Aspek penting Sirah Nabawiyyah yang jarang disentuh: benarkah Rasulullah hidup dalam kemiskinan? Fakta Penelitian Menguak Total Kekayaan Beliau Setara Rp 1,41 Triliun
Ahmad bin Ali al-Maqrizi (w. 845 H) dan Dr. Abdul Fattah Samman mencatat dengan rinci aset kekayaan Rasulullah dalam karya mereka yang berjilid-jilid.
Dari penelitian itu tampak jelas satu pesan besar, Beliau Nabi Muhammad adalah hartawan yang zuhud. Dan zuhud, sebagaimana diajarkan Rasulullah, tidak identik dengan kemiskinan, tetapi kebebasan hati dari ketergantungan pada harta.
Selama ini, kisah hidup Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallamseringkali diceritakan dengan penekanan pada kesederhanaan, bahkan kemiskinan. Namun, sebuah kajian keilmuan mendalam telah menyingkap fakta yang mengejutkan, sekaligus meluruskan pemahaman kita tentang konsep zuhud yang sebenarnya.
Dalam sebuah disertasi yang luar biasa, Dr. Abdul Fattah As-Samman mengangkat sebuah ilmu yang ia sebut al-iqtishad an-nabawi (ekonomi Nabi). Karya ini kemudian dibukukan menjadi Kitab Amwalun Nabi setebal 560 halaman.
Berdasarkan penelitian tersebut, yang menyimpulkan dari berbagai nash, dalil, dan bukti otentik yang dihimpun dari kitab-kitab “kuning” para ulama, terungkap sebuah kesimpulan yang tegas: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah seorang yang kaya raya
Kajian tersebut mengakhiri studinya dengan perhitungan bahwa nilai kekayaan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dari hasil usaha beliau totalnya mencapai angka fantastis: 1217 kg emas.
Sumber penghasilan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam datang dari jalur yang beragam, Penghasilan utama beliau diperoleh melalui jalur bisnis karena beliau adalah seorang pedagang yang ulung, dari warisan yang diterima dari kedua orang tua dan dari Khadijah, dari berbagai hasil rampasan perang, serta berbagai hadiah dari raja-raja maupun dari para sahabat dan lainnya.
Selain itu, harta beliau juga berupa tanah yang tersebar di berbagai tempat, seperti tanah Sab’ah (hadiah dari Mukhairiq), tanah dari Bani Nadhir, benteng Khaibar, separuh dari tanah Fadak, dan sepertiga dari Wadil Qura. Beliau juga memiliki barang-barang pribadi seperti pedang, baju besi, busur, anak panah, dan tameng.
Lantas, mengapa kita sering mendengar beliau hidup sederhana? Jawabannya terletak pada konsep zuhud. Data ekonomi kenabian menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.memang kaya raya, tetapi kekayaan itu tidak berdiam lama di tangannya
Fakta mencengangkan lainnya dari diri nabi muhammad ialah infaq beliau nilainya lebih dari 1251 kg emas. Beliau juga tercatat mewakafkan lima belas lahan tanah yang nilai masing-masingnya lebih dari 25 kg emas.
Penulis kitab Amwalun Nabi menjelaskan kaidah beliau dalam berinfaq yaitu untuk diri sendiri, istri dan keluarga, orang-orang yang menjadi tanggungan, mantan budak, pembantu, sahabat, tamu, hingga para muallaf dan bahkan orang-orang musyrik.
Inilah yang menjadi pesan utama dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bukanlah seorang yang miskin. Beliau adalah hartawan yang zuhud. Kajian ini mampu memberikan materi tambahan nilai berkenaan dengan persoalan-persoalan mendasar, seperti masalah aqidah, sirah nabawiyah, hadits, maupun pemikiran dakwah yang kesemuanya disandarkan kepada dalil-dalil yang shahih dan sirah yang otentik.
Kekayaan yang beliau miliki adalah alat, bukan tujuan, sehingga beliau selalu bebas dari ketergantungan terhadap harta. Inilah definisi sempurna dari zuhud. Kebenaran ini ditegaskan oleh qaul sekian banyak ulama umat, seperti Imam Taqiyuddin As-Subki, Imam Al-Hafizh Tajuddin As-Subki, Imam An-Nasafi, hingga Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili.
Dewasa ini, jagat maya tengah disibukkan dengan isu “feodalisme di pesantren”. Banyak orang dengan entengnya menggunakan term tersebut, seakan-akan mereka memvisualkan dunia pesantren sebagai suatu lembaga yang memasung independensi santri dalam berpikir, mengkultuskan kiai, dan melestarikan ketimpangan hierarki sosial. Narasi ini terus bergulir tanpa disertai filter akademik yang pasti—naasnya, mereka yang awam terhadap tradisi keilmuan di pesantren melahapnya secara mentah-mentah.
Namun tepatkah sebutan “feodalisme” ini dilekatkan dengan pesantren? Ataukah justru ada kekeliruan mendasar dalam cara kita memandang relasi kiai dan santri yang telah terjalin ratusan tahun tersebut?
Pesantren dan Jejak Historisnya
Sebagai lembaga Pendidikan islam tertua di Nusantara, pesantren lahir dari akulturasi tradisi keilmuan islam yang dibawa oleh para ulama dengan budaya lokal masyarakat Jawa dan Nusantara. Zamakhsyari Dhofier dalam karyanya yang berjudul “Tradisi Pesantren” (1982) mengatakan bahwa pendidikan pesantren dibangun di atas fondasi relasi spiritual kiai dan santri—bukan relasi politik atau ekonomi.
Dalam dunia pesantren, kiai bukanlah sosok penguasa dengan santri sebagai rakyatnya. Kiai merupakan figur moral dan spiritual serta mata air keberkahan ilmu, dan santri adalah murid yang berkhidmah dalam proses menuntut ilmu. Relasi ini bersifat ukhrawi (spiritual) dan kultural, bukan material sebagaimana relasi feodal antara bangsawan dan petani di Eropa abad pertengahan.
Dalam sejarahnya, pesantren justru menjadi pusat pembebasan masyarakat dari kebodohan dan kolonialisme. Tokoh-tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Wahid Hasyim mendirikan gerakan pendidikan yang egaliter dan terbukti membangkitkan kesadaran nasional. Maka, menuduh pesantren sebagai lembaga feodal sama saja dengan menafikan kontribusinya terhadap sejarah kemerdekaan bangsa.
Feodalisme: Konsep yang Salah Alamat
Istilah “feodalisme” merujuk pada sistem sosiopolitik yang berkembang di Eropa Abad Pertengahan. Dalam sistem ini, seluruh tanah secara teoretis dianggap milik raja. Raja kemudian mendelegasikan atau “meminjamkan” sebagian tanah tersebut, yang dikenal sebagai fief atau feodum, kepada kaum bangsawan yang disebut vassal. Sebagai imbalannya, para vassal ini bersumpah untuk memberikan layanan militer dan menunjukkan kesetiaan kepada raja atau tuan (lord) yang lebih tinggi. Dengan demikian, feodalisme pada intinya adalah sebuah struktur pendelegasian kekuasaan dari otoritas pusat kepada elite-elite lokal untuk mengendalikan wilayah yang luas melalui suatu bentuk kemitraan.
Secara ontologis, menjadikan konsep ini sebagai kacamata untuk melihat pesantren jelas suatu kekeliruan dan kecerobohan. Tidak ada relasi kepemilikan tanah atau eksploitasi tenaga kerja antara kiai dan santri. Mengabdi atau berkhidmah bukanlah suatu paksaan bagi santri, melainkan tindakan sukarela yang ia pilih dengan sadar sebagai bagian tradisi dalam pencarian ilmu. Dalam khidmah ini terkandung tiga elemen penting, yaitu ta’dzim (penghormatan), tabarruk (mencari keberkahan), dan tazkiyah (penyucian diri).
Martin van Bruinessen (1995) menegaskan bahwa struktur sosial pesantren memang bersifat karismatik, namun bukan feodal. Karisma kiai tidak bersumber dari kekuasaan duniawi, melainkan dari otoritas moral, ilmu, dan spiritualitas yang diakui oleh masyarakat. Dengan kata lain, relasi ini berlandaskan pengaruh etis, bukan kekuasaan feodal.
Antara Adab dan Subordinasi
Salah satu kesalahpahaman terbesar dalam menilai pesantren adalah kegagalan membedakan antara “adab” dan “subordinasi”. Islam memandang bahwa ilmu tidak akan bermanfaat tanpa dengan disertai adab. KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim menegaskan bahwa adab kepada guru adalah jalan pembuka keberkahan ilmu. Hal ini sejalan dengan ajaran para ulama salaf, seperti Imam Malik yang enggan menjawab pertanyaan di depan makam Rasulullah SAW karena rasa hormatnya.
Maka, ketika santri mencium tangan kiai, berdiri ketika beliau lewat, atau tidak berani memotong pembicaraan, itu bukan tanda feodalisme. Itu ekspresi adab, sebagaimana murid menghormati gurunya di lembaga manapun. Bedanya, pesantren menempatkan nilai spiritual di atas nilai formal.
Tradisi yang demikian ini bukan tanpa dasar. Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam kitabnya Mafahim Yajib an Tushahhah telah menuturkan riwayat-riwayat tentang adab dan praktik tabarruk para sahabat kepada nabi. Dengan demikian, menganggap semua bentuk penghormatan sebagai tanda penindasan justru memperlihatkan cara pandang sekuler yang menolak dimensi spiritual dalam bersosial. Pesantren, sebaliknya, mengajarkan keseimbangan antara kebebasan berpikir dan adab kepada Kiai sebagai samudera pengetahuan.
Kritik Tetap Diperlukan
Meski demikian, tak bisa dipungkiri bahwa di sebagian kecil pesantren memang muncul praktik yang menyimpang: penyalahgunaan otoritas, ketertutupan informasi, atau kekerasan yang mengatasnamakan disiplin. Praktik seperti ini patut dikritik secara terbuka karena bertentangan dengan ruh pendidikan Islam.
Meskipun demikian, kita tak mampu mengelak bahwa memang ditemukan praktik-praktik menyimpang di sebagian kecil pesantren. Mulai dari penyalahgunaan otoritas, isolasi informasi, hingga kekerasan yang overstep dengan mengatasnamakan pendisiplinan. Disinilah peran kritik sangat diperlukan sebagai bahan evaluasi sehingga ruh pendidikan islam dapat dihadirkan kembali.
Namun, menyimpulkan seluruh pesantren sebagai lembaga feodal akibat ulah oknum adalah generalisasi yang tidak adil. Sama seperti kita tidak mungkin mengatakan universitas korup hanya karena ada satu dosen yang menyalahgunakan jabatan. Memberikan kritik haruslah proporsional, yaitu dengan membedakan antara kesalahan sistemik dan kesalahan individu.
Justru, banyak pesantren hari ini telah melakukan modernisasi sistem tanpa kehilangan ruh tradisinya. Ada yang mengembangkan pendidikan vokasi, digitalisasi administrasi, hingga integrasi kurikulum sains dan agama. Pesantren juga melahirkan generasi kritis seperti Gus Dur, KH. Sahal Mahfudz, Gus Mus atau para cendekiawan lainnya yang sangat terbuka terhadap dialog intelektual
Sebuah Refleksi
Pesantren bukanlah menara gading yang anti kritik. Namun, dalam menilai pesantren, kita perlu memakai lensa yang adil dan proporsional. Feodalisme adalah sistem penindasan sosial, sedangkan pesantren adalah sistem pendidikan moral dan spiritual. Dua hal ini berdiri di kutub yang berlawanan.
Tuduhan feodalisme terhadap pesantren sering kali muncul dari kegagalan memahami kearifan relasi keilmuan dalam Islam. Adab dianggap sebagai pengekangan, padahal justru disitulah letak kemerdekaan sejati: kemerdekaan dari kesombongan intelektual dan ego pribadi. Dalam dunia yang semakin permisif ini, pesantren mengajarkan bahwa kebebasan berpikir hanya bermakna bila disertai tanggung jawab moral.
Seperti kata KH. Mustofa Bisri (Gus Mus):
“Santri itu bukan orang yang tak boleh berbeda, tapi orang yang tahu cara berbeda dengan hormat.”
Dan mungkin disitulah letak keindahan tradisi pesantren — sebuah ruang di mana ilmu, adab, dan kebebasan mampu berjalan beriringan.
Aku Izzuddin, seorang pemuda yang dulu berjalan tanpa kompas, dikendalikan oleh maunya sendiri. Jujur saja, aku bingung atau mungkin tak peduli tentang arah yang benar. Keluargaku? Mereka seperti punya dunia masing-masing. Aku merasa sendirian, sampai akhirnya satu keputusan gila muncul di kepala: Aku harus pergi.
Tekadku bulat: Aku ingin jalan hidup baru, aturan baru. Yang paling penting, aku ingin mulai mencari dan mengenali Sang Pencipta.
Meninggalkan hiruk-pikuk kota, aku tiba di tempat asing, Desa Pamangkih Seberang, Kalimantan Selatan. Di sana berdiri sederhana sebuah kompleks: Pondok Pesantren Al-Muhajirin.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Silakan masuk, untuk mondok ya?” sambut seorang petugas dengan logat Banjar yang hangat.
Sejak saat itu, aku resmi menjadi santri. Pondok non-formal ini didirikan pada 6 Agustus 2014, berdiri di atas tanah wakaf seluas 11 hektar. Pondok ini lahir dari rahim Yayasan Gotong Royong Muhajirin, yang digagas oleh KH. Mukhtar H.S., penerus pengasuh terdahulu, Ibnul Amin. Konon, Al-Muhajirin ini didirikan sebagai solusi karena asrama di pondok induk sudah terlalu tua dan sesak.
Belajar di Bawah Lima Tiang
Sistem di sini disebut Salafiyah Terpadu. Aku belajar bahwa pondok ini punya cita-cita besar: melahirkan generasi Muslim yang bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, mandiri, dan berwawasan luas, semua harus berpijak pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Misinya, yang kulihat dalam rutinitas harian yang super padat, adalah membentuk pribadi sholeh, menyiapkan khairu ummah (umat terbaik), membangun jiwa kepemimpinan, dan yang paling keren, mengajarkan ilmu agama dan umum secara seimbang.
Semboyan pondok “Siap belajar dan siap mengajar, siap dipimpin dan siap memimpin,” benar-benar menampar cara berpikirku yang dulu lurus tanpa tujuan. Di sini, aku dipaksa memegang erat Panca Jiwa: Keikhlasan, Kesederhanaan, Kemandirian, Kebersamaan, dan Keterbukaan. Aku, yang dulunya digerakkan oleh nafsu, kini harus berjalan berpegangan pada lima tiang ini.
Pertemuan di Musholla Sambutan dari ‘Kakak’
Suatu malam setelah Isya, aku duduk merenung sendirian. Tiba-tiba, seorang guru, yang akrab dipanggil Kakak oleh para santri, menghampiriku.
“Kenapa, Nak? Ada keluhan atau ada yang mau ditanyakan, kah?” tanyanya lembut.
“Alhamdulillah, tidak ada, Kak. Cuma rindu saja dengan orang tua,” jawabku jujur.
Aku, si Izzuddin yang dulu cuek pada orang tua, kini harus merasakan perihnya rindu. Izun panggilan lain diriku sosok yang sedang mati-matian melawan gejolak di kepala. Aku lahir di era digital, tetapi koneksi yang nyata baru kudapatkan di sini.
Aku memperhatikan gerak-gerik guru itu, dan mungkin inilah yang akan kucontoh. Ia lantas menjelaskan kenapa mereka dipanggil ‘Kakak’.
“Supaya santri dan guru mengajarnya lebih akrab. Bila ada masalah, baik masalah keluarga atau masalah pelajaran, tidak ada lagi rasa sungkan (canggung) sama guru, karena sudah merasa akrab. Itu di antara alasan guru-guru di sini dipanggil Kakak,” jelasnya.
Aku tertegun. Di sini ada kasih sayang dan perhatian yang tulus.
Guru itu kemudian membahas kepindahanku, dari Ketapang ke Pamangkih.
“Itu termasuk daripada hijrah juga sebenarnya. Nabi kita hijrah dari Mekkah menuju Madinah, itu namanya hijrah. Kalau kita menuntut ilmu, itu maknanya hijrah kita. Makanya kita berbuat baik, jangan lagi berbuat yang tidak baik. Hijrah itu menjauh dari yang tidak baik. Biasanya kita main-main yang tidak baik, kalau kita sudah mondok, jadi hijrah kita daripada main yang tidak baik itu,” ulasnya.
Kontemplasi di Lahan Datar
Aku, yang besar di kota, dulu gampang bosan dengan apa pun yang tidak menggugah jiwa. Di lahan datar seluas 60 hektar ini, yang katanya bebas banjir, kebosanan itu hilang. Aku tidak lagi bermain petak umpet, tapi bersembunyi dari godaan malas. Aku tidak lagi bermain polisi-polisian, tapi sibuk belajar etika Islam yang keren.
Dulu, aku membaca kalimat Pak Tua Pram: “Terpelajar sudah harus bijak, bahkan sejak dalam pikiran.” Aku bingung artinya. Apa itu terpelajar? Apa itu bijak?
Kini, di antara lebih dari 5.500 santri, dengan 120 dewan guru yang membimbing, aku mulai menemukan jawabannya.
Malam itu, di kamar asrama yang padat, sambil membawa kitab untuk muthola’ah (belajar mandiri), sebuah renungan menusuk:
Ternyata masih ada orang yang tidak bisa melihat dan merasakan kasih sayang orang tuanya sejak lahir.
Sedangkan aku? Aku yang melihat, bahkan bisa merasakan kasih sayang orang tua, malah lupa, bahkan tidak bersyukur. Aku tidak ada hentinya mengeluh dan menyalahkan mereka.
Ayah, Ibu, maafkan Izun. Aku sangat merindukan kalian. Jujur, aku ingin memeluk dan mencium kening lembut kalian. Aku rindu suara dan senyum canda kalian.
“Kalau memang rindu, doakan orang tua supaya sehat, panjang umur, rezeki lancar, sehingga kita tamat dan berhasil, orang tua melihat kita sukses,” kata guruku waktu itu.
Kini, aku berdiri di persimpangan. Apakah aku akan teguh pada niat hijrah ini, ataukah akan kalah dengan hawa nafsu yang lama?
Dengan lima pilar jiwa di dada, dan cita-cita mulia pondok sebagai pegangan, aku memilih untuk terus melangkah.
Aku adalah Izun, seorang Muhajirin (orang yang berhijrah), mencari pijakan pasti, yang tidak sedikit pun goyah, di tanah yang telah memilihku.
Pergulatan di Jam Muthola’ah
Kehidupan di Al-Muhajirin memang dinamis, namun ketat aturannya. Pagi disambut salat berjemaah, siang dengan pelajaran formal dan agama. Malam adalah waktu krusial: Jam Muthola’ah.
Inilah medan pertempuranku. Aku, si pemuda yang gampang bosan, kini harus duduk berjam-jam membawa kitab di musholla, merenungi pelajaran agama dan umum yang seimbang. Otakku yang dulu lebih mudah menangkap distorsi musik cadas Kurt Cobain atau lirik The Beatles kini dipaksa berdamai dengan nalar fikih dan logika Nahwu.
Pernah, saat membaca istighfar, rasanya cuma formalitas, tak menyentuh perasaan. Pikiranku berkelana, teringat Izun yang lama sosok yang kumatikan ketika aku memutuskan berhijrah. Aku takut Izun yang sekarang akan kalah dengan nafsu, seperti kakakku yang akhirnya dipenjara. Luka itu, kabar itu, adalah sakit yang paling membekas setelah kepergian Nenek.
“Apakah aku akan bertahan dengan Niatku, atau sebaliknya, aku kalah dengan Hawa Nafsuku?” Bisikan ini selalu datang.
Nasihat di Lapangan
Suatu sore, aku mencoba menikmati kompleks 11 hektar yang terasa melegakan, jauh dari keramaian kota. Sebagian lahan masih kosong, sebagian lagi digunakan untuk perkebunan (49 Ha milik yayasan) dan lapangan olahraga.
Aku melihat seorang Kakak guru, yang dulu menyambutku.
“Lagi apa, Din?” Sapa beliau, memanggilku Udin.
“Lagi merenung, Kak,” jawabku.
“Jangan berlama-lama. Besok kita main bola. Tapi ingat, jangan sampai lupa bangun Subuh dan berjemaah. Bawa kitabnya, ya,” perintahnya ringan.
Gerak-gerik beliau mengingatkanku pada visi pondok: “Mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan umum secara seimbang menuju ulama yang berjiwa besar dan intelektual.” Di sini, guru tidak hanya mengajarkan Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga bagaimana menjadi manusia yang dinamis dan seimbang, sesuai motto: Berfikir dinamis, Berakhlakul karimah.
Aku teringat ceramahnya tentang Konjungsi Kausalitas Nur Muhammad, tentang cinta yang melampaui nalar. Di sini, aku mulai mengerti bahwa cinta yang paling hebat adalah yang mendasari Keikhlasan, salah satu dari Panca Jiwa.
Epilog: Memeluk Keterbukaan
Waktu berjalan cepat. Tak terasa, senja pun menyapa. Azan berkumandang.
Setiap hari, aku melihat lebih dari 65 santri berdesakan di empat asrama yang memang padat, tua, dan butuh renovasi. Keterbatasan fisik ini adalah realita yang dihadapi KH. Barmawi sebagai pengasuh, dan seluruh elemen pondok.
Namun, keterbatasan itu diimbangi dengan kekayaan spiritual dan interaksi yang manusiawi.
Di sebuah malam, aku membulatkan tekad untuk mempraktikkan Panca Jiwa terakhir: Keterbukaan. Aku menghampiri seorang Kakak guru dan mencurahkan semua kegelisahanku: rindu orang tua, penyesalan, cerita kakakku di penjara, dan ketakutan akan kegagalan.
Guru itu mendengarkan dengan sabar. “Bilanya kita rindu itu akan orang tua, dan orang tuanya sudah meninggal, kirimkan Fatihah, kita baca Quran, terimakan. Tapi kalau memang masih hidup, doakan orang tua supaya sehat, panjang umur, dan rezeki lancar.”
“Itu diantaranya cara kita berbakti,” tambahnya.
Air mataku menetes. Aku tidak lagi mengeluh dan menyalahkan. Aku mulai fokus pada kewajibanku: berbuat baik dan belajar.
Kini, aku adalah Izun, seorang pemuda yang menemukan arahnya, bukan karena kebetulan, melainkan karena keputusan berhijrah. Aku telah menjadi lebih dinamis, jujur, dan utuh.
Pondok Pesantren Al-Muhajirin bukan sekadar sekolah, melainkan laboratorium spiritual, tempat jiwa-jiwa lelah menemukan pijakan yang kuat, berlandaskan Keikhlasan, Kemandirian, dan Kebersamaan.
Aku, si Muhajirin, akhirnya pulang. Bukan ke rumah fisik, melainkan ke rumah jiwa.
Di era digital seperti sekarang, media sosial menjadi bagian penting dalam kehidupan kita. Namun, bagaimana Islam memandang penggunaan media sosial? Ada beberapa hal penting yang harus kita perhatikan agar tetap menjaga etika dan akhlak sebagai muslim.
1. Kebebasan Berpendapat dalam Islam
Islam mengajarkan kita untuk menyampaikan pendapat dengan santun dan penuh hikmah. Kebebasan berbicara bukan berarti bebas menyebar ujaran kebencian atau fitnah. Di media sosial, kita harus bijak memilih kata agar tidak menyinggung atau menyakiti orang lain. Dalam Surah An-Nahl: 125 telah disampaikan :
Artinya : “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.” (QS an-Nahl: 125)
2. Larangan Menyebar Hoax dan Fitnah Digital
Menyebarkan berita palsu (hoax) atau fitnah bertentangan dengan prinsip Islam yang mengedepankan kejujuran dan keadilan. Kita harus selalu memeriksa kebenaran informasi sebelum membagikannya agar tidak merugikan orang lain. Allah swt. yang berkaitan dengan berita bohong atau hoax yang telah disampaikan dalam Surah al-Hujurat yang berbunyi:
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.
3. Tanggung Jawab Akhlak Muslim di Dunia Maya
Seorang Muslim tidak hanya bertanggung jawab atas perilakunya di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya. Ruang digital adalah bagian dari kehidupan yang tak terpisahkan, sehingga akhlak tetap harus dijaga.
Dalam Islam, setiap kata yang diketik dan dibagikan akan dipertanggungjawabkan, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, akhlak bukan hanya soal adab di dunia fisik, tetapi juga cerminan iman di dunia digital.
4. Dakwah Positif di Media Sosial
Media sosial merupakan sarana strategis untuk menyebarkan nilai-nilai Islam secara positif. Dalam genggaman tangan, seorang Muslim bisa berdakwah melalui konten yang menginspirasi, mengedukasi, dan menyejukkan hati.
Dakwah di era digital tidak harus berupa ceramah panjang, namun bisa melalui kutipan Al-Qur’an, hadis, atau pengalaman spiritual yang menggugah.
Yang terpenting adalah niat dan konsistensi untuk menebarkan kebaikan, menjauhi perdebatan yang tidak bermanfaat, serta tidak terjebak dalam konten viral yang melanggar etika. Dengan begitu, kehadiran Muslim di dunia maya bukan hanya aktif, tapi juga membawa manfaat dan keberkahan bagi sesama
Di era digital yang serba cepat ini, kecanggihan media sosial tak seharusnya menghapus batasan moral yang diajarkan dalam Islam. Justru, platform-platform tersebut dapat menjadi ladang amal yang luas jika digunakan dengan niat yang benar dan sikap yang bertanggung jawab.
Islam tidak menolak teknologi, tetapi hadir untuk membingkai penggunaannya dengan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kesantunan, dan tanggung jawab sosial.
Setiap unggahan, komentar, hingga informasi yang dibagikan bukan hanya cerminan diri, tetapi juga bagian dari amanah dakwah yang harus dijaga. Maka, mari jadikan setiap klik sebagai jalan menuju keberkahan, bukan sekadar eksistensi, tetapi kontribusi nyata untuk menyebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Siapa sangka kalau pengetahuan kita selama ini mengenai konsep heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) ternyata memiliki sejarah panjang nan kelam. Dalam sejarah tercatat, perkembangan dari keyakinan geosentris menuju heliosentris nyatanya tidak semulus seperti yang kita bayangkan. Sebab, peralihan keyakinan tersebut melibatkan banyak pihak, mulai dari otoritas agama (gereja), masyarakat, hingga ilmuwan.
Pemahaman mengenai geosentris (bumi sebagai pusat semesta) ternyata juga sempat ilmuwan muslim anut pada masa itu. Di antara tokoh-tokoh terkenal yang menganut paham geosentris adalah Al-Khawarizmi, penemu angka nol dan perhitungan aljabar; Abi Yusuf Ya’qub Al-Kindi; Muhammad bin Jabir bin Sinan atau Al-Battani; serta Al-Farabi.
Di kitab ini kita akan diajak berkenalan dengan astronomi klasik oleh KH. Zubair Umar dan juga bagaimana cara menghitung arah kiblat, waktu salat hingga awal bulan.
Namun sebelum itu semua, terlebih dahulu KH. Zubair memulai dengan mengenalkan karakteristik dan hukum mempelajari ilmu tersebut. Nama ilmu ini adalah ilmu hisab dan ru’yah, yang juga dikenal dengan ilmu falak dan miqat.
Karakteristik dan Hukum Mempelajari Ilmu Falak.
Ilmu Falak merupakan salah satu cabang ilmu astronomi (al-Hay’ah). Dalam tradisi Arab, ilmu yang disebut “astronomi” oleh bangsa Yunani terbagi menjadi tiga cabang: washfi, thabi’i, dan amali.
Ilmu astronomi (al-Washfi):
Ilmu yang membahas keadaan benda-benda langit, seperti gerakan, titik terbit, cara pergerakan, ketinggian, penurunan, durasi siang dan malam, bulan, tahun, hilal, gerhana, dan sebagainya.
Ilmu astronomi (al-Thabi’i):
Ilmu yang mempelajari sifat benda-benda langit dari segi pengaruhnya terhadap peristiwa tertentu, sebab-musababnya, dan hukum-hukum yang terkait dengannya. Ilmu ini dikenal juga dengan nama ilmu astrologi atau ilmu peramalan (al-Ahkam). Dan ilmu astronomi jenis ini yang diharamkan dalam Islam.
Ilmu astronomi (al-Amali):
Ilmu yang mengajarkan cara mencapai pemahaman tentang kedua cabang ilmu sebelumnya dengan menggunakan alat seperti bola langit (astrolab), kuadran, tabel astronomi, logaritma, dan sebagainya. Ilmu inilah yang menjadi fokus dalam kitab ini.
Menurut KH. Zubair Umar,. Mempelajari ilmu astronomi dihukumi sebagai fardhu kifayah. Namun, dalam kondisi tertentu, ilmu ini bisa menjadi fardhu ‘ain. Misalnya, jika seseorang hendak bepergian ke daerah yang jauh dari ahli arah kiblat, maka memahami dalil-dalil kiblat menjadi wajib baginya.
KH. Zubair Umar mengutip dari pendapat Imam Ibnu Hajar dalam Fath al-Jawad yang menyatakan: “Mempelajari dalil-dalil arah kiblat saat hendak bepergian ke tempat yang minim ahli penunjuk arah kiblat adalah fardhu ‘ain. Sedangkan di daerah yang banyak ahli penunjuk kiblat, hal ini menjadi fardhu kifayah.”
Ilmuwan Muslim dan Paham Geosentris
Dalam kitab Khulashotul Wafiyyah disebutkan bahwa paham geosentris pertama kali dipopulerkan oleh Ptolemaeus. Ia mengemukakan bahwa bumi adalah pusat alam semesta, dan seluruh benda langit bergerak mengelilinginya. Pendapat ini diterima luas oleh banyak kalangan pada masa itu, termasuk ilmuwan Muslim.
Namun, Pythagoras dari Italia yang hidup setelah masa Ptolemaeus memiliki pandangan berbeda. Ia berpendapat bahwa bintang-bintang dan benda langit lainnya bergerak dalam orbit masing-masing, dengan matahari sebagai pusat alam semesta.
Pandangan ini belum terkenal pada zamannya hingga munculnya tokoh-tokoh ilmuwan besar lainnya yang mendukung pandangan heliosentris ini.
Ilmuwan Muslim yang hidup di masa kejayaan peradaban Islam juga turut menganut pandangan geosentris yang diperkenalkan oleh Ptolemaeus. Di antara tokoh-tokoh terkenal yang menganut paham ini adalah:
Al-Khawarizmi, penemu angka nol dan perhitungan aljabar, yang juga mengembangkan tabel-tabel astronomi berdasarkan model geosentris.
Abi Yusuf Ya’qub Al-Kindi, filsuf besar yang menulis banyak karya tentang astronomi dan kosmologi.
Al-Battani (Muhammad bin Jabir bin Sinan), yang menyempurnakan perhitungan gerak benda langit dan menghasilkan tabel astronomi akurat, bahkan menjadi rujukan ilmuwan Barat.
Al-Farabi, filsuf dan ilmuwan Muslim yang membahas astronomi dalam konteks filsafat alam.
Para ilmuwan ini tidak hanya menerima pandangan Ptolemaeus, tetapi juga mengembangkannya melalui observasi dan perhitungan yang lebih rinci. Hasil karya mereka, seperti tabel astronomi dan metode perhitungan gerhana kemudian menjadi rujukan penting bagi peradaban Islam dan Eropa pada masa itu.
Kisah Copernicus dan Munculnya Paham Heliosentris
Setelah paham geosentris, kemudian muncullah seorang pria bernama Copernicus pada tahun 1530 Masehi. Ia mahir dalam ilmu matematika dan mengabdikan dirinya pada ilmu astronomi, pengamatan (rasyad), dan hikmah.
Selain itu, terdapat pula seorang pria dari Denmark bernama Tycho Brahe yang hidup pada tahun 1582 M, seorang ilmuwan lain dari Jerman bernama Kepler pada tahun 1645 M, dan seorang ilmuwan dari Italia bernama Galileo pada tahun 1649 M.
Mereka semua kembali kepada pandangan yang dianut oleh Pythagoras, yang berpendapat bahwa matahari adalah pusat dunia, sementara bumi dan benda-benda langit lainnya berputar mengelilinginya. Urutannya adalah Merkurius, Venus, kemudian bumi (yang diikuti oleh bulan), lalu Mars, Jupiter, dan Saturnus.
Mereka mendukung pandangan ini dengan menerapkannya pada kaidah-kaidah ilmu matematika dan menjadikan ilmu astronomi berdasarkan fondasi yang nyata. Ketika Copernicus mempublikasikan pendapatnya dalam sebuah kitab berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium (Pergerakan Benda-Benda Langit), ia dihadapkan pada sidang oleh Dewan Gereja Katolik di Roma.
Gereja memvonisnya sebagai sesat dan ateis. Mereka melarang penyebaran kitabnya dan mencegah orang untuk membacanya. Bahkan, jika memungkinkan, mereka akan membakar Copernicus bersama kitabnya. Meski demikian, kitab tersebut malah menjadi terkenal, dan pandangan Copernicus tersebar hingga akhirnya dikenal secara luas.
Perkembangan Ilmu Astronomi dan Penemuan Newton
Kemudian, mendekati abad ke-18, Isaac Newton menemukan prinsip gravitasi universal yang mengatur semua gerakan benda-benda langit. Ia menjelaskan dan menetapkan hukum-hukum tersebut secara rinci. Penemuan Newton ini kemudian diperkuat oleh ilmuwan Prancis bernama Laplace, yang memperkuat dan menyempurnakan teori-teori gravitasi melalui perhitungan matematis yang akurat.
Lalu, orang-orang mulai memperhatikan ilmu astronomi dengan lebih serius berdasarkan metode baru ini. Cara ini menjadi cara yang dikenal luas di kawasan Eropa dan disebut sebagai “sistem astronomi modern”, meskipun pada hakikatnya sistem ini adalah lanjutan dari apa yang sebelumnya dikenal sebagai “sistem lama”.
Tidak ada perbedaan besar antara sistem lama dan baru. Tentang gagasan bahwa bintang-bintang tetap (seperti rasi bintang dan bintang lainnya) adalah benda yang bersinar dengan cahaya sendiri.
Namun, sistem lama menyatakan bahwa bintang-bintang tetap berada di langit ke-8, sedangkan sistem baru menyatakan bahwa mereka tersebar di berbagai langit yang berjauhan satu sama lain.
Menurut sistem baru, bintang-bintang itu adalah matahari seperti matahari kita, dengan cahaya yang bersumber dari dirinya sendiri, dan sebagian bahkan lebih besar dari matahari kita.
Pada akhirnya, uraian panjang tersebut hanyalah sekelumit sapaan yang KH. Zubair jelaskan dalam mukaddimah. Di dalam kitabnya masih ada berbagai ilmu dan tata cara perhitungan tentang ilmu falak mulai dari urfi hingga hakiki.
Divisi Jurnalistik CSSMoRA UIN Walisongo memiliki tujuan untuk mendorong anggota-anggotanya dalam menghasilkan karya-karya ilmiah yang berkualitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, kami telah menyusun aturan penulisan artikel yang jelas, agar proses pengiriman artikel ke platform kami dapat berjalan dengan lancar dan terorganisir. Aturan ini tidak hanya mencakup ketentuan umum dalam penulisan, tetapi juga panduan spesifik terkait berbagai kategori artikel yang dapat diajukan, serta pedoman khusus bagi penulisan turats yang lebih mendalam dan berbasis keilmuan Islam.
Ketentuan Umum Penulisan Artikel
Setiap artikel yang dikirimkan ke Divisi Jurnalistik CSSMoRA harus memenuhi beberapa ketentuan dasar. Salah satunya adalah orisinalitas artikel. Kami menekankan bahwa artikel yang dikirimkan harus merupakan karya asli dari penulisnya, tanpa unsur plagiasi atau saduran dari karya orang lain. Kami juga mengharapkan penulis untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku. Gaya penulisan harus disesuaikan dengan tema atau rubrik yang dipilih oleh penulis, dan setiap artikel yang dikirimkan bertujuan untuk mengedukasi pembaca, memberikan informasi yang berguna, serta membahas isu-isu sosial, keislaman, pendidikan, kebangsaan, dan kepesantrenan.
Kategori Artikel yang Dapat Dikirimkan
Kami menerima berbagai kategori artikel yang dapat dipilih sesuai dengan minat dan keahlian penulis. Kategori ini mencakup Kajian Keilmuan, yang membahas topik-topik terkait keislaman atau kajian sosial-keilmuan dengan panjang artikel antara 700 hingga 1.000 kata. Penulis yang memilih kategori ini diharapkan dapat memberikan argumen yang kuat, didukung dengan data dan kutipan yang relevan.
Kategori berikutnya adalah Opini, di mana penulis dapat membahas isu-isu faktual seperti keislaman, pendidikan, sosial, politik, atau masalah lainnya. Artikel dalam kategori ini minimal memiliki panjang 600 kata dan disusun dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca.
Kami juga menerima artikel Resensi Buku yang bertema buku terkait keilmuan atau keislaman. Artikel ini minimal harus sepanjang 750 kata dan disertai dengan foto buku yang relevan. Untuk penulis yang lebih tertarik pada dunia motivasi atau generasi muda, kategori Inspirasi Milenial menawarkan ruang untuk penulisan artikel yang santai dan komunikatif dengan panjang 600 hingga 800 kata.
………..
Panduan Penulisan Artikel
Untuk memastikan kualitas dan konsistensi artikel yang kami terima, kami telah menetapkan beberapa panduan penulisan yang harus diikuti. Artikel harus ditulis dengan orisinalitas dan kredibilitas yang tinggi. Sumber-sumber yang digunakan dalam artikel harus valid, dan kutipan yang diambil dari karya orang lain harus dicantumkan dengan benar. Struktur artikel yang baik terdiri dari judul yang singkat dan menarik, pendahuluan yang menggugah minat pembaca, isi artikel yang mendalam dan berbobot, serta penutup yang memberikan kesimpulan dan rekomendasi.
Format penulisan juga harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, yaitu menggunakan font Times New Roman ukuran 12, spasi 1,5, dan margin standar (4-3-3-3). Kami juga meminta penulis untuk menggunakan gaya kutipan ilmiah yang telah ditentukan, seperti APA, MLA, atau Chicago.
Panduan Penulisan bernuansa Turats/Kitab Kuning
Selain artikel biasa, Divisi Jurnalistik CSSMoRA juga menerima artikel berbasis turats, yang merupakan karya-karya ilmiah yang lebih mendalam dan berkaitan dengan tradisi keilmuan Islam. Artikel dalam kategori ini harus mengangkat tema yang sesuai dengan tradisi ilmiah Islam Indonesia, seperti Ilmu al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Tasawuf, Bahasa dan Sastra Arab, Aqidah, Filsafat, atau Sejarah Islam. Artikel harus ditulis dengan panjang minimal 5.000 kata (tidak termasuk pustaka dan lampiran) dan dapat ditulis dalam bahasa Arab atau aksara Pegon, sesuai dengan topik yang dibahas.
Penulisan Majalah Zenith
Divisi Jurnalistik CSSMoRA UIN Walisongo juga menyelenggarakan sayembara penulisan majalah sebagai sarana untuk mendorong kreativitas dan kontribusi ilmiah dari anggotanya kru magang Juranalistik setelah melaksanakan pelatihan kepenulisan sebelumnya. Artikel yang diajukan dalam majalah ini harus relevan dengan tema yang telah ditetapkan Anggota Divisi Jurnalistik, dan penulis akan dinilai berdasarkan orisinalitas, kedalaman analisis, serta kesesuaian dengan tema yang diusung. Artikel terbaik akan mendapatkan penghargaan berupa publikasi di platform kami.
Hak dan Kewajiban Penulis
Setiap penulis yang artikelnya diterima berhak untuk mendapatkan feedback dari redaksi, dan artikel yang lolos seleksi akan dipublikasikan di website kami. Selain itu, penulis juga berhak atas penghargaan berupa apresiasi. Di sisi lain, penulis berkewajiban untuk membagikan artikel yang telah dimuat di media sosial pribadi mereka sebagai bentuk dukungan terhadap keberlanjutan dan eksistensi Divisi Jurnalistik CSSMoRA.
Penolakan Naskah
Kami memiliki kebijakan tegas terkait artikel yang tidak sesuai dengan standar kami. Artikel yang mengandung unsur SARA, hoaks, atau bertentangan dengan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan akan ditolak. Redaksi juga berhak untuk menyunting artikel tanpa mengubah substansi, jika diperlukan.
Publikasi dan Apresiasi
Artikel yang terpilih untuk dipublikasikan akan diterbitkan di media internal CSSMoRA. Selain itu, artikel yang lolos seleksi juga akan mendapatkan reward sesuai dengan kebijakan redaksi sebagai bentuk apresiasi terhadap karya penulis.
Kontak Redaksi
Bagi yang ingin mendapatkan informasi lebih lanjut terkait aturan penulisan artikel, dapat menghubungi kontak resmi Divisi Jurnalistik CSSMoRA UIN Walisongo melalui email di 23020460084@student.walisongo.ac.id atau melalui WhatsApp di +62 822-5277-4568.
Ketika berbicara tentang penciptaan alam semesta, sains dan agama sering kali menawarkan sudut pandang yang berbeda namun sama-sama menakjubkan. Dalam tradisi Islam, salah satu narasi yang sering dikaji, terutama dalam kitab-kitab klasik, adalah tentang Arsy dan makhluk-makhluk penyangganya. Tema ini memang jarang dibahas secara populer, tetapi memiliki keunikan tersendiri yang layak direnungkan, terutama bagi kita yang ingin memahami tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta.
Dalam kitab An-Nawadir karya Syekh Syihabbudin al-Qalyubi, terdapat penjelasan menarik tentang Arsy yang dikutip dari para ulama klasik seperti Wahab bin Munabbih, seorang tabi’in yang dikenal sebagai ahli sejarah, dan an-Nasafi, seorang ulama besar madzhab Hanafi. Penjelasan ini mengungkapkan hal-hal yang, jujur saja, bagi sebagian orang mungkin terdengar sulit dipercaya. Tapi di balik itu semua, ada pesan mendalam tentang keagungan Allah dan pentingnya rendah hati.
Apa Itu Arsy?
Arsy digambarkan sebagai kubah agung yang menaungi seluruh jagat raya. Bisa dibilang, Arsy adalah “puncak” ciptaan dalam hierarki kosmik, tempat semua catatan alam semesta tersimpan. Kalau kita ibaratkan dalam istilah modern, Arsy ini mirip dengan “database” besar yang mencatat segala sesuatu, mulai dari awal penciptaan hingga takdir setiap makhluk. Namun, hanya Allah yang sepenuhnya mengetahui keagungan dan fungsi detail dari Arsy ini.
Menurut riwayat, Arsy diciptakan oleh Allah 2000 tahun sebelum Kursi. Perbedaannya? Kursi adalah makhluk yang lebih kecil dari Arsy, tetapi tetap menjadi bagian dari struktur alam semesta yang tak terbayangkan oleh akal manusia.
Arsy ditopang oleh 360 pilar besar yang masing-masingnya memiliki jarak antar-pilar sejauh perjalanan 500 tahun. Tak hanya itu, setiap pilar diapit oleh ribuan kota, istana, dan malaikat. Para malaikat ini, dengan pakaian dari cahaya yang berganti setiap hari, menggambarkan betapa kompleks dan luar biasanya ciptaan Allah.
Malaikat Penyangga Arsy
Nah, ini bagian yang paling menarik. Dalam narasi klasik, disebutkan bahwa Arsy dipikul oleh empat malaikat dengan wujud yang sangat unik:
1. Malaikat pertama menyerupai manusia.
2. Malaikat kedua berbentuk seperti sapi jantan.
3. Malaikat ketiga menyerupai burung elang.
4. Malaikat keempat berbentuk seperti harimau.
Wujud-wujud ini bukan tanpa makna. Sebagian ulama menafsirkan bahwa bentuk malaikat ini melambangkan kekuatan, kecerdasan, dan kesempurnaan ciptaan Allah. Menariknya, setelah Kiamat, jumlah malaikat yang memikul Arsy akan bertambah menjadi delapan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an
Para malaikat berada di berbagai penjurunya (langit). Pada hari itu delapan malaikat menjunjung ʻArasy (singgasana) Tuhanmu di atas mereka (Al-Haqqah : 17)
Dalam Tafsir Tahlili menerangkan bahwa Pada hari Kiamat, para malaikat berada di segenap penjuru langit. Delapan malaikat menjunjung ‘Arsy Allah di atas kepalanya. Persoalan malaikat dan ‘Arsy ini adalah persoalan yang gaib, tidak seorang pun yang mengetahuinya. Tidak dijelaskan bentuk ‘Arsy yang dipikul para malaikat itu, dan ke mana mereka membawanya. Oleh karena itu, kita menerima semuanya itu berdasarkan iman kita kepada Allah
Arsy dan Ular Raksasa
Namun, cerita tentang Arsy tidak berhenti di sana. Dalam salah satu riwayat, diceritakan bahwa Arsy sempat merasa sombong karena menganggap dirinya sebagai makhluk paling agung yang pernah diciptakan. Sebagai peringatan, Allah menciptakan seekor ular raksasa yang melilit Arsy. Ular ini digambarkan memiliki karakteristik luar biasa:
70.000 sayap.
Setiap sayap memiliki 70.000 bulu.
Setiap bulu memiliki 70.000 wajah.
Setiap wajah memiliki 70.000 mulut,
dan setiap mulut memiliki 70.000 lidah
yang bertasbih dengan jumlah yang setara dengan semua tetesan hujan, butiran pasir, dan makhluk di alam semesta. Ular ini melingkari Arsy, mengingatkannya bahwa seagung apa pun makhluk, ia tetaplah ciptaan Allah yang harus tunduk dan patuh kepada-Nya.
Percaya atau Tidak?
Sebagian dari kita mungkin akan merasa kisah ini sulit dicerna akal. Wajar, karena tidak semua hal bisa kita pahami dengan logika manusia yang terbatas. Namun, sebagaimana dalam banyak tradisi Islam, cerita-cerita seperti ini mengajarkan kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, mengingat kebesaran-Nya, dan memahami bahwa ada banyak misteri alam semesta yang hanya Dia yang mengetahui.
Pada akhirnya, percaya atau tidak, semua kembali pada masing-masing individu. Yang terpenting adalah bagaimana kita mengambil hikmah dari kisah-kisah ini dan menjadikannya sebagai pengingat untuk terus memperbaiki diri.
Dalam rangka mewujudkan pemimpin masa depan yang unggul dan kompeten, CSSMoRa UIN Walisongo Semarang dan CSSMoRa Universitas Sains dan Al-Quran (UNSIQ) Wonosobo meyelenggarakan Kaderisasi Tingkat Perguruan Tinggi(KTPT) 2024 yang bertempat di Yayasan Hidayatul Mubtadi-ien, Semarang (9-10 November 2024).
Kegiatan KTPT ini merupakan sebuah kegiatan wajib bagi seluruh mahasantri baru penerima Beasiswa Santri Berprestasi tahun 2024, yang tujannya adalah untuk memperkenalkan Oraganisasi CSSMoRa serta membangun sebuah solidarity untuk mencapai seuah prestasi, sesuai dengan tema yang diusung pada kegiatan kali ini yaitu “Menanam Visi Misi, Membangun Solidarity, untuk Mencapai Sebuah Prestasi”.
KTPT pada tahun ini, diikuti oleh 46 mahasantri dan merupakan kali keduan bagi CSSMoRa UIN Walisongo Semarang kolaborasi dengan CSSMoRa Universitas Sains dan Al-Quran(UNSIQ) Wonosobo. Kegiatan ini berfokus pada pemaparan materi oleh beberapa narasumber yang berfokus pada Ke-CSSMoRa-an, Keorganisasian, Kebangsaan, Persidangan, dan Kepesantrenan.
Ketua Umum CSSMoRa Nasional Khidrian Afriansyah dan Kepala Dapartement PSDM Nasional Indana Zulfa turut hadir untuk memberikan sambutann sekaligus materi pada kegiatan kali ini. Dalam sambutannya Khidrian Afriansyah menyampaikan ucapan terimakasih kepada CSSMoRa UIN Walisongo Semarang yang besedia untuk berkolaborasi dengan CSSMoRa UNSIQ Wonosobo sekaligus menjadi tuan rumah penyelenggara KTPT 2024. Ia juga memaparkan bahwa kegiatan KTPT ini sangatlah penting bagi mahasantri penerima Beasiswa Santri Berprestasi(PBSB).
“Kegiatan KTPT ini merupakan langkah awal kalian untuk dapat meneruskan estafet kepemimpinan yang ada di dalam organisasi CSSMoRa,” ujarnya.
Tak hanya itu, Ketumnas CSSMoRa ini juga berharap, agar nantinya seluruh anggota baru CSSMoRa UIN Walisongo Semarang dan UNSIQ Wonosobo turut aktif dalam kegiatan CSSMoRa baik tingkat perguruan tinggi maupun tingkat nasional.
“Saya berharap kepada seluruh anggota baru CSSMoRa Perguruan Tinggi(PT) ikut berpartisipasi aktif dalam seluruh kegiatan CSSMoRa PT dan Nasional,” imbuhnya.
Menyambut hal tersebut, perwakilan peserta dari UNSIQ menyampaikan rasa bangganya dapat bergabung dalam organisasi CSSMoRa. “ Menurut saya, CSSMoRa bukanlah sebuah organisasi semata, namun CSSMoRa merupakan sebuah keluarga. Walaupun kami berbeda kampus dan belum mengenal sebelumnya, tapi kami merasakan kehangatan dalam organisasi ini,” sambutnya.
Setelah KTPT 2024 berakhir, seluruh peserta kini resmi menjadi bagian dari CSSMoRA dan siap berperan aktif dalam organisasi. Mereka berkomitmen untuk mengemban nilai-nilai loyalitas tanpa batas, menjunjung tinggi integritas, dan terus berupaya menjadi kader berprestasi demi kemajuan CSSMoRa
لما اقتحم التتار بغداد وعاثوا فيها فسادا، كان في بغداد يومئذ يحيى بن يوسف الأنصاري رحمه الله،وكان رجلا ضريرا رفض أن يستسلم للتتار، وأمر أولاده أن يملؤوا بيته حجارة، ثم أخذ يرجم جنود التتار حتى هشم منهم جماعة، ثم لما اقتربوا منه قتل أحدهم بعكازه حتى تكالبوا عليه فلقي الله شهيدا رحمه الله.
في حين أن آلاف الناس سلموا أنفسهم للتتار، ووضعوا رقابهم تحت سيفهم البتار، حتى قتلوهم قتلة ذل وعار وشنار..
سبحان الله!!
ضرير ثبت حتى لقي الله شهيدا…. ومبصر سلم رقبته لذابحه!!
لأن الهمم لا علاقة لها بآفات البدن…إنما تعلو وتسفل حسب آفات الأرواح..
فأصحاب النفوس الكبار… يثبتون على فكرتهم ولو كان آخر أسلحتهم الأحجار…
وقصار الأنفاس مساكين…. لا هم يطالون موتة العز، ولا حياة المكرمين..
وهل يكيد الطاغية ويكبته إلا كبرياء المجاهد ولو كان وحده؟!!
لما اغتاظ العبيديون من ثبات الإمام الراغب النابلسي أمروا جلاده أن يسلخ جلده…فلم يمكنهم من لحظة تأوه أو تألم…إنما كان ينظر إلى سالخه وهو يقرأ قول الله تعالى:
“كان ذلك في الكتاب مسطورا”
فلم يتحمل جلاده ثباته فأغمد فيه السيف وقتله.
إن أهنأ اللحظات على المتجبرين شعورهم بيأس المقاومين لهم…وأتعس ساعاتهم عندما يفعلون الأفاعيل بالمصلحين ثم يفاجؤون بأصواتهم تخرج من تحت الأحجار تقول: أحد أحد!!
لا تمكن تتار العصر من نفسك…جاهدهم بما تستطيعه من حرف أو صوت أو عصا ولو كنت ضريرا كيحيى بن يوسف..
ولا تسلم لهم بيأسك وبؤسك فتمكنهم من عزيمتك وقوة نفسك…
فالتتار رغم كثرتهم خرجوا بعدها من بغداد…وبقيت سيرة الراغب النابلسي ويحيى بن يوسف نبراسا للبلاد والعباد..
Semarang, 9-10 November 2024 – Kaderisasi Tingkat Perguruan Tinggi (KTPT) 2024 yang diadakan oleh CSSMoRA UIN Walisongo dan CSSMoRA Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) sukses diselenggarakan di Yayasan Hidayatul Mubtadi-ien, Semarang. Acara ini merupakan tahap kaderisasi formal yang bertujuan untuk memperkenalkan CSSMoRA kepada mahasantri baru serta membentuk karakter kuat dalam menjalani perkuliahan dan tugas organisasi di kampus masing-masing.
KTPT tahun ini mengusung tema “Menanam Visi Misi, Membangun Solidarity, untuk Mencapai Sebuah Prestasi.” Melalui tema ini, kegiatan KTPT menitikberatkan pada pentingnya intelektualitas, karakter, dan integritas sebagai pondasi bagi para kader. Peserta diberikan berbagai pembekalan untuk memahami visi dan misi organisasi serta memperkuat solidaritas antaranggota, dengan harapan dapat membangun calon pemimpin masa depan yang berkualitas.
Dalam KTPT 2024, peserta dari UIN Walisongo dan UNSIQ mengikuti berbagai sesi materi wajib, seperti Keorganisasian, Ke-CSSMoRA-an, Kepesantrenan, Kebangsaan, dan Persidangan. Materi-materi ini disusun secara terencana untuk memperkaya pemahaman para peserta terkait peran mereka di dalam organisasi, serta membekali mereka dengan keterampilan yang relevan untuk kehidupan sehari-hari.
Marwan Aldi Pratama, anggota Divisi Jurnalistik CSSMoRA UIN Walisongo, yang juga menjadi panitia acara, mengungkapkan kesannya, “Acara ini sangat meriah dan penuh manfaat. Selain memperluas jaringan, kami bisa bertemu dengan teman-teman dari perguruan tinggi lain, seperti UNSIQ. Melalui KTPT, kami belajar tentang keorganisasian dan kepemimpinan, sekaligus diarahkan menjadi pribadi yang tangguh dan berintegritas, tanpa melupakan nilai-nilai spiritual yang telah ditanamkan di pesantren.”
Marwan juga menyoroti bahwa KTPT menjadi momen penting untuk mempererat silaturahmi antar anggota CSSMoRA dari berbagai kampus. “Saya berharap acara ini memberikan kesan positif bagi peserta. Semoga mereka bisa menerapkan ilmu yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan berkomitmen mengembangkan CSSMoRA ke depannya,” ujarnya.
Perwakilan dari UNSIQ juga menyampaikan rasa bangganya bisa bergabung dalam KTPT 2024. “Saya merasa menemukan kekeluargaan dan kebersamaan di CSSMoRA. Walaupun berasal dari kampus berbeda, di sini kami merasa seperti keluarga besar. Semoga KTPT berikutnya lebih berkesan dan silaturahmi tetap terjaga,” ujar salah satu peserta dari UNSIQ.
Dengan berakhirnya KTPT 2024, seluruh peserta resmi menjadi bagian dari CSSMoRA dan siap berkontribusi aktif dalam organisasi. Mereka berkomitmen mengemban nilai-nilai loyalitas tanpa batas, menjunjung integritas, dan terus berusaha menjadi kader berprestasi demi kemajuan CSSMoRA dan masyarakat luas.