Oleh: Umi Latifah

          Aku masih berdiri di tempat yang sama seperti dulu. Lorong sepi, kumuh, pengap. Turun dari angkutan angkutan dengan bau asam, muka tertekuk, kumel. Menyedihkan.

          Sudah tak berkembang, berapa kertas lamaran yang terkenal. Semuanya hanya akan masuk ke tong sampah perusahaan-perusahaan itu. Pekerja seperti apa yang mereka cari? Meskipun mereka mencari orang jenius seperti Steve Jobs, maaf, dia tak akan tertarik bekerja di perusahaan bergaji minim seperti itu.

          Semua seakan tak masuk akal, tempat laundry saja mensyaratkan S1, untuk apa? Apa memang mereka merekomendasikan memperkerjakan ahli kimia untuk menakar detergen? Siapa?

          Ku tarik ucapanku kala kuliah dulu, “semuanya akan mudah kalau ada gelar.” Realitanya tak sesederhana itu. Lulus kuliah, dapat kerjaan, kerjaan enak, duduk manis, tiap bulan dapat gaji. sekarang aku sadar, tempat ini sukses surga. Masih banyak manusia yang menatap nyalang karena lapar. Apa di surga ada?

          Kampus menjamur, dimana-mana. Wisudawan populer di seluruh penjuru negeri. Sedang apa mereka sekarang?

          Wisudawan dengan gelar SH tak menyerahkan penanganan. TAPI hanya satu kursi yang ada. Satu kursi itu terbeli satu dasawarsa lalu. Lantas, mereka kuliah untuk apa? Mengerjakan skripsi buat apa?

          Langkahku terhenti, kaki bahkan sudah tak mampu lagi menopang beban tubuh ini. Rasanya sesak. Makhluk bodoh di tengah lorong sepi yang tak berguna. Itu aku.

          Udara saja mempunyai tugas di dunia ini. Debu, bulan, pohon, udara, matahari, apa saja, kecuali ku. Sampahpun tak akan mengakui aku sebagai koloninya. 

          Para pemilik kampus harus bahagia, setidaknya tak semua manusia berwawasan setan sepertiku. Jika ‘iya’, kampus mereka kosong, siapa yang mau menghidupi?

          Ku susuri lagi lorong pengap ini. Di ujung sana adalah rumah ibuku. Kupaksakan agar tak jatuh lagi. Merambat di dinding dingin berlumut akan lebih baik di tejungkal.

          Pemandangan memuakkan akan selalu menyambutku kala pintu terbuka. Manusia hitam dengan perut buncit dengan santainya meniupkan asap rokoknya. Seluruh wanita di gubuk ini bahkan tak pernah terduduk senyaman dia. Aku muak memanggilnya ayah.

          Aku rasa memang banyak sekali takdir yang takdir akan berubah sekeras apapun manusia berusaha. Dan aku punya banyak takdir buruk itu. Takdir yang menempel di bagai kerak.

          Aku tahu apa yang mulai bisa berubah, yakni doa tidurku. Ku harap tak akan terbangun di bumi lagi besok. Walaupun di hari-hari sebelumnya doaku gagal karena selalu saja aku terbangun karena tangisan adikku yang meminta-minta telur mata sapi. Hari ini harus terkabul.

          Hanya ingin mati, apa sesulit itu kah?

          Ku lemparkan semua barang di tangan ke ranjang sempit nan reot. Menatap ke sisi kamar dengan malas. Suara-suara setan meraung di diriku. Kapan kamar ini akan menjadi luas? Perabotan nan lengkap siap memanjakan? Cukup, jangan lagi berteriak tentang kapan hidupku akan terasa seperti ratu.

          Pintu kamarku terbuka oleh seorang wanita yang kulitnya tampak lebih kecoklatan dari biasanya. Dia datang menghampiriku.

          “Jangan bertanya tentang hari ini. Masih tetap sama. Belum ada uang rokok untuk manusia buncit itu. ”

          Wanita itu duduk di ranjang tanpa memulai kata. Hanya menatap ku -buah hatinya- dengan mata sendu. Terlihat dari jumlah kerutan yang tergeletak di wajahnya, harinya pasti sangat melelahkan.

          Itulah hal lumrah yang selalu ku temukan setiap hari. Tak ada senyum di wajah yang dulu cantik itu. Dia terlihat terlalu keras bekerja, terlalu banyak berpikir. Namun ada hal yang berbeda, ada yang masih tertahan di bibirnya.

          Aku pengaruh kursi di dekat meja kecil yang biasa kujadikan meja belajar sejak dulu. Ku memperlihatkan raut wajah, bibir yang tadi mengatup sempurna sekarang bergetar, udara mata menggantung di pelupuk. Sayangnya aku bukan anak yang romantis yang akan menghapus air mata itu. Tanganku hanya mampu terdiam di atas pangkuan. Ku biarkan ibu siap kalimatnya.

          Setelah tarikan nafas yang panjang, ia mengangkat wajahnya dan memandangku lekat.

          “Ibu tak pernah menuntut apapun darimu kan?” ku sipitkan mataku, lalu mengangguk –setidaknya ibuku tak pernah melakukannya secara sadar, jadi hitung saja apa yang ia sadari-.

          “Maafkan ibu yang tak bisa mengantarkanmu meraih mimpimu.” Kalimat ini tak pernah ku dengar sebelumnya. Aku semakin penasaran dengan kalimat selanjutnya. “Menikahlah. Agar semua ini berakhir. ”

          Seketika aku bangun dari dudukku. Menatap wajah ibuku kecewa. Inikah yang berat untuk berbicara? Memang, aku yakin ia telah memprediksikan reaksiku.

          “Dengarkan ibu, tuan tanah itu benar-benar menginginkanmu, istri meninggal 3 bulan lalu, ia perlu pendamping.”

          Ya, aku telah mendengar slentingan sebelumnya tentang tuan tanah yang umurnya hampir sebaya dengan ibuku itu menginginkanku. Tapi aku bahkan tak pernah berpikir bahwa ibuku akan benar-benar menanggapinya. Apa sekarang aku lah tumbal dari keluarga ini?

          Diamlah setan, ibuku tadi mengatakan bahwa semuanya akan berakhir. Benar saja, semua akan berakhir jika aku menikah dengan tua bangka itu, bukan hanya kemiskinan ini, tapi juga hidupku.

          Katanya kehidupan bagaikan roda. Di kasus ini milik, pemilik rodaku yang akan berputar dan berada di atas, hanya orang lain di sekitarku. Bagaimana dengan milikku? Hah, sepertinya rodanya kempes sekarang, sudah tak akan berputar lagi.

          Jika hidup sering diibaratkan dengan roda yang terus berputar, kadang di atas dan kadang di bawah, aku sangat ingin menginjak-injak orang yang berkata seperti itu. Apa hanya rodaku yang tak mampu berputar?

          Sekali lagi, siapa yang membuat perumpamaan itu? Kenapa hidupku tak seperti itu?

Loading

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *