Di sebuah desa yang kecil Bernama Desa Pawindan, terdapat sebuah keluarga yang sederhana. Xaquilla Pratama adalah anak pertama dari pernikahan Diana Aprilia dan Kadit Waluyo, suaminya yang telah meninggal dunia. Sejak Ayahnya tiada, kehidupan mereka menjadi semakin rumit. Diana bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, tetapi dalam perjalanan mencapai kebutuhan itu membutuhkan perjuangan yang pelik.
Xaviera merupakan gadis yang selalu ceria, namun kondisi hidup yang serba kekurangan membuatnya merasa tertekan. Dia adalah satu-satunya cucu yang miskin dari keturunan ayahnya. Keluarga dari pihak ayahnya berkecukupan. Mereka sering mengunjungi nenek dari pihak ayah, namun setiap kali mereka datang, Xaviera dan ibunya selalu terasingkan karena keluarga dari ayahnya tidak suka dengan kehadiran mereka.
Tante Moli, kakak perempuan ayahnya, adalah yang paling keras dalam memperlakukan mereka. Dia sering berkata kasar kepada Xaviera dan Diana, menyebut mereka sebagai beban dan menyalahkan mereka atas kemiskinan yang mereka alami.
“Kalian hanya datang untuk meminta-minta,” kata Tante Moli dengan nada mengejek.
Perkataan-perkataan seperti itu membuat Xaviera menjadi pribadi yang pemarah. Dia sering melampiaskan kemarahannya kepada ibunya, merasa bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan kekayaan.
Namun, suatu hari, kehidupan mereka mulai berubah. Diana menerima kabar bahwa ia diterima bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pekerjaan ini memberikan harapan baru bagi mereka, meskipun perjalanan menuju kebahagiaan masih panjang.
Hari itu, Diana membawa Xaviera mengunjungi neneknya yang sednag sakit. Sesampainya di rumah nenek, mereka disambut dengan pandangan dingin dari keluarga besarnya. Tante Moli tidak bisa menahan diri untuk memberikan komentar sinis.
“Lihat siapa yang datang, si miskin yang hanya tahu minta-minta,” ujarnya dengan tawa mengejek.
Xaviera merasa hatinya terbakar.
“stop tante, sudah berapa kali tante menghina kami. Apa tante tidak sadar pekerjaan yang Ayahku kasih kepada tante, harusnya ibu yang menggantikannya, bukan tante,” ucapnya dengan nada kesal.
“Apa? Kamu berani berkata seperti itu? memang ya, sudah miskin tak ada akhlak pula,” ujar Moli membalas Xaviera.
Diana berusaha menenangkan Xaviera.
“Sabar, Nak. Kita kesini untuk menjenguk nenek, bukan untuk bertengkar,” bisik Diana sambil memegang tangan Xaviera dengan lembut.
Meskipun keadaanya demikian, Diana berusaha menahan diri. Namun, dalam hatinya dia bersumpah untuk membuktikan bahwa mereka bisa hidup bahagia tanpa harus menjadi kaya raya. Mereka menemui nenek yang terbaring lemah di tempat tidur. Nenek tersenyum melihat kedatangan mereka, meskipun senyuman itu tampak terpaksa.
Waktu berlalu, Diana berusaha keras setiap harinya untuk mencari pekerjaan. Dulu Diana pernah kuliah di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) namun, sempat terhenti karena berpindah tempat. Tiga tahunn yang lalu mereka tinggal di Manado bersama Kadit yang bekerja sebagai kepala sekolah dan Diana sebagai guru honorer. Karena Kadit telah meninggal dunia mereka harus berpindah ke sebuah desa dimana Kadit telah menyiapkan rumah untuk keluarga kecilnya dulu yaitu di desa Pawindan.
Pagi yang sangat cerah, Diana menghampiri setiap sekolah yang ada di desa Pawindan. Dengan semangat yang membara, ia yakin bahwa hari ini adalah hari keberuntungannya. Ia berharap semoga doa dan harapannya tercapai hari ini.
“Ya Tuhan, setiap malam aku berdoa. Aku tahu Engkau Yag Maha Kaya, maka berilah hamba rezeki pekerjaa hari ini,” ucap Diana dengan sepenuh hati. Langkahnya penuh harap, meskipun di balik senyumnya tersimpan kekhawatiran akan masa depan.
Diana selalu mengajarkan Xaviera untuk tidak pernah putus asa dalam menghadapi hidup. Meskipun keadaan sangat sulit, mereka tetap teguh dan saling menguatkan. Hari itu, Diana tidak hanya mencari pekerjaan untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depan Xaviera. Dia ingin memberikan yang terbaik bagi putrinya, berharap suatu hari Xaviera bisa meraih cita-citanya tanpa harus merasakan pahitnya kemiskinan seperti yang dialaminya.
Tidak lama setelah ia berjalan beberapa menit, Diana melihat sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa sekolah tersebut sedang membutuhkan guru baru.
“Permisi, Pak. Apakah benar di sini membutuhkan guru baru?” tanya Diana.
“Benar, Bu. Mari saya langsung wawancara,” jawab kepala sekolah yang sedang berdiri di depan gerbang.
Diana disambut dengan hangat di SDN 5 Pawindan. Semua tes yang diberikan oleh kepala sekolah dikerjakan dengan baik, dan akhirnya Diana diterima sebagai guru kelas di sekolah tersebut.
“Terimakasih Tuhan,” Diana berbisik dalam hatinya.
Ketika sore tiba, Diana pulang dengan langkah ringan. Sesampainya di rumah, dia disambut oleh Xaviera yang penuh rasa ingin tahu. Dengan bangga, Diana menceritakan kabar baik itu. Xaviera merasakan kebahagiaan yang tulus dalam kebersamaan mereka. Dalam hati, Xaviera tahu bahwa kebahagiaan mereka tidak hanya datang dari pencapaian materi, tetapi dari cinta, dukungan, dan harapan yang mereka bagi bersama. Hari itu mereka merayakan kemenangan kecil yang menjadi landasan bagi kebahagiaan yang lebih besar di masa depan.
Setiap hari Diana mengajar di sekolah itu hingga ia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Gaji yang diterima cukup untuk membuat kehidupan mereka lebih stabil. Meskipun masih banyak yang harus mereka lunasi, mereka tidak putus asa dan belajar untuk selalu bersyukur. Mereka tidak lagi merasa kekurangan. Xaviera mulai melihat perubahan dalam hidup mereka. Ibunya terlihat lebih bahagia, dan hal itu membuatnya berpikir ulang tentang makna kebahagiaan.
Suatu sore, saat mereka sedang duduk di ruang tamu, Xaviera berkata kepada ibunya, “Bu, aku merasa ada yang berubah dalam hidup kita. Apa ibu juga merasa begitu? apa ibu merasa lebih Bahagia,”
Diana tersenyum, memandang putrinya dengan kasih sayang.
“Kebahagiaan itu bukan tentang seberapa banyak uang yang kita miliki, Nak. Kebahagiaan itu ada di hati kita, bagaimana kita mensyukuri apa yang kita punya dan menjalani hidup dengan penuh kasih sayang.”
Kata-kata ibunya menggugah hati Xaviera. Dia mulai menyadari bahwa selama ini dia telah salah menilai kebahagiaan. Dia mulai berubah, menjadi lebih sabar dan lebih menghargai hal-hal kecil dalam hidupnya.
Suatu hari, nenek mereka meninggal dunia. Keluarga besar berkumpul untuk pemakaman. Di tengah kesedihan, Xaviera melihat sesuatu yang berbeda. Dia melihat bahwa meskipun mereka tidak memiliki segalanya, dia dan ibunya memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh keluarga besar mereka yaitu cinta dan kebersamaan.
Setelah pemakaman, Tante Moli menghampiri mereka.
“Kalian tetap saja miskin, tapi setidaknya kalian punya pekerjaan sekarang,” katanya dengan nada meremehkan.
Xaviera tidak marah. Dia memandang Tante Moli dengan senyum tenang.
“Kebahagiaan bukan tentang seberapa banyak uang yang kita punya, tante. Menciptakan kebahagiaan bukan dengan hal tersebut, namun kebahagiaan tercipta di dalam hati kita.”
Kehidupan terus berjalan, Xaviera kini tumbuh menjadi seorang yang bijaksana. Dia belajar dari pengalaman hidupnya bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa dibeli dengan uang. Kebahagiaan tidak diciptakan dari uang saja, karena terciptanya kebahagiaan itu dari hati. Bagaimana kita bisa mensyukuri apa yang kita miliki dan berbagai kasih sayang dengan orang-orang di sekitar kita. Meskipun banyak tantangan yang mereka hadapi, Xaviera dan Diana tidak lagi merasa tertekan oleh kemiskinan. Mereka menemukan kebahagiaan dalam kebersamaan, cinta, dan pengharapan. Dan itu yang membuat hidup mereka benar-benar Bahagia.
Falak science, or Islamic astronomy, is a field concerned with the observation and study of celestial bodies such as the sun, moon, and stars. In Islam, this knowledge plays a crucial role in determining prayer times and the beginning of Islamic months, including Ramadan and Eid. However, differences in methods used to determine the start of these months often lead to disagreements and conflicts.
Historically, two primary methods have been used: rukyat (direct observation) and hisab (astronomical calculations). Nahdlatul Ulama (NU) follows the rukyat method, adhering to the Prophet’s hadith that mandates visually sighting the moon before confirming a new month. Conversely, Muhammadiyah employs the hisab method, based on the wujudul hilal principle, which determines the start of a month purely through mathematical calculations without requiring direct moon sighting.
This methodological divergence has existed since the colonial era. During that time, rukyat was predominantly practiced by the Muslim community, whereas the Dutch colonial government relied on a fixed calendar system. Differences in regional altitudes also impacted moon sighting results, leading to variations in the declaration of Eid. This challenge persists today, where disparities in moon sighting continue to result in different Eid celebrations within the same country.
Modern astronomical advancements, including telescopes and digital tools, have significantly improved moon observation. Technologies such as computer programs and satellite imagery have enhanced the accuracy of astronomical calculations. Nevertheless, challenges remain, such as weather conditions obstructing observations and differing interpretations of imkan rukyat (visibility criteria for the crescent moon).
From a social perspective, varying Eid dates sometimes create the perception of disunity among Muslims. However, Islam regards differences as a form of divine mercy, and they should not be a source of division. As a country guided by Pancasila, Indonesia has made efforts to accommodate diverse perspectives in determining Islamic holidays. Government initiatives to unify differing viewpoints through consultation and consensus-building deserve recognition.
To bridge the gap in determining the start of Islamic months, several steps can be taken, including fostering dialogue between Islamic organizations, enhancing public literacy in astronomy, and promoting a standardized Hijri calendar. By doing so, the distinctions between hisab and rukyat can be managed wisely, ensuring they contribute to intellectual diversity rather than discord within the Muslim community.
The Importance of Falak Science in Modern Society
Beyond its role in determining religious observances, falak science has broader implications for society. It intersects with meteorology, navigation, and even space exploration. In the past, Muslim scholars such as Al-Battani and Al-Zarqali made significant contributions to the development of astronomical tables, which were later used by European scientists in their research.
In the modern era, falak science is essential for satellite technology, global positioning systems (GPS), and timekeeping. The precise calculations used in hisab are also applied in determining solar and lunar eclipses, planetary movements, and the synchronization of time zones. These applications highlight the continued relevance of Islamic astronomy in scientific advancements.
Bridging Traditional and Modern Approaches
As scientific advancements continue to evolve, there is a growing need to bridge traditional and modern approaches to falak science. While rukyat remains an essential practice rooted in Islamic traditions, integrating modern astronomical tools can enhance accuracy and reliability. Efforts to standardize criteria for moon sighting across different regions can help reduce inconsistencies in determining important Islamic dates.
Collaboration between religious scholars and astronomers is crucial in fostering a balanced approach. Establishing a unified Islamic calendar based on agreed scientific principles could promote harmony within the Muslim community while preserving the authenticity of traditional methods.
Encouraging Public Awareness and Education
Increasing public awareness and education about falak science can also play a significant role in addressing misconceptions. Many people are unaware of the complexities involved in moon sighting and its scientific basis. Educational programs, seminars, and workshops can help enhance understanding and appreciation of both rukyat and hisab methodologies.
Incorporating falak science into the educational curriculum, particularly in Islamic schools and universities, can equip future generations with the knowledge and skills necessary to engage with both religious and scientific perspectives. The use of digital platforms and social media can further facilitate the dissemination of information on the importance of accurate moon sighting practices.
Falak science remains a vital field that bridges religion and science, offering insights into celestial phenomena while playing a fundamental role in Islamic traditions. Although differences in determining the Islamic calendar persist, fostering dialogue, embracing technological advancements, and promoting education can help create a more unified approach. By acknowledging the value of both traditional and modern methodologies, the Muslim community can ensure that falak science continues to be a source of knowledge, unity, and progress.
Cssmorawalisongo.org – Ahmad Agil Tsabata resmi dinobatkan sebagai Wisudawan Terbaik Program Studi Ilmu Falak S1 pada Wisuda Tahun 2025. Mahasiswa kelahiran Jember, 29 Desember 2003 ini berhasil menyelesaikan studinya tepat waktu dengan hasil yang membanggakan, menunjukkan dedikasi tinggi terhadap akademik, organisasi, dan pengabdian.
Wawancara dilakukan secara daring melalui WhatsApp (24 /05/2025), mengingat kesibukan dan jarak yang tidak memungkinkan untuk bertemu langsung. Dalam perbincangan hangat tersebut, Agil mengungkapkan bahwa capaian ini adalah buah dari perjuangan panjang dan penuh tanggung jawab.
“Ini adalah sebuah kehormatan sekaligus pengingat bahwa gelar ‘terbaik’ bukanlah akhir, melainkan awal dari tanggung jawab yang lebih besar,” ujar Agil.
Ia menjelaskan bahwa selama kuliah, ia memegang teguh prinsip kedisiplinan, konsistensi dalam belajar, serta manajemen waktu yang seimbang antara kuliah, organisasi, pekerjaan, dan kehidupan pribadi. Bagi Agil, konsistensi kecil justru lebih berdampak besar dibandingkan usaha yang besar tapi sesaat.
Salah satu tantangan terbesar selama masa kuliah justru datang dari dalam diri sendiri.
“Yang paling berat itu berdamai dengan diri sendiri. Kadang kita ragu, lelah, merasa tidak mampu, bahkan sempat merasa salah jurusan seperti saya di awal-awal. Tapi dari situ saya belajar, jangan jadikan itu beban. Ambil jeda, renungi, lalu bangkit lagi. Kesulitan itu pintu menuju versi diri yang lebih kuat,” jelasnya.
Agil menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada kedua orang tua, para dosen, teman-teman seperjuangan, khususnya teman sekamar di pondok YPMI Al-Firdaus, serta para alumni Nurul Jadid di Semarang yang banyak berdiskusi dengannya selama proses penyusunan skripsi.
Setelah wisuda, Agil berencana kembali ke kampung halamannya di Jember untuk melaksanakan tanggung jawab pengabdian. Ke depan, ia juga berencana melanjutkan studi S2 di UIN Kiai Haji Ahmad Siddiq Jember, mengambil bidang yang lebih spesifik di Hukum Keluarga Islam.
Kepada mahasiswa lainnya, Agil menitipkan pesan penuh semangat,
“Jangan menyerah pada kegagalan, karena di dalam setiap proses pasti ada pembelajaran. Cari mentor, dan pandai-pandailah bergaul dengan orang-orang positif. Jaga keseimbangan antara akademik, kehidupan pribadi, dan organisasi. Jangan tumbang karena hal apa pun.”
Kisah perjuangan Ahmad Agil Tsabata membuktikan bahwa ketekunan, ketulusan, dan keberanian untuk terus melangkah mampu menghantarkan seseorang mencapai puncak prestasi. Namun baginya, puncak ini hanyalah titik awal dari tanggung jawab yang lebih besar kepada masyarakat dan ilmu pengetahuan.
cssmorauinws.org– Ketegangan sudah terasa bahkan sebelum moderator mengucapkan sepatah kata. Aula tempat debat digelar seolah berubah menjadi arena pertarungan ide, bukan hanya antara dua pasang calon ketua CSSMoRA UIN Walisongo Semarang, tetapi juga antara dua cara pandang dalam memajukan organisasi.
Sabtu, 17 Mei 2025, dua paslon dari angkatan 2023 resmi beradu gagasan dalam Debat KPU CSSMoRA UIN Walisongo. Asyraf Zofir Wafa dari Bengkulu, tampil sebagai Paslon nomor 1, membawa semangat konsolidasi internal lewat Talkshow sebagai program unggulannya. Di seberangnya, Paslon nomor 2, Wika Winanta dari Riau, menjanjikan gairah baru lewat Volunteer sebagai program unggulan, yaitu sebuah gerakan pengabdian kepada masyarakat.
Debat yang dihelat Komisi Pemilihan Umum CSSMoRA ini dihadiri oleh pengelola Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB), Ahmad Munif, serta perwakilan Ketua Umum CSSMoRA Nasional. Dua panelis senior, Wali Cosara dan Hesti Suci Cahyani, tampil tajam dalam menguji ketegasan visi dan kesiapan teknis masing-masing kandidat.
Para kandidat beradu visi dan cara pandang. Bukan hanya soal program, perbedaan mencolok tampak dari cara kedua paslon memandang peran CSSMoRA ke depan. “Saya mempunyai visi yaitu mewujudkan CSSMoRA yang kokoh dalam kebersamaan, berlandaskan nilai kekeluargaan, serta bertumpu pada pondasi keadilan dan kedisiplinan” ujar Asyraf.
Sementara itu, Wika menyentil pentingnya CSSMoRA untuk keluar dari zona nyaman. “Menjadikan CSSMoRA sebagai rumah yang teduh bagi jiwa-jiwa berilmu, tempat tumbuhnya semangat, berkembangnya prestasi, dan bertemunya asa santri dalam satu ikatan kekeluargaan, yang berdaya, berkarya, dan bermakna” ujar Wika.
Acara debat berlangsung tegang namun penuh gelak tawa. Momen tegang sekaligus mengundang tawa terjadi ketika salah satu panelis Hesti, melempar pertanyaan tentang alasan mengapa mereka harus dipilih? Jawaban kedua paslon menunjukkan ketegasan, namun dengan gaya berbeda. Asyraf menjawab iya layak dipilih karena lebih tau mengenai CSSMoRA, sementara Wika menjawab bahwa ia berhak dipilih karena sebagai sekretaris 2 yang termasuk BPH lebih mengeri tentang persoalan CSSMoRA UIN Walisongo dan satu-satunya perempuan pertama yang mencalonkan dirinya sebagai Ketua.
Namun suasana tak melulu serius. Di sela-sela argumen tajam, canda tawa sesekali muncul, membuktikan bahwa debat ini bukan semata tentang menang atau kalah, melainkan tentang kematangan gagasan dan sportivitas.
Debat ini bukan akhir, melainkan titik awal dari partisipasi aktif para anggota CSSMoRA dalam menentukan arah gerakan. Siapa yang layak memimpin? Program siapa yang lebih menjawab tantangan zaman? KPU CSSMoRA UIN Walisongo 2025 memberi Anda kesempatan untuk memilih, bukan sekadar menyaksikan.
Satu hal yang pasti, CSSMoRA UIN Walisongo sedang menulis sejarahnya sendiri. Dan Anda adalah bagian dari pena yang menentukan paragraf berikutnya.
Semarang, cssmorawalisongo.org – Mengubah butiran manik-manik menjadi gelang, cincin, atau gantungan ponsel yang tren, bukan hanya soal keterampilan, tetapi juga peluang bisnis. Itulah yang dilakukan Departemen Pengembangan Sumber Daya Ekonomi (PSDE) CSSMoRA UIN Walisongo Semarang melalui pelatihan “Membuat Kerajinan untuk Bisnis” di Gazebo YPMI Al-Firdaus (05/11). Pelatihan ini membimbing peserta dari dasar hingga menghasilkan karya yang unik dan bernilai jual, lengkap dengan teknik merangkai yang membutuhkan ketelitian ekstra.
Kegiatan ini berlangsung dengan suasana yang penuh semangat dan kreativitas. Para peserta dibagi ke dalam kelompok kecil yang terdiri dari dua orang, masing-masing diberikan bahan berupa manik-manik dan tali untuk dirangkai. Mereka dipandu langkah demi langkah mulai dari mengikat tali hingga merangkai manik-manik menjadi produk siap pakai yang dapat menghiasi tangan mereka.
Beberapa bahan yang digunakan dalam pembuatan kerajinan ini antara lain manik-manik, tali senar atau benang, gunting, dan gas korek untuk merekatkan ujung tali setelah dipotong. Proses pembuatan kerajinan ini tidak hanya mengasah keterampilan, tetapi juga melatih kesabaran dan ketelatenan peserta.
Di akhir sesi, panitia menyampaikan pesan penting: “Melalui pelatihan ini, kami berharap para peserta bisa mengasah keterampilan kerajinan tangan mereka dan memanfaatkannya sebagai peluang usaha. Kreativitas dan ketelatenan adalah kunci sukses untuk menghasilkan produk yang bernilai dan diminati pasar.”
Semarang, cssmorawalisongo.org – Upgrading Pengurus CSSMoRA UIN Walisongo Periode 2024-2025 dilaksanakan di Ruang Teater Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo, (27/09). Acara tersebut mengusung tema “Meningkatkan Solidaritas Demi Terciptanya CSSMoRA yang Berkualitas”, kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengurus baru dalam menjalankan roda organisasi dengan lebih baik lagi.
Acara tersebut dimulai pada pukul 08.30 WIB-selesai, dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-qur’an, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars CSSMoRA, Sambutan ketua panitia, sambutan Ketua Umum CSSMoRA UIN Walisongo, sambutan Pengelola PBSB, do’a dan terakhir penutup.
Setelah beberapa rangkaian acara selesai, kemudian dilanjut dengan sesi diskusi oleh beberapa narasumber, materi pertama yaitu mengenai keorganisasian yang disampaikan oleh Nuril Fathoni Hamas, S.H.
“Organisasi adalah sekelompok orang yang bekerjasama dalam struktur dan koordinasi tertentu dalam mencapai serangkaian tujuan tertentu. CSSMoRA sebagai organisasi yang mewadahi santri penerima beasiswa santri berprestasi (PBSB) Kemenag RI di seluruh Indonesia. CSSMoRA bergerak dalam bidang sosial kepesantrenan dan memegang teguh pancasila. Organisasi berfungsi sebagai sarana pengembangan kepribadian. sarana mencapai tujuan dengan cara bekerjasama. sarana mengakomodasi berbagai potensi., dan sarana pendidikan kemasyarakatan,” ucap Nuril.
Materi ke dua membahas terkait Time Management yang disampaikan oleh Wali Cosara, M.H. “Manajemen waktu yang efektif sangat penting untuk meningkatkan produktivitas dan mencapai keseimbangan antara organisasi dan kehidupan pribadi. Dengan mengidentifikasi prioritas, merencanakan dengan baik, dan mengelola gangguan anda dapat mencapai tujuan anda dengan lebih efisien,” ucap Wali.
Setelah narasumber ke dua selesai menyampaikan materi, acara selanjutnya ialah istirahat dan salat jum’at bersama bagi yang menunaikan. Acara dilanjut dengan pembahasan materi ke tiga yaitu mengenai “Administrasi dan Kesekretariatan”, yang disampaikan oleh Syikma R. Jannah, S.H.
“Administrasi keorganisasian merupakan kegiatan penyusunan dan pencatatan data serta informasi secara sistematis dalam suatu organisasi. Berfungsi sebagai penyedia keterangan agar mempermudah untuk mendapatkan informasi agenda sebelumnya, dokumentasi (history) kegiatan, dan lain-lain. Lebih lengkap ketentuan dan contoh, ada di PPN yang telah dibagikan. Pun juga dipersilakan bertanya lebih lanjut melalui kontak (085749926002) atau lewat media sosial saya,” ucap Syikma.
Kegiatan yang berlangsung dari pagi hingga sore tersebut diakhiri dengan do’a bersama dan sesi foto seluruh pengurus. Diharapkan, hasil dari upgrading ini mampu memperkuat kerja sama antaranggota dan menghasilkan program kerja yang lebih berkualitas dalam masa kepengurusan periode 2024-2025.