Karya: Malisa Ladini (Peserta Lomba Cerpen DN 14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Ada sebuah negara bernama “Seandainya”. Serasa sesak, kering-kerontang, dan gersang. Saat kita menyusuri negeri ini. Kemana kah hati nurani penghuni negeri ini? Negeri yang kata orang “elok rupawan”, bak gadis jelita yang memikat hati? Seperti hawa kecongkaan yang menelusup masuk ke dalam kehidupan yang berdampingan dengan alam, kesewenang-wenangan eksplorasi perut bumi menjadi panglima yang menghujam. Hingga lingkungan tak lagi riang. Jika mereka bisa menangis, pasti air matanya melebihi gelombang lautan.
Bak negeri yang kian lama kian usang. Di sinyalir masih ada satu kota yang masih terjaga. Itu pun sebagian kecil, sebab kini sudah didominasi oleh lingkungan yang rusak. Beberapa masyarakat yang tinggal di negara ini mempunyai keragaman berpikir, ada yang bermimpi mempunyai negara yang makmur seperti negara-negara yang lainnya. Meski tak semua, pasalnya hanya segelintir masyarakat saja yang masih mempunyai misi sama untuk membenahi negari ini. Sedangkan masyarakat yang lainnya acuh tak acuh terhadap kerusakan negaranya. Bahkan tak jarang pejabat yang diberi kepercayaan, mengkhianati bangsanya sendiri. Sebagian dari mereka rela mengeksploitasi kekayaan alam negaranya sendiri tanpa memperhitungkan keberadaan lingkungan berkelanjutan di masa yang akan datang. Mereka tega berpangku intan permata, berkalung emas dua puluh empat karat, mengejar barang branded, dan hidup bergelimang harta. Padahal di sisi lain banyak rakyat yang masih menderita kelaparan.
Salah satu Kota kecil yang ada negera Seandainya itu bernama “Kota Serakah”. Ini adalah kota yang menjadi bentuk cerminan kecil dari negara Seandainya itu. Hidup lah seorang anak bersama kakeknya.
“Kakek, kemana kah orangtuaku tinggal?” tanya Gesang kepada kakeknya di depan pintu rumahnya.
“Mereka telah tiada. Ayah ibumu meninggal saat terjadi banjir bandang lima belas tahun yang lalu. Saat itu kau masih bayi, dan mereka menitipkanmu kepadaku,” jawab Kakek sambil menahan manik matanya yang sudah diujung sudut lipatan bola mata yang kian sayu itu.
“Lalu mengapa mereka tak membawaku pergi bersama mereka Kek? Aku ingin tinggal dengan mereka,” jawab Gesang.
“Husss, syukuri lah bumi ini, syukuri lah negeri ini Nak. Kau lihat itu, jika masyarakat di kota ini semakin serakah, pasti kita akan bersama-sama menyusul ayah ibumu,” jawab kakek sambil mengusap rambut cucunya.
“Mungkinkah Kek? Kapan?” tanya Gesang dengan melototkan kedua mata.
“Saat semua lingkungan ini rusak, alam pun menghajar kita,” kata kakek sambil menunjuk ke arah luar rumah yang sangat panas.
Penduduk Kota Serakah hidup berdampingan dengan kerusakan lingkungan. Sebagian besar dari mereka menjadi seorang buruh. Ada yang menjadi buruh tekstil, buruh kayu, buruh tambang, dan sebagainya. Tak ada satu pun penduduk asli Kota Serakah yang menjadi seorang bos dari pabrik-pabrik itu. Semua hasil yang dihasilkan dari pabrik itu selalu dieksport ke luar negeri. Karena kebetulan pendiri dan bos dari pabrik itu semuanya adalah orang asing. Ironis, penduduk asli menjadi buruh oleh bos-bos orang asing. Seakan dijajah finansial negeri ini. Lalu kemana perginya ahli-ahli dalam negeri? Tak adakah anak bangsa yang pintar dan layak menjadi bos? Apakah sesungguhnya banyak yang pintar tapi tidak ada yang tulus untuk menjaga lingkungan bumi ini? Entahlah.
Ada hal lain yang tak kalah miris, terbentang panjang sebuah sungai bernama “Kali Galak”. Kali Galak adalah sungai yang kini telah menjadi keruh, kotor, berbau, dan dipenuhi dengan sampah. Memang sebagian aliran sungai itu telah bercampur dengan limbah pabrik. Sedangkan kawasan Kota Serakah itu sangat gersang dan panas. Hutan pun hanya tinggal beberapa petak. Penguasa pabrik kayu seringkali menebangi pohon di hutan tanpa perhitungan. Akibatnya berangsur-angsur Kota Serakah ini terasa sangat panas dan seringkali terjadi banjir bandang ketika hujan datang.
“Kek, mengapa Kakek setia dengan pekerjaan kakek sebagai seorang pelukis? Bukankah menjadi buruh seperti masyarakat setempat lebih menjajikan setiap bulan sudah pasti menerima gaji?” tanya Gesang sambil duduk di kamar tidurnya.
“Hemmm, jangan kau remehkan lukisan Kakek. Kakek selalu ingin bernostalgia dengan nuansa lingkungan hidup Kota Serakah ini lima puluh tahun yang lalu. Saat semuanya tak seperti sekarang. Dan satu lagi Gesang, kakek ingin kau dapat mengenyam pendidikan tinggi ke Kota Hidup. Sebagai satu-satunya jantung Negeri Seandainya ini,” jawab kakek sambil merebahkan tubuhnya yang mulai renta semampir di atas kasurnya yang mulai reot.
“Benarkah? Mengapa kakek ingin berpisah denganku?” jawab Gesang sambil memeluk kakek.
“Bukan itu maksudku, aku hanya ingin mendidikmu bagaimana bertahan hidup di Kota yang asing bagimu. Dan memberitahumu bagaimana menjadi seorang yang peduli terhadap lingkungan. Kau akan tahu betapa berbedanya Kota Hidup dengan Kota Serakah ini Gesang.”
Kakek terus menekuni pekerjaannya menjadi seorang pelukis. Lukisannya pun mengandung nilai-nilai masa lalu dan harapan-harapan bagi terjaganya lingkungan di masa yang akan datang. Sembari bersekolah, Gesang pun turut membantu pekerjaan kakeknya. Suatu hari, ia sangat penasaran dengan salah satu lukisan kakek.
“Kek, ini lukisan apa? Ada sungai yang jernih mengalir di sepanjang sebuah kota, ada pepohonan yang beragam, bunga-bunga berwarna-warni, ada burung-burung yang sangat cantik. Apakah ini surga?”
“Wah, kau jeli sekali Gesang. Iya, bagi seorang utopian, mungkin itu surga.”
“Apa itu utopian kek?”
“Utopian itu seperti sebuah lambungan atau angan-angan, bagi seorang pemimpi itu surga. Tapi bagi seorang yang hidup, berpikir, dan peduli, itu kenyataan. Kau pilih yang mana Gesang? Pemimpi atau orang yang hidup?”
“Aku ingin menjadi orang hidup yang mewujudkan mimpi Kek, bagaimana?”
“Baik, pintar sekali kau. Bilamana kau tak lagi dapat melihat aku kelak saat maut mengambilu, kau harus ingat bahwa aku selalu hidup di hatimu. Kakek sudah tua Gesang, untuk itu ingat lah pesan kakek “Lingkungan yang indah, murni, menyediakan segalanya, dan penuh dengan rezeki adalah ciptaan Allah yang Maha Sempurna, tapi jika masanya datang suatu kerusakan yang mengerikan itu akan datang. Dimana lingkungan yang kau tinggali, bumi tempatmu berpijak ini, dan alam tempatmu menyadari akan marah dan mengamuk, kau harus tahu jika penyebabnya adalah etika manusianya sendiri.”
Etika manusia yang tak mau lagi peduli dan hanya memikirkan diri sendiri.
Hari yang ditunggu telah tiba, Gesang telah lulus SMA dan harus meneruskan pendidikan tinggi ke Kota Hidup. Bertepatan dengan itu, rezeki besar datang dari Allah. Ada seorang pengoleksi lukisan datang membeli lukisan-lukisan kakek dengan harga yang sangat tinggi. Seorang dermawan itu menghargai karya kakek hingga ratusan juta. Tiba saatnya kakek harus melepaskan Gesang mengenyam pendidikan ke Kota Hidup.
“Tiba saatnya aku memenuhi mau kakek,” Kata Gesang sambil memeluk kakek dari belakang.
Kakek berbalik badan, “Gesang, kau pergi untuk belajar hidup. Meskipun kita tak bisa menampik ke depan kerusakan lingkungan semakin parah. Tapi minimal, selama kita hidup di bumi ini setidaknya kita telah memiliki rasa peduli lingkungan yang tinggi.”
“Iya Kek, Gesang akan penuhi keinginan kakek. Bolehkah Gesang tahu, apakah ketika kakek seumuran Gesang, lingkungan Kota Serakah ini sudah sedemikian parah?”
“Tidak Nak, dahulu masyarakat patuh pada presiden. Tak ada yang berani saling rampok hasil kekayaan alam Negeri Seandainya ini. Sungai Kali Galak yang membentang itu sangat jernih airnya. Kakek sering berenang bersama teman-teman kakek, memancing ikan yang bermacam-macam, dan tak sungkan ketika dahaga, kakek pun meminum air sungai yang sangat menyegarkan itu. Dahulu, hutan tak segundul ini, sangat asri, bahkan orangtua melarang anaknya bermain ke hutan, karena pepohonan yang sangat banyak dan rindang di hutan tentu akan menyusahkan anak-anak menentukan arah untuk kembali ke jalan pulang. Dan kau bisa lihat Gesang? Apa yang terjadi sekarang? Semua berkebalikan, bos-bos asing itu telah bersekongkol dengan pejabat-pejabat yang serakah untuk merampasi kekayaan alam negeri ini tanpa memikirkan kondisi lingkungan yang ada.”
Setelah percakapan itu berakhir, Gesang pun berangkat ke Kota Hidup untuk mengenyam pendidikan tinggi. Dia sangat tercengang sesampainya di sana. Pasalnya Kota Hidup terlihat benar-benar hidup, meskipun ada bangunan tinggi sebagai Perguruan Tinggi, tapi pepohonan masih tampak hijau dimana-mana. Terlihat sawah yang menghampar, ada banyak hutan lindung, dan sungai yang membentang di hilir begitu terlihat suci. Sangat jernih airnya, banyak ikan yang berwarna-warni. Semua ini mirip dengan cerita kakek di Kota Serakah lima puluh tahun yang lalu. Ironisnya Kota Hidup adalah satu-satunya kota yang masih terjaga keasliannya, lingkungannya, dan kebudayaan masyarakatnya. Sangat mencengangkan, Gesang pun tak habis pikir. Betapa serakahnya masyarakat yang tinggal di Kota Serakah yang semakin merusak lingkungan hidupnya sendiri. Dan betapa hidup masyarakat yang hidup di Kota Hidup dengan lingkungan yang terjaga sedemikian rupa. Ini bukan mimpi, ini nyata.
Tak lama kemudian, setelah Gesang menjalani studinya selama satu tahun lamanya. Dia mendapat kabar buruk jika kakeknya telah meninggal dunia. Gesang pun sangat kebingungan. Tapi dengan bekal uang saku dari penjualan lukisan kakek yang ternilai cukup banyak, dengan bantuan teman-teman kuliahnya dan dengan bimbingan dosen. Gesang pun memulai karirnya untuk membudidayakan buah-buahan di sebuah lahan. Sambil belajar, ia pun mempersiapkan dirinya untuk membuka lahan perkebunan buah-buahan.
Tak khayal, setelah lulus kuliah. Gesang telah siap dengan usahanya itu. Dengan tekun ia bekerja sebagai pembudidaya buah-buahan. Bukan hanya untuk mendapatkan rupiah, tapi Gesang selalu ingat pesan-pesan kakeknya untuk menjaga lingkungan hidup dengan baik. Sebagai manusia yang tinggal di bumi, Gesang mempunyai kesadaran untuk bertanggungjawab dengan lingkungan di bumi itu sendiri.
Banyak masyarakat setempat yang terbantu dengan perkebunan Gesang. Sebab diantara mereka dipekerjakan dengan upah yang sesuai dan jam kerja yang sesuai pula. Pasalnya, Gesang sangat miris dengan para buruh yang bekerja di pabrik-pabrik Kota Serakah. Dimana buruh digaji minim, dengan sistem lembur, dan kerja target. Padahal di lihat dari segi lingkungan, keberadaan pabrik itu menghasilkan limbah yang semakin lama dapat merusak lingkungan.
Setelah bertahun-tahun Gesang menekuni perkebunannya. Ia bermaksud pulang ke Kota Serakah. Usaha diplomasi yang panjang dan proses kerjasama yang rumit satu per satu dilakukan Gesang. Setelah melewati banyak langkah, Gesang pun melakukan perundingan.
Pejabat Perizinan berkata, “Proposalmu untuk membugar pabrik yang semula adalah beberapa pabrik kayu dan pabrik tekstil menjadi perkebunan tidak bisa begitu saja kami terima. Pasalnya kita harus rundingkan dahulu dengan pemilik pabrik sebelumnya. Jangan sampai investor asing semuanya menarik diri dari negeri ini.”
Gesang menjawab, “Baik, aku akan melaksanakan prosedur dan biaya pajak seperti pabrik sebelumnya. Toh aku dengar pabrik-pabrik itu tak lagi laris menghasilkan produk, bukan?”
Salah satu bos pabrik yang ada dalam rundingan itu menyaut, “Apa kau bilang? Hahaha, mungkinkah seorang kecil seperti dirimu bisa merealisasikan ide itu. hanya lelucon,” jawab bos itu seakan tak percaya.
Akhirnya Gesang mendapat persetujuan dari pemerintah untuk mengganti beberapa bangunan pabrik dan mengubahnya menjadi sawah dan perkebunan.
Gesang pun membugar pabrik dan membuka lahan baru menjadi beberapa hamparan sawah dan perkebunan. Selain itu buruh yang dahulu bekerja di pabrik, kini dipekerjakan Gesang di lahan-lahan itu. Meski tak semua pabrik dapat dibugar, minimal Gesang telah memulai langkah besar untuk mengubah “Kota Serakah” menjadi “Kota Berkah”. Selain itu Gesang juga mengambil langkah yang berani. Dengan tegas ia memberi ultimatum kepada bos-bos pabrik yang lain untuk mengelola limbah dengan baik. Sehingga Kali Galak tak lagi tercemar. Ia juga memberlakukan aturan kepada seluruh pekerjanya untuk bekerja bakti dan gotong royong membersihkan Kali Galak setiap hari Selasa
Sungguh berbeda, pasalnya bos-bos pabrik yang berasal dari luar negeri itu biasanya bersifat congkak dan kaku terhadap para buruh yang bekerja. Mereka pun dengan bantuan kongkalikong para pejabat negara yang berkepentingan seringkali mengeksploitasi kekayaan alam negeri tanpa berorientasi pada lingkungan dalam jangka panjang. Tapi Gesang seorang yatim piatu yang diasuh dan dididik oleh seorang pelukis kuno yang pemikirannya sanagat konservatif itu pun mampu membalikkan logika itu. Gesang sangat ramah dengan para pekerja yang mengurus kebunnya. Ia juga menularkan banyak ilmu kepada para pekerja, tentang bercocok tanam dan bertani yang baik untuk menghasilkan buah dan beras yang berkualitas. Tak sia-sia kakeknya menyekolahkannya hingga tinggi ke Kota Hidup. Kini ia benar-benar mengimplementasikan ilmunya sebagai seorang sarjana. Didikan kakeknya yang konservatif tapi mencintai lingkungan dipadu dengan basis keilmuan modern yang diperoleh dari Perguruan Tinggi berhasil membentuk pribadi yang pintar dan bertanggungjawab terhadap lingkungan.
Seandainya “Negara Seandainya” berubah menjadi “Negara Kenyataan”? Akankah negeri yang lingkungannya terlanjur rusak akan berubah menjadi hijau, asri, makmur, dan sejahtera? Sebab negeri dengan lingkungan hidup yang sehat, dengan jutaan rakyat yang sejahtera adalah harapan bagi setiap pemimpin dan negarawan sejati. Alam akan terus ramah kepada kita yang masih peduli terhadap bumi ini.
Share this post