Perayaan maulid Nabi Muhammad ﷺ telah menjadi praktik yang umum di banyak negara Muslim. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah:
Apakah perayaan ini maulid memiliki dasar dalam agama Islam, ataukah itu merupakan bid’ah?
Bid’ah, dalam terminologi agama, berarti inovasi dalam urusan agama yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau praktik generasi awal umat Islam, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. mengapa sebagian ulama dan Filsafat Islam menganggap perayaan maulid nabi sebagai bid’ah.
Pertama-tama, tidak ada satu ayat pun dari Kitab Allah (Al-Qur’an) yang menyebutkan atau menganjurkan perayaan maulid. Begitu pula, tidak ada satu hadits pun yang diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ yang membahas atau mengisyaratkan pentingnya memperingati hari kelahiran beliau, baik hadits yang shahih maupun yang dha’if. Selain itu, tidak ditemukan satu pun atsar dari para sahabat yang menunjukkan bahwa mereka merayakan maulid nabi. Hal ini menjadi argumen utama dalam menyatakan bahwa perayaan maulid tidak memiliki landasan dari sumber-sumber utama agama Islam.
Jika kita melihat sejarah kehidupan Nabi Muhammad ﷺ sendiri, beliau tidak pernah merayakan hari kelahirannya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Demikian pula, tidak ada satu pun dari sahabat atau keluarga beliau yang mengadakan perayaan maulid untuk menghormati Nabi ﷺ semasa hidup beliau. Ini merupakan indikasi yang kuat bahwa perayaan maulid bukanlah bagian dari tradisi yang diajarkan atau dipraktikkan oleh generasi awal umat Islam.
Para sahabat terdekat Rasulullah ﷺ, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali رضي الله عنهم, tidak pernah merayakan maulid nabi selama masa pemerintahan mereka. Abu Bakar memerintah selama dua tahun dan tidak pernah mengadakan perayaan tersebut, meskipun beliau dikenal sebagai sahabat terdekat Rasulullah ﷺ dan orang yang paling jujur serta terpercaya dalam umat Islam. Umar, yang memerintah selama sepuluh tahun, juga tidak merayakan maulid nabi, meskipun beliau dikenal sebagai al-Faruq yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Demikian pula, Utsman yang memerintah selama 13 tahun dan Ali selama empat tahun, tidak pernah memperingati maulid nabi.
Jika perayaan maulid adalah sebuah kebaikan, mengapa para sahabat yang merupakan generasi terbaik umat tidak melakukannya? Bahkan, generasi setelah sahabat, yaitu para tabi’in, dan generasi setelah mereka, yaitu tabi’ut tabi’in, tidak pernah merayakan maulid nabi. Ini menunjukkan bahwa perayaan tersebut bukan bagian dari amalan agama yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ atau dipraktikkan oleh generasi awal umat Islam yang dikenal sebagai generasi terbaik.
Keempat imam besar dalam fiqih Islam, yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad, juga tidak merayakan maulid nabi. Jika memang ada dalil yang mendukung perayaan ini, tentu para ulama besar ini akan melakukannya dan menyampaikannya kepada umat. Fakta bahwa mereka tidak melakukannya menunjukkan bahwa mereka tidak menganggap perayaan maulid sebagai bagian dari ajaran Islam yang sahih.
Salah satu argumen yang sering dikemukakan oleh pendukung perayaan maulid adalah bahwa Nabi Muhammad ﷺ lahir pada hari Senin, dan beliau berpuasa pada hari Senin sebagai bentuk syukur atas hari kelahirannya. Namun, jika dalil ini benar dan relevan untuk mendukung perayaan maulid, tentu para sahabat dan para ulama awal akan menjadikannya sebagai dasar untuk merayakan maulid. Kenyataannya, mereka tidak melakukannya, yang menunjukkan bahwa pemahaman ini dianggap keliru oleh generasi awal umat.
Imam Malik رحمه الله pernah berkata, “Apa yang tidak dianggap sebagai agama pada masa Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, maka tidak akan dianggap sebagai agama hari ini.” Ini menunjukkan prinsip dasar dalam agama Islam bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya dalam urusan agama, tidak boleh dianggap sebagai bagian dari agama. Oleh karena itu, jika perayaan maulid tidak ada pada masa mereka, maka hal itu tidak bisa dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam.
Selain itu, Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah telah menyempurnakan agama ini pada masa Rasulullah ﷺ. Dalam surah Al-Ma’idah ayat 3, Allah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agamamu.” Ini menunjukkan bahwa semua ajaran agama telah disampaikan oleh Rasulullah ﷺ sebelum beliau wafat. Jika perayaan maulid adalah bagian dari agama, tentu hal itu sudah disampaikan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Rasulullah ﷺ juga telah memperingatkan umatnya dari mengada-adakan perkara baru dalam agama. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah رضي الله عنها, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami yang bukan bagian darinya, maka itu tertolak.” Ini menjadi landasan bagi banyak ulama untuk menolak perayaan maulid sebagai amalan yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Akhirnya, kita bertanya kepada mereka yang merayakan maulid: Apakah amalan ini merupakan ketaatan atau kemaksiatan? Jika mereka mengatakan bahwa itu adalah ketaatan yang mendatangkan pahala, maka kita harus menanyakan: Apakah Nabi Muhammad ﷺ mengetahui tentang amalan ini? Jika beliau mengetahuinya, mengapa beliau tidak menyampaikannya kepada umat? Apakah mungkin generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in tidak mengetahui tentang kebaikan ini dan meninggalkannya, sementara generasi belakangan justru menemukannya?
perayaan maulid nabi tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau praktik generasi awal umat Islam. Para ulama yang mendukungnya sering kali mengandalkan pendapat ulama-ulama yang melakukan kesalahan dalam memahami dalil. Oleh karena itu, bagi mereka yang ingin mengikuti ajaran Islam yang murni, sudah sepatutnya mereka meninggalkan amalan ini dan mengikuti jejak para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dalam menjaga kemurnian agama. Semoga Allah memberi kita semua petunjuk menuju jalan yang lurus.
![]()