iyo ajeng ditilar ?” Ungkap Kyai lagi
“Loh iyo yoh…yo wes kalih minggu neh wae dewek guli mbesuk lan sowan rono”
“Oowh sip”
( Dua minggu kemudian)
“Bu…wes siap sedanten dereng ?”
“Alhamdulillah wes pak…” Ujar Nyai Muhimah dari dalam lalu mengikuti sang suami ketempat mobil yang telah disediakan oleh kang Ahmad.
Tin-tinn
Terdengar suara mobil dari arah luar yang ternyata Mbah Yai Muhammad beserta sang istri tercinta Nyai Khodijah namanya dan disusul pula oleh Fatimah.
Setelah uluk salam, akhirnya Mbah Yai beserta keluarga dipersilahkan masuk oleh Kyai Muhaimin. Ditemani beberapa hidangan yang telah tersajikan, mereka lalu mengobrol tentang perkembangan Baiturrohman yang telah lama berdiri itu.
“Alhamdulillah Mbah Yai, pondoke berkembang pesat” Ujar Kyai Muhaimin saat ditanya oleh gurunya itu.
Setelah dirasa obrolan sudah cukup, akhirnya Mbah Yai pamit Kondur beserta Nyai Khodijah dan Fatimah ditinggal sendiri karena harus menyelesaikan belajarnya yang tinggal dua tahun lagi
“Fatimah….” Panggil Nyai Muhimah
“Njih Bu Nyai…” Jawab Fatimah dengan terus menunduk sebagai wujud ta’dzim terhadap guru yang telah membimbingnya itu
“Lappo awakmu gak cerito nek pean iku putrinipun Mbah Yai Muhammad ?”
“Mboten nopo Bu Nyai” Jawab Fatimah dengan tersenyum dan terus menundukkan kepala
“Yo wes, saiki awakmu pindah kamar marang kamaripun putri kulo Nasiroh yo nduk”
“Eeh ndak usah Bu Nyai ndak usah…kulo teng asrama mawon” Tolak Fatimah dengan halus
“Yoo gak opo-opo…iki sebagai wujud khurmate kulo marang guru kulo lewat pean nduk… putrinipun guru kulo, mbok wujudipun khurmat ilmu iku khurmat marang pemilik ilmu lan keluaganipun”
“Nuwun agungiun pangapunten Bu Nyai…mboten susah saestu” Jawab Fatimah terenyum sambil terus menunduk menghadapi sesosok guru yang sangat menghormati bapaknya itu
“Nduk, sesuk nek awakmu mondok ojo sampe nempatno awakmu sebagai putrinipun kyai…awakmu kedah nempatno diri sebagai seorang santri…awakmu kedah khurmat marang gurumu, senajan gurumu kui muridipun bapakmu…yoo”
Pesan Abah yang selalu terngiang-ngiang dipikiran Fatimah sejak empat tahun lalu, disaat Fatimah mencium punggung tangan abah dan pamit hendak mencari ilmu di Jombang Jawa Timur yang diantar oleh kang mas dan juga mbakyu iparnya itu.
Ya walaupun pada akhirnya usaha menyembunyikan diri terungkapkan oleh pihak Ndalem dan seluruh warga pesantren Baiturrohman karena insiden kecelakaan dua minggu lalu.
Komentar