Karya: Resza Mustafa (Peserta Lomba Cerpen DN 14 CSSMoRA UIN Walisongo)
Kapan lagi bisa mengaji dengan tenang, tanpa harus menghabiskan banyak uang buat beli bensin juga khawatir ban motor bocor. Cukup dengan mendengarkan secara gratis. Entah itu di kamar, maupun di teras, kini aku bisa memilih sesuka hati mana Kiai yang sedang ingin kusowani dan kitab yang maksud hati mau kupelajari.
“Bapak, ini teh hangat. Sama beberapa gorengan, Rasya taruh di di meja depan televisi ya!” seru anak gadisku, Rasya. Memberi tahu bahwa ada cemilan yang dapat kusantap sembari mengaji.
Tidak mahal, sama sekali tidak! Beberapa waktu lalu, aku mendapat keberuntungan karena ada keponakan yang merasa; ponselnya sudah tidak lagi terpakai. Lalu, dia menilai sepertinya aku sosok yang pantas ditipi ponsel tersebut.
Beberapa hal yang kutahu, ponsel perlu diisi pulsa. Namun ada beberapa yang baru kutahu, setelah keponakan bilang bahwa di dalamnya juga terdapat radio. Radio! Ya, dan itu bisa difungsikan secara cuma-cuma, tanpa mengurus pulsa.
“Ya Allah, sepenuh syukur kucecap secangkir teh hangat. Semoga hilang rasa kantuk dan malas demi tekad menuju ke jalan cahaya,” lirihku.
Aku bukan pemalas, dan orang tuaku dulu senantiasa mengajarkan giat semangat, serta kerja keras. Dalam hal apapun, termasuk mengaji dan membaca kitab. Malas tentu bukan pilihan bagi muslim yang baik. Kuambil buku tulis dan pena, di dekat cemilan.
Bersicepat kembali menuju teras. Kuambil ponsel dari saku, kemudian kuaktifkan. Aku melihat gambar di salah satu ruang layar, dengan tulisan di bawahnya, Saluran Radio. Kemudian kupencet. Tidak lupa, kutancapkan kabel alat pendengar, agar aplikasi dapat menangkap sinyal.
Segera sore nanti diputar siaran mengaji. Mengulas salah satu bab dari Minhajul Abidin, karangan Imam Al Ghazali. Siapapun Kiai yang membacakan, bagiku tidak masalah, utamanya adalah semua materi disampaikan lengkap dan terperinci.
Sore tiba, kali ini ulasan kitab disampaikan oleh Drs. Kiai Ahmad dari Tremas, Pacitan. Beliau membahas tentang beberapa jenis orang yang sebenarnya tertipu di dunia. Menurut terjemahan makna, ada empat jenis orang dan sepanjang hidup dia telah tertipu oleh urusan duniawi, hingga ridha Allah menjauhi mereka. Yaitu, ahli ilmu, ahli tasawuf, ahli amal, dan orang kaya raya.
Kiai Ahmad secara lebih rinci, menjelaskan tentang golongan orang kaya raya yang sepanjang hidup dia tertipu akibat urusan duniawinya. “Jenis awal itu, mereka semangat sekali ketika membangun masjid, sekolah, pondok, dan gedung dengan niat hanya untuk pamer,” jelas kudengar.
Aku pun mulai memperbaiki posisi duduk, agar ruang gerakku jadi lebih nyaman. “Ada dua alur yang membuat tertipu,” lanjut Kiai Ahmad, suaranya terdengar sedikit serak.
“Alur kesalahan pertama, mereka mencari dana pembangunan dengan cara dzolim. Semisal merampok, menyuap, alias hasil perbuatan haram. Andai bila ingin diampuni Allah, diwajibkan bagi mereka bertaubat dan dana dikembalikan ke yang memiliki hak,”
“Bila yang berhak menerima harta pengembalian sudah meninggal, bisa diganti dengan ahli waris atau bila ahli waris juga telah meninggal bisa digunakan sesuai kemaslahatan yang bisa dimanfaatkan lewat dana pengembalian. Bisa juga, diberikan ke masyarakat fakir miskin,” runtut, satu jalur dijelaskan. Kiai Ahmad mengurai dari kitab berbahasa Arab, kemudian diterjemahkan ke makna berbahasa Jawa.
Tuturan-tuturan Kiai Ahmad terus berlanjut. Siaran radio satu ini benar-benar sayang apabila dilewatkan. Sambil memejamkan mata, aku menambah daya konsentrasi. Sesekali mencatat bagian terpenting yang dijelaskan, atau katakanlah, beberapa yang sulit kuingat.
“Jalur kedua. Mengira hal itu sebagai tanda ikhlas, ketika nama mereka dicatat sebagai penyumbang, kemudian mereka meminta agar tidak perlu dicatat agar dikira iklas. Namun ketika namanya dicatat, dia justru merasa diremehkan,”
“Kemudian ada juga, mereka menyumbang dengan aturan namanya dicatat agar dilihat besaran sumbangannya. Padahal mau dicatat atau tidak, Allah tetap melihat dan mengetahui segala sesuatu,” sampai tiba-tiba.
“Radio Citra, akan segera kembali. Pendengar setia tetap di saluran ini ya, selamat sore,” benar saja, waktu pariwara tiba, dan memotong penjelasan Kiai Ahmad.
Aku membuka alat pendengar. Suara hembusan angin, mengubah suasana yang sebelumnya terdengar meriah karena suara radio, menjadi agak sepi.
“Pak! Rasya berangkat ke surau dulu,” dia menemuiku di teras.
Aku menoleh. Melihat Rasya sudah bersiap. “Oh iya, hati-hati ya. Bapak belum bisa ngantar, temenmu mana? Belum sampai ke sini,”
“Udah nunggu, itu di gang deket pos ronda,” jawab Rasya. Sekalian dia pamit, salim. Bergegas, dan tidak lupa mengucap salam.
“Ya, Allah. Terima kasih. Keihklasan Rasya adalah salah satu anugerah terindah dalam hidup Hamba,” Tuhan benar-benar Maha Pengasih, batinku. Melihat Rasya, berjalan semakin jauh dari pandangan.
Doa, bagiku bahasa terbaik yang pernah muncul di dunia ini. Kamus istimewanya, dinamai iman. Sedang perilaku paling manusiawi, tentu saja berahlak mulia.
Lantas kuambil lagi alat pendengar. Penjelasan Kiai Ahmad belum usai. Pasti akan sangat menarik.
“Mari kita lanjutkan tentang pembahasan alur kesalahan kedua,” Kiai Ahmad mengawali kembali. Tanpa mukadimah dan langsung ke arah penjelasan.
“Yaitu, mereka sudah berusaha mencari dana halal, tapi luput dalam beberapa hal. Dari sini, dibagi lagi menjadi dua jalur,”
“Pertama! Salah prioritas. Alias masih adanya unsur pamer, dan mencari pengalem. Contoh, tetangganya masih banyak yang kelaparan, tapi mereka masih semangat membangun masjid, dan lain-lain, supaya namanya diingat. Akhirnya jadi makruh. Padahal sebenarnya lebih utama harta tersebut disedekahkan ke tetangga fakir miskin, dengan niat yang benar-benar ikhlas,”
“Kedua! Masjid dihias menggunakan ukir-ukiran indah. Padahal hal demikian kurang baik karena mengganggu kekhusyuan dan ketenangan hati mushallin (orang-orang yang salat). Akibatnya, pahala mushallin berkurang. Dikira menghias masjid perbuatan baik, padahal hanya membuahkan ketidakridhaan Allah karena fokusnya dari awal mencintai urusan dunia,” demikian kajian Kiai Ahmad selama satu sore penuh. Beliau mengakhiri ulasan Minhajul Abidin dengan doa-doa yang ikut serta kuamini dalam hati.
Sayup-sayup terdengar azan magrib dari surau tempat Rasya mengaji. Aku masuk ke rumah membawa semua perlengkapan di teras. Duduk di ruang tamu, aku mendongakkan pandangan. Kulihat foto Najwa, sepotong rindu membuncah di dada.
Aku masih ingat, saat aku dan dia saling duduk bermesraan menatap senja. Menyukai ilalang yang diterpa angin, menyeru ungkapan cinta.
Alangkah cantik dia, yang selalu kudoakan dalam setiap salat dan untaian tasbih. Kekasihku Najwa, akan kujaga selalu Rasya dan membuatmu bangga. Semoga kelak kita bertemu di surga.
Share this post