SELEPAS PETANG

Karya: Oktari Rosalia (Peserta Lomba DN 14 CSSMoRA UIN Walisongo)

 

 

ndukga bole izin saja?”

Entah harus menjelaskan sampai berapa kali sampai ibu mengerti. Dunia malam saat ini sudah tidak segelap zamannya dan pertemananku tidak semengerikan yang ia kira, paling hanya beberapa orang yang merokok. Sambil merapihkan jaket jeans bekas almarhumah Mbak Fitri, dengan situasi rumah yang cukup menggajal hati untuk pergi, aku akan mencoba meyakinkan ibu untuk terakhir kalinya.

Mataku yang sayu dengan wajah yang setiap malam kemerahan ini meminta ibu untuk duduk di atas kasur depan lemari tempat aku merapihkan jaket.

buk, Putri udah sebesar ini, bisa jaga diri.”

Sunyi yang menjawab. Kedua mata kami saling bertemu, tidak ada jawaban dari ibu.

buk

Putri janji ga sampai jam dua belas sudah pulang”

Dengan terbatuk-batuk, entah karena usia atau karena sudah malam, ibu berdiri sambil menopangkan tangan kanannya pada bahuku dan mengambil syal biru tua temaram dengan renda-renda disetiap ujungnya. Kami berdiri berhadapan dan ia memakaikannya di leherku.

Tak banyak yang ia sampaikan, hanya petuah yang sama kunonya seperti syal ini. Bibirku masi datar dan mataku masi sayu, tidak banyak yang bisa aku ekspresikan. 

“Ini sudah larut malam nduk, sebenarnya pamali keluar malam-malam begini, apalagi kamu anak perempuan. Jaket sama syalnya jangan dilepas sampai pulang. Bajumu itu terlalu pendek, pamali.”

“Kalau naik motor pelan-pelan saja, apalagi kalau lewat jalan yang pohonnya besar-besar disana. Gelap, apalagi bunga-bunganya itu lagi mekar, takutnya ada yang tidak terlihat nanti ngikut kamu pulang.”

Dengan logat Kopeng, Jawa Tengah yang mendayu-dayu ibu kembali mengingatkan mengenai pamali. Hidupku di desa yang kuno ini memang tidak akan tenang apalagi tinggal dengan seorang ibu yang kuno. Tak banyak yang aku sampaikan pada ibu, rasanya hanya ingin segera pergi dan bertemu teman-temanku di pendopo seberang desa. 

Sambil menunggu dijemput Mas Arif, aku dan ibu duduk di lantai teras depan rumah. Mungkin karena lantai kami yang kotor, merasakan gatal-gatal sampai muncul ruam bukan hal yang besar, terlebih kini jam menunjukan pukul delapan malam. Kami terdiam, terlebih karena aku yang sempat teringat almarhumah Mbak Fitri. Kematiannya cukup ganjil dan orang desa kami mempercayai adanya penunggu pohon yang menempel padanya. Bahkan kepala desa kami berkata, penunggu ini marah dan mengambil Mbak Fitri dari kami, selamanya.

Bahkan mungkin penunggu itu masih ada dirumah kami. Setiap malam dan sebelum subuh, patokannya sampai ibu selesai solat subuh, kami pasti terbangun. Tertindih makhluk besar di dada dan terbangun sampai terbatuk-batuk. Terkadang makhluk ini bahkan sampai mencengkram kami atau melilit dada kami sampai tak ada udara yang bisa dihirup.

Assalamualaikum,”

Akhirnya Mas Arif datang. Hanya membayangkan semua ini saja cukup menyesakkan dan kami memutuskan untuk segera berangkat dengan moghe atau motor gedhe hitam yang knalpotnya saja bisa menghembuskan asap seperti kebakaran. Bukankah itu keren?

Melewati pohon-pohon besar dan aku mencium wangi-wangi bunga yang diperingatkan ibu tadi. Aku mulai merinding, hawanya jadi panas dingin, tidak karuan. Seperti yang pernah dialami ibu, aku, dan almarhumah Mbak Fitri. Tanganku mulai muncul kemerahan, gatal dan sedikit panas sampai kepunggung. Sedikit rasa sakit dan sesak dari dada sampai sakit kepala. Setidaknya aku masih bisa menahan.

Setelah sampai, ada Mas Fajar, Mas Saiful, Mas Ivan, dan Mbak Sela. Melihat mereka begitu akrab, bercanda, minum kopi, dan merokok bersama membuatku sedikit tenang karena mereka menyambutku dengan hangat.

Semakin malam, aku kira semakin mendingan karena sudah bercanda ria, tapi tawa diantara kami tidak mengubah keadaanku sama sekali. Aku benar-benar takut penunggu pohon mengikutiku sampai sini. Dalam hati aku membacakan ayat kursi dan banyak ber-istigfar.

Mungkin lebih tenang, tapi beberapa rasa sakit tidak kunjung hilang. Firasatku semakin memburuk.

drrrt…. ddrrrttt……

drrrt…… ddrrrrtttttt…

Telepon dari ibu yang pasti memintaku pulang. Memang hampir tengah malam, petang juga sudah lewat. Aku tidak ingin menjawab dulu, setidaknya aku pulang setelah Mas Arif menghabiskan puntung rokoknya yang terakhir.

drrrt…… ddrrrrtttttt…

Menyerah mengabaikan ibu, dan aku juga mulai tidak nyaman diantara asap rokok, aku beranjak ke luar sebentar.

“Asapnya astaga…, tolong stop dulu merokoknya aku mau bicara dengan ibu.,”

“Apa sih put hahahhaa”

Rasa panas dingin yang tidak mereda, emosi, dan gatal yang tidak kunjung membaik, sekarang asap-asap ini membuatku terbatuk-batuk tidak berhenti. Memutuskan keluar dari sini dengan alasan menjawab panggilan ibu sepertinya memang terbaik. 

bruk

Aku terjatuh. Entah kenapa yang tadinya sesak sekarang makin membuatku tidak bisa bernafas. Penunggu mana lagi yang marah pada keluarga kami sampai kami terkutuk seperti ini. Baru saja aku dapat kabar dari Pak Mardi, tetangga kami, ibu seperti kerasukan. Ia awalnya hanya batuk terus menerus, yang awalnya masih keluar dahak sekarang disertai darah. Yang lebih mengkhawatirkan adalah, ibu kesulitan bernafas. Banyak warga yang berasumsi munculnya suara penunggu yang marah, bunyinya nyaring.

Menyesal, sungguh. Berandai-andai seharusnya aku di rumah bersama ibu, mungkin aku dan ibu tidak akan mendapatkan kutukan Mbak Fitri.

Semakin dirasakan, semakin sakit, dan semuanya gelap

……

Tiba-tiba semuanya membaik, aku bangun dari tidurku yang terasa cukup lama. Entah yang mengerikan semua itu adalah mimpi atau bukan. Badanku terasa ringan. Langit-langit putih dan ruangan ini terasa asing. Banyak orang berlalu-lalang.

Ibu.

Aku bangun dan membabi buta mencari ibu. Banyak orang disini namun tidak satupun aku kenal dan tidak ada yang menyerupai ibu. Aku mulai lemas dan terjatuh.

Seseorang dengan pakaian serba biru dan jaket putih mendatangi aku. Bukan jaket rupanya, itu jas dokter. Ia meraih tanganku dan membantuku duduk di kursi hitam depan kamar tempatku bangun tadi. Dia menanyakan banyak hal dan aku hanya menjawab sebisaku karena aku masih pusing.

Setelah membuat semuanya jelas, ia menepuk pundakku, tersenyum.

“dek, saya dokter Eric yang menangani adek dan ibu adek sejak tadi malam. Adek tidak perlu kawatir ya, sekarang adek ada di puskesmas dan sudah mendapatkan penanganan. Tadi malam adek mengalami gejala-gejala asthma dek, pernah dengar?”

“tidak dok, saya dan ibu, dari desa memang kami sudah dikenal sebagai keluarga yang terkutuk. Ibu saya bagaimana ya dok?”

Wajahnya dan suaranya menenangkan, siapapun namanya tadi, ia membuatku lebih tenang. Kenapa orang takut dan sungkan ke puskesmas ya, dokternya dan perawatan disini saja sangat baik. Sebenarnya aku sedikit malu karena tidak tahu apa pun tentang penyakit, tapi dokter ini tidak menyudutkanku.

Setelah mendengarkan penjelasannya, aku semakin merasa terbuka. Ternyata selama ini yang kami sebut kutukan, ternyata adalah penyakit dan bisa diobati. Aku kira gatal dan ruam kemerahan itu wajar saja ketika kami sering duduk dilantai kotor, ternyata selain kotor, lantai dingin juga membuat seseorang mengalami alergi. Dimulai dari keluargaku yang alergi debu dan dingin, setiap kali bunga mekar dari pohon-pohon besar ternyata serbuk sarinya membuat kami semakin merasakan alerginya.

Kata dokter, lingkunganku dengan asap rokok yang banyak, aku sering pergi malam hari dengan baju pendek, dan naik motor mengebut, itu membuat angin dingin jadi memperparah alergi. Bahkan suara penunggu yang ditakuti tadi malam itu adalah suara batuk dari ibu, bunyinya seperti ngikkkkk…. ngikkk… penanda ibu sulit bernafas.

Masih banyak hal yang baru aku dapatkan dan aku berharap dengan pengetahuan baruku, warga desa tidak akan menyebut kami terkutuk oleh penunggu jin, terlebih karena selepas petang, banyak hal yang dapat memicu seseorang mendapatkan gejala-gejala penyakit, seperti aku dan asthma.

Share this post

Tinggalkan Balasan