Karya: I Putu Heri Ramanda (Peserta Lomba Cerpen DN 14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Di sebuah desa yang terletak di pinggiran kota besar, ada seorang saudagar telur yang kaya. Ia bernama Morento. Ia sering dipanggil Bos More oleh orang-orang sekitarnya. Suatu hari, usaha telurnya bangkrut. Ia kesulitan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan istri dan seorang anaknya yang masih kecil. Istrinya sering memarahinya untuk mencari nafkah. Sedangkan, istrinya sendiri hanya ibu rumah tangga yang enggan bekerja. Begitu juga ia yang gengsi untuk mencari pekerjaan. “Masak saya dulu seorang bos kini malah harus mencari pekerjaan yang turun kelas sih,” ujarnya. Setelah berpikir lama, ia mempunyai ide untuk menggunakan sisa tabungannya untuk membangun rumah. Lalu, ia bergegas membangun dua rumah yang unik di ladang warisan ayahnya. Kemudian, ia menyewakan rumahnya tersebut.
Singkat cerita, rumahnya pun laku. Setelah beberapa bulan kemudian, penyewa rumah yang kedua pindah. Ia pun kebingungan dan mencari penyewa baru untuk rumah yang kedua. Selang beberapa hari, ada seorang pria bersama seorang istrinya dan dua anaknya yang masih kecil menyewa rumahnya. Ia pun merasa lega.
Pada bulan pertama hingga ketiga, penyewa rumah yang kedua tersebut membayar lunas biaya sewa rumahnya. Namun, pada bulan yang keempat penyewa tersebut tidak melunasi karena masalah ekonominya. Morento memahami dan memberikan kelonggaran pada penyewa rumah yang kedua tersebut. Setelah satu bulan selanjutnya, penyewa tersebut tidak membayar sewa rumahnya. Morento kembali memberikan kelonggaran. Tetapi, hal itu terus berlangsung hingga empat bulan selanjutnya. Morento akhirnya kehilangan kesabarannya dan berbicara tegas pada penyewa rumah tersebut. Penyewa rumah terus mengulangi alasannya karena masalah ekonominya. Tanpa basa-basi Morento langsung menyuruh pergi penyewa rumah tersebut karena ia merasa sangat dirugikan. “Tuan saya mohon jangan usir saya dengan keluarga saya, apalagi saya sedang hamil besar,” ujar istri penyewa rumah tersebut sambil menangis. Hal ini membuat Morento diam sejenak dan berkata dalam benaknya, “Saya sebenarnya tidak tega mengusir kalian, tapi kalau saya tidak mengusir kalian, saya pasti rugi besar. Saya hanya mengandalkan hidup saya dan keluarga saya dari hasil sewa rumah ini. Belum lagi modal pembangunan rumah ini belum kembali.” Lalu Morento berkata dengan tegas, “Keputusan saya sudah bulat. Cepat bereskan barang-barang kalian dan pergi dari sini!” Istri penyewa rumah kembali berteriak memohon dengan lebih keras. Beberapa warga yang melihat hal tersebut langsung mendekati mereka. “Morento, Kau sungguh manusia yang kejam, tega mengusir seorang ibu hamil,” ujar salah satu warga. “Justru yang kejam itu mereka yang tidak memahami kesabaran seseorang,” jawab Morento sambil tersenyum. Perlawanan kata-kata semakin keras hingga mengundang perhatian warga yang lainnya. Secara kebetulan, kepala desa lewat di sana setelah acara rapat desa. Kepala desa menanyakan hal yang terjadi. Pihak penyewa rumah dan Morento menjelaskan. Setelah mendengar penjelasan dari kedua belah pihak, kepala desa langsung mendekati dan menepuk bahu sebelah kiri Morento. Kepala desa berkata, “Morento, tindakan yang Kau ambil sungguh tidak adil. Kau terlalu egois dan tidak mampu memahami penderitaan mereka. Apa yang akan Kau rasakan bila Kau menjadi mereka ? Engkau sungguh tidak beradab dan tidak paham tentang perikemanusiaan.” Lalu Morento menyahut sambil tersenyum, “Maaf, apakah tugas kepala desa itu berceramah?” Mendengar langsung kata-kata Morento tersebut, kepala desa menjadi emosi. “Hati-hati dengan perkataanmu! Saya bisa saja bersama warga yang lain mengusirmu dari desa ini.” “Setuju!” sahut para warga. Morento dengan tenang menjawab, “Baiklah, sebelum saya diusir dari desa ini, adakah yang bisa menjawab dan memberi contoh secara langsung tentang pengertian manusia yang adil dan beradab tersebut?” Semua warga terdiam dan beberapa melototi Morento. Tiba-tiba datang seorang saudagar kue yang kaya dan ia berkata, “Wahai Bapak penyewa rumah, dimana Kau bekerja dan berapa gajimu per bulan?” Sang penyewa rumah menjawab, “Saya bekerja sebagai seorang buruh pakan ternak. Dulu, gaji saya dua juta sebulan. Tapi, tempat saya bekerja kini terancam bangkrut. Kini, gaji saya sebulan hanya mencapai satu juta rupiah. Gaji saya itu hanya bisa untuk biaya kebutuhan saya bersama istri dan anak-anak saya. Istri saya sedang hamil besar dan tidak bisa bekerja juga.” Tanpa basa-basi saudagar kue yang kaya tersebut bertanya, “Berapa harga sewa rumah?” Penyewa rumah menjawab, “Tujuh ratus ribu rupiah per bulan.” “Di tempat saya, rata-rata gaji buruh pembuat kue mencapai dua setengah juta per bulan. Apakah saudara berminat bekerja di tempat saya?” ujar saudagar kue yang kaya. “Mau banget Pak,” ujar penyewa rumah dengan ekspresi senang. “Morento, untuk utang pembayaran sewa rumah bapak tersebut saya lunaskan,” ujar saudagar kue tersebut. “Oke Bos besar,” sahut Morento. “Terimakasih banyak Pak. Jika Bapak berkenan, bolehkah saya cicil dikit demi sedikit utang saya ke bapak dengan pemotongan sedikit gaji saya nanti?” tanya sang penyewa rumah. Saudagar kue tersebut menjawab, “Sama-sama. Tentu saja boleh. Tapi, ingat saudara harus disiplin membayar sewa rumah untuk bulan-bulan selanjutnya.” “Tentu saja Pak,” jawab penyewa rumah. Setelah itu, berdamailah Morento dengan si penyewa rumah tersebut. Semua warga kembali pulang dan melakukan aktivitas mereka masing-masing. Begitu pula kepala desa yang tidak jadi mengambil keputusan untuk mengusir Morento dari desa karena semua masalah telah diselesaikan dengan baik oleh saudagar kue yang kaya tersebut.
Share this post