Sering kita temukan orang-orang yang berpandangan bahwa pacaran itu haram, dosa, dan dapat mengantarkan kita pada perzinahan. Yang halal itu, kata mereka, adalah ta’aruf, bukan pacaran.
Tapi kalau ditanya: Apa itu pacaran? Dan apa itu ta’aruf? Mereka sendiri kadang kebingungan.
Definisi yang dikemukakan kadang tidak sesuai dengan status hukum yang diberikan.
Definisi Pacaran yang dipahami remaja. Pacaran sebagai hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan yang terjalin di luar ikatan pernikahan.
Karena ia terjalin di luar nikah, maka disimpulkanlah bahwa pacaran itu haram. Lalu dikutiplah sejumlah dalil untuk mengukuhkan keyakinan bahwa pacaran itu dapat menyebabkan perbuatan zina, seks bebas dan lain sebagainya.
Pertanyaanya: Apakah definisi yang dikemukakan di atas itu sudah tepat?
Dan apakah dengan definisi tersebut kita bisa berkesimpulan bahwa pacaran itu haram? Kalau iya, di mana letak keharamannya?
Pertanyaan seperti ini penting dijawab.
Sebab, kita tidak mungkin bisa menghukumi sesuatu dengan benar kalau gambaran kita mengenai sesuatu yang hendak kita hukumi itu sendiri belum benar.
Pacaran itu ialah hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan yang terjalin di luar nikah. Apakah definisi ini sudah benar? Menurut saya kurang tepat.
Alasannya sebagai berikut: Dasar Hukum Penetapan Menurut Kaidah/Definisi ilmu mantiq
ta’rif (definisi) ini masih cacat karena belum bisa memberikan kejelasan antara pacaran dengan hubungan-hubungan lainnya.
Kita belum bisa menemukan satu mafhum yang bisa membedakan pacaran dengan hubungan-hubungan lainnya. Satu definisi kita tolak.
Definisi lainnya pacaran sebagai perbuatan yang dilarang Agama.
ini tidak kalah ngawur dari yang pertama. Kengawurannya bisa dilihat dari tiga aspek:
Pertama, definisi ini menjadikan kata perbuatan sebagai jins dari pacaran. Padahal semua anak muda tahu kalau pacaran itu tidak hanya sebatas perbuatan, tapi di sana juga ada ucapan, perasaan dan lain sebagainya.
Kedua, definisi ini masih bersifat umum, karena kita semua juga tahu bahwa perbuatan yang dilarang Agama itu bukan hanya pacaran. Mencuri, membunuh, memfitnah, berzina, mabuk-mabukkan, itu juga perbuatan yang dilarang Oleh Syari’at
Padahal, definisi demikian seperti harus mani’an; harus mampu mencegah masuknya segala sesuatu selain yang didefinisikan. Sementara ta’rif ini tidak demikian.
Ketiga, ta’rif ini mengandung unsur penghukuman. Dalam tulisan sebelumnya sudah kita jelaskan bahwa sebuah definisi yang tepat itu tidak boleh menyertakan penghukuman.
Singkatnya, definisi kedua ini juga saya tolak.
Definisi Pacaran lainnya lagi pacaran sebagai: Proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan.
Jika definisi ini diterima, maka apa yang disebut pacaran itu tidak ada bedanya dengan ta’aruf, yang dianjurkan dalam Agama itu. Artinya, kalau Anda menerima definisi ini, pacaran itu tidak haram, tetapi halal, bahkan dianjurkan. Itulah konsekuensi dari kekeliruan dalam merangkai sebuah definisi.
Dengan definisi yang berbeda, maka akan lahir pula hukum yang berbeda. Hal terpenting penetapan dalam hukum islam ialah harus menyesuai Menurut Kaidah ushul fiqih
Namun, apapun bunyi definisinya, poin terpenting Sebelum kita melekatkan suatu hukum tertentu kepada sesuatu, kita harus jelaskan terlebih dahulu definisi yang jelas dari sesuatu yang akan kita hukum itu.
Natijah/Kesimpulan
Pacaran itu ialah “hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram yang diekspresikan melalui komunikasi dan kontak fisik antar keduanya.” Apakah definisi ini sudah tepat?
Mari kita uji dengan kaidah yang sudah kita pelajari.
Mafhum yang kita tangkap dari frase “hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan bisa diposisikan sebagai jins”. Mengapa? Karena dia mafhum yang bersifat universal yang berlaku bagi banyak individu yang hakikatnya berbeda-beda (lihat kembali uraian mengenai jins)
Dengan mafhum tersebut, pacaran menyatu dengan pernikahan dan apa saja yang tercakup oleh mafhum “hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan”. Saya lebih suka menggunakan kata asmara ketimbang cinta. Karena, bagi saya, pacaran itu dasarnya bukan rasa cinta, melainkan hawa nafsu. Ya, hawa nafsu.
Kalaupun ada yang dianggap sebagai rasa cinta itu hanya cinta semu dan palsu. Cinta yang sesungguhnya lebih sakral ketimbang yang dirasakan oleh para remaja itu. Mungkin kata asmara lebih tepat untuk menerjemahkan perasaan itu, ketimbang kata cinta.
Kemudian ada frase “yang bukan mahram”. Mengapa kita harus menyertakan kata ini? Jawabannya karena dia berfungsi untuk membedakan antara pacaran dengan hubungan asmara laki-perempuan lainnya yang terajut dalam ikatan pernikahan atau ikatan persaudaraan. Artinya dia bisa kita posisikan sebagai fashl.
Tapi apakah definisinya hanya berhenti sampai di situ? Kalau Anda berkata iya, maka pacaran belum bisa diharamkan. Mengapa? Karena di sana tidak ada unsur keharamannya.
Sekarang coba Anda perhatikan definisi tersebut secara seksama:
Pacaran itu adalah hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Titik.
Apakah bisa saya mengharamkan hubungan itu? Kalau Anda berkata iya, di mana unsur keharamannya? Tidak ada.
Artinya begini. Kalau suatu saat nanti saya menyatakan rasa suka saya kepada Nissa Sabyan, kemudian Nissa Sabyan mengutarakan perasaan yang sama, lalu terjalinlah hubungan asmara di antara kita. Saya di Kairo, Nissa Sabyan di Indonesia. Tidak pernah ada komunikasi, tidak pernah ada perjumpaan fisik, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Pertanyaannya:
Apakah bisa hubungan tersebut dikategorikan sebagai pacaran?
Dan apakah bisa hubungan saya dengan Nissa Sabyan itu dikategorikan sebagai hubungan yang haram?Tentu saja tidak.
Kalau iya, di mana letak keharamannya? Tidak ada.
Kalaupun itu dikatakan sebagai pacaran, itu pacaran yang halal. Dan hampir tidak ada bedanya dengan istilah ta’aruf itu.
Nah, karena itu, kita masih membutuhkan fashl lain untuk lebih memperjelas lagi esensi dari pacaran ini. Rangkaian kalimat selanjutnya menjelaskan hal itu. Bahwa pacaran itu tidak hanya sekedar hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tapi hubungan tersebut juga diekspresikan melalui komunikasi dan kontak fisik.
Artinya, komunikasi dan kontak fisik ini menjadi fashl kedua—atau sebagian logikawan menyebutnya dengan istilah qaid, ketika dalam satu definisi ditemukan lebih dari satu pembeda—yang membedakan pacaran dengan hubungan asmara laki-perempuan bukan mahram yang tidak disertai komunikasi dan kontak fisik.
![]()