A. Pendahuluan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan teknologi Nadiem Makarim menyebut kasus kekerasan seksual saat ini dalam kondisi gawat darurat, bagaikan pandemi. “ saat ini terjadi situasi darurat, bisa di bilang situasi gawar darurat, dimana kita bukan hanya mengalami Covid- 19, tapi juga adanya pandemic kekerasan seksual dilihat dari data apapun,” kata nadim dalam kasus Merdeka Belajar episode 14 ‘Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual’ yang berlamgsung virtual, Jumat (12/11)
Nadiem membebarkan, berdasarkan data Komnas Perempuan , sebanayak 27 persen kasusu kekerasan seksual di lembaga pendidikan pada 2015 hingga 2020 terjadi di perguruan tinggi. Berdasarkan survey Kemendikbukristek pada 2020, lanjutannya sebanayak 77 persen dosen menyatakan bahwa kekarasan seksual pernah terjadi di perguruan tinggi, dimana 63 persen diantaranya memilih tidak membuat laporan.
“Itulah alasannya kita sudah mengambil posisi sebagai pemerintah untuk melindungi mahasiswa,dosen, dan tenaga pendidik kita dari kekerasan seksual,” katanya. Hal ini yang menjadi salah satu alasan untuk menertibkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Lebih lanjut Nadiem makarim semangat Permendikbud PPKS Di lingukungan perguruan tinggi adalah memperdayakan kampus dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
B. Point Penting Isi Permendikbud Ristek No 30
- Fokus Permendikbud No 30 2021 adalah Kekerasan seksual
- Prioritaskan Hak Korban
Perlindungan dan hak Korban menjadi prioritas utama dalam Permendikbud ini. - Sasaran Permendikbud Nomor 30 tahun 2021
Sasarannya sesuia dengan pasal 4 adalah
a. Mahasiswa
b. Pendidik
c. Tenaga kependidikan
d. Warga Kampus, dan
e. Masyarakat umum yang berunteraksi dengan mahasiswa, pendidil, dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma - Penangan yang Wajib dilakukan Perguruan Tinggi
Jika terdapat laporan kekersan seksual, perguruan tinggi wajib melakukan penanganan yang meliputi pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administrsi dan pemulihan korban. Ini sesuai dengan pasal 10 hingga 19
- Sanksi Bukan Berorintasi pada Pelaku
Sanksi yang dijatuhkan harus berdasarkan dampak akibat perbuatan yang dilakukan terhadap kondisi korban dan lingkungan kampus, bukan berorientasi pada pelaku. Pasal 14 - Perguruan Tinggi Wajib Bentuk Satgas
- Laporan Dilakukan Tiap Semester
Rektor dan direktur perguruan tinggi diwajibkan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi (monev) secara rutin seluruh kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
C. Isi Pemendikbuk Ristek No 30 Menuai Kontraversi!!
Seperti yang dilihat di berbagai media sosial banyak di antara media yang menyeroti permasalahan atau kontraversi dari isi Permendikbud No 30., bagaimana isi permendikbud ristek yang menjadi kontraversi ?
Adanya sebuah tudingan bahwa peraturan tersebut justru lebih mengarah ke arah seks bebas dan justru menimbulkan paham sekulerisme di lembaga Perguruan Tinggi. Di antara Lembaga yang menyoroti hal ini adalah Mejelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilibang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai aturan tersebut mungkin melegalkan zina.
Menurut ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad salah satu kecacatan materil ada di pasal 5 yang memuat persetujuan dalam frasa “tanpa persetujuan korban”.
“Pasal 5 Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berdasarkan persetujuan.” Kata Lincolin
Berikut kutipan Pasal 5 ayat 2 huruf L dan M yang mendapatkan sorotan dari berbagai kalangan :
- menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada korban tanpa persetujuan Korban,:
- Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.
Dengan adanya pasal diatas justru lebih mengarah ke seks bebas dan perzinahan di lingkungan perguruan tinggi karena dengan dasar persetujuan korban. Tak hanya Muhammadiyah penolakan juga datang dari Forum Ijtima Ulama MUI bahkan atas keputusannya itu MUI dituding tidak membaca lebih dahulu isi dari aturan yang membahas tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Kedati demikian hal tersebut langsung di tepis oleh Anggota komite fatwa Majelis Ulama Indonesia Mukti Ali Qusyairi, Lc.MA.
Meski demikian semua kontraversi di atas telah mendapatkan komentar dari pelaksana tugas (Plt.) Direktur Jendral Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.Nizam mengatakan anggapan tersebut terjadi karena kesalahan persepsi.
“tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbud ristek yang memperbolehkan perzinahan. Tajuk diawal Permendikbud ini adalah ‘pencegahn, bukan ‘pelegalan,’ ucapnya dilansir dari laman Kemendikbud Ristek, Senin (8/11/021)
Dengan adanya kontraversi tentang isi permendikbud tetapi ada juga lembaga atau pihak lain yang justru mendukung Permendikbudristek ini diantaranya adalah dari katua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia( Komnas Ham) , Ahmad Taufan Danamik menilai , Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021 sangat dibutuhkan terlepas dari kontraversinya. Menurut dia beleid itu merupakan salah satu bentuk kehadiran Negara untuk bertanggung jawab memnerikan perlindungan dan pertolongan korban kekersan seksual.
Taufan juga mendorong agar hal hal lain yang masih menjadi perdebatan di public dibuka dan dijelaskan Mendikbud Ristek untuk didiskuskan dengan seluruh pihak. Antara lain soal perzinahan hingga kekhawatiran interaksi seksual dalam pandangan agama dan Pancasila.
Tentu saja hal ini menjadi suatu problamatika kehidupan di perguaran tinggi tentang banyaknya kasus kekerasan seksual yang ada. Sementara dengan nilai substansi dikeluarkannya Pemendikbud Ristek ini menjadi solusi berkurangnya kasus kekersan seksual dilingkungan kampus. Dengan adanya kontraversi isi materil maupun formil tentang diksi kata yang mengandung unsur eksplisit ke seks bebas dan perzinahan itu menjadi tugas dari atasan baik dari DPR Rid an kemendikbud untuk menyelesaikan kontraversi yang ada.
-Red Zulfian Wanandi
Share this post