WAYANG KULIT, SEBUAH PERJUANGAN UNTUK TETAP EKSIS DI ERA MILENIAL

WAYANG KULIT, SEBUAH PERJUANGAN UNTUK TETAP EKSIS DI ERA MILENIAL

Sudah bukan rahasia lagi apabila kesenian tradisional indonesia mulai ditinggalkan generasi muda negri ini,dan masuknya berbagai kebudayaan luar melalui berbagai media. Saat ini banyak anak-anak muda kurang mengenal kesenian tradissional seperti karawitan, gamelan, dan khususnya pertunjukan wayang kulit. Anak muda lebih senang dengan kesenian dan kebudayaan luar yang tidak jelas dari mana asalnya.

Di masa sekarang ataupun masa yang akan datang tanggung jawab untuk mengembangkan fan melestarikan warisan leluhur tersebut bukan lagi ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah, tetapi oleh masyarakat khususnya anak-anak muda, dalam hal ini harus ikut andil menjadi pelaku seni, pecinta seni, pekerja seni dan pemerhati seni agar kesenian dan budaya tersebut tidak hilang tertelan zaman.

Sayangnya, dunia pewayangan saat ini menghadapi tantangan besar dalam menjangkau khlayak generasi muda. Perlu strategi penyesuaian agar wayang tetap bisa dinikmati khalayak luas, khususnya generasi milenial.

Nama Ki Seno Nugroho dalang yang berhasil memikat generasi milenial mencintai wayang kulit, ki Seno lahir di Yogyakarta, 23 Agustus ki seno memang tumbuh ditengah keluarga dalang ayah dan kakeknya merupakan dalang kondang di Yogyakarta.

“kakek dan ayah saya seorang dalang. Waktu kecil, saya suka ikut bapak dalang, tapi belum ada ketertarikan. Hanya melihat wayang saja” ujar Ki Seno saat bercerota mengenai perjalanan hidupnya dalam video yang ia unggah ke kanal youtube resminya.

Semua berubah ketika beliau menginjak di bangku sekolah menengah pertama. Saat itu, ayahnya mengajak ki seno untuk menonton pertunjukan wayang Ki Manteb Soedharsono melihat kepiawaian Ki manteb dalam pementasan wayang yang luar biasa, sepulang dari pementasan Ki Manteb Ki seno merasa terpecut bahwa beliau pun juga bisa. Sejak saat itu beliau mulai tekun belajar dirumah. Beliau juga rajin menabung demi menonton pertunjukan Ki Manteb ketika sedang mendalang ke Yogyakarta.

Seno lantas masuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan pedalangan. Di sanalah ia membentuk grup cikal bakal Wargo Laras, kelompok yang setia mengiringi pertunjukan wayangnya hingga kini. Sembari latihan, Seno terus mencari jati dirinya sebagai seorang dalang. Kagum dengan sederet dalang kondang Indonesia, Seno akhirnya mengombinasikan berbagai gaya di dalam pertunjukannya.

Sembari latihan, Seno terus mencari jati dirinya sebagai seorang dalang. Kagum dengan sederet dalang kondang Indonesia, Seno akhirnya mengombinasikan berbagai gaya di dalam pertunjukannya. Dalam perjalanan pencarian jati diri tersebut, Seno menyadari bahwa wayang harus dapat diterima oleh semua kalangan. Ia pun berupaya untuk mengubah citra wayang sebagai pertunjukan dengan sastra sulit menjadi perhelatan berbahasa sederhana.

Menurut Seno, dalam satu pertunjukan wayang ada sejumlah aspek, yaitu tuntunan, tontonan, dan tatanan. Untuk menggaet anak muda, ia mencoba membuat aspek tuntunan tidak berbelit-belit agar anak muda tidak cepat bosan. Gaya wayangan mendapat apresiasi dari kalangan anak muda Beliau hanya menyederhanakan saja, karena di dalam wayang atau sebuah seni tradisi itu syarat akan bahasa jawa kuno, bahasa kawi, dan bahasa indah dan sangat sulit ditangkap oleh kaum milenial. Sangat sulit dimengerti, harus belajar bahasa jadi beliau menyederhanakan agar mudah dipahami, dalam setiap dialog menggunakan bahasa yang bisa diterima bukan hanya orang tua tetapi juga bisa diterima oleh anak muda. Banyak yang mengatakan apakah itu tidak menyalahi aturan kalau dalam bahasa wayangnya pakem, menurut beliau tidak menyalahi pakem, menyalahi pakem itu contohnya ketika petruk anaknya werkudara itu baru sudah menyalahi pakem bahkan merusaknya.

Beliau membuat cerita yang tokohnya punokawan, sehingga mudah diterima oleh anak muda karena lebih asik dan punokawan di ibaratkan suara hati masyarakat, suara hati anak muda. Ki Seno membuat tokoh bagong orangnya nakal, istilahnya mbeling dalam bahasa jawa karena itu adalah sifat anak muda dalam proses pencarian jati diri.

Ki Seno juga lihai membaca karakter anak muda sehingga mereka membuka diri untuk memulai mencintai wayang kembali. Menurut Ki Seno anak muda harus berani, karena dari tokoh bagong anak muda bisa meniru keberanianya, misalnya ketika bagong berani dengan seorang raja berani mengomentari dan melawan tapi dengan dasar bahwa bagong itu benar dan betul-betul benar.

Dalam setiap pagelaran wayang beliau ketika ada konteks “kowe ojo wani karo iki” kamu jangan berai sama ini, ini adalah sesembahanmu, tokoh bagong memang sadar dan mengakui bahwa raja tersebut adalah sesembahanya dan bagong merasa menjadi bawahanya, sebagai rakyat kecil, tetapi ketika raja tersebut salah maka bagong berani menyalahkanya, itulah pelajaran yang bisa diambil oleh anak muda dari tokoh bagong akan keberanianya untuk mengkritik kepada pemimpin yang salah.

Banyak anak muda yang tertarik melihat wayang Ki Seno karena terasa konstekstual dengan kondisi saat ini, “ saya hanya melihat berita,membuat sebuah cerita yang konteksnya hampir sama, alangkah baiknya sebagi seniman kita mengkritisi tetapi membuat suasana menjadi redam dan damai” tutur beliau dalam sebuah video wawancara yang di unggah oleh kanal youtube BKN PDI Perjuangan. Sesungguhnya cerita wayang sangat enak dan pas sekali jika dikontekstualkan dengan keadaan sekarang, karena dalam penokohan wayang sangat banyak sekali yang menggambarkan dengan perwatakan orang-orang zaman sekarang.

Ki Seno juga membuat akun Youtube resmi dengan nama Dalang Seno yang kini sudah mencapai 657 ribu subscriber. Di sana, ki Seno kerap menampilkan live streaming pertunjukanya sehingga dapat dinikmati langsung oleh masyarakat Indonesia tanpa harus hadir secara langsung. Berkat teknologi tersebut, Ki Seno dianggap sebagai salah satu seniman yang bisa mempertahankan eksistensi di tengah masa pandemi covid 19.

Sayangnya beliau sangat cepat sekali meninggalkan kita, ketika mendengar kabar Ki Seno Nugroho meninggal dunia pada 3 November, 2020 di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta, haru pun menyelimuti bahwa bangsa ini telah kehilangan sosok dalang yang fenomenal, kita kehilangan ikon kesenian wayang kulit. Dalang yang membuat pembaruan dan keluwesan dalam memberikan hiburan yang mendidik.

 

-Red M. Nasrulloh (CSSMoRA UIN Walisongo 2018)

Share this post

Tinggalkan Balasan