Lomba Kreativitas Al-azhar Cairo, Dua Mahasantri PBSB meraih juara

Parlemen Al-Azhar Kairo Gelar Lomba Kreativitas dan Seni, Mahasantri PBSB Torehkan Prestasi

Kairo, Ditpdpontren — Grand Syekh Al-Azhar Universitas Kairo Syekh Ahmad Thoyyib bersama Parlemen Kairo Al-Azhar gelar ajang lomba kreativitas dan pengembangan bakat.

Ajang lomba yang diselenggarakan pada 23 Juli 2020 dikhususkan bagi pelajar kalangan putri, baik itu mahasiswi Universitas Al-Azhar maupun Ma’had Al-Azhar.

Tak mau ketinggalan, mahasantri Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Kementerian Agama di Al-Azhar Kairo pun turut ambil peran dalam ajang yang digelar secara berani (dalam jaringan) serta pengiriman karya, Sayyidah Umi Kulsum dan Siti Jazilah yang berasal dari Pesantren Al- Hikmah 2 Sirampog Brebes Jawa Tengah.

Ketua Komunitas Santri Cendekiawan Kementerian Agama (CSSMoRA) Regional Kairo Egi Riyanto menerangkan, cabang lomba dan seni yang dilombakan cukup banyak, antara lain cabang tahfizhul Qur’an, musabaqah tilawatil Qur’an, puisi dan prosa bahasa Arab, gambar dan kaligrafi, kerajinan tangan, fotografi, menjahit-menjahit, bercerita, serta nasyid.

“Dua mahasantri putri PBSB ikut pada cabang seni Kaligrafi dan Nasyid. Saat diumumkan, berhasil meraih Juara 1 pada cabang yang diikutinya,” ujar Egi.

Kasubdit Pendidikan Pesantren Basnang Said melalui videoconference menuturkan, para mahasantri PBSB tentu sudah memiliki keterampilan dan kreativitas seni saat di pesantren.

“Pesantren dan kesenian bukanlah hal yang asing bagi para santri. Banyak pesantren yang membekali para santrinya dengan kegiatan pengembangan minat dan bakat semacam ini,” terang Basnang, Jum’at (11/09).

Saat dilaporkan, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono mengapresiasi capaian ini.

Prestasi ini sangat membanggakan. Mahasantri PBSB di Al-Azhar Kairo mampu bersaing dengan para mahasiswi utusan lebih dari sepuluh negara yang ikut berlomba. Tidak hanya berprestasi dalam akademik, tapi juga non-akademik, tuturnya.

“Saya ucapkan selamat atas prestasi gemilang ini. Pertahankan nama baik Indonesia dan pesantren di kancah internasional”.

Waryono meminta seluruh mahasantri PBSB tetap menjaga proses dan prestasi belajarnya, berperan aktif dalam menjaga tradisi kepesantrenan, serta menjadi agen moderasi beragama di lingkungan kampus saat ini. Terlebih, mahasantri PBSB Kairo yang jauh dari keluarga agar tetap menjaga kesehatan dan keselamatan dengan menerapkan protokol kesehatan yang lebih baik.

“Saya berharap mahasantri PBSB Kairo menjadi duta bangsa dan agama yang menebar model keberagamaan yang ramah dan damai,” tutupnya. (Hery Irawan)

Loading

Lalu Aku Kagum

Lalu aku kagum

Pada senyum yg tak luntur meski diterpa nelangsa

Pada kebaikan yg tak henti kau berikan pada si penoreh luka

Pada tekad yang tak goyah meski kau diam2 menangis tak berdaya

Kuberi jarak, berharap kau mendekat agar bisa ku peluk erat

Kau pilih diam, dan aku memutuskan untuk membangun sekat

Jangan tanya traumaku

Aku tak sekuat itu menggenggam api

Aku lari dari penjahat hati

Aku tak setangguh itu menanggung lara

Aku kabur dari pembunuh rasa

Aku tak tahan

Maka, jika lelah kembalilah pulang

Hati selalu tau dan memilih tempat ternyaman

Ngaliyan, 29/12

Rohadatul ‘Aisy Idra

Anggota CSSMoRA 2017 UIN Walisongo

Alumni Angkatan 20 PP Diniyyah Pasia, Agam

Loading

Purnama Terakhir

Oleh: Umi Latifah

Air yang turun dari talang adalah hal yang paling menyenangkan kala ku kecil. Bermain hujan-hujanan, menengadah di bawahnya seolah berada di air terjun yang mengalir deras, semakin deras. Berlari kesana kemari menembus ribuan tetes hujan yang menghujam Bumi. Hujan dalah shower raksasa bagi anak seusia itu.

Hujan malam ini turun terlalu deras. Tampiasnya membasahi beranda yang menjadi tempatku memandang Bulan purnama. Menghitungnya sebagai tanda keberhasilanku. Membawanya selalu ada di sisiku, dalam jangkauan radarku.

Tampias itu seolah tahu bahwa waktuku telah usai, sengaja ikut lari bersama angin membasahi segalanya, sampai aku tak lagi bisa duduk termenung, lantas tersenyum. Dia tahu bahwa semua akan berakhir, hitungan purnamaku selesai di angka 36. Itu terlalu banyak. Rasa menyiksanya terlalu dalam.

Purnama yang ku lihat terakhir kali terlalu terang, aku tak sanggup melupakan keindahnya. Sekarang aku tak punya lagi. Keindahan yang terlalu indah untuk ku biarkan pergi. Ku tahu air mata tak akan menahannya pergi. Ku putuskan untuk tak membuangnya sia-sia. Cukup hariku ke depan yang menjadi korban, jangan air mataku yang ku rasa mahal.

Hembusan nafasmu terdengar berat. Kau sadar telah menyakiti manusia yang sekarang hanya bisa mematung memandang jendela kaca yang terhantam air hujan. Membiarkan pikiranku berlari kesana-kemari dengan kenangan. Sesekali terhenyak karena kilat, ku tahan agar tak berhambur mencari perlindungan padamu dengan meremas jari sekencang-kencangnya. Kau membiarkan itu, kau tahu apa yang sedang ku hadapi dengan para kilat dan petir itu.

Suara ponsel berdering berkali-kali, jam dinding berdentang sejam sekali. Kita tetap setia dengan kebisuan.

Menantang rasa sakit dengan kalimat, “semua tak nyata,” itu adalah kalimat pertamaku sejak pengakuanmu.

Kau menghela nafas lagi, mungkin kau sebal mengulang kalimatmu untuk yang kesekian kalinya, aku terlalu bebal untuk mau mengakui yang ku dengar  sendiri. Atau kau mungkin juga kesal atas kebisuanku, dan kau merasa tak berharga karena setetespun air mata tak melewati hulunya.

Tiga puluh enam purnama bukan waktu yang singkat untuk bisa diakhiri dengan alasan konyol yang datang dari mulut bijakmu yang bertahun ku damba. Ditambah baru saja saat purnama ke 35 yang lalu kau mengajakku untuk menikmati purnama bersama. Dari saat itu aku pikir aku tak perlu lagi menghitung purnama, semua purnama adalah milikku, milik kita.

Gaun putih sudah setengah jadi, kau tega membakar harapannya di depanku malam ini. bahkan udara dalam ruangan ini mengakui ada banyak penyesalan dalam setiap tarikan nafasmu, bahkan tergurat jelas dari sorotan matamu yang sayu. Kau tak perlu menyangkal itu. Jika kau menarik kalimatmu tadi, mungkin aku akan mempertimbangkan itu. Tetapi mengapa kau tak kunjung mengungkapkannya?

Sekali lagi kutatap lekat wajahmu yang dihiasi kumis tipis yang menjadi kesukaanku. Bahu tegap yang menjadi sandaran ternyamanku. Ah, setiap inci darimu yang terbalut kulit cerah itu favoritku. Termasuk jarimu yang terampil memtik senar gitar sembari menyenandungkan lagu indah.

Aku yakin air mataku tak akan tumpah jika kau tak mengatakan kalimat sederhana dari dua kata itu, “maafkan aku,” sedetik kemudian aku tergugu. Tak mampu lagi menahan sesak yang menusuk jantung. Itu artinya kau sangat berharga untukku, bahkan sebelum hitungan purnamaku dimulai. Kalimat itu sudah jelas mengakhiri semuanya secara mutlak. Aku kalah.

Ratusan purnama telah berlalu dengan rasa terpendamku padamu. Lalu kau hadir mengakhiri hitungan purnama kesendirianku. Membuatku menghitung purnama untuk alasan yang lain. Akhirnya kau menyadari keberadaanku. Harapanku  membumbung terlalu tinggi untukmu.

“Kenapa? Kenapa nggak cinta? Sejak kapan?” kalimat bodoh lagi yang bisa menyusup keluar. Hatiku meronta, meminta alasan selain itu. Mungkin sebuah penjelasan yang lebih rasional dari sekedar ingin membuat sebuah komitmen dengan orang yang sangat mencintaimu. Kau pernah berpikir jika itu akan berhasil jika kau menerima cinta daripada meminta cinta.

Jika sudut pandangnya ku balik, aku adalah sang peminta cinta, jiwaku mengelak, aku tak serendah itu. Aku selama ini menantimu dalam diam, mengagumimu dengan hormat, tanpa ada rayuan cinta bak pelacur. Tangisku pecah. Kau menggores egoku terlalu lebar. Pembuluh darah seakan terpotong-potong mengeluarkan semua cairannya, deras.

Manusia yang sangat kukagumi menjatuhkanku dalam jurang yang sangat dalam, rasa cinta yang awalnya madu berubah menjadi racun yang menghitamkan seluruh darahku. Tak bisakah dulu kau tak menjadikanku bahan percobaan tentang komitmen dan istilah-istilah lain dalam hubungan untuk memperindah sebuah kalimat memaksakan untuk cinta?

Kau bangkit dari kursi. Meninggalkanku mengulang jawaban yang sudah terungkap sejak di menit pertama yang sengaja ku lupakan.

“sejak awal,” otakku menjawab otomatis saat pintu rumah tertutup meninggalkan jejakmu.

Loading

Mayat Kosong

Pikir benar yang begitu liar

Pikir benak yang begitu liar
Bertanya-tanya kepada akal!
Tentang hari-hari tanpa jasad
Dikala perbaringan yang gelap
Ketika jiwa tak lagi selaras makna dunia
Insan kotor didekap dalam hamba
Lisan rapuh berkata dalam diam,
Sedang yang lain mulai bercakap
Disaat pekat menyelimuti dengan riang
Akankah tubuh ini melawan?!
Sekali lagi menerka nerka
Apa mungkin sebongkah mayat ini selamat?

Belu, 23 Juli 2020
Yudi

Loading

Mengenal Metode Penentuan Awal Puasa dan Lebaran di Belanda

Catatan Menjadi Muslim Indonesia di Belanda (part 12)

Menjelang hari raya Idul Fitri, pemerintah dan pengurus lembaga keislaman di tanah air, pada umumnya, disibukkan dengan ‘ijtihad’ menentukan kapan jatuhnya hari lebaran. Beberapa dari lembaga keislaman pun, sampai saat ini, masih menggunakan metode penentuan awal bulan kamariah yang berbeda-beda. Terlepas dari banyaknya metode aplikatif yang digunakan, dua ‘mazhab’ utama yang sering didengungkan adalah mazhab rukyatul hilal (melihat hilal) dan mazhab hisab (perhitungan), karena ada yang menggunakan metode rukyatul hilal, ada juga yang menggunakan metode hisab. Setiap dari penyokong ‘mazhab’ tersebut pun mengklaim bahwa mereka berpedoman pada landasan normatif hasil penafsiran ‘mereka’ terhadapt teks hisab-rukyat baik dari Al-Qur’an maupun Hadits.
Oleh karena adanya perbedaaan metode yang digunakan tersebut, penentuan awal bulan kamariah di Indonesia nampaknya masih akan terus berpotensi berbeda, mengingat sampai saat ini belum ada kesepakatan yang ‘benar-benar baku’ yang bisa dijadikan acuan dalam menentukan awal puasa dan lebaran. Sehingga akan sangat wajar jikalau masyarakat yang notabene nya adalah ‘pengikut’ kebijakan baik pemerintah maupun ormas di tanah air ini acap kali dibingungkan dengan berbagai keputusan yang dibuat oleh pemerintah dan sejumlah ormas yang terkadang keputusanya berbeda-beda.
Bagaimana dengan di Belanda? apakah perbedaan penentuan awal puasa dan lebaran seperti di Indonesia juga terjadi di negeri kincir angin tersebut? Metode apa yang digunakan pemerintah/tokoh Muslim di Belanda untuk menentukan awal puasa dan lebaran?

Sebagaimana Belanda adalah ‘negara sekuler’, pemerintah negeri tulip ini tidak mau terlalu banyak berkecimpung mempersoalkan hingga mengaitkan urusan keagamaan dengan urusan pemerintahan mereka. Seputar fatwa keagamaan, umat Islam di Belanda, umumnya lebih cenderung patuh mengikuti kebijakan yang dikeluarkan oleh ikatan tokoh ulama muslim eropa yang tergabung dalam ECFR (the European council for Fatwa and Research). ECFR sendiri adalah salah satu lembaga keislaman di eropa yang fokus pada ikhtiar mengeluarkan fatwa dan hasil riset keagamaan untuk mendukung kehidupan muslim di seantero eropa. Info lebih lanjut seputar EFCR bisa dibaca di : https://www.e-cfr.org/blog/2018/12/16/european-council-fatwa-research/

Sepanjang bacaan penulis, hampir tidak ada perbedaan mencolok yang terjadi di Belanda seputar penentuan awal puasa dan lebaran. Ini setidaknya dalam 10 tahun terakhir, setelah the European council for Fatwa and Research (ECFR) mengeluarkan resolusi Istanbul di sesi dialog ke-19 mereka yang dilaksanakan tanggal 30 Juni – 04 Juli 2009 di Istanbul, turkey. Dialog ke- 19 ini juga merupakan follow-up dari pembahasan sebelumnya di sesi 17 yang dilaksanakan di Sarajevo, Bosnia pada tahun 2007. Diantara persoalan utama yang dibahasa oleh para anggota ECFR adalah mengenai ikhtiar ‘penyeragaman’ metode penentuan awal puasa dan lebaran bagi masyarakat Muslim di eropa. Diantara rekomendasi yang dikeluarkan adalah:
The ECFR recommends its members, Imams and Islamic Scholars, both living in Muslim and non-Muslim societies, to endeavour to instill the culture of respecting definite outcomes of astronomical calculations when stating the impossibility of sighting the moon due to the waning of the moon. In this case people should not be urged to try to sight the moon and claims of sighting the moon should be rejected’.

Dari catatan diatas dapat dipahami bahwa, secara umum,ECFR merekomendasikan para imam dan muslim di eropa untuk menggunakan hisab / astronomical calculation (perhitungan astronomi) dalam hal penentuan awal waktu puasa dan lebaran. Kebijakan ini tentunya bukan karena mereka menolak seutuhnya metode rukyatul hilal. Saya melihat, rekomendasi ini dibuat pun bukan untuk serta-merta menolak pelaksanaan rukyatul hilal, tetapi lebih kepada ikhtiar yang dianggap lebih ‘maslahat’ dan ‘solutif’ dikarenakan kondisi ‘ufuk’ di sejumlah tempat di eropa, juga di Belanda, yang tidak cukup mendukung pelaksanaan rukyatul hilal.

K.H Nur Hasyim Subadi, ketua pengurus masjid Al-Hikmah di Den Haag yang juga merupakan Rais Syuriah PCINU Belanda, ketika saya wawancarai seputar penggunaan astronomical calculation (hisab) dalam menentukan awal puasa dan lebaran di Belanda pun membenarkan hal tersebut. ‘Oleh karena beberapa hal yang tidak memungkinkan untuk melakukan rukyatul hilal, kita (umat Islam Indonesia di Belanda) selain menunggu fatwa dari ECFR, juga ‘berijtihad’ menentukan awal puasa dan lebaran dengan menggunakan hisab (astronomical calculation)’ dan platform aplikasi perhitungan yang digunakan adalah ‘Moonsighting’ yang didirikan oleh Khalid Shaukat. (Lihat di: www.moonsighting.com)’, tegas pak kiai Hasyim.

Surat pemberitahuan Puasa dari Masjid Al-Hikmah, Den Haag tahun 2017 (Dok.pribadi)

Setiap kali menjelang awal puasa dan lebaran, sejumlah tokoh Muslim Indonesia di Belanda pun biasanya berkumpul di Masjid al-Hikmah untuk memutuskan awal waktu puasa dan lebaran, selain tentunya menunggu kabar (menyesuaikan) fatwa dari ECFR. Data perhitungan dari platform www.moonsighting.com ini pulalah yang dijadikan rujukan diskusi penentuan awal bulan kamariah. Setelah ditetapkan awal waktu puasa dan lebaran, informasi ini akan disebar ke seluruh umat Islam Indonesia di Belanda. KBRI di Den Haag pun biasanya akan mengikuti ketetapan waktu puasa dan lebaran sebagaimana yang ditetapkan para tokoh dan alim ulama masjid al-Hikmah Den Haag ini.

Ada catatan menarik lainya seputar waktu lebaran di Belanda, bahwasanya hari raya Idul fitri di Belanda tidaklah tercatat sebagai hari libur nasional. Perdebatan di parlemen seputar perlukah hari raya Idul Fitri dicatat sebagai salah satu hari libur nasional masih terus terjadi, yang konsekwensinya akan ada tambahan waktu libur cuti bagi semua masyarakat Belanda. Ada yang pro dan kontra itu pasti. Diantara partai yang ada di ‘garda terdepan’ menolak hari raya Idul Fitri ditetapkan sebagai hari libur nasional di Belanda adalah partij voor de Vrijheid (PVV), yang dipimpin oleh Geert Wilders. Namun, sekalipun Idul Fitri tidak tercatat sebagai hari libur nasional, umat Islam (pekerja) di Belanda tetap mendapatkan hak dan prioritas khusus untuk mengambil jatah cuti kerja dalam rangka merayakan hari raya kemenangan mereka setelah berpuasa Ramadhan.

Loading

Silaturahmi dari CSSMoRA UIN Sunan Gunung Djati

Keluarga CSSMoRA UIN Walisongo Semarang mendapat kunjungan dari saudara-saudara CSSMoRA UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pertemuan antara dua CSSMoRA ini berlangsung di Gazebo YPMI Al-Firdaus, Ngaliyan, Semarang. Para mahasantri sangat senang dan antusias atas adanya acara yang diadakan Sabtu, 7 Maret 2020 ini.


Sekitar 60 orang mahasantri dari CSSMoRA UIN Sunan Gunung Djati melakukan perjalanan ke kota Semarang. Ini dilakukan demi menjalin silaturahmi antar anggota CSSMoRA yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Semarang. Idrian Wahid, Ketua CSSMoRA UIN Sunan Gunung Djati Bandung mengatakan, “Rihlah ini bukan hanya dalam rangka bertamasya. Tapi demi menjalin silaturahmi antar anggota CSSMoRA”.


Anggota CSSMoRA UIN Sunan Gunung Djati yang berada di Regional Barat tentu saja jarang bertemu dengan anggota CSSMoRA UIN Walisongo yang terletak di Regional Tengah. Dari situlah kemudian perlunya silaturahmi antar CSSMoRA Perguruan Tinggi Negeri ini perlu terus dilakukan. Ia juga menambahkan, “Harapannya adalah dengan kegiatan ini semoga para anggota CSSMoRA bisa saling mengenal dan membantu dalam mengabdi sebagai santri”.


Hal serupa juga disampaikan Zulfian Wanandi, anggota CSSMoRA UIN Walisongo, “Kegiatan semacam ini sangat bagus. Kita bisa mengenal lebih banyak lagi sesama anggota CSSMoRA. Menjalin silaturahmi dan berbicara banyak hal tentang CSSMoRA”.


Kegiatan yang dinamai TAYO (Tamasya Ayok) Ngabring Ulin Bareng Ngasah Kanya’ah ini diisi dengan sambutan Ketua Panitia Penyambutan oleh Zulfian Wanandi, Ketua CSSMoRA UIN Sunan Gunung Djati Bandung oleh Idrian Wahid, dan Pengelola PBSB (Penerima Beasiswa Santri Berprestasi) oleh Dr. Cucu Setiawan, S.Psi.I., M. Ag. Setelah sambutan-sambutan acara dilanjutkan dengan penampilan musik dari anggota CSSMoRA UIN Walisongo dan CSSMoRA UIN Sunan Gunung Djati. Kemudian dilanjut dengan memainkan permainan bersama demi menghangatkan suasana dan ditutup dengan ramah tamah.


Dr. Cucu Setiawan, S.Psi.I., M.Ag., Pengelola PBSB mengungkapkan dalam sambutannya, “Sejak saya disambut pertama kali, saya merasa tidak ada sekat di antara kita. Anak-anak CSSMoRA UIN Walisongo bagi saya juga adalah anak saya sebagaimana anak-anak CSSMoRA UIN Sunan Gunung Djati Bandung. CSSMoRA adalah keluarga bagi saya.”
(Evan)

Loading