MAJALAH ZENITH EDISI 17

Puji syukur kehadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan juga anugerahnya kepada kita semua. Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad, yang selalu menjadi wasilah kami dalam doa. Setelah sekian lama pengerjaan Zenith terhenti, akhirnya pada periode kepengurusan 2024-2025, divisi jurnalistik kembali dibentuk dalam rangka untuk kembali menerbitkan majalah Zenith edisi ke 17.

Selanjutnya, rasa terima kasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang mendukung dan berkontribusi dalam pengerjaan Majalah Zenith. khususnya, kepada teman-teman divisi jurnalistik, segenap penulis, dan juga teman-teman CSSMoRA yang yang turut berkontribusi dalam tebitnya majalah ini.

Ucapan terima kasih juga kami ucapkan kepada para tokoh yang telah bersedia kami wawancarai khususnya Pak Dr. M. Basthoni, Prof Thomas Djamalludin, Dr Kassim Bahali dan juga para allumni yang senantiasa membimbing dan memberikan sumbangsih pemikirannya dalam rangka terbitnya majalah Zenith.

Sebagai mana edisi-edisi sebelumnya, majalah Zenith senantiasa hadir dengan ciri khas pembahasan ilmu falaknya. Pada edisi ke 17 ini tim redaksi mengusung judul “Dinamika Penentuan Awal Waktu Subuh”. Hal yang melatarbelakangi tema tersebut adalah permasalahan mengenai awal waktu subuh yang ramai sekitar tahun 2010 ternyata belum mencapai kesepakatan kriteria hingga kini.

Perbedaan yang masih terjadi berimplikasi pada perbedaan waktu salat antara pemerintah dan kelompok lain. Meski demikian, belum banyak tulisan yang membahas secara spesifik masalah ini.

Sehingga sebagian masyarakat belum sepenuhnya menyadari bahwa ternyata kriteria waktu subuh yang mereka anut ternyata memiliki perbedaan. Kriteria yang umum dan dipakai oleh pemerintah adalah ketinggian matahari -20°. Sedangkan ormas Muhammadiyah menganut -18° senada dengan negara Malaysia yang telah mengubah dari -20° ke -18°.

Majalah Zenith kali ini akan membahas akar perbedaan dari kriteria tersebut berdasarkan kajian dan wawancara dengan para pakar. Harapannya majalah edisi 17 ini akan memberikan manfaat dan juga pengetahuan baru kepada mahasiswa dan juga masyarakat terkait realita serta dinamika penentuan kriteria waktu subuh yang sempat ramai di Indonesia.

Kami sadar bahwa majalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu kritik dan saran akan sangat membantu demi terciptanya kualitas majalah yang lebih baik lagi ke depannya. Sebaliknya jikalau pembaca mendapatkan manfaat kami sangat berharap teman-teman yang membaca bisa membagikan pengetahuannya kepada siapapun yang membutuhkan.

 

Majalah bisa di download di sini

 

Loading

Melihat Tuhan Bekerja

Mereka menghalangi jalan. Lima orang memakai kaus hitam dan memakai celana jeans sobek yang dihiasi aksesoris rantai di dekat saku. Sablon logo tulisan berbentuk kupu-kupu menghiasi kaos kumal mereka, di bawah logo tersebut tertulis “Slank Nggak Ada Matinya“.

Mereka terlihat masih muda, mungkin sekitar 17 tahun. Berperawakan tinggi dan ramping. Salah satu dari  lima orang tersebut berjalan dari pematang jalan menuju ke tengah. Pelan tapi pasti. Matanya memicing. Tak berselang lama, terlihat sebuah truk. Mereka menyebutnya lempengan. Yang berarti truk yang memuat kontainer dari pelabuhan tetapi sedang kosong muatannya. Ia Terlihat melambaikan tangan, yang satunya lagi berteriak, seraya menelungkupkan kedua telapak tangannya di atas kepala, seperti sedang memohon, dan sisanya melihat rekannya dari tepi jalan sembari bersua dengan rokok bekasnya.

Aku  tidak menahu tujuan mereka. Tampaknya datang dari jauh, namun seperti tanpa bekal apa pun. Makanan? Hei, itu bukan yang mereka butuhkan, anak-anak itu percaya, mereka tidak akan mati hanya karena makanan. Imunitas tubuh anak-anak itu kuat, mampu bertahan dalam kondisi apa pun. Mereka hanya butuh Tuhan, titik. Walaupun kenyataannya mereka tak menjalankan kewajiban kepada Tuhan. Toh, Tuhan pun masih mengasihani mereka. Buktinya mereka hidup sampai sekarang.

” Ini mas makanannya.”

“Makasih mbak,” ujarku pada penjual makanan yang menyajikan seporsi nasi padang. Warung ini tidak besar, halamannya pun tidak terlalu luas, hanya sekitar lima kali enam meter, dan terletak di selatan jalan pantura. Perutku sudah berbunyi, perlahan kulahap makananku sembari menatap jalan beraspal tebal yang berdebu. Truk-truk besar lalu lalang, membawa berbagai muatan: pasir, mebel, besi, motor, ah tak perlu kusebutkan semua, kalian pasti sudah tahu sendiri jalur pantura, ‘kan?  Namun yang paling menarik perhatianku adalah mereka berlima. Memutar kembali masa-masa itu. Andaikan saja aku lebih dewasa, andaikan saja bapak tahu, mungkin saja semua tidak terjadi.

****

“Sesok sido melu, Mar?” (besok jadi ikut, Mar?). Tanpa basa basi aku pun mengangguk menerima ajakan temanku.

Bapak di rumah, bekerja sebagai guru dan mengajar di madrasah merupakan profesinya. Bapak adalah insan yang amat takut dengan Tuhannya. Pernah suatu malam, kulihat Bapak duduk bersimpuh sendirian di kamar –perlu kau tahu, rumah kami memang tidak ada tempat khusus untuk ibadah— kudengar dia seperti sedang cegukan disertai tetesan air yang menurutku laksana butiran-butiran embun pagi. Saat bapak telah tidur, aku pun memegang sajadah yang dipakai Bapak. Basah. Memang benar, Bapak menangis.

Bapak tidak menahu jika aku jarang shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya. Padahal beliau adalah tokoh masyarakat. Buat apa? Aku  percaya Tuhan, tetapi nyatanya tidak shalat pun aku masih hidup, aku masih bisa makan, lalu untuk apa sembahyang? Pikirku.

Bapak juga tidak tahu jika aku sering pergi ke suatu tempat yang jauh, dengan dalih mengikuti pengajian. Konser nampaknya lebih cocok untukku. Hanya di dalam konser seorang Martoyo mendapatkan kesenangan, dan hanya di dalam konser seorang Martoyo menjadi dirinya sendiri. Bukan seseorang yang sedang menyelinap dari dirinya sendiri dan menjadi sosok lain sebab itu yang diinginkan Bapak.

“Le, kowe arep neng ndi?” (Nak, kamu mau kemana?) Dengan logat jawanya yang khas, dia bertanya padaku yang sedang mengenakan kemeja abu-abu lengan panjang, sarung yang asal-asalan kupakai sehingga lipatan yang terdapat di perut terlihat menggelembung. Tak lupa aksesoris kepala yang kujinjing sembari menuju pintu rumah.

“Biasa pak, Bapak hanya bisa terdiam. Sebenarnya aku tidak ingin memakai kemeja dan sarung, aku seorang Martoyo hanya menjadikan kemeja sebagai baju penyamaran hobiku. aku mengenakan kaus hitam yang sudah dipotong lengannya, sehingga hanya menyisakan lubang besar di kedua sisi kaos. Jika dipakai, bahu sampai bawah ketiak akan terlihat. Tidak kuketahui namanya, tapi aku biasa menamainya singlet. Sesaat setelah keluar dari pintu, temanku datang menjemput menggunakan motor alfa klasik yang suaranya menggelegar. Dengan motor itu kami melaju menuju tempat ‘ganti baju’. Rumah Santo.

Aku bersiap.  Di rumah Santo, aku duduk di kursi kayu yang berada di teras rumahnya, rehat sejenak menanti jam keberangkatan. Aku yang notabene seorang Martoyo juga butuh istirahat. Martoyo juga seperti kalian; manusia biasa. Santo menyeduh kopi, dua cangkir, santo menyodorkan salah satunya ke arahku.

“To, kowe Percoyo pengeran?” (to, kamu percaya Tuhan?) tanyaku padanya. Dan seperti biasa, Santo tidak peduli. Dia hanya diam tak bergeming seraya menyeruput kopinya. Berarti dia belum berubah. Santo lebih dari aku, lebih bodoh. Dia bahkan tidak tahu Tuhan itu apa, hidupnya tidak teratur sama sepertiku, hanya saja aku masih percaya pada tuhan. Tuhan tidak pernah marah padaku, kenapa? Karena aku seorang Martoyo percaya Dia. Aku juga yakin Tuhan tidak akan berani marah pada Martoyo. Dia Maha Pengasih, ‘kan?

Malam telah larut, kami yang berangkat telah sampai di jalan raya. Berjalan kaki menuju jalan raya agaknya cukup memakan tenaga. Juga angin malam yang berhembus turut mengelus-elus kulit kami yang hanya berlekatkan singlet. Dingin, tapi kami terbiasa. Jarak antara rumah Santo dan jalan raya cukup dekat hanya sekitar 15 menit. Meski hanya 15 menit, malam ini ritme waktu sepertinya berubah, terasa lama, kemudian perasaan tak mengenakkan mulai muncul. Ah, mungkin cuma perasaan. Biarkan saja. Aku seorang Martoyo, tidak akan takut dengan perasaan.

Sampai hal itu terjadi.

Mataku mengerjap kerjap mencari tahu apa yang sedang terjadi, yang tersisa dari sebuah memori otak sekarang hanyalah suara klakson yang nyaring, dan seberkas sorot yang menyilaukan dengan aku yang berdiri di depan mereka. Perlahan kudapati aku seorang Martoyo terkapar di atas aspal. Perlahan juga kudapati aku seorang Martoyo tidak bisa bergerak. Di pelupuk matanya sekarang hanyalah noda darah yang mengalir, di ikuti seberkas masa lalu yang disertai penyesalan. Di dalam hati, aku seorang Martoyo berkata, “apakah Tuhan marah pada Martoyo?”

Di tengah kejadian, aku seorang Martoyo mendengar suara sepeda dengan pria paruh  baya berpeci putih di atasnya yang dengan segera mengulurkan tangannya di depan pelupuk mataku. Bapak. Ia nampaknya sudah curiga padaku sedari berangkat, dan dengan sengaja mengikutiku lalu menemukan seorang Martoyo yang tergeletak tak berdaya. Sejak saat itu aku bukanlah seorang Martoyo, tetapi aku hanyalah Martoyo.

                                                                            ******

PUAAK MANDEEK! “ (pak berhenti!)

Braak!

Uhuk.. Uhuk..  Aku tersedak, mendengar suara barusan sontak saja membuat terkejut semua orang termasuk aku yang sedang mengisi perut. Aku tahu apa yang terjadi. Kerumunan pun tak terhindarkan. Bagai semut mengerubungi tetesan sirup. Perlahan aku menerobos kerumunan dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dan benar saja, tergeletak salah satu dari mereka berlima –yang berjalan ke tengah jalan— darah mengalir kesana kemari, dan ia tak bergerak. Temannya hanya memegangi sembari meminta tolong, yang satunya lagi berteriak histeris.

Orang yang mengerubungi pun hanya berbisik bisik tak karuan, sibuk memotret kejadian seakan dirinya adalah reporter televisi yang digaji. Tak ada yang menelepon polisi, ambulans, atau semacam bantuan lainnya. Yang ada hanyalah tatapan sinis dari mata yang sok suci. Sedangkan aku sendiri, hanya berdiri mematung menatap mereka sambil menggerayangi sisa-sia makanan di sela-sela gusi dengan jari. Aku tak mau tahu nasib mereka, aku tak peduli. Hanya penasaran saja bagaimana Tuhan bekerja, apakah Tuhan mengasihaninya? Jika benar, aku ingin melihat langsung, bagaimana kasih sayang-Nya bekerja?.

 

 

Cerpen ini telah terbit di Majalah Al Irsyad edisi 12 tahun 2021. Penulis adalah orang yang problematik, yang terancam kena gangguan jiwa kalau tidak menulis.

 

 

 

 

 

Loading

Kompak, Pemerintah dan Dua Ormas Besar Islam Tetapkan 1 Syawal 1446 H Jatuh pada Hari Senin

Kementerian Agama Republik Indonesia beserta dua ormas besar Islam, yakni NU dan Muhammadiyah, secara resmi menetapkan 1 Syawal 1446 H pada hari Senin, 31 Maret 2025. Penetapan tersebut didasari oleh kondisi hilal di seluruh Indonesia yang masih berada di bawah ufuk.

Menteri Agama Republik Indonesia, Nasarudin Umar, memaparkan bahwa dalam penentuan awal bulan Hijriah, pemerintah menggunakan kriteria yang telah disepakati oleh Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), yakni ketika hilal mencapai ketinggian 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.

Namun, data hilal pada tanggal 29 Maret 2025 atau 29 Ramadan 1446 H menunjukkan bahwa hilal masih di bawah ufuk sehingga tidak mungkin terlihat oleh perukyat.

“Pertama, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama menggunakan kriteria visibilitas hilal MABIMS dalam menentukan awal bulan Kamariah yang mensyaratkan ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Adapun posisi hilal hari ini di seluruh Indonesia masih di bawah ufuk dengan ketinggian berkisar minus 3 derajat 15 menit 47 detik, ya, sampai dengan 1 derajat 4 menit 57 detik, ya, dan sudut elongasi 1 derajat 12 menit 89 detik, ya, hingga 1 derajat 36 menit 38 detik.”

“Dengan demikian, secara hisab, data hilal pada hari ini belum memenuhi kriteria visibilitas hilal MABIMS. Kedua, pada hari ini, Sabtu, 29 Maret 2025, yang bertepatan dengan tanggal 29 Ramadan 1446 Hijriah, telah masuk laporan dari para petugas rukyah di berbagai daerah di Indonesia yang telah melaksanakan pengamatan hilal, dan tim penerima laporan rukyah di pusat telah mengonfirmasi bahwa hilal tidak terlihat,” ungkapnya dalam konferensi pers.

Berdasarkan hal tersebut, pemerintah kemudian menetapkan bahwa dilakukan istikmal dan disepakati bahwa 1 Syawal 1446 H jatuh pada Senin, 31 Maret 2025.

“Oleh karenanya, berdasarkan hisab posisi hilal wilayah Indonesia yang tidak memenuhi kriteria MABIMS serta tidak adanya laporan hilal terlihat, maka disepakati bahwa tanggal 1 Syawal tahun 1446 Hijriah jatuh pada hari Senin, tanggal 31 Maret 2025 Masehi. Dengan demikian, terjadi istikmal. Jadi, disempurnakan menjadi 30 hari puasa kita pada hari ini,” imbuh Nasarudin Umar saat konferensi pers.

Senada dengan pemerintah, NU dan Muhammadiyah juga menetapkan awal Idul Fitri pada hari Senin, 31 Maret 2025. Hal tersebut diungkapkan oleh masing-masing ormas melalui pemberitahuan resminya. Muhammadiyah dalam Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 1/MLM/I.0/E/2025 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1446 Hijriah dan NU melalui ikhbar resminya pada surat nomor 3797/PB.01/A.1.01/.47/99/3/2025.

Loading

Mengenal Astronomi Klasik Versi Kitab Khulashotul Wafiyyah

Siapa sangka kalau pengetahuan kita selama ini mengenai konsep heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) ternyata memiliki sejarah panjang nan kelam. Dalam sejarah tercatat, perkembangan dari keyakinan geosentris menuju heliosentris nyatanya tidak semulus seperti yang kita bayangkan. Sebab, peralihan keyakinan tersebut melibatkan banyak pihak, mulai dari otoritas agama (gereja), masyarakat, hingga ilmuwan.

Pemahaman mengenai geosentris (bumi sebagai pusat semesta) ternyata juga sempat ilmuwan muslim anut pada masa itu. Di antara tokoh-tokoh terkenal yang menganut paham geosentris adalah Al-Khawarizmi, penemu angka nol dan perhitungan aljabar; Abi Yusuf Ya’qub Al-Kindi; Muhammad bin Jabir bin Sinan atau Al-Battani; serta Al-Farabi.

Di kitab ini kita akan diajak berkenalan dengan astronomi klasik oleh KH. Zubair Umar dan juga bagaimana cara menghitung arah kiblat, waktu salat hingga awal bulan.

Namun sebelum itu semua, terlebih dahulu KH. Zubair memulai dengan mengenalkan karakteristik dan hukum mempelajari  ilmu tersebut. Nama ilmu ini adalah ilmu hisab dan ru’yah, yang juga dikenal dengan ilmu falak dan miqat.

Karakteristik dan Hukum Mempelajari Ilmu Falak.

Ilmu Falak  merupakan salah satu cabang ilmu astronomi (al-Hay’ah). Dalam tradisi Arab, ilmu yang disebut “astronomi” oleh bangsa Yunani terbagi menjadi tiga cabang: washfi, thabi’i, dan amali.

  1. Ilmu astronomi (al-Washfi):
    Ilmu yang membahas keadaan benda-benda langit, seperti gerakan, titik terbit, cara pergerakan, ketinggian, penurunan, durasi siang dan malam, bulan, tahun, hilal, gerhana, dan sebagainya.
  2. Ilmu astronomi (al-Thabi’i):
    Ilmu yang mempelajari sifat benda-benda langit dari segi pengaruhnya terhadap peristiwa tertentu, sebab-musababnya, dan hukum-hukum yang terkait dengannya. Ilmu ini dikenal juga dengan nama ilmu astrologi atau ilmu peramalan (al-Ahkam). Dan ilmu astronomi jenis ini yang diharamkan dalam Islam.
  3. Ilmu astronomi (al-Amali):
    Ilmu yang mengajarkan cara mencapai pemahaman tentang kedua cabang ilmu sebelumnya dengan menggunakan alat seperti bola langit (astrolab), kuadran, tabel astronomi, logaritma, dan sebagainya. Ilmu inilah yang menjadi fokus dalam kitab ini.

Menurut KH. Zubair Umar,. Mempelajari ilmu astronomi dihukumi sebagai fardhu kifayah. Namun, dalam kondisi tertentu, ilmu ini bisa menjadi fardhu ‘ain. Misalnya, jika seseorang hendak bepergian ke daerah yang jauh dari ahli arah kiblat, maka memahami dalil-dalil kiblat menjadi wajib baginya.

KH. Zubair Umar mengutip dari pendapat Imam Ibnu Hajar dalam Fath al-Jawad yang menyatakan:
“Mempelajari dalil-dalil arah kiblat saat hendak bepergian ke tempat yang minim ahli penunjuk arah kiblat adalah fardhu ‘ain. Sedangkan di daerah yang banyak ahli penunjuk kiblat, hal ini menjadi fardhu kifayah.”

Ilmuwan Muslim dan Paham Geosentris

Dalam kitab Khulashotul Wafiyyah disebutkan bahwa paham geosentris pertama kali dipopulerkan oleh Ptolemaeus. Ia mengemukakan bahwa bumi adalah pusat alam semesta, dan seluruh benda langit bergerak mengelilinginya. Pendapat ini diterima luas oleh banyak kalangan pada masa itu, termasuk ilmuwan Muslim.

Namun, Pythagoras dari Italia yang hidup setelah masa Ptolemaeus memiliki pandangan berbeda. Ia berpendapat bahwa bintang-bintang dan benda langit lainnya bergerak dalam orbit masing-masing, dengan matahari sebagai pusat alam semesta.

Pandangan ini belum terkenal pada zamannya hingga munculnya tokoh-tokoh ilmuwan besar lainnya yang mendukung pandangan heliosentris ini.
Ilmuwan Muslim yang hidup di masa kejayaan peradaban Islam juga turut menganut pandangan geosentris yang diperkenalkan oleh Ptolemaeus. Di antara tokoh-tokoh terkenal yang menganut paham ini adalah:

  1. Al-Khawarizmi, penemu angka nol dan perhitungan aljabar, yang juga mengembangkan tabel-tabel astronomi berdasarkan model geosentris.
  2. Abi Yusuf Ya’qub Al-Kindi, filsuf besar yang menulis banyak karya tentang astronomi dan kosmologi.
  3. Al-Battani (Muhammad bin Jabir bin Sinan), yang menyempurnakan perhitungan gerak benda langit dan menghasilkan tabel astronomi akurat, bahkan menjadi rujukan ilmuwan Barat.
  4. Al-Farabi, filsuf dan ilmuwan Muslim yang membahas astronomi dalam konteks filsafat alam.

Para ilmuwan ini tidak hanya menerima pandangan Ptolemaeus, tetapi juga mengembangkannya melalui observasi dan perhitungan yang lebih rinci. Hasil karya mereka, seperti tabel astronomi dan metode perhitungan gerhana kemudian menjadi rujukan penting bagi peradaban Islam dan Eropa pada masa itu.

Kisah Copernicus dan Munculnya Paham Heliosentris

Setelah paham geosentris, kemudian muncullah seorang pria bernama Copernicus pada tahun 1530 Masehi. Ia mahir dalam ilmu matematika dan mengabdikan dirinya pada ilmu astronomi, pengamatan (rasyad), dan hikmah.

Selain itu, terdapat pula seorang pria dari Denmark bernama Tycho Brahe yang hidup pada tahun 1582 M, seorang ilmuwan lain dari Jerman bernama Kepler pada tahun 1645 M, dan seorang ilmuwan dari Italia bernama Galileo pada tahun 1649 M.

Mereka semua kembali kepada pandangan yang dianut oleh Pythagoras, yang berpendapat bahwa matahari adalah pusat dunia, sementara bumi dan benda-benda langit lainnya berputar mengelilinginya. Urutannya adalah Merkurius, Venus, kemudian bumi (yang diikuti oleh bulan), lalu Mars, Jupiter, dan Saturnus.

Mereka mendukung pandangan ini dengan menerapkannya pada kaidah-kaidah ilmu matematika dan menjadikan ilmu astronomi berdasarkan fondasi yang nyata. Ketika Copernicus mempublikasikan pendapatnya dalam sebuah kitab berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium (Pergerakan Benda-Benda Langit), ia dihadapkan pada sidang oleh Dewan Gereja Katolik di Roma.

Gereja memvonisnya sebagai sesat dan ateis. Mereka melarang penyebaran kitabnya dan mencegah orang untuk membacanya. Bahkan, jika memungkinkan, mereka akan membakar Copernicus bersama kitabnya. Meski demikian, kitab tersebut malah menjadi terkenal, dan pandangan Copernicus tersebar hingga akhirnya dikenal secara luas.

Perkembangan Ilmu Astronomi dan Penemuan Newton

Kemudian, mendekati abad ke-18, Isaac Newton menemukan prinsip gravitasi universal yang mengatur semua gerakan benda-benda langit. Ia menjelaskan dan menetapkan hukum-hukum tersebut secara rinci. Penemuan Newton ini kemudian diperkuat oleh ilmuwan Prancis bernama Laplace, yang memperkuat dan menyempurnakan teori-teori gravitasi melalui perhitungan matematis yang akurat.

Lalu, orang-orang mulai memperhatikan ilmu astronomi dengan lebih serius berdasarkan metode baru ini. Cara ini menjadi cara yang dikenal luas di kawasan Eropa dan disebut sebagai “sistem astronomi modern”, meskipun pada hakikatnya sistem ini adalah lanjutan dari apa yang sebelumnya dikenal sebagai “sistem lama”.

Tidak ada perbedaan besar antara sistem lama dan baru. Tentang gagasan bahwa bintang-bintang tetap (seperti rasi bintang dan bintang lainnya) adalah benda yang bersinar dengan cahaya sendiri.

Namun, sistem lama menyatakan bahwa bintang-bintang tetap berada di langit ke-8, sedangkan sistem baru menyatakan bahwa mereka tersebar di berbagai langit yang berjauhan satu sama lain.

Menurut sistem baru, bintang-bintang itu adalah matahari seperti matahari kita, dengan cahaya yang bersumber dari dirinya sendiri, dan sebagian bahkan lebih besar dari matahari kita.

Pada akhirnya, uraian panjang tersebut hanyalah sekelumit sapaan yang KH. Zubair jelaskan dalam mukaddimah. Di dalam kitabnya masih ada berbagai ilmu dan tata cara perhitungan tentang ilmu falak mulai dari urfi hingga hakiki.

Loading

Industrialisasi, Polusi Cahaya, dan Pudarnya Pesona Langit Malam

Pernahkah dewasa ini sekali-kali kita memperhatikan langit? Kemudian membandingkannya dengan pengamatan kita sewaktu kita masih kecil? Nampak ada yang berubah bukan?

Bintang yang waktu kita kecil terlihat berpendar di semua sudut langit sekarang sudah tak terlihat. Langit yang dulunya begitu indah dihiasi bintang-bintang gemerlap sekarang sudah jarang kita jumpai lagi.

Langit malam menyajikan kita pemandangan yang begitu memukau, seperti taburan Bintang-bintang, planet dan berbagai objek lainnya. Dahulu, semua orang bisa dengan mudah melihat berbagai objek langit dengan begitu mudah dengan kasat mata.

Namun dewasa ini jutaan orang di dunia tidak bisa lagi melihat beberapa objek langit termasuk galaksi Bimasakti tempat mereka tinggal sendiri. Bahkan, Kini 1 dari 3 penduduk bumi itu tidak pernah melihat bentangan galaksi Bima Sakti (Falchi, 2016).

Langit tanpa polusi cahaya

Langit dengan polusi cahaya

Sebenarnya ada banyak hal yang dapat memengaruhi mengapa galaksi Bima Sakti dan bintang-bintang lain sekarang sudah jarang terlihat. Namun faktor paling dominan penyebab tersekatnya keindahan langit malam dengan penglihatan kita adalah adanya light pollution (polusi cahaya) yang kian parah (Maryam, 2021).

Penggunaan Cahaya buatan yang meningkat dan meluas di malam hari  tidak hanya mengganggu pandangan kita tentang alam semesta,tetapi juga memengaruhi lingkungan, keamanan, konsumsi energi, dan Kesehatan kita.

 

Polusi Cahaya

Fakta yang sudah umum kita jumpai adalah bertebarannya cahaya-cahaya buatan di langit-langit kota tempat kita tinggal. Banyak pencahayaan yang digunakan secara berlebihan, tidak efisien, tidak terlindung dengan benar dan dalam banyak kasus, cahaya sama sekali tidak digunakan. Sering kali cahaya buatan itu tumpah ke langit dan tidak menerangi tempat yang dituju.

Polusi cahaya merupakan salah satu gejala perubahan lingkungan yang terhitung cepat dan luas. Di sebagian negara industry, adanya lampu buatan di berbagai tempat mengakibatkan kabut cahaya yang memenuhi langit malam sehingga mengaburkan cahaya alami dari Bintang dan objek langit lainnya.

Polusi cahaya sekarang ini telah membuat hal paling penting dari peradaban dan kebudayaan kita terkikis, menjadikan keindahan langit malam sebagai suatu asset yang langka dan mahal untuk di akses.

Selain berdampak pada kaburnya objek langit, polusi cahaya juga berdampak kehidupan satwa seperti penyu dan serangga, yang saat berkembangbiak harus menemukan tempat gelap. Atas dasar pemikiran itulah kemudian dideklarasikan Pertahanan Langit Malam dan Hak Atas Cahaya Bintang pada tahun 2007.

Deklarasi ini secara spesifik menyatakan bahwa “Langit malam yang tidak terpolusi yang memungkinkan kenikmatan dan kontemplasi cakrawala harus dianggap sebagai hak [manusia yang tidak dapat dicabut] yang setara dengan semua hak sosial-budaya dan lingkungan lainnya.

Deklarasi tersebut dikukuhkan pada acara “Starlight Conference” yang diselenggarakan di La Palma pada tahun 2007. Agenda terkait pelestarian langit malam gelap digalakan oleh UNESCO, International Astronomical Union (IAU), UN-World Tourism Organisation (UNWTO) dan Instituto de Astrofísica de Canarias (IAC), dengan dukungan dari beberapa program internasional dan konvensi seperti World Heritage Convention (WHC), Convention on Biological Diversity (CBD), Ramsar Convention on Wetlands, Convention on Migratory Species (CMS), Man and the Biosphere (MaB) Programme, dan European Landscape Convention.

 

Komponen Polusi Cahaya

Polusi cahaya memiliki beberapa komponen diantaranya adalah:

1. Skyglow (pendar cahaya malam)

Ini berasal dari cahaya buatan berlebih yang terpancar ke atas atau yang terpantul ke atas (pendaran sekunder) kemudian dihamburkan oleh aerosol seperti awan dan bulir air atau partikel kecil seperti polutan di atmosfer.

Sumber : https://bosscha.itb.ac.id/)

2. Glare

Glare atau silau adalah sensasi visual yang dialami seseorang ketika cahaya menyimpang, cahaya di bidang visual, lebih besar dari cahaya yang dapat diadaptasi oleh mata.

Sumber :https://bosscha.itb.ac.id/

3. Light Tresspass

Light trespass atau cahaya luber disebabkan oleh cahaya jatuh di tempat yang tidak dimaksudkan atau dibutuhkan sehingga paparan dalam jangka panjang dapat mengganggu kesehatan.

Sumber : https://bosscha.itb.ac.id/

4. Clutter

Clutter adalah pengelompokan sumber cahaya yang terang, membingungkan dan berlebihan.

Sumber : https://bosscha.itb.ac.id/

 

Industrialisasi penyebab polusi cahaya

industrialisasi secara umum adalah suatu kondisi perubahan sosial ekonomi dari agraris menjadi industri. Kondisi ini ditandai dengan adanya fokus terhadap kegiatan ekonomi yang beragam (spesialisasi) serta gaji dan penghasilan yang meningkat (Irfan & Laily, 2016).

Dengan berubahnya sosial ekonomi agraris menjadi industri, pembangunan mulai digalakkan di mana-mana. Sebab, dalam mengolah, memproduksi, dan memasarkan diperlukan adanya pembangunan infrastruktur yang memadai.

Dalam hal ini cahaya adalah salah satunya.  Cahaya reklame, iklan dan sorot lampu yang berlebih oleh pelaku industri untuk menarik pelanggan kerapkali membuat kabut cahaya di langit. Lampu buatan industri olahraga seperti stadion juga turut menyumbang sejumlah polusi cahaya.

Sumber :https://Specture.id/

Kemudian, dapat kita simpulkan bahwa semakin dunia menuju industrialisasi, polusi cahaya akan semakin bertambah. Area pegunungan, persawahan, dan hutan yang awalnya cukup gelap untuk menikmati langit perlahan mulai terganti dengan gedung industri.

Meskipun demikian, bukan berarti semua polusi cahaya disebabkan oleh industrialisasi. Perilaku sehari-hari masyarakat secara tidak langsung turut menyumbang polusi cahaya meski hanya sedikit. Penggunaan kap lampu dalam penyinaran dapat meminimalisasi terhamburnya cahaya ke tempat yang tidak perlu.

Mematikan lampu yang tidak digunakan juga merupakan pilihan paling bijak bagi kita yang belum tergerus arus industrialisasi. Jika bukan kesadaran kumulatif dari kita bersama, siapa lagi yang akan peduli dengan  pesona langit malam?

 

Artikel ini telah terbit di kolom Semesta Falak Majalah Justisia edisi 55 tahun 2024

 

 

Referensi :

Beik, Irfan.S, & Arsyianti, Laily.D,. Ekonomi Pembangunan Syari’ah. Depok: RajaGrafindo Persada, 2016

Maryam, S. (2021). Kecerlangan langit dan polusi cahaya. Buletin Cuaca Antariksa10(1), 20-22.

https://bosscha.itb.ac.id/id/publik/polusi-cahaya/

Loading

Perkenalkan Ilmu Falak di Madrasah, CSSMoRA UIN Walisongo Sukses Gelar Roadshow Falak

Dalam rangka memperkenalkan ilmu falak kepada santri-santri madrasah, CSSMoRA UIN Walisongo mengadakan program roadshow falak. Kegiatan tersebut bertempat di MA Qosim AL-Hadi, Mijen, Semarang pada Sabtu, (19/10/2024).

Program roadshow falak merupakan sebuah program dari divisi P3M yang bertujuan untuk mengenalkan ilmu falak kepada santri pondok pesantren maupun siswa madrasah. Output dari program ini diharapkan dapat mengedukasi siswa terkait bidang ilmu falak sehingga peminat semakin banyak.

Roadshow falak kali ini diikuti oleh 26 siswa madrasah Qosim Al-Hadi yang berfokus pada praktek dan pengenalan materi pengantar ilmu falak, arah kiblat dan waktu salat. Alat yang digunakan dalam praktek kali ini terdiri dari 3 macam; Teodolit, Mizwala dan Istiwaaini. Ketiganya merupakan alat untuk mengukur arah kiblat berbasis sinar matahari.

Koordinator departemen P3M, Ahmad Munawir, memaparkan bahwa tujuan kegiatan ini adalah untuk mengenalkan ilmu falak di madrasah dan pesantren.

“Tujuan roadshow pada pada kali ini untuk mengenalkan ilmu falak pada siswa-siswa sehingga ilmu falak bisa berkembang luas di madrasah, pesantren dan masyarakat,” ujarnya.

Tak hanya itu, ia juga berharap agar kegiatan seperti ini bisa diterima oleh civitas madrasah dan pondok pesantren sehingga bisa saling mendukung.

“Harapannya kegitanan ini bisa diterima dengan baik sehingga kita bisa saling mendukung,” imbuhnya.

Menyambut hal tersebut, Perwakilan dari MA Qosim Al-Hadi, Abdullah Nafi’ Berharap bahwa kegiatan semacam ini jangan hanya sekali, ia meminta kepada tim roadshow falak CSSMoRA untuk jangan kapok untuk datang kembali.

“sebelumnya dulu sudah pernah ada yang datang untuk sosialisasi ilmu falak dari CSSMoRA disini, dan kami sangat terbuka. Kami berharap agar kegiatan oleh tim CSSMoRA tidak kapok untuk datang Kembali,” ucapnya saat mengisi sambutan. Acara ditutup dengan pembagian hadiah kepada peserta roadshow yang paling aktif sekaligus mengakhiri kegiatan roadshow di MA Qosim Al-Hadi.

 

 

 

 

 

Loading

Bentuk Departemen Jurnalistik, CSSMoRA UIN Walisongo Adakan Musyawarah Kerja Tahunan

WhatsApp Image 2024-09-02 at 06.39.57
WhatsApp Image 2024-09-02 at 06.39.58
WhatsApp Image 2024-09-02 at 06.23.19
previous arrow
next arrow

CSSMoRA UINWS, Semarang – Sebagai bentuk follow up dari pelantikan kepengurusan baru, CSSMoRA UIN Walisongo menggelar musyawarah kerja pada Ahad, 1/9/2024. Salah satu hasil dari musyawarah kerja ini adalah terbentuknya sebuah departemen baru yaitu jurnalistik.

Ketua Umum CSSMoRA UIN Walisongo, Muhammad Ilham Awaludin, memaparkan bahwa alasan terbentuknya departemen ini adalah untuk mencetak majalah Zenith, sebagai bentuk eksekusi program unggulan dari kepemimpinannya.

“Tujuan dari dibentuknya divisi jurnalistik adalah untuk fokus mengerjakan program unggulan yaitu mencetak majalah Zenith. Karena jika tidak dibuat departemen sendiri, proses pengerjaan akan kurang fokus dan terkendala,” paparnya dengan mantab.

Senada dengan pernyataan tersebut, Kepala departemen jurnalistik, Harits Abdul Madjid merasa dengan dibentuknya jurnalistik menjadi departemen sendiri merupakan hal yang tepat, sebab ia akan bisa fokus mengerjakan program tanpa tanggungan program lain.

“Dengan dibuatnya jurnalistik menjadi departemen tersendiri saya kira ini menjadi keputusan yang tepat. Karena kita bisa fokus untuk mengerjakan program tanpa terbebani dengan program kerja lain, ” jelasnya.

Kegiatan tersebut bertempat di musala pondok pesantren YPMI Al-Firdaus. Acara dimulai dengan pembukaan oleh MC, lalu dilanjut oleh pembacaan ayat Al-Quran, penyanyian lagu Indonesia Raya serta mars CSSMoRA, sambutan-sambutan kemudian diakhiri dengan pemaparan program kerja untuk setiap divisi.

Urutan departemen yang menyampaikan program kerja meliputi: BPH, PSDM, P3M, PSDE, KOMINFO dan jurnalistik. Setelah penyampaian program kerja tiap departemen acara kemudian ditutup lalu diakhiri dengan foto bersama.

Loading