Menghindari Semangat Berlebihan dalam Beragama: Kalam Sheikh al-Fawzan dan Sheikh ibn Uthaymin

فلينظر الإنسان كل ساعة في أطرافه وأعضائه، وليتدبَّر أنها كيف تأكلُها الديدان لا محالة؟ وكيف تتفتَّت عظامها؟ فما على بدنه شيءٌ إلا وهو طُعْمةُ الدود، وما له من نفسه إلا العلمُ والعمل الخالص لوجه الله تعالى، وكذلك يتفكَّر في عذاب القبر وسؤال منكَر ونكير، وفي الحشر والنشر وأهوال القيامة، وقرْع النداء يوم العرض الأكبر، فأمثالُ هذه الأفكار هي التي تُجدِّد ذِكرَ الموت على قلبه، وتدعوه إلى الاستعداد له

Di era digital, kita seringkali melihat generasi muda sangat bersemangat dalam mencari kebenaran, termasuk dalam hal agama. Banyak dari kita ingin mendekat pada prinsip-prinsip agama yang benar, khususnya yang mengikuti jejak para sahabat Nabi dan generasi awal Islam, atau yang sering disebut “Salaf”. Namun, ada kalanya semangat berlebihan justru membawa kita ke arah yang salah.Jangan Sampai Semangat Berlebihan Jadi Penyebab Perpecahan

Sheikh al-Fawzan menjelaskan bahwa di zaman ini, muncul fenomena “ghulāt al-takfīr”, atau orang-orang yang sangat berlebihan dalam menganggap orang lain salah atau sesat. Mereka terlalu fokus pada hal-hal yang dianggap buruk dan terus mencari-cari kesalahan orang lain. Hal ini malah menyebabkan perpecahan dan memperlemah persatuan kaum Muslimin. Sheikh al-Fawzan memperingatkan bahwa semangat yang salah tempat, terutama dalam hal menganggap orang lain kafir, sesat, atau melakukan bid’ah, adalah tanda fitnah (keburukan) yang dapat membawa banyak dampak negatif bagi umat.

Bagi kita generasi muda, pesan ini sangat relevan. Di media sosial, kita sering melihat perdebatan sengit soal agama, bahkan tak jarang diiringi caci maki dan saling menyesatkan. Padahal, semangat dalam beragama seharusnya diarahkan untuk memperkuat iman dan menjaga ukhuwah, bukan mencari-cari aib atau kesalahan sesama Muslim.

Sheikh ibn Uthaymin mengingatkan bahwa “salafiyah” adalah mengikuti metode Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Salafiyah tidak seharusnya menjadi sebuah label eksklusif yang menyesatkan siapa pun yang tidak setuju. Beliau mengatakan bahwa dalam hal akidah dan amal ibadah, kita harus bersatu mengikuti jejak Rasul dan para sahabatnya. Namun, beliau menekankan bahwa beberapa orang justru menjadikan salafiyah sebagai kelompok yang terpisah dan menyesatkan siapa saja yang berbeda pendapat, bahkan dalam hal-hal yang sebenarnya masih terbuka untuk perbedaan (ijtihad).

Bagi generasi Z, pandangan ini penting. Jangan sampai label “salafiyah” menjadi alasan untuk merasa paling benar dan menyesatkan orang lain. Ingat, para ulama terdahulu juga berbeda pendapat dalam banyak hal, tetapi mereka tetap menjaga persaudaraan dan rasa hormat satu sama lain. Bahkan dalam masalah besar sekalipun, mereka tidak menyesatkan satu sama lain.

Salafiyah yang Hakiki adalah Kasih Sayang dan Persatuan

 

Sheikh ibn Uthaymin menyebutkan bahwa salafiyah sejati bukan hanya tentang akidah dan amalan, tapi juga tentang rasa kasih sayang, persatuan, dan cinta di antara sesama Muslim. Rasulullah menggambarkan orang-orang beriman layaknya satu tubuh: jika satu bagian tubuh sakit, seluruh tubuh ikut merasakan dampaknya. Inilah salafiyah yang hakiki – saling membantu, menguatkan, dan menjaga keharmonisan dalam umat.

Sebagai generasi yang tumbuh di era internet dan sosial media, kita harus berhati-hati dalam menggunakan kata-kata. Jangan sampai niat ingin berdakwah malah membuat kita jadi penyebab perpecahan. Mari belajar untuk lebih bijaksana dalam menyampaikan pendapat, mengedepankan kelembutan, dan tidak mudah menghakimi sesama Muslim.

Mengikuti salafiyah yang benar berarti menghidupkan kembali prinsip-prinsip kebaikan yang dicontohkan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya, terutama dalam menjaga persatuan dan kasih sayang. Bukan dengan label yang memecah-belah atau semangat berlebihan yang salah arah. Sheikh al-Fawzan dan Sheikh ibn Uthaymin mengingatkan kita untuk mengikuti ajaran Islam dengan semangat yang benar, dengan mengutamakan persaudaraan dan kasih sayang.

Bagi kita generasi Z, ini adalah tantangan sekaligus panggilan. Kita bisa menjadi generasi yang bijak dalam beragama, yang tidak mudah menyalahkan, dan yang memegang teguh prinsip-prinsip salafiyah dengan hati yang lapang. Seperti kata pepatah, “Berbeda itu biasa, tapi bersatu adalah luar biasa.” Mari jadikan semangat salafiyah sebagai pendorong untuk memperbaiki diri, mempererat persaudaraan,

Loading

Diterbitkan oleh

Zaki Anshari Al-Banjari

Ahmad Zaki Anshari Al-Banjari lahir di Kalimantan Selatan pada 29 Maret 2003, adalah seorang penulis yang memadukan Dirosat Islamiyah dengan nilai-nilai Sosial Kemasyarakatan. Sebagai mahasiswa Double Degree Ilmu Falak di UIN Walisongo Semarang dan Syari'ah dan Sastra Arab di Safwa University. Penulis memiliki minat mendalam terhadap alam semesta dan keindahannya. Pengalamannya yang luas dalam dunia pendidikan, termasuk sebagai pengajar di madrasah diniyah dan pondok pesantren, serta perannya sebagai Pembina IV di Yayasan Ma'had Al Islamy Hidayatul Amin Batu Tangga, telah membentuknya menjadi pendidik yang inspiratif. Penulis dikenal mampu menggabungkan ilmu pengetahuan Dirosat Islamiyah dengan kearifan lokal, menginspirasi generasi muda untuk mencapai potensi terbaik mereka. Dalam beberapa tulisannya, corak penulis mengkomunikasikan konsep-konsep kompleks dengan cara yang mudah dipahami oleh berbagai kalangan. Dengan semangat sebagai pembelajar seumur hidup, saya terus berinovasi dalam dunia pendidikan dan senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Keahlian penulis dalam mengelola program pendidikan dan meningkatkan kualitas pembelajaran membuat penulis dipilih sebagai manajer pendidikan yang adaptif dan kreatif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *