Aku adalah si gadis pesantren, orang-orang memanggilku Luna. Ya itu namaku. Aku adalah gadis pesantren dari ujung timur pulau Jawa, pesantren kecil yang memiliki fasilitas jauh dari kata serba ada. Hidupku tak banyak berkembang, sebab rasa frustasiku masuk pesantren dengan kata paksa. Namun, aku sadar bahwa untuk menjadi manusia yang sejahtera harus bersusah mengepakkan sayap terlebih dahulu demi sebuah asa. Aku memiliki harapan, meskipun hanya secercah dan setitik cahaya terang dikegelapan malam, namun aku yakin bahwa gadis pesantren ini mampu menggapai asanya. Menjadi seorang Psikolog sukses merupakan suatu yang bermuluk pada kacamata orang lain. Mereka bilang jebolan pesantren pada akhirnya akan menjadi guru mengaji di surau, tak ada lain. Hanya sebatas itu. Namun, kembali lagi aku adalah gadis pesantren yang memiliki secercah asa.
Beberapa bulan setelah kelulusanku dari pesantren, banyak tetangga yang berbondong datang kerumah untuk sekedar memberikan wejangan, dan isinya hampir semua merujuk pada profesi yang akan ku genggam sebagai jebolan pesantren. Guru mengaji. Aku semakin frustasi, mulai tidak percaya akan kemampuan diri. Mencari banyak informasi melalui teknologi yang beberapa tahun terabai karena batasan aturan pesantren. Aku menata niat untuk mengikuti ujian universitas. Memotivasi diri sendiri demi sebuah asa yang meraung ingin digenggam. Hal terberat diawal perjuangan adalah ketika meyakinkan dan merubah mindset orang tua. Siang malam tak hentinya aku berjuang, mempelajari materi yang rata-rata belum pernah kupelajari selama di pesantren. Ingin menangis, tapi aku ingat jangan menangis terlebih dahulu sebelum memulai perang. Pada ujian masuk universitas pertamaku, tulisan merah kulihat terpampang besar pada monitor yang menampilkan hasil ujianku. Ya gagal dipertama perjuangan. Tak mengapa, tokoh-tokoh yang sukses memimpin dunia bahkan beribu kali mengalami kegagalan. Kembali memotivasi diri, beberapa minggu kemudian aku mengikuti ujian universitas kembali namun yang kudapat tetap sama, yaitu sebuah kegagalan. Hingga aku semakin frustasi menyalahkan takdir yang kurasa sangat tidak adil. Apakah hanya karena lulusan pesantren tidak bisa menggapai mimpi yang kuidamkan sejak dahulu? Harapan tidak demikian, namun realita berkata demikian. Bingung, merasa tersesat, bahkan frustasi hingga tak terasa tubuh jatuh sakit. Ada pepatah yang mengatakan bahwa rasa sakit adalah manifestasi dari cinta Tuhan pada makhluknya. Dan pada hari setelah kepulihanku dari sakit, suatu keadaan membuat motivasiku hadir kembali. Restu kedua orang tua. Kini, aku telah menggenggam restu dari kedua orang tuaku, restu untukku meraih secercah asa yang nampak berkilau setinggi langit malam.
Nyatanya, realisasi tak semudah membayangkan. Sudah satu tahun aku tetap tak memiliki progres berarti. Gagal beberapa kali dalam ujian masuk universitas membuatku lelah batin dan pikiran, hingga berakhir pada sebuah toko busana dikawasan pasar. Mengapa? Karena aku menata niat kembali untuk menghidupi diri sendiri sembari menyusun strategi kembali mengikuti ujian universitas tahun ini, tahun lalu memang tidak beruntung dan tak ada yang mengetahui takdir esok bagaimana, berharap tahun ini keberuntungan menghampiri. Soal pekerjaan, hanya toko-toko dikawasan pasarlah yang menerima lulusan pesantren. Karena untuk bekerja di toko besar seperti departemen store harus lulusan sekolah umum bahkan lulusan sarjana. Tak mengapa, pelajaran hidup bisa kita dapatkan dari mana saja, mungkin dari hal ini aku akan dibekali lebih banyak sabar, ikhlas dan syukur. Hal yang paling kusukai adalah reuni bersama teman karena terhitung sejak kelulusan, ini merupakan reuni pertama. Terhitung setahun sudah. Bayangan akan keseruan reuni pupus seketika disaat semua teman yang berkumpul sudah resmi menjadi mahasiswa sejak satu tahun lalu, aku hanya menjadi pendengar ketika mereka menceritakan keseruan dan kesibukan menjadi mahasiswa. Ya miris, tapi tolong bukan saatnya mengasihani. Ada rasa iri yang merasuki relung hati, aku ikhlas, aku bersyukur, aku sabar. Namun tak bisa dipungkiri rasa iri dan penyesalan ikut merasuki memberikan rasa dalam hati.
Tak terasa bulan ujian universitas kembali dimulai untuk tahun ini, aku sudah bersiap sejak setengah tahun lalu, untuk pekerjaan di toko aku sudah berpamitan untuk berhenti. Tak mengapa, demi asa, demi impian, demi cita-cita. Terkadang untuk suatu kesuksesan, harus merelakan sesuatu yang lain. Ujian masuk universitas pertama ditahun ini yang sudah kupersiapkan sejak setengah tahun lalu dimulai. Aku sudah terbiasa dengan soal rumit dalam ujian saat ini, persiapan matang membuatku lebih percaya diri dan yakin. Setelah proses ujian selesai, saat-saat penantian hasil kelulusan membuatku menciut akan rasa takut kegagalan kembali. Dan ternyata takdir memang benar tidak ada yang tahu, manusia hanya bisa berharap dan takdir tetap ditangan Yang Kuasa. Gagal adalah jawabannya. Aku baik, kegagalan pertama ditahun ini menjadi pelajaran bagiku, menjadi evaluasi sekiranya kurang apa untuk bisa berhasil. Kembali bangkit mengikuti segala macam ujian diberbagai universitas baik negeri maupun swasta tak menjadi masalah. Hingga kuhitung list ujian unversitas yang ku tempuh sudah mencapai angka 10. Delapan diantaranya aku gagal, kini harapan keberhasilan tinggal 2 saja di universitas yang berbeda, satu universitas masih dalam provinsi yang sama dan satu lagi universitas diluar provinsi. Semoga satu diantara dua tersebut adalah jatah keberhasilanku. Pengumuman kelulusan dua ujian tersebut dihari yang sama hanya berbeda waktu, di pengumuman salah satu universitas dari dua tersebut aku mendapati dengan jelas bahwa namaku terpampang diurutan paling atas, rasa tak percaya menghampiri hingga kubaca berulang kali untuk menemukan suatu kesalahan yang mungkin saja terjadi, dengan tangan gemetar, mata berair aku berlari ke ibuku. “Bu, aku berhasil..diurutan pertama. Alhamdulillah akhirnya berhasil”. Aku melihat ibu sangat bahagia bahkan air mata sempat menetes, sebuah harapan yang sangat susah digapai, pada akhirnya terealisasi. Untuk pengumuman universitas kedua dihari tersebut, mendapati bahwa aku gagal. Tak mengapa, karena doaku hanya satu, berikan aku satu keberhasilan diantara banyaknya kegagalan. Karena dari satu tersebut nanti akan menjadi kunci bagiku meraih kesuksesan tak terhingga. Aku berhasil. Syukur terus kupanjatkan pada Yang Kuasa. Pendengar utama tiada saing Tuhanku, Allah Ta’ala.
Hingga aku resmi menjadi mahasiswa disalah satu universitas diluar Provinsi tempatku tinggal selama ini. Psikologi berhasil kuraih, perjuangan bukan berakhir, melainkan segera dimulai dengan langkah yang berbeda, dengan status yang berbeda. Aku berhasil, dan akan berusaha untuk terus berhasil diantara banyaknya kegagalan menghampiri. Gadis pesantren ini berhasil membuktikan pada semua orang bahwa suatu kesuksesan tidak memandang latar belakang, baik usia, status sosial maupun latar pendidikan. Siapapun berhak untuk berhasil, siapapun berhak sukses, siapapun berhak meraih asa. Aku berhasil mewujudkan mimpi, aku berhasil membuktikan bahwa si gadis jebolan pesantren mampu bersaing menggapai cita-cita. Penyesalan masuk pesantren kini tak terasa lagi, aku bersyukur pesantren memberiku banyak pelajaran hidup. Karena disaat rasa bahagia menguasai, selalu terlintas wejangan andalan pesantren. Man Jadda Wa Jadda.
Singsingkan lengan baju dan bersungguh-sungguhlah menggapai impian.
Karena kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan.
Jangan bersilat kata dengan orang yang tak mengerti apa yang kau katakan.
Karena debat kusir adalah pangkal keburukan
~Syair Sayyid Ahmad Hasyimi~
Share this post