Jawaban Atas Tuduhan Feodalisme di Pesantren: Menilik Kembali Relasi Kiai dan Santri di Era Modernisasi

Dewasa ini, jagat maya tengah disibukkan dengan isu “feodalisme di pesantren”. Banyak orang dengan entengnya menggunakan term tersebut, seakan-akan mereka memvisualkan dunia pesantren sebagai suatu lembaga yang memasung independensi santri dalam berpikir, mengkultuskan kiai, dan melestarikan ketimpangan hierarki sosial. Narasi ini terus bergulir tanpa disertai filter akademik yang pasti—naasnya, mereka yang awam terhadap tradisi keilmuan di pesantren melahapnya secara mentah-mentah.

Namun tepatkah sebutan “feodalisme” ini dilekatkan dengan pesantren? Ataukah justru ada kekeliruan mendasar dalam cara kita memandang relasi kiai dan santri yang telah terjalin ratusan tahun tersebut?

Pesantren dan Jejak Historisnya

Sebagai lembaga Pendidikan islam tertua di Nusantara, pesantren lahir dari akulturasi tradisi keilmuan islam yang dibawa oleh para ulama dengan budaya lokal masyarakat Jawa dan Nusantara. Zamakhsyari Dhofier dalam karyanya yang berjudul “Tradisi Pesantren” (1982) mengatakan bahwa pendidikan pesantren dibangun di atas fondasi relasi spiritual kiai dan santri—bukan relasi politik atau ekonomi.

Dalam dunia pesantren, kiai bukanlah sosok penguasa dengan santri sebagai rakyatnya. Kiai merupakan figur moral dan spiritual serta mata air keberkahan ilmu, dan santri adalah murid yang berkhidmah dalam proses menuntut ilmu. Relasi ini bersifat ukhrawi (spiritual) dan kultural, bukan material sebagaimana relasi feodal antara bangsawan dan petani di Eropa abad pertengahan.

Dalam sejarahnya, pesantren justru menjadi pusat pembebasan masyarakat dari kebodohan dan kolonialisme. Tokoh-tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Wahid Hasyim mendirikan gerakan pendidikan yang egaliter dan terbukti membangkitkan kesadaran nasional. Maka, menuduh pesantren sebagai lembaga feodal sama saja dengan menafikan kontribusinya terhadap sejarah kemerdekaan bangsa.

Feodalisme: Konsep yang Salah Alamat

Istilah “feodalisme” merujuk pada sistem sosiopolitik yang berkembang di Eropa Abad Pertengahan. Dalam sistem ini, seluruh tanah secara teoretis dianggap milik raja. Raja kemudian mendelegasikan atau “meminjamkan” sebagian tanah tersebut, yang dikenal sebagai fief atau feodum, kepada kaum bangsawan yang disebut vassal. Sebagai imbalannya, para vassal ini bersumpah untuk memberikan layanan militer dan menunjukkan kesetiaan kepada raja atau tuan (lord) yang lebih tinggi. Dengan demikian, feodalisme pada intinya adalah sebuah struktur pendelegasian kekuasaan dari otoritas pusat kepada elite-elite lokal untuk mengendalikan wilayah yang luas melalui suatu bentuk kemitraan.

Secara ontologis, menjadikan konsep ini sebagai kacamata untuk melihat pesantren jelas suatu kekeliruan dan kecerobohan. Tidak ada relasi kepemilikan tanah atau eksploitasi tenaga kerja antara kiai dan santri. Mengabdi atau berkhidmah bukanlah suatu paksaan bagi santri, melainkan tindakan sukarela yang ia pilih dengan sadar sebagai bagian tradisi dalam pencarian ilmu. Dalam khidmah ini terkandung tiga elemen penting, yaitu ta’dzim (penghormatan), tabarruk (mencari keberkahan), dan tazkiyah (penyucian diri).

Martin van Bruinessen (1995) menegaskan bahwa struktur sosial pesantren memang bersifat karismatik, namun bukan feodal. Karisma kiai tidak bersumber dari kekuasaan duniawi, melainkan dari otoritas moral, ilmu, dan spiritualitas yang diakui oleh masyarakat. Dengan kata lain, relasi ini berlandaskan pengaruh etis, bukan kekuasaan feodal.

Antara Adab dan Subordinasi

Salah satu kesalahpahaman terbesar dalam menilai pesantren adalah kegagalan membedakan antara “adab” dan “subordinasi”. Islam memandang bahwa ilmu tidak akan bermanfaat tanpa dengan disertai adab. KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim menegaskan bahwa adab kepada guru adalah jalan pembuka keberkahan ilmu. Hal ini sejalan dengan ajaran para ulama salaf, seperti Imam Malik yang enggan menjawab pertanyaan di depan makam Rasulullah SAW karena rasa hormatnya.

Maka, ketika santri mencium tangan kiai, berdiri ketika beliau lewat, atau tidak berani memotong pembicaraan, itu bukan tanda feodalisme. Itu ekspresi adab, sebagaimana murid menghormati gurunya di lembaga manapun. Bedanya, pesantren menempatkan nilai spiritual di atas nilai formal.

Tradisi yang demikian ini bukan tanpa dasar. Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam kitabnya Mafahim Yajib an Tushahhah telah menuturkan riwayat-riwayat tentang adab dan praktik tabarruk para sahabat kepada nabi. Dengan demikian, menganggap semua bentuk penghormatan sebagai tanda penindasan justru memperlihatkan cara pandang sekuler yang menolak dimensi spiritual dalam bersosial. Pesantren, sebaliknya, mengajarkan keseimbangan antara kebebasan berpikir dan adab kepada Kiai sebagai samudera pengetahuan.

Kritik Tetap Diperlukan

Meski demikian, tak bisa dipungkiri bahwa di sebagian kecil pesantren memang muncul praktik yang menyimpang: penyalahgunaan otoritas, ketertutupan informasi, atau kekerasan yang mengatasnamakan disiplin. Praktik seperti ini patut dikritik secara terbuka karena bertentangan dengan ruh pendidikan Islam.

Meskipun demikian, kita tak mampu mengelak bahwa memang ditemukan praktik-praktik menyimpang di sebagian kecil pesantren. Mulai dari penyalahgunaan otoritas, isolasi informasi, hingga kekerasan yang overstep dengan mengatasnamakan pendisiplinan. Disinilah peran kritik sangat diperlukan sebagai bahan evaluasi sehingga ruh pendidikan islam dapat dihadirkan kembali.

Namun, menyimpulkan seluruh pesantren sebagai lembaga feodal akibat ulah oknum adalah generalisasi yang tidak adil. Sama seperti kita tidak mungkin mengatakan universitas korup hanya karena ada satu dosen yang menyalahgunakan jabatan. Memberikan kritik haruslah proporsional, yaitu dengan membedakan antara kesalahan sistemik dan kesalahan individu.

Justru, banyak pesantren hari ini telah melakukan modernisasi sistem tanpa kehilangan ruh tradisinya. Ada yang mengembangkan pendidikan vokasi, digitalisasi administrasi, hingga integrasi kurikulum sains dan agama. Pesantren juga melahirkan generasi kritis seperti Gus Dur, KH. Sahal Mahfudz, Gus Mus atau para cendekiawan lainnya yang sangat terbuka terhadap dialog intelektual

Sebuah Refleksi

Pesantren bukanlah menara gading yang anti kritik. Namun, dalam menilai pesantren, kita perlu memakai lensa yang adil dan proporsional. Feodalisme adalah sistem penindasan sosial, sedangkan pesantren adalah sistem pendidikan moral dan spiritual. Dua hal ini berdiri di kutub yang berlawanan.

Tuduhan feodalisme terhadap pesantren sering kali muncul dari kegagalan memahami kearifan relasi keilmuan dalam Islam. Adab dianggap sebagai pengekangan, padahal justru disitulah letak kemerdekaan sejati: kemerdekaan dari kesombongan intelektual dan ego pribadi. Dalam dunia yang semakin permisif ini, pesantren mengajarkan bahwa kebebasan berpikir hanya bermakna bila disertai tanggung jawab moral.

Seperti kata KH. Mustofa Bisri (Gus Mus):

“Santri itu bukan orang yang tak boleh berbeda, tapi orang yang tahu cara berbeda dengan hormat.”

Dan mungkin disitulah letak keindahan tradisi pesantren — sebuah ruang di mana ilmu, adab, dan kebebasan mampu berjalan beriringan.

 

Written : Ahmad Misbakhus Surur

Loading

Tingkatkan Skill Kepenulisan Anggota, CSSMoRA UIN Walisongo Selenggarakan Pelatihan Jurnalistik di MACC Semarang

 

Mengusung tema “Merawat Tradisi Literasi, Membangun Genarasi dengan Inspirasi”, CSSMoRA UIN Walisongo gelar pelatihan jurnalistik di Mirae Asset Sekuritas Indonesia Semarang, Sabtu 11 Oktober 2025. Diikuti 32 peserta, kegiatan ini bertujuan untuk melatih dan memperkuat ketrampilan menulis, khususnya dalam rangka mempersiapkan penyusunan Majalah Zenith edisi terbaru.

Kegiatan ini terbagi menjadi 3 Sesi, yaitu penyampaian materi, menulis bersama, dan liputan. Sesi pertama diawali dengan penyampaian materi oleh Dr. Muhammad Nurkhanif, M.S.I. yang dipandu oleh saudara Marwan Aldi Pratama. Materi pertama ini mengkaji seputar tanggapan saintifik atas gagasan KHGT (Kalender Hijriyah Global Tunggal). Topik ini tentunya sangat penting sebagai landasan informasi dalam penulisan majalah Zenith terbaru yang akan mengangkat topik serupa. Materi kedua disampaikan oleh Muhammad Daviq Nuruzzuhal dan dipandu oleh saudara Ahmad Misbakhus Surur, yang mengupas seluk beluk penulisan majalah. Kajian ini menjadi modal pokok bagi para kru dalam penulisan majalah nantinya.

Sesi selanjutnya adalah menulis bersama, yang mana seluruh peserta diminta menuliskan sebuah cerpen yang nantinya akan dikodifikasi dalam bentuk buku ber-ISBN. Sesi ini berdurasi sekitar 2 jam, namun terasa menyenangkan dan para peserta terlihat sangat antusias menuliskan karya terbaiknya.

Kegiatan ini dipungkasi dengan liputan di 2 tempat, yaitu Kota Lama dan Stasiun Tawang Semarang. Para peserta dibagi dalam beberapa kelompok yang nantinya akan melakukan wawancara seputar tema yang telah ditentukan. Hasil dari wawancara ini ditulis dalam bentuk artikel yang nantinya akan diupload di website CSSMoRA UIN Walisongo. Inilah sesi yang ditunggu-tunggu karena disamping mengerjakan tugas, para peserta juga dapat menikmati suasana malam Kota Semarang yang indah dan syahdu.

Koordinator Divisi Jurnalistik, Muhammad Mahmud Sidiq menyampaikan harapannya;

“Melalui kegiatan ini, semoga kita dapat terus bertumbuh dan membuahkan lebih banyak lagi karya yang dapat bermanfaat bagi semua orang”.

Writter : Ahmad Misbakhus Surur

Loading