SEBELUM HUJAN REDA

Oleh: Matahari

“Kapan terakhir kali kamu berdoa?”

Lelaki di hadapanku tertawa ringan mendengar pertanyaan kelewat absurd itu. Dia bilang, doa terakhirnya barangkali adalah sesaat sebelum ia mengendarai motor untuk menjemputku tadi. Aku menuduhnya berdusta. Kalau dia benar-benar berdoa, seharusnya kami tidak terkurung hujan deras di sebuah emperan pertokoan yang tutup.

“Jangan-jangan kamu yang tadi tidak berdoa!” balasnya menuduhku. Kami berdua tertawa atas lelucon itu.

Sesaat kemudian, saat hening menjadi teman, aku menghela nafas panjang. Benar. Aku tidak berdoa sebelum pergi hari ini. Aku tidak berdoa saat bangun. Aku tidak berdoa sebelum tidur semalam. Aku bahkan tidak berdoa berhari-hari.

Aku jadi bertanya-tanya, kapan seseorang mulai berdoa dan kapan seseorang berhenti berdoa? Apakah karena dulu setiap malam ibu menyuruh anaknya berdoa sebelum tidur, maka ia berdoa? Apakah karena dulu setiap hari guru menyuruh muridnya berdoa sebelum belajar, maka ia berdoa?

Aku tak punya ibu yang menyuruhku berdoa setiap malam. Saat punya guru, ia pikir aku sudah hafal doa harian sehingga ia tak mengajariku. Aku berdoa setiap hari sampai kemudian entah di hari ke berapa aku merasa hambar. Bahkan kini, saat hujan yang katanya waktu doa dijawab Sang Pencipta, aku tak tergoda mengangkat tangan.

Hujan pun kian kuat. Atap seng berbunyi nyaring layaknya arena perjudian saat taruhan unggulam mereka hampir kalah. Udara dingin kian menusuk. Aku menghapus jarak antara aku dan lelaki yang telah kukenal kurang lebih enam bulan. Ia, lelaki dengan senyuman matahari itu, mengaminkan. Tangannya terbentang meraih bahuku.

“Wah, enak ya pacaran pas muda,” seorang perempuan dewasa akhir yang ikut berteduh berkomentar. Di sebelahnya, lelaki yang sama sepuh, barangkali suami, terlihat berpangku tangan dalam upaya menghangatkan dirinya sendiri.

“Duh, Buk! Jangan ngurusin orang,” suaminya menanggapi.

“Lihat, Pak! Anak muda jaman sekarang pacarannya blas bles blos saja. Kayak dunia milik berdua.”

Mereka berdebat. Si suami terlihat sungkan dengan perkataan istrinya. Akan tetapi, semua orang yang berteduh di emperan pertokoan itu terlihat setuju. Tatapan mata mereka menghakimi kami.

“Kamu mau pakai jaketku saja?” tawarnya berbisik. Tangannya rampak ragu memberikan kehangatan. Pelukannya tak seerat tadi.

“Iya,” jawabku risih dengan tatapan orang-orang.

Kami berdiri dengan jarak yang kecanggungan. Jarak kami tidak lebih dekat dari seorang anak yang memeluk kaki ibunya di depan toko  benang. Jarak kami tidak lebih mesra dari suami istri yang masih berdebat itu. Jarak kami, untungnya, tidak sesepi seorang laki-laki buta berpeci di toko paling ujung.

Aku maju satu langkah. Mengintip, karena rasa penasaran tak terbendung, pada lelaki buta berpeci haji di ujung lorong pertokoan. Usianya tak lagi muda. Tangannya yang telah keriput memegang tongkat dengan genggaman yang tremor. Bibirnya komat kamit layaknya orang suci tengah berzikir. Seolah bibir itu memang telah terlatih untuk selalu basah mengenang asma Allah.

“Kenapa?” lelaki matahari di sebelah ku bertanya.

“Aku baru saja berdoa.”

“Oh ya? Kau berdoa agar hujan reda?”

“Tidak juga.” Kerutan terbentuk di dahinya. Barangkali mencari berbagai macam opsi doa lain yang bisa kupanjatkan di situasi macam ini.

Hujan kian menggila. Angin kencang menerbangkan beberapa sampah. Semua orang merapat pada perlindungan terdekat yang bisa mereka gapai. Anak berlindung pada ibunya, perempuan berlindung pada lelakinya, anak muda berlindung pada kekuatan fisiknya. Aku tak bisa berhenti khawatir pada pria tua buta di ujung pertokoan yang tak punya sesuatu, bahkan dirinya sendiri, untuk melindungi.

“Yang, aku ke sana ya.”

Langkah lebih cepat ketimbang ucapanku. Langkahku besar dan cepat menuju lelaki tua itu. Jantungku berdetak cepat. Terlebih saat melihat sebuah terpal dengan pancang paku yang tajam terbang mengarah ke lelaki itu. Kilat petir melatari suara teriakan dan dentuman.

“Ustaz!” suaraku hilang ditelan situasi.

Alam bawah sadarku memaksaku bertindak. Meski pura-pura tak peduli, meski pura-pura tak kenal, tubuhku bergerak dengan sendirinya hendak meraih sosok itu. Aku tak bisa mengerdilkan perasaan kagum dan hormatku pada sosok buta yang memiliki mata air kasih sayang dan berkah ilmu dalam dirinya itu. Aku pun, seorang yang pernah  menyesap mata air itu. Di diriku mengalir percikan dirinya. Barangkali itu yang membuatku kalang kabut mengejar lelaki itu ini.

Terpal biru yang diterbangkan angin menyelimuti tubuh lelaki tua buta tanpa celah. Aku dan seorang tukang ojek mendekatinya. Tukang ojek itu dengan tergesa-gesa menarik terpal itu. Aku melihatnya terduduk dengan tongkat yang sudah tak lagi dalam genggaman. 

“Bapak tidak apa, Pak?” tanya tukang ojek itu sembari membantunya berdiri.

Tidak ada luka, tidak ada lebam. Syukurlah.

“Alina!” lelaki matahariku memanggil. Aku tak kuasa menahan rasa takutku. Bagaimana jika lelaki tua di hadapanku ini mengingat nama itu? Meski kemungkinannya sangat kecil, meski aku yakin beliau telah memiliki banyak murid-murid lain bernama Alina, jantungku tak bisa diajak kompromi.

“Kamu Alina? Alina Aisyah?” lelaki buta itu bertanya dengan suara yang sangat familiar.

Aku mengangguk meski aku tahu lelaki di depanku tak akan bisa tahu. “Bukan Pak, saya Alina Niswati.” Aku berbohong.

“Bapak ingat sekitar tiga tahun lalu Bapak punya santri namanya Alina Aisyah. Dia pintar, rajin ibadah, selalu taat dengan peraturan pesantren. Dia suka bantu-bantu di rumah Bapak. Setelah tamat dia belum ada lagi berkunjung ke pesantren. Tadi Bapak dengar ada yang panggil ustaz, suaranya mirip Alina. Rupanya salah orang.”

Aku tak lagi mengucapkan apa pun. Aku takut suara cempreng ini akan makin mengingatkan lelaki tua berpeci itu akan seorang santri polos yang kini hanya tinggal cerita. Aku menarik tangan pacarku sembari berlari kecil menuju motor yang terparkir.

Hujan sebentar lagi berhenti. Waktu istijabah doa sebentar lagi usai. Aku berdoa lagi, meski tidak mengangkat tangan. Aku berdoa lama dan khusuk sekali. Tak peduli bahwa aku tak lagi berkerudung. Tak peduli bahwa kini di tanganku ada tangan lelaki bukan muhrim yang diibaratkan bara api.

“Boleh aku tebak doamu, Alina Aisyah?” tanya lelaki matahari itu dengan nada mencemooh. Aku menggeleng. Aku ingin cepat menyudahi basa-basi ini dan kembali bersembunyi.

Di ujung jalan, sebuah mobil dengan lambang instansi pendidikan Islam terlihat mengarah pada lelaki tua yang tak lain dan tak bukan adalah pengasuh di pesantren itu. Si pengemudi turun dan membantu ustaz menaiki mobil. Motor kami telah lebih dulu membelah jalanan.

Doaku terkabul. Lelaki buta itu tak mengenaliku. Aku ingin berdoa lagi agar si pengendara mobil yang sekelas denganku enam tahun tak mengenaliku. Sayangnya hujan telah sempurna berhenti.

Sayangnya aku tak punya keberanian lagi untuk berdoa.

 

Identitas Penulis

Nama : Matahari

Instansi : Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi Agam

No HP/WA : 081927633962

Loading

DUNIA YANG KEJAM? BENARKAH?

Oleh: Sindi Putri Oktafiana

 

“Dunia begitu kejam.” Bukan kali ini saja kalimat itu terdengar, bahkan sejak puluhan abad silam telah terlontarkan dari bibir penduduk bumi. 

Bumi yang terdiam hanya menamatkan sembari menyimpan segala misteri yang entah kapan akan terkuat. Kalimat itu kedengarannya sudah biasa untuk dianggap sebagai suatu hal yang baru. Kegundahan yang menjelma rupanya telah merasuki satu persatu dari bagian hidupku, sembari melihat kopi yang butirannya mulai mengendap.

Setiap hari tingkah manusia semakin bergejolak, berbuat semena-mena tanpa beretika dan mengumbar kuasanya. Tangis sendu dari para korban dibungkam oleh kebiadaban. Diam. Mereka diam, karena seolah itu adalah jalan.

“Masih terpikirkan lagi ?” suara yang tiba-tiba datang membuyarkan seluruh lamunanku.

Sosok itu tampak berjalan ke arahku, meneguk kopi yang bahkan belum ku sentuh sejak tadi.

“Selalu saja.” ucapku mengeluh. Namun dia tak menghiraukan raut sosok yang berada didekatnya ini telah berubah menjadi masam.

“Kenapa Va ? Lebih baik jangan buat kalau hanya dianggurkan, dia telah menjadi dingin.” ucapnya sambil berlalu.

“Tapi tetap habis diminum kan?” tanyaku sambil menaikkan satu alis, seusai dia melenggang dan duduk berhadapan denganku.

“Emm… Kamu benar. Sudahlah relakan saja kopimu.”katanya. Sebelum akhirnya mengulik sekilas dari peristiwa yang masih aku diami.

“Bagaimana soal Shezani ?” Spontan ku tutup laptop yang sembari tadi masih tampak kosong di halaman word. Perlengkapan menulis telah tersimpan rapat dalam tas yang akan ku bawa pergi.

“Mau kemana hei ?!” Sudah biasa suara lantang itu terdengar, dia akan naik darah karena merasa tak dihargai. Itulah sifatnya, dan aku tak bisa mengubahnya. Pastinya ada sisi lain dari dirinya.

“Kamu tak mendengarkanku,? Bahkan aku baru saja sampai disini dan Kamu justru pergi.” Memang itu tidak pantas, aku pergi karena tebakannya benar. Walaupun selama ini kami tak pernah tinggal bersama, ikatan itu cukup kuat.

“Tinggallah disini sebentar. Aku akan segera kembali.” Ucapku sambil meneruskan langkah.

“Baiklah. Jangan berusaha menghindariku ya.” Langkahku berhasil terhenti. Dia memelukku amat erat, hangat. Hal ini yang selalu aku inginkan darinya. Ikatan saudara.

*****

Gedung-gedung menjulang tak dapat ku hitung lagi berapa meter tingginya, barangkali sudah menyundul ke atas sana. Polusi udara yang kian mengangkasa diderek oleh kawanan mega dengan raut kecewa. Gemericik bukan dari air bening yang memanjakan mata, melainkan mesin-mesin kendaraan yang bergesekan dengan aspal hitam kota.

Aku terpaku disini, terlilit oleh pikiran dan hati yang mengutuk diri. Bukan lagi pertama kalinya, pikiran ini terasa berat, runyam, memikirkan kejadian-kejadian yang semakin tak bisa dinalar. Ulah hantu ? Bukan. Sesamaku, sewujud denganku, itu kami. Manusia muka bumi. Jika bertanya apa masalahnya tentu itu sudah pasti berada. Media dengan cepatnya menjejerkan berita untuk dibaca. Teknologi yang semakin canggih menembus batas negara hingga dunia luar sana. Solusi ? Itu hal yang semakin tak pasti. Semakin dibuka, maka semakin dibungkus apik. Padahal hanyalah cakap angin semata. Seperti halnya kini yang terjadi.

“Benar jika hanya permainan yang fana, atau nanti akan terbangun dari mimpi.” ucapku sembari duduk di salah satu bangku panjang tepian jalan. Memang sepanjang jalan ditanami dengan pepohonan. “Ditujukan untuk menciptakan udara segar.” katanya demikian.

“Assalamu’alaikum, Bolehkan aku duduk disini Kak ?” Datangnya insan cilik itu tak terduga. Ku edarkan pandang ke segala arah. Lantas kembali ke arahnya, pada bocah yang belum ku jawab salam dan permintannya.

“Wa’alaikumusslama. Iya tentu, silahkan duduk.” Sembari menggeser duduk, lalu mempersilahkan dia.

Kami terdiam, hanyalah bunyi klakson dan langkah kaki orang-orang menyeberang saling berbenturan. Keramaian yang semakin bergejolak, ini melelahkan. Aku ingin ketenangan. Namun, bocah di sampingku tampak tenang mobil-mobil besar melintas kian kemari.

“Oh ya, nama adik siapa ?” tanyaku ingin mengisi kekosongan yang menghampiri.

“Daina. Kalau kakak siapa namanya ?” binar matanya benar-benar tak bisa dipercaya, memandangnya begitu dekat ternyata menenangkan. Aku terpukau, termenung beberapa saat sebelum akhirnya aku tersadar kembali.

“Namaku Adiva. Kamu boleh memanggilku Kak Iva.” ucapku disertai anggukan darinya.

*****

Menuruti tawaran anak kecil tak ada salahnya juga. Kami berjalan menyusuri jalan kecil, tempat ini tampak terasing. Laju kendaraan yang sedari tadi memekakan telinga perlahan memudar seiring kaki jauh melangkah. Rumah disini terlihat antik dengan tiang penopang dari kayu atau bambu. Beberapa sepeda motor butut tua berjejer rapi di masing-masing rumah penduduk. Para anak kecil berlarian membawa layangan menuju tanah lapang yang kiranya berada di depan sana.

Mataku terus menelisik kian kemari. Tak lupa ku dokumentasikan momen-momen ini. Pelataran hijau yang terhampar dengan senda-gurau anak-anak disana. Kesejukan dan kedamaian menerpa, menghanyutkanku turut larut bersukacita. Tawanya murni sejati, khas sekali. Keinginan akan waktu lebih dari apapun itu, bermain, pengajaran dan kasih sayang dari orang tua. Mereka adalah amanah dari tuhan yang harus dikasihi dan dijaga.

“Panti Asuhan Seribu Harapan.” batinku. Wajah tetap ku nampakkan dengan ekspresi yang biasa saja. Jujur ini pertama kalinya ku pijakkan kaki di tempat seperti ini, biasanya hanya membantu mempersiapkan donasi yang akan dibawa. Hatiku menjadi trenyuh.

“Ayo kak masuk. Pasti teman-teman akan senang bertemu dengan kakak baik.” Daina berucap dengan lengkungan manis yang tergambar di sudut pipiny. Mulanya kaki ini enggan untuk melangkah, akan tetapi rasa penasaran terus menghasut hingga berjumpa dengan mereka semua disini. Riuh rumah yang terdengar dari luar seketika hening, mereka diam menghentikan aktivitas bermainnya. Kemudian menyambar diri yang masih mematung di dekat pintu masuk.

Saling bergantian untuk menjabatku. Didikan disini dapat ku katakan baik, buktinya anak sekecil ini mengerti tentang sopan-santun bertemu dengan orang baru. Bahkan mereka berjejer rapi tanpa menyerobot untuk saling mendahului. Aku berbincang dengan pengurus panti sembari melihat mereka dengan keaktifannya. Mataku terhenti pada satu anak kecil yang terdiam di sudut taman dengan diary kecil beserta bolpoint dalam genggamannya.

“Assalamu’alaikum adik manis. Apa yang sedang kamu tulis ?”

“Wa’alaikumussalam Kak. Menulis, bagaimana rasanya ya punya orang tua ?” jawaban sekaligus pertanyaan yang berhasil membuat senyumanku memudar.

Aku tau dari obrolan sebelumnya. Kebanyakan dari mereka memang dibuang oleh orangtuanya. Miris. Hati ini teriris. Kelahiran yang seharusnya dinantikan. Kebahagiaan yang seharusnya dirasakan. Semuanya justru disia-siakan. Mereka ingin seperti anak-anak lain diluar sana dengan kasih sayang orang tuanya. Namun apa sebaliknya yang terjadi ? Akankah “Dunia begitu kejam” akan kembali terdengar ?

*****

“Sebentar lagi Rayyan akan datang.” ucap perempuan yang biasanya lantang itu menjadi lemah lembut. Kami memang memutuskan untuk berbaikan sejak kemarin.

Sementara jiwa yang diajak bicara masih diam menatap layar laptop, walau sebenarnya fokusku terbuncah karena perkatannya. Sebenarnya perempuan ini adalah kakakku, Dhafiyah namanya. Kini dirinya turut diam dan larut dalam keheningan.

“Assalamu’alaikum Kak Dhafiyah.” Ku hentikan aktivitas dan beralih pada arah suara itu. Setelahnya Rayyan menoleh ke arahku yang memasang muka datar.

“Wa’alaikumussalam.” Jawab Kak Dhafiyah, sementara aku menjawabnya lirih.

“Kalian berdua, bercakaplah. Kakak akan menjauh kesana.” Kak Dhafiyah memilih untuk menuju pojok kursi, mendengarkan tilawah dan merasakan sejuknya udara pekarangan samping rumah.

“Maaf Va.” ucapnya dengan menatapku lekat. Wajahnya dipenuhi dengan kecemasan. Ku mengambil nafas panjang kemudian menghembuskan secara perlahan.

“Maka lakukan itu. Kamu tidak ada alasan untuk mengelak.” Tuturku masih dengan muka datar.

“Aku tidak bisa Va, sementara kita…” ucapannya terhenti karena aku memotong pembicarannya dengan sengaja.

“Aku berhak memutuskan. Jangan lagi bicarakan soal kita. Berhenti untuk kabur dari masalah. Berhenti berlindung dibalik nama orang tuamu. Kamu tak mengerti kan bagaimana perasaan orang itu, terlebih dia sahabatku.” ucapku berusaha membendung air mata. Akhirnya aku berani untuk angkat bicara. Tidak seperti kemarin yang justru melamun dengan egoku.

“Nyawa anak itu telah hilang.” ucapnya dengan wajah menunduk, suaranya terdengar samar.

“Kamu…” ucapanku tercekat. Lidahku kelu. Apa maksud dari perkataannya barusan ?

“Va.” Panggil Kak Dhafiyah sembari menepuk pundakku pelan. Mataku tak berkedip sedikitpun, pikiran ini terasa amatlah runyam.

“Sekarang kamu pergi Ray. Tidak ada yang bisa dipercaya lagi. Begitu kejam.” Amarah ini meletup melihat kenyataan dan pelaku yang ada dihadapanku ini.

“Aku melakukan itu karena kita.” Rayyan berusaha mendekat ke arahku.

“Jaga ucapanmu. Hukum akan tetap diproses, nantikan itu. Sekarang pergi !” Suara lantang itu berasal dariku.

“Shezani, ku harap Kamu tenang disana. Maafkan aku yang tak bisa menjagamu.” batinku.

*****

Hari bertaut dengan waktu yang semakin mengudara. Kepingan-kepingan peristiwa beralunan saling bergandengan. Beberapa hal memang tak terduga kejadiannya. Lantas siapa yang akan disalahkan, dunia lagi ? Rasanya mustahil menyalahkan dunia yang padahal manusia sendiri yang berjalan mengelilinginya dan turut andil didalamnya. Rasa penyesalan hanyalah datang terakhir, setelahnya mengikhlaskan adalah salah satu keterpaksaan untuk benar-benar merelakan. Berat rasanya tertimpa masalah yang kita sendiri tak mengira akan datang semasanya. Seperti halnya kisah ini. Begitu singkat, rumit dan terjadi begitu saja.

“Va, hari ini Rayyan sudah dibebaskan.” ucap Kak Dhafiyah membawa berita yang sebenarnya kurang aku senangi. Bukan karena bahagia dalam penderitaan orang lain. Setelah apa yang dia lakukan kepada Shezani hingga membunuh darah dagingnya sendiri, apakah hukuman selama tiga tahun di bui itu pantas ? Rasanya sampai berbuih mulut ini untuk menegakkan hukum yang adil-seadilnya tetap saja percuma.

“Hm iya.” jawabku pelan, sambil beberapa saat kemudian menyesap kopi yang masih terasa panas.

“Apa kamu akan menemuinya ?” tanya Kak Dhafiyah. Ku turunkan gelas kopi dan beralih menekan kembali keyboard laptop.

“Kami sudah tidak bisa melanjutkan Kak. Agenda besar harus ku lakukan hari ini.” ucapku lalu besiap untuk berkemas.

“Jangan bilang kamu akan ikut demo akan kasus serupa yang terjadi akhir-akhir ini ?” tebak Kak Dhafiyah sekaligus bertanya.

“Tidak. Kami akan datang menemui mereka di pusat.” ucapku dengan penuh keyakinan.

“Mereka akan menentang Va, hal itu sia-sia.” ucap Kak Dhafiyah yang sama sekali tak melunturkan semangatku untuk segera bergegas

“Lebih sia-sia lagi apabila aku tetap berdiam diri. Kebenaran harus tegak, jangan sampai ternodai oleh tipu muslihat.” ucapku.

“Apakah hal ini karena Shezani ? Kamu dendam dan menuntut balas ?” tanya Kak Dhafiyah bertubi-tubi.

“Tidak ada dendam, pada siapapun itu. Namun, aku dan orang-orang yang sejalan denganku ingin mempertegas dan memberikan solusi.”

“Perjuangkan Va.”

“Terima kasih Kak.” Ucapku mengakhiri percakapan itu.

*****

Manusia tidak bisa hidup tanpa aturan. Lantas akan berbuat dengan sesuka hatinya dengan semena-mena tanpa takut akan mendapatkan hukuman yang selaras. Ketika hal itu terjadi, antara dua jenis yang berbeda saling menyalahkan untuk mendapatkan kemenangan dan dukungan berdasar suatu alasan. Bersembunyi dibalik kuasa dan uang. Aniaya, perdaya dengan semena-mena dibungkam dengan keduanya ? Bukan kami ingin merdeka sebebas-bebasnya, hanya satu. Dimuliakan. Sudah sepatutnya. Sudah selayaknya. Sudah sepantasnya. Pada kenyataannya saling menyalahkan tak cukup untuk menciptakan terselesainya permasalahan.

Kritik sudah patutnya untuk didengar. Peristiwa didepan mata tak layak untuk dibungkam. Jangan terus mengkoar-koarkan kata “Aku, dominasi, bebas” yang pada akhirnya jatuh pada kelalaian dan saling terus menyalahkan antara satu dengan yang lainnya. Disini, pada agama ini. Aturan dibuat bukan hanya sekedar diketahui, akan tetapi diyakini, dipatuhi dan dijalani. Jangan pernah lupa. Jangan pula terlena. Bagaimana cara untuk menjaga diri agar dimuliakan. Bagaimana cara untuk mengendalikan jiwa, pikiran dan hasrat. Kita manusia dan makhluk yang sempurna. Dikaruniai kelebihan yakni akal yang membedakan dengan makhluk lainnya.

Perkara “Dunia yang kejam.” Apakah kalian memahaminya sekarang ? Ibarat kita ini penggeraknya dan menyalahkan benda yang tidak tau apa-apa.

 

Desember 2021

Loading

PENGENALAN WARNA DAN FONT DALAM DESAIN GRAFIS (PSC #5)

Pengembangan Skill CSSMoRA (PSC) sudah terlaksana sampai saat ini sebanyak 5 kali. Pada kesempatan kali ini PSC 5 membahas kembali terkait desain namun dengan tema yang berbeda dari sebelumnya. Pada kesempatan kalo ini tema yang dibahas yaitu mengenai “Permainan Warna dan Pemilihan Font dalam Desain”.

PSC 5 kali ini dilakukan secara offline dan bertempat di Gazebo YPMI Al Firdaus pada Sabtu, 26 Maret 2022 pukul 13.00 WIB dan berakhir pada pukul 16.00 WIB dengan pemateri yaitu kak Andi Evan Nisastra (Anggota CSSMoRA angkatan 2018).

Selama diskusi berjalan para peserta sangat antusias dalam mengikuti kegiatan karena tema pembahasan kali ini sangat menarik.
Menurut kak evan (pemateri PSC 5), untuk membuat desain yang baik harus memperhatikan penggunaan dan kolaborasi warna serta pemilihan font tulisan yang benar supaya desain yang kita buat akan enak dipandang dan memiliki nilai estetika yang tinggi.

Berbeda dengan PSC yang membahas tentang desain sebelumnya, pada kesempatan kali ini pemateri meminta kepada seluruh peserta yang hadir untuk membuat desain flayer PSC 5. Para peserta PSC 5 terdiri dari angkatan 2018, 2019, dan 2021. Semua peserta yang hadir setelah membuat desain flayer PSC 5 oleh pemateri diminta untuk mempresentasikan hasil desainnya kepada teman-teman yang lainnya.

Melalui PSC kali ini diharapkan para anggota aktif CSSMoRA UIN Walisongo dapat membuat desain kegiatan serta bisa saling berbagi informasi dan saling belajar. Dengan semakin banyaknya para ahli desain yang dimiliki oleh CSSMoRA diharapkan media sosial CSSMoRA akan semakin aktif lagi.

 

-Red Departemen Hubungan Dalam

Loading

PENGENALAN DESAIN PADA PSC 5

Pengembangan Skill CSSMoRA (PSC) sudah terlaksana sampai saat ini sebanyak 5 kali. Pada kesempatan kali ini PSC 5 membahas kembali terkait desain namun dengan tema yang berbeda dari sebelumnya. Pada kesempatan kalo ini tema yang dibahas yaitu mengenai “Permainan Warna dan Pemilihan Font dalam Desain”.

PSC 5 kali ini dilakukan secara offline dan bertempat di Gazebo YPMI Al Firdaus pada Sabtu, 26 Maret 2022 pukul 13.00 WIB dan berakhir pada pukul 16.00 WIB dengan pemateri yaitu kak Andi Evan Nisastra (Anggota CSSMoRA angkatan 2018).

Selama diskusi berjalan para peserta sangat antusias dalam mengikuti kegiatan karena tema pembahasan kali ini sangat menarik.
Menurut kak evan (pemateri PSC 5), untuk membuat desain yang baik harus memperhatikan penggunaan dan kolaborasi warna serta pemilihan font tulisan yang benar supaya desain yang kita buat akan enak dipandang dan memiliki nilai estetika yang tinggi.

Berbeda dengan PSC yang membahas tentang desain sebelumnya, pada kesempatan kali ini pemateri meminta kepada seluruh peserta yang hadir untuk membuat desain flayer PSC 5. Para peserta PSC 5 terdiri dari angkatan 2018, 2019, dan 2021. Semua peserta yang hadir setelah membuat desain flayer PSC 5 oleh pemateri diminta untuk mempresentasikan hasil desainnya kepada teman-teman yang lainnya.

Melalui PSC kali ini diharapkan para anggota aktif CSSMoRA UIN Walisongo dapat membuat desain kegiatan serta bisa saling berbagi informasi dan saling belajar. Dengan semakin banyaknya para ahli desain yang dimiliki oleh CSSMoRA diharapkan media sosial CSSMoRA akan semakin aktif lagi.

Salah satu karya anggota CSSMoRA UIN Walisongo
Salah satu karya anggota CSSMoRA UIN Walisongo

 

 

-Red Departemen Hubungan Dalam

Loading

MEMPERKUAT PERSAUDARAAN MELALUI ROMANTISME CSSMORA

Semarang, telah terlaksana moment keakraban (mokrab) pada tanggal 12 Maret 2022 di gedung PPP Mangkang. Yang mana acara ini merupakan program kerja dari Departemen Hubungan Dalam guna untuk mempererat tali silaturahmi antar anggota CSSMoRA.
Mokrab ini merupakan agenda tahunan, yang mana pada tahun lalu acara ini dilakukan secara daring, dan Alhamdulillah tahun ini bisa dilaksanakan secara offline.
Acara ini dibuka oleh bapak Dr. Moh. Khasan M.ag selaku pengelola PBSB, dan pada kesempatan kali ini selain memberikan sambutan beliau juga berpamitan, karena akan mengemban amanah baru selaku Wakil Dekan III di fakultas FISIP UIN Walisongo. Beliau juga mengucapkan terima kasih kepada CSSMoRA karena telah membersamai beliau selama beberapa tahun terakhir.
Pada kesempatan kali ini, Ani Uswatun selaku ketua panitia mengatakan “Alhamdulillah, acara Mokrab tahun ini sangat luar biasa. Ditengah2 keterbatasan SDM, tp tmn2 tetap sangat berantusias dan sangat2 semangat sekali dalam mengikuti acara mokrab. Harapannya semoga dengan adanya acara mokrab bisa lebih mendekatkan dan melekatkan loyalitas serta solidaritas teman-teman CSSMoRA UIN Walisongo”.
Hamjan A Ranselengo selaku ketua umum CSSMoRA UIN Walisongo juga menanggapi bahwa “Acara mokrab kemarin sungguh terlaksana dengan meriah dan dikuti dengan penuh antusias oleh seluruh anggota aktif CSSMoRA UIN Walisongo sehingga patut untuk di aprisiasi, tidak hanya itu acara mokrab ini juga bisa di bilang merupakan moment untuk merekatkan dan mengeratkan tali persaudaraan antar sesama anggota CSSMoRA UIN Walisongo. Banyak sekali hal menarik yang bisa di dapat dari acara mokrab tersebut seperti games yang difokuskan untuk melatih kekompakan dan kebersamaan anggota css, lomba” yang berguna untuk mengeluarkan ide ide kreatif semua anggota. tidak hanya kedekatan antar sesama anggota saja tetapi bersama pengelola dan alumni juga bisa harmonis. Harapannya semoga budaya dan tradisi mokrab ini bisa di pertahankan kedepannya mengingat banyak sekali yang kita dapatkan dari acara ini”
Dari panitia juga sangat berharap, dengan adanya acara mokrab dapat saling mempererat tali kekeluargaan CSSMoRA UIN Walisongo Semarang.

 

Loading