Rahasia Kebahagiaan di Balik Kesederhanaan

 

Di sebuah desa yang kecil Bernama Desa Pawindan, terdapat sebuah keluarga yang sederhana. Xaquilla Pratama adalah anak pertama dari pernikahan Diana Aprilia dan Kadit Waluyo, suaminya yang telah meninggal dunia. Sejak Ayahnya tiada, kehidupan mereka menjadi semakin rumit. Diana bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, tetapi dalam perjalanan mencapai kebutuhan itu membutuhkan perjuangan yang pelik.

Xaviera merupakan gadis yang selalu ceria, namun kondisi hidup yang serba kekurangan membuatnya merasa tertekan. Dia adalah satu-satunya cucu yang miskin dari keturunan ayahnya. Keluarga dari pihak ayahnya berkecukupan. Mereka sering mengunjungi nenek dari pihak ayah, namun setiap kali mereka datang, Xaviera dan ibunya selalu terasingkan karena keluarga dari ayahnya tidak suka dengan kehadiran mereka.

Tante Moli, kakak perempuan ayahnya, adalah yang paling keras dalam memperlakukan mereka. Dia sering berkata kasar kepada Xaviera dan Diana, menyebut mereka sebagai beban dan menyalahkan mereka atas kemiskinan yang mereka alami.

“Kalian hanya datang untuk meminta-minta,” kata Tante Moli dengan nada mengejek.

Perkataan-perkataan seperti itu membuat Xaviera menjadi pribadi yang pemarah. Dia sering melampiaskan kemarahannya kepada ibunya, merasa bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan kekayaan.

Namun, suatu hari, kehidupan mereka mulai berubah. Diana menerima kabar bahwa ia diterima bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pekerjaan ini memberikan harapan baru bagi mereka, meskipun perjalanan menuju kebahagiaan masih panjang.

Hari itu, Diana membawa Xaviera mengunjungi neneknya yang sednag sakit. Sesampainya di rumah nenek, mereka disambut dengan pandangan dingin dari keluarga besarnya. Tante Moli tidak bisa menahan diri untuk memberikan komentar sinis.

“Lihat siapa yang datang, si miskin yang hanya tahu minta-minta,” ujarnya dengan tawa mengejek.

Xaviera merasa hatinya terbakar.

“stop tante, sudah berapa kali tante menghina kami. Apa tante tidak sadar pekerjaan yang Ayahku kasih kepada tante, harusnya ibu yang menggantikannya, bukan tante,” ucapnya dengan nada kesal.

“Apa? Kamu berani berkata seperti itu? memang ya, sudah miskin tak ada akhlak pula,” ujar Moli membalas Xaviera.

Diana berusaha menenangkan Xaviera.

“Sabar, Nak. Kita kesini untuk menjenguk nenek, bukan untuk bertengkar,” bisik Diana sambil memegang tangan Xaviera dengan lembut.

Meskipun keadaanya demikian, Diana berusaha menahan diri. Namun, dalam hatinya dia bersumpah untuk membuktikan bahwa mereka bisa hidup bahagia tanpa harus menjadi kaya raya. Mereka menemui nenek yang terbaring lemah di tempat tidur. Nenek tersenyum melihat kedatangan mereka, meskipun senyuman itu tampak terpaksa.

Waktu berlalu, Diana berusaha keras setiap harinya untuk mencari pekerjaan. Dulu Diana pernah kuliah di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) namun, sempat terhenti karena berpindah tempat. Tiga tahunn yang lalu mereka tinggal di Manado bersama Kadit yang bekerja sebagai kepala sekolah dan Diana sebagai guru honorer. Karena Kadit telah meninggal dunia mereka harus berpindah ke sebuah desa dimana Kadit telah menyiapkan rumah untuk keluarga kecilnya dulu yaitu di desa Pawindan.

Pagi yang sangat cerah, Diana menghampiri setiap sekolah yang ada di desa Pawindan. Dengan semangat yang membara, ia yakin bahwa hari ini adalah hari keberuntungannya. Ia berharap semoga doa dan harapannya tercapai hari ini.

“Ya Tuhan, setiap malam aku berdoa. Aku tahu Engkau Yag Maha Kaya, maka berilah hamba rezeki pekerjaa hari ini,” ucap Diana dengan sepenuh hati. Langkahnya penuh harap, meskipun di balik senyumnya tersimpan kekhawatiran akan masa depan.

Diana selalu mengajarkan Xaviera untuk tidak pernah putus asa dalam menghadapi hidup. Meskipun keadaan sangat sulit, mereka tetap teguh dan saling menguatkan. Hari itu, Diana tidak hanya mencari pekerjaan untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depan Xaviera. Dia ingin memberikan yang terbaik bagi putrinya, berharap suatu hari Xaviera bisa meraih cita-citanya tanpa harus merasakan pahitnya kemiskinan seperti yang dialaminya.

Tidak lama setelah ia berjalan beberapa menit, Diana melihat sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa sekolah tersebut sedang membutuhkan guru baru.

“Permisi, Pak. Apakah benar di sini membutuhkan guru baru?” tanya Diana.

“Benar, Bu. Mari saya langsung wawancara,” jawab kepala sekolah yang sedang berdiri di depan gerbang.

Diana disambut dengan hangat di SDN 5 Pawindan. Semua tes yang diberikan oleh kepala sekolah dikerjakan dengan baik, dan akhirnya Diana diterima sebagai guru kelas di sekolah tersebut.

“Terimakasih Tuhan,” Diana berbisik dalam hatinya.

Ketika sore tiba, Diana pulang dengan langkah ringan. Sesampainya di rumah, dia disambut oleh Xaviera yang penuh rasa ingin tahu. Dengan bangga, Diana menceritakan kabar baik itu. Xaviera merasakan kebahagiaan yang tulus dalam kebersamaan mereka. Dalam hati, Xaviera tahu bahwa kebahagiaan mereka tidak hanya datang dari pencapaian materi, tetapi dari cinta, dukungan, dan harapan yang mereka bagi bersama. Hari itu mereka merayakan kemenangan kecil yang menjadi landasan bagi kebahagiaan yang lebih besar di masa depan.

Setiap hari Diana mengajar di sekolah itu hingga ia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Gaji yang diterima cukup untuk membuat kehidupan mereka lebih stabil. Meskipun masih banyak yang harus mereka lunasi, mereka tidak putus asa dan belajar untuk selalu bersyukur. Mereka tidak lagi merasa kekurangan. Xaviera mulai melihat perubahan dalam hidup mereka. Ibunya terlihat lebih bahagia, dan hal itu membuatnya berpikir ulang tentang makna kebahagiaan.

Suatu sore, saat mereka sedang duduk di ruang tamu, Xaviera berkata kepada ibunya, “Bu, aku merasa ada yang berubah dalam hidup kita. Apa ibu juga merasa begitu? apa ibu merasa lebih Bahagia,”

Diana tersenyum, memandang putrinya dengan kasih sayang.

“Kebahagiaan itu bukan tentang seberapa banyak uang yang kita miliki, Nak. Kebahagiaan itu ada di hati kita, bagaimana kita mensyukuri apa yang kita punya dan menjalani hidup dengan penuh kasih sayang.”

Kata-kata ibunya menggugah hati Xaviera. Dia mulai menyadari bahwa selama ini dia telah salah menilai kebahagiaan. Dia mulai berubah, menjadi lebih sabar dan lebih menghargai hal-hal kecil dalam hidupnya.

Suatu hari, nenek mereka meninggal dunia. Keluarga besar berkumpul untuk pemakaman. Di tengah kesedihan, Xaviera melihat sesuatu yang berbeda. Dia melihat bahwa meskipun mereka tidak memiliki segalanya, dia dan ibunya memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh keluarga besar mereka yaitu cinta dan kebersamaan.

Setelah pemakaman, Tante Moli menghampiri mereka.

“Kalian tetap saja miskin, tapi setidaknya kalian punya pekerjaan sekarang,” katanya dengan nada meremehkan.

Xaviera tidak marah. Dia memandang Tante Moli dengan senyum tenang.

“Kebahagiaan bukan tentang seberapa banyak uang yang kita punya, tante. Menciptakan kebahagiaan bukan dengan hal tersebut, namun kebahagiaan tercipta di dalam hati kita.”

Kehidupan terus berjalan, Xaviera kini tumbuh menjadi seorang yang bijaksana. Dia belajar dari pengalaman hidupnya bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa dibeli dengan uang. Kebahagiaan tidak diciptakan dari uang saja, karena terciptanya kebahagiaan itu dari hati. Bagaimana kita bisa mensyukuri apa yang kita miliki dan berbagai kasih sayang dengan orang-orang di sekitar kita. Meskipun banyak tantangan yang mereka hadapi, Xaviera dan Diana tidak lagi merasa tertekan oleh kemiskinan. Mereka menemukan kebahagiaan dalam kebersamaan, cinta, dan pengharapan. Dan itu yang membuat hidup mereka benar-benar Bahagia.

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *