Karya: Muzdalifah (Peserta Lomba Cerpen DN 14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Ya, sehat itu memang betulan sulit! Selain mahal karena biaya yang dikeluarkan jika sudah terjangkit penyakit, menjaga kesehatan itu juga sulit! Contoh saja dari pengalaman Alsa.
Kina kini sedang duduk di kafetaria sekolahnya. Ia merasa miris dan iba bersamaan pada warga sekolah ini, banyak dari mereka yang memilih untuk tidak menggunakan masker lagi, menganggap covid sudah benar-benar hilang dari muka bumi.
“Alsa,” Kina memanggil sohibnya itu.
“Yo, kenapa, Na?” Alsa yang sudah selesai menghabiskan satu porsi bakso urat Mang Udin yang super nendang rasanya menoleh sebentar pada Kina.
“Kamu mau ikut-ikutan mereka, kah?”
“Ikutan apa?”
“Buka masker. Jangan ya, Sa? Kamu tahu corona belum bener-bener hilang, ‘kan?”
“Hm.. tapi engap ah. Buka bentaran aja kok, nanti aku pakai lagi,” Alsa mengibaskan tangannya, menyuruh Kina untuk tidak melebih-lebihkan.
Sedangkan Kina di tempatnya hanya menghela napas. Ia ingin sekali lagi menegur Alsa agar dia tidak menyesal nanti, tapi Kina tahu bahwa jawaban Alsa akan berakhir sama.
“Sa, kamu tadi janjinya mau pakai maskernya lagi, kan?” Melihat wajah Alsa yang belum tertutup masker, Kina menegur lagi.
“Gerah tahu! Lagian selama ini, kasus covid di daerah kita udah gak ada. Jadi chill aja, Na,” kata Alsa, Kina sudah tahu jawabannya akan berakhir seperti ini. Dia tahu bahwa sejak dulu, Alsa memang tipe yang selalu menggampangkan sesuatu.
“Sa, mending kamu aku paksa biar kamu terhindar, dari pada nanti dipaksa karantina, kan?”
“Na, aku kasih tahu aja nih ya, biasanya yang paling heboh tentang covid begini, adalah yang paling rentan terjangkit, hihihi.”
Menanggapi kalimat Alsa, Kina hanya memasang ekspresi tak suka dan lebih memilih untuk menyingkir dari sana.
***
Jam pulang sudah tiba, Kina yang biasanya pulang bersama Alsa, hari itu ia memilih pulang sendirian. Ia tidak mau mengambil risiko dan lebih menuruti apa kata pemerintah tentang upaya mencegah rantai penularan covid, toh juga untuk kebaikan kita, kan? Siapa sih yang mau sakit dan dikarantina? Maaf nih, tapi Kina ogah betul!
Kina menatap jengah pada Alsa, Lala, dan Diva yang kini malah berkerumun bersama anak-anak kelasnya. Tinggal tunggu waktu aja deh, demikian maksud ekspresi Kina. Keseruan itu tidak membuatnya runtuh pendirian untuk mempertahankan masker dan sanitizer. Kina pun memilih pulang tanpa pamit kepada Alsa lebih dulu.
Seminggu berikutnya, Alsa tidak masuk. Tapi yang membuat Kina janggal adalah ketidakhadiran Alsa tanpa keterangan. Bahkan, Sinta yang mengaku tinggal didekat rumah Alsa pun tidak memiliki informasi apa-apa mengenai sahabatnya itu. Chat darinya diabaikan dan Kina jadi tidak tenang mengikuti pelajaran.
Ya, satu-satunya cara untuk menghilangkan rasa penasaran ini adalah dengan mengunjunginya sendiri. Dan pulang sekolah itu, Kina mengambil keputusan untuk menghampiri rumah Alsa untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi.
Kina hampir saja masuk ke dalam halaman rumah Alsa kalau saja seorang Ibu-ibu ridak menegurnya, “jangan masuk ke sana, dek,” kata Ibu itu.
“Eh, kenapa?” Tanya Kina, heran.
“Penghuninya kena covid. Awalnya cuma si anak, tapi setelah dites, satu keluarga kena.”
Mendengar penuturan dari Ibu itu, matanya Kina melotot, jantungnya berdegup kencang, dan Kina panik setengah mati.
“Tadi malam baru dites, dan sekarang, petugas mau cari orang-orang yang sebelumya berkontak fisik dengan si penderita,” Ibu itu melanjutkan kalimatnya, menunggu Kina yang sepertinya shok berat, tapi kalimat selanjutnya malah membuat Kina makin terkejut bukan main.
“M-makasih infonya ya, bu,” kata Kina, sesopan mungkin walau gugup masih menyelimutinya.
Tak lama setelah kepergian Ibu tadi, dering ponsel Kina berbunyi, membuat si pemilik sadar dari lamunannya.
Tertera nama Alsa di sana, setelah di sambungkan, yang Kina pertama dengar adalah suara serak Alsa, “Na, kamu bisa ke RS yang ada di deket halte XXX?
“Alsa..”
“Maaf, Na, aku gak ikutin kata kamu. Virusnya berhasil masuk nih, hehehe. Kamu bener, aku ini emang bodoh,”
“Alsa. Kamu gak apa-apa?”
“Kata dokter, aku udah parah banget. Bahkan katanya kalau terjadi apa-apa sama aku, relain aja ya, Na?”
“Ngomong apa sih kamu? Aku ke sana sekarang,” Kina serta-merta bergegas menuju alamat yang tadi Alsa sebutkan. Mendengar kalimat terakhir Alsa, hatinya jadi tidak tenang. Kina tahu Alsa memang kepala batu, tapi Alsa tetap sahabatnya.
Sampai sana, Kina dipaksa melakukan beberapa pemeriksaan sebagai salah satu yang melakukan kontak dengan si penderita. Beruntung hasilnya negatif. Tapi sayangnya, tidak dengan Lala dan Diva yang ternyata hasilnya positif.
Kina menunggu dengan gelisah, tapi sayangnya ia tidak diperbolehkan masuk, jadi mereka terpaksa bicara lewat video call.
“Gimana perasaan kamu?” Kina bertanya hati-hati, takut topik itu menjadi sensitif bagi Alsa.
“Kurang sih. Tapi lihat kamu di sini, jadi lebih baik,” Alsa tersenyum, dengan wajah pucatnya, membuat Kina meringis.
“Makasih ya, aku pikir kamu gak mau lihat mukaku lagi, yah kamu tahu… setelah apa yang aku bilang..” Alsa terlihat menunduk.
“Aku mau kamu jadiin ini pelajaran. Covid gak bakal hilang kalau semua warganya berpikiran kayak kamu, sehat itu emang sulit dan pahit, tapi bukannya kalau udah sakit begini jadi makin sulit?” Kata Alsa, mendesah berat. “Cepet sembuh, Sa. Aku yakin kamu bakal berhasil ngelewatin ini semua.”
Alsa menarik bibir ke atas, membentuk senyuman, “makasih, Kina.”
Share this post