Karya: Siis Karisma (Peserta Lomba Cerpen DN 14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Tak disangka, anak seorang petani karet yang dulunya bekerja serabutan menggali tanah kuburan sudah menjadi lulusan S2 Universitas Ternama di kota. Ali, anaknya bapak Slamet. Ingat betul, si Ali ini sangat suka membeli nasi uduk bermodal uang dua ribu rupiah saja karena bapaknya sedang kesulitan uang. Karet hasil panennya sering dicuri. Tapi itu dulu, sekarang setelah lulusan S2 ia sudah menjadi anggota DPR RI. Gajinya lebih dari cukup untuk membelikan bapaknya Slamet dan Ibu Tirinya Inem rumah beserta isinya ditambah mobil putih yang sekarang digunakan untuk belanja solar dan dijual di depan rumahnya. Butuh waktu lima tahun bagi Ali untuk bisa membelikan itu semua.
Hari semakin larut, rumah lebar bercat kuning keemasan itu mulai mematikan lampunya. Ali, yang masih tinggal bersama kedua orang tuanya sedang bingung membaca agenda terbaru dari teman se-DPRnya. Dua hari lagi ia akan kembali ke kota untuk mengikuti rapat yang menurut tema tertera, membahas RUU KHUP terbaru. Ali bukan kali pertama mengikuti ini, namun yang membuat bingung kenapa diubah terus dan Ali itu muak bertemu Bu Jaja. Yakin betul di benak Ali, jika Bu jaja membenci dia. Bahkan Bu Jaja menyebutnya anak bawang. Ali tertawa terbahak-bahak mendengar anak bawang, sebutan dari Bu Jaja untuknya. Anak bawang dari mananya. Bapaknya petani karet, bukan bawang.
Siang itu, pukul 10.00 pagi, semua sudah berkumpul. Ini tepat di hari ke dua sesuai undangan dari teman se-DPRnya mengadakan rapat. Ali membaca serius perbab, perayat dann perhuruf. Keningnya mulai berkerut, ada banyak kesalahan dalam penulisan ejaan, tanda baca bahkan salah ketik di dalam RUU yang dibagikan barusan. Di benak Ali timbul tanda tanya, “Apakah ini baru diketik semalam? Seperti buru-buru. Ah, mungkin yang mengetik kebelet tidur atau dia hanya sempat mengcopy dari orang lain?” Ali tertawa sendiri dengan ucapan-ucapan yang timbul di benaknya. Ada-ada saja.
Bu Jaja. Sebagai ketua DPR sudah memulai rapat dari tadi. Namun semua sudah mulai ribut sana-sini. Bukan karena tak menghargai Bu Jaja, tapi karena beberapa mic tidak bisa dinyalakan. Padahal sewaktu rapat lima hari lalu masih baik-baik saja. Bahkan yang anehnya lagi, suara Bu Jaja bisa didengar sampai luar kantor sidang sangking besarnya. Seperti suara di bioskop. Ada banyak RUU yang sudah disebutkan oleh Bu Jaja dan perubahan-perubahan yang ada. Entah siapa yang mngubahnya, karena Ali sendiri tidak tahu. Ali menengok ke sebelahnya, ada Bu Lili.
“Bu, kok RUUnya makin aneh” Ucap Ali.
Lili yang tadinya merapikan jilbab di depan kaca sedang yang sengaja di bawanya itu hanya menggeleng singkat, “Saya bahkan tidak mendengarkan. Saya tidak mengerti, saya akan setuju saja. saya belum belajar semalam, mau mengejar kuliah S1.”
Ali terkejut bukan main “Ibu tamatan SMA?”
Lili menggangguk.
Ali manggut-manggut saja. Karena bukan itu pembahasan yang ingin diperdebatkan oleh Ali. Ali menoleh ke kanan, ada Pak Tano. Ingin rasanya ia menyekal bahu Pak Tono sedikit untuk memberi tahu kalau ilernya sudah sampai bahu. Ali mendehem pelan, bisa-bisanya mereka tidur padahal baru jam 10 pagi. Ali berkata pada benaknya, semoga di belakang orang yang dikenalnya. Menolehlah Ali ke belakang, dan ya dia mengenalnya. Hanya saja hanya ada nama yang tertra di meja tanpa orang. Orangnya tidak ada. Entah ke mana. Kemudian Ali menatap seseorang di depannya. Jasmin, teman sebayanya karena seumuran. Ali memanggil Jasmin pelan.
“Min, saya mau…”
Jasmin menoleh dengan marah, matanya melotot kesal “Kamu diam saja. Saya lagi merekam, pasti nanti ada kejadian besar dan bisa viral”
Ali kaget mendengar penuturan Jasmin, pertanyaan di benaknya muncul. “Apakah Jasmin seorang cenayang?”
Ali hanya bisa pasrah, akhirnya ia berdebat dengan benaknya lagi. tak ada yang bisa di ajak berdebat. Bu Jaja hampir menyelesaikan RUU yang dibacanya. Semua DPR lain tampak tenang-tenang saja. Sedangkan Ali, yang sudah risau. Gerakanya ke sana dan ke mari ingin segera memberikan argumen. Bu Jaja menaruh kertas contekan untuk membacakan hasil RUU, lalu menatap audiens.
“Apa ada yang ingin berpendapat?”
Hening
“Akhirnya giliran saya” Benak Ali
“Saya Bu”
Bu Jaja menatapnya dingin, “Ada yang lain?”
Hening
“Saya Bu” Kata Ali sambil tersenyum.
Bu Jaja masih memasang muka es bercampur asam jawa, “Yang lain ada tidak yang ingin berpendapat?”
Hening
“Apa yang ingin kau katakan anak bawang!” Ucap Bu Jaja kesal.
Ali membenarkan dasinya, sambil menatap tman se-DPRnya yang lain sambil tersenyum.
“Terima kasih atas kesempatannya. Izin senior. Saya ingin menyampaikan sanggahan terhadap RUU KHUP bahwa hukuman koruptor ini Bu. Permasalahannya karena hukumannya lebih rendah dibanding UU Tipikor.”
BRAKKKKKK
“Bisa tidak kamu diam saja, kepala saya sudah pusing. Itu saja hukumannya sudah berat”
Ali terkejut dengan hentakan Bu Jaja, lebih terkejutnya lagi dengan kata “Itu saja hukumannya sudah berat.” Batin ali untuk kesekian kalinya berkata “Bu Jaja seperti terpaksa membuat perubahan di hukuman ini. berarti ada kemungkinan di ringakan lagi. apa ada saudaranya yang jadi koruptor ya?”
Ali menatap Jasmin kesal, kamera gawainya menampilkan sinar yang terang sehinggal menyilaukan matanya. Tapi tetap, ia ingin membahas ini walau Jasmin sedari tadi merekamnya. “Tapi Bu. Ini terlalu ringan. Bagaimana jika kita membuat rancangan hukuman mati bagi terpidana koruptor. Atau bisa potong tangan saja , Bu. Atau a….”
Ali menatap mic-nya yang tiba-tiba mati. Mengetuknya berapa kali, namun nihil. Tetap mati. Ia menatap mic Bu Lili. Lili menggeleng karena micnya juga mati sedari ia datang. Ali lalu menatap mic audien lain, semuanya berlampu hijau kecuali ia dan Lili yang berada disebalahnya.
Sambil menarik kerah dan membuka kancing bajunya, Ali menatap kesal Bu Jaja yang saat ini malah tertawa cekikikan dengan Bu Mayang.
“Ibu, ini kenapa mic saya dimatikan. Kan saya belum selesai bicara. Ibu tolong hargai sesama manusia. Apa Ibu bukan manusia?”
Hening
Bu Jaja masih mengobrol dengan Bu Mayang tanpa menghiraukan sorakan suara Ali. Teman se-DPRnya beberapa menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Jasmin masih merekam sedari tadi tanpa goyang. Sepertinya otot tangan Jasmin terlatih.
“IBU JAJA, TOLONG YA MIC SA…” Belum selesai Ali melanjutkan kata-katanya. Ia tiba-tiba ditarik oleh dua satpam. Badannya lebih kecil dari badan Ali. Namun yang membuatnya terkejut adalah kata-kata penghantarnya
“Anda sudah melanggar aturan tenang saat rapat, ada dikeluarkan dari rapat sekarang. Silakan ikuti kami” Ujar satpam dengan tahi lalat di hidung.
Ali mengerutkan dahinya, “Saya melanggar dari mana ya. Saya kan…”
Tiba-tiba saja satpam dengan kumis sebelah kanan tebal dan bagian kirinya botak menyumpal mulut Ali dengan tangannya. Ali bisa mencium aroma sambal terasi dari tangan yang menyumpalnya. Kemudian, Ali hanya mengikuti arahan karena mulai mabuk aroma terasi dari tangan satpam. Saat sudah di pintu keluar, Ali mendengar ucapan yang membuatnya tertohok kesal.
“Baiklah, karena semuanya sudah setuju. RUU ini kita sahkan ya”
Prok prok prok, tepuk tangan membahana di dalam ruang rapat. Ali menatap ngeri teman se-DPRnya.
“Bapak Ali diam saja, besok bakal ada mahasiswa yang demo. Nanti baru diubah tu RUU” Ujar satpam yang menyupal mulutnya.
Ali segera mengambil napas banyak-banyak untuk mengeluarkan aroma terasi dari penciumannya.
“Kok gitu?”
“Iyalah, nanti viral. Tu rekaman mba Jasmin pasti di sebarkan. Tunggu saja”
Ali manggut-manggut saja. Ia sangat mendukung jika Mahasiswa berdemo. Biar kapok Bu Jaja dan teman se-DPR lainnya.
“Tapi bapak dipecat ya?”
Ali kaget, “Kamu tahu dari mana saya dipecat?”
Satpam dengan tahi lalat di hidung itupun tersenyum kaku “Oh belum saja ternyata”
Ali hampir saja ingin memberikan bogeman keras ke pipi kanan satpam itu, namun ia urungkan karena mendengar panggilan dari Bi Nina.
“Den, dipanggil Ketua di kantornya. Siapin obat tetes mata ya den. Biar disangka nangis dan diampuni deh.”
Ali yang semakin pusing mendengar penuturan Bi Nina hanya merespon senyum gagu seprti orang lupa ingatan.
“Menyesal menjadi DPR, kukira enak ternyata ladang dosa. Gaya sosialita padahal gaji biasa saja. Heran kok mereka bisa liburan jelajah negara tiap bulan sedang saya hanya bisa menikati bioskop di kota” Batin Ali sambil berjalan mengarah ke parkiran. Ia meninggalkan ruang sidang dan juga meninggalkan kartu anggota DPRnya.
Batinnya berkata kembali, “Bagaimana Indonesia bisa maju kalau perwakilannya saja tidak maju. Tidak mementingkan rakyat tapi lebih penting uang dan kelas sosial. Peraturan dianggap wejengan semata tanpa ingin dipatuhi bahkan tak mengenal efek jera. Sanggahan dan masukan hanya formalitas untuk keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.
“Saya memecat saya” Ucap batin Ali.
“Mending jadi pengusaha saja deh, gajinya gede hahaha”
Komentar